Selasa, 31 Desember 2013

[SPECIAL POST] 2013 10 BEST INDONESIAN MOVIES

Tahun ini bisa dibilang saya lumayan produktif menonton film Indonesia. Yah, meskipun tetap saja saya memilah-milah mana yang setidaknya mas... thumbnail 1 summary

Tahun ini bisa dibilang saya lumayan produktif menonton film Indonesia. Yah, meskipun tetap saja saya memilah-milah mana yang setidaknya masih layak tonton, serta mana yang harus dihindari untuk ditonton. Tahun ini, variasi saat menonton sebuah film bisa dikatakan cukup banyak. Mulai dari omnibus, road movie, drama romance, roman klasik, action, komedi dan film dokumenter. Meskipun dari beberapa film dari genre diatas masih ada yang hit and miss.

Dan inilah 10 film Terpilih dari saya pribadi yang saya nobatkan menjadi 10 Film Indonesia Terbaik tahun 2013.

GONNA BE MY BEST IF I WATCH IT : 

https://www.filmfestivalrotterdam.com/FilmAssets/000068/00006848/scaled/684811.jpg

WHAT THEY DONT TALK ABOUT WHEN THEY TALK ABOUT LOVE
Satu film milik Mouly Surya yang menjadi Official Selection di Sundance Film Festival. Sayang, ketika film ini hanya tayang terbatas di Indonesia saya malah melewatkannya begitu saja. Sedang ada halangan yang membuat saya terpaksa melewatkan satu film ini yang mendapatkan pujian dimana-mana.

HONORABLE MENTION : 


MANUSIA SETENGAH SALMON
Kenapa? Ada yang salah ? Namanya juga masih muda, kenapa tidak bersenang-senang dengan film komedi seperti ini? Ditengah limited-nya film-film Indonesia yang saya tonton di tahun ini,  Manusia Setengah Salmon menjadi sebuah bold performance yang tak disangka menghibur saya dari awal hingga akhir. Meskipun tidak menjadi 10 Besar, Tapi ini menghibur saya.


10. CINTA/MATI
Film dengan spirit indie yang kemasan yang begitu segar ditengah perfilman Indonesia yang begitu-begitu saja. Meskipun konflik di paruh akhir yang cukup memaksa dan mempengaruhi penilaian film secara keseluruhan, tetapi twist ending yang tetap mengagetkan dan bagaimana film ini menjadi ‘Before Sunrise’ Indonesia membuat saya tetap menyukai film ini. 


9. NOAH : AWAL SEMULA
Putrama Tuta mampu memberikan sebuah sajian yang sangat berbeda ketimbang yang lain. Pengarahan film dengan kumpulan-kumpulan footage yang disusun dengan baik memberikan efek klimaks yang membuat merinding meskipun beberapa timeline-nya sedikit tidak jelas. Tapi, inilah salah satu film dokumenter yang dirilis secara komersial yang sangat bagus. 


8. TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
Hikayat cinta milik Buya Hamka pernah dirusak oleh Hanny R. Saputra dalam film Di Bawah Lindungan Ka’bah. Akhirnya, setelah menekan ekpektasi yang rendah dan melihat bahwa rumah produksinya yang belum memiliki track record yang bagus, ternyata Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mampu memikat saya di dalam 160 menit miliknya. Meskipun masih ada beberapa minor di dalamnya. (re: Herjunot Ali)


7. CINTA DALAM KARDUS
Sebuah film monolog tentang Cinta dengan berbagai dialognya yang smart dan visualisasi unik dengan set Kardus yang memanjakan mata. Mungkin, dialognya yang segmented tetapi saya terpikat dengan semua narasi di film ini. Beberapa bagian memang terasa menganggu, tetapi secara keseluruhan, ini seperti menyaksikan sebuah pertunjukan Stand Up Comedy di layar lebar dan saya suka. Smart!


6. DEMI UCOK
Memang, film ini sudah dinobatkan menjadi Film Terbaik tahun 2012 oleh majalah Tempo. Tetapi, film ini dirilis di awal Januari 2013 kan? Meskipun, saya menyaksikannya lewat DVD. Tetapi, film ini dengan berani memberikan sentilan-sentilan menarik tentang kelamnya dunia perfilman dan sentilan tentang adat batak. Lucu dengan kemasan yang menarik. 


5. LAURA & MARSHA
Road Movie milik perfilman Indonesia dengan premis sederhana tetapi bisa memikat penontonnya dari awal hingga akhir. Bukan hanya menawarkan pemandangan-pemandangan Indah kota eropa saja, Meskipun terkadang dialognya terkesan Preachy tetapi konflik dan adegan klimaks yang sangat memuncak ditengah film berhasil membuat penontonnya terbawa dalam suasana. 


4. RECTOVERSO
Omnibus tentang Cinta yang tak terungkap dibawakan dengan mellow-dramatic dengan editing dinamis. Setiap segmennya akan memikat penontonnya satu sama lain. Diangkat dari novel milik dee berjudul sama dan mengangkat hanya 5 Segmen dengan tema cinta yang sejenis. Meskipun ada beberapa segmennya yang masih lemah, tetapi ini adalah film Omnibus tentang Cinta yang akan membawa suasana galau kepada penontonnya. 


3. 9 SUMMERS 10 AUTUMNS
Diangkat dari novel berjudul sama dan juga merupakan film biopik dari sang penulis novelnya sendiri. Satu-satunya film Indonesia yang mampu membuat saya menitihkan air mata. Sebuah film yang personal tentang sebuah perjalanan asam-manis membangun karir. Dibalut dengan presentasi yang hangat, penuh pesan moral tanpa kesan preachy. 


2. SOKOLA RIMBA
Film sederhana milik Miles Films tentang biopik Butet Manurung yang rela mendedikasikan hidupnya di dunia pendidikan orang-orang suku pedalaman. Sangat sederhana, dengan performa akting yang kuat milik Prisia Nasution. Inilah 2013’s Laskar Pelangi. Sempurna. Indah. 


1.  FINDING SRIMULAT
Film yang mampu memberikan nuansa nostalgia dengan grup lawak Srimulat. Debut milik Charles Gozali ini sangat indah dan terus menempel sepanjang tahun 2013. Sederhana, indah, kuat, dan tentu unsur komedi yang memecahkan tawa. Dua bagian di dalam film yang sangat indah untuk dikenang, Flashmob dengan lagu Lenggang Puspita yang sudah di remix oleh DJ Winky Wiryawan serta pertunjukkan final Srimulat di paruh akhir film itu yang mampu menghasilkan nuansa nostalgia.

Jadi, inilah 10 Film Terbaik versi saya. Sesuai dengan milik anda? Apakah ada yang berbeda.

REKAP
1. Finding Srimulat
2. Sokola Rimba
3. 9 Summers 10 Autumns
4. Rectoverso
5. Laura & Marsha
6. Demi Ucok
7. Cinta Dalam Kardus
8. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
9. Noah : Awal Semula
10. Cinta/Mati

Minggu, 29 Desember 2013

47 RONIN (2013) : PG-13 AMERICAN STYLE SAMURAI

Pernah mendengar sebuah proyek mega budget yang sempat mengalami masalah produksi? Itulah film yang akan dirilis oleh sebuah production hou... thumbnail 1 summary

Pernah mendengar sebuah proyek mega budget yang sempat mengalami masalah produksi? Itulah film yang akan dirilis oleh sebuah production house Hollywood, Universal Pictures. Melibatkan aktor-aktris yang besar seperti Keanu Reeves dan juga Rinko Kikuchi. 47 Ronin adalah proyek milik Universal Pictures yang telah berulang kali diundur dalam perilisannya. Mengalami beberapa kali masalah yang sempat mengancam kelangsungan dari film ini sendiri. Menelan budget yang cukup fantastis karena masalah produksi dan sempat hampir saja proyek ini dibatalkan. Ditangan sutradara Carl Rinsch, film ini pun tetap berlangsung dan ini adalah sebuah film debut oleh Carl Rinsch. 

Kesalahan pertama yang dilakukan oleh Universal Pictures adalah memberikan kepercayaan kepada sutradara Debut dengan proyek mega budget yang sedang dirundung masalah dalam produksi. Hingga bukan malah mega budget itu berlari menjadi sebuah mahakarya fantastis, film ini pun menjadi film yang tak hanya memiliki masalah dalam produksi tetapi juga bermasalah dalam menentukan eksekusi. 


Dibuka dengan perkenalan dari seorang pemuda bernama Kai (Keanu Reeves) yang memiliki darah campuran. Dia dikucilkan dan diremehkan oleh semua orang. Dia diasuh oleh Oishi (Hiroyuki Sanada) sejak kecil. Hingga suatu ketika, kerajaan milik Lord Asano (Min Tanaka) sedang diincar oleh Lord Kira (Tadanobu Asano). Lord Kira bekerja sama dengan Witch (Rinko Kikuchi) dalam melengserkan Lord Asano.

Setelah berhasil melengserkan, seluruh tentara kerajaan Lord Asano pun dicopot dari jabatan. Hingga suatu ketika, Oishi berencana untuk balas dendam kepada Lord Kira. Dia pun mencari semua kerabat-kerabatnya dan menemukan sebanyak 47 yang diajaknya untuk membalas Lord Kira dan merebut kembali Kerajaan Lord Asano. 


An American Style Samurai Movie

Kesalahan besar dan yang paling utama dalam film ini adalah terlalu banyak memasukkan elemen hollywood ke dalam film yang notabene adalah sejarah terkenal milik jepang. Perlu kita tahu bahwa 47 Ronin mengusung cerita dari sebuah sejarah klasik jepang. Sejarah itu pun tentu sudah familiar bagi banyak orang. Tetapi bagaimana Carl Rinsch salah dalam mengambil keputusan dalam eksekusinya, berpengaruh sangat signifikan terhadap kelangsungan cerita dari film ini.

47 Ronin pun kehilangan daya tariknya sebagai film samurai jepang yang pastinya sudah diidam-idamkan oleh penonton saat menilik sinopsis, trailer, bahkan posternya. Carl Rinsch terlalu memberikan bumbu-bumbu Hollywood yang sangat dominan. Bahkan adegan fighting dengan menggunakan samurai pun jatuh dengan choreography yang sangat modern. Sehingga, film yang “based on true story” ini malah merusak cerita asli dari sejarah yang ada.

Tak salah memang, hollywood pernah juga mengacak-acak sejarah milik presiden Abraham Lincoln yang sedang berusaha memburu para vampir. Tapi, cerita itu memang diangkat dari sebuah novel fiksi. Tidak seperti 47 Ronin yang menaruh tulisan “Based On True Story” di dalam filmnya. Pembawaan ceritanya yang terlalu modern dan mengurangi unsur japanese di dalam filmnya ini, berpengaruh besar dengan ceritanya. Terkesan ini adalah sebuah film fiksi original arahan sutradara amerika dengan pengambilan setting tempat di Jepang. Meskipun semua jajaran aktor-aktrisnya pun dominan adalah orang jepang. Tapi malah Japanese taste-nya menghilang. 


Hal lain yang semakin memperburuk performa dari cerita yang ada adalah naskah yang ditulis  menunjukkan berbagai kelemahan dalam penuturannya. Bagaimana penceritaan awal yang tertuju pada sosok Kai yang diperlihatkan akan menjadi center character yang memiliki sepertinya akan memiliki andil besar didalam plot inti di film ini. Sayangnya, karakter tersebut hanya sebuah subplot tempelan yang tak ditampilkan pun sepertinya tak berpengaruh dengan jalannya cerita.

Toh, pada akhirnya spotlightyang awalnya berada pada sosok Kai dan dramtisasinya yang berlebihan itu pun pada akhirnya juga melebur tanpa sisa dan menghilang begitu saja. Apalagi ketika permasalahan hanya fokus terhadap bagaimana para ronin sedang berusaha membalaskan dendam kepada sang musuh. Terkadang muncul ke permukaan dengan tiba-tiba tanpa mungkin sebagai pemanis. Tapi sayang, itu menganggu dan tak perlu muncul dalam film pun juga tidak masalah. Seharusnya, penciutan sudut pandang kepada sosok Kai pun tidak diperlukan malah pendalaman karakter miliknya juga sangat minim. 


Jika anda menekan ekspektasi yang serendah-rendahnya terhadap film ini, mungkin beberapa bagian akan setidaknya menghibur anda. Meskipun, setiap detil kecil plot cerita di film ini sudah umum digunakan dan predictable. Ini jelas sebuah sajian hiburan instan tanpa plot memadai dengan adegan aksi yang tidak seru. Ini film samurai dengan rating PG-13. Ayolah, mana letak serunya? Jika World War Z sukses memberikan plot yang sesak dan dengan tensi yang terjaga yang juga sama-sama minim darah. Tapi, 47 Ronin? Plotnya kendor, tensi hambar, minim darah di banyak adegan fight? Mengurangi rasa greget yang sudah tidak dihadirkan di film ini.

Begitupun dengan jajaran aktor-aktris yang bermain di film ini. Keanu Reeves bermain ala kadarnya. Pun begitu dengan para pemeran pendukung yang lain. Spotlight jelas diambil alih oleh Rinko Kikuchi sebagai pemanis di film ini. Meskipun aktingnya pun terkadang bermain berlebihan, tetapi dia masih mampu menonjolkan sisi jahat dari peran yang dia mainkan. 


Overall, 47 Ronin adalah proyek mega budget dengan berbagai masalahnya. Masalah bukan hanya terletak pada masalah produksinya saja. Tetapi, masalah juga ada dalam hasil akhir dan eksekusi dari sutradara debut, Carl Rinsch. Film tentang sejarah jepang tanpa memberikan rasa jepang yang kental sama sekali di dalam filmnya. 

Minggu, 22 Desember 2013

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK (2013) : HIKAYAT CINTA KLASIK NAN MEGAH

Sebuah Hikayat klasik adalah sebuah tulisan legendaris yang kisahnya tak bisa lekang oleh jaman. Hikayat milik Indonesia memiliki banyak nam... thumbnail 1 summary

Sebuah Hikayat klasik adalah sebuah tulisan legendaris yang kisahnya tak bisa lekang oleh jaman. Hikayat milik Indonesia memiliki banyak nama yang melegenda dengan banyaknya varian cerita. Buya Hamka, penulis hikayat terkenal ditahun 1930-an memiliki banyak karyanya yang melegenda. Salah satu karyanya yang pernah diangkat ke dalam layar lebar yaitu Di Bawah Lingkungan Ka’bah yang disutradarai oleh Hanny R. Saputra.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, menurut salah satu situs ternama dikatakan sebagai sebuah hikayat yang melegenda dan menjadi karya terbaik milik Buya Hamka ditahun 1939. Dari rumah produksi bernama Soraya Intercine Films yang pernah mengantarkan sebuah film hits di tahun 2012 yaitu 5 Cm, mencoba untuk mengulkangi kesuksesan yang pernah dia dapatkan di dalam film adaptasi sebuah novel. Sunil Soraya, menjadi sutradara dari film adaptasi film Buya Hamka ini.


Memiliki cerita cinta dengan unsur adat Minang yang kuat. Zainuddin (Herjunot Ali) berasal dari tanah bugis, Makassar. Ayah Zainuddin berkelahiran di kota Batipuh, Sumatera Barat, dirinya memutuskan untuk merantau dan menuntut ilmu di daerah Sumatera. Di Kota Batipuh, dirinya bertemu dengan kembang Desa bernama Hayati (Pevita Pearce). Zainuddin menaruh hati pada sang kembang desa itu. Tetapi, sayangnya Datuk Hayati tidak menyetujui percintaan mereka karena adanya perbedaan ras di antara mereka karena dianggap menyalahi aturan adat.

Zainuddin pindah ke Padang Panjang untuk menuntut ilmu. Di lain hal, Hayati yang berlibur ke Ujung Pandang untuk berlibur dan berencana untuk bertemu dengan Zainuddin, malah bertemu dengan pemuda kaya bernama Aziz (Reza Rahadian). Aziz mencoba untuk meminang Hayati begitupun dengan Zainuddin. Sang Datuk pun lebih menyetujui pernikahan ini terjadi antara Aziz dan Hayati. Zainuddin mengubur cintanya dalam-dalam, pergi merantau dan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik. Ditengah kesuksesannya itu, dia bertemu lagi dengan permatanya yang hilang, Hayati.


Banyak orang sudah mulai mencibir bagaimana Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini dengan mentah mengadaptasi berbagai unsur film The Great Gatsby milik Baz Luhrmann (dan beberapa titanic-ish). Pasti sudah ada juga  yang membanding-bandingkan film ini produk buatan Hollywood itu. Tetapi, salah lah bagi mereka yang sudah mencibir film itu tanpa menyaksikan filmnya terlebih dahulu. Sangatlah salah, bagi semua orang yang menganggap film ini hasil plagiarisme dari film The Great Gatsby. Mungkin hanya beberapa set-nya saja yang mirip

Menjadi sesuatu yang baru dan berani bagi perfilman Indonesia yang mempresentasikan filmnya dengan durasi yang begitu lama. Menaklukan penonton dengan durasi sepanjang 160 Menit adalah sesuatu yang susah. Terlebih, penonton jaman sekarang yang lebih suka dengan sajian hiburan yang instan dan fast-paced. Dan ketika ekspektasi penonton yang mulai merendah dengan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, maka siap-siap akan terkejut dengan 160 menit dari film in yang akan memikat dan akan mengantarkan kita untuk menikmati roman cinta milik Zainuddin dan Hayati ini.

Perjalanan awal yang terjal masih menjadi kendala bagi film ini dalam memulai ceritanya. Terlihat bagaimana sang sutradara mencoba untuk membangun film ini secara perlahan-lahan. Langkah-langkah tidak teratur ketika introducing terlihat ketika sang sutradara masih ragu untuk membangun karakter Zainuddin di awal. Belum menemukan irama yang tepat untuk menempatkan cerita yang akan diselipkan. Akhirnya di menit berikutnya, Sunil Soraya menemukan irama yang tepat untuk menaruh dan menyesuaikan irama dimana cerita bisa berjalan beriringan dengan pas.


Hikayat cinta yang haru biru

Apa yang dijual oleh Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah sebuah drama cinta haru-biru antara Zainuddin dan Hayati. Adegan tenggelamnya sebuah kapal bukanlah menjadi inti cerita utama yang coba dijual di film ini. Tenggelamnya sebuah kapal hanyalah adegan simbolik dari apa yang terjadi oleh karakter tersebut. Sempat disinggung memang di dalam dialog Hayati yang mencoba untuk memberikan metafora tentang tenggelamnya sebuah kapal meskipun akhirnya itu hanya menjadi sebuah dialog yang tidak ada artinya tanpa disinggung lebih lanjut.

Hikayat cinta klasik antara Zainuddin dan Hayati dengan baik diarahkan oleh sang Sutradara yang mampu menerjemahkan naskah yang ditulis ramai-ramai oleh H. Imam Tantowi, Donny Dhirgantara, dan Rhiheam Junianti. Beruntungnya pula, ketiga penulis ini mampu menerjemahkan hikayat klasik milik Buya Hamka ini yang notabene memliki perbedaan era yang cukup jauh. Pemilihan kata pada dialog-dialognya inilah yang akan mampu memikat penontonnya. Dialog-dialog romantis nan puitis yang akan memikat penontonnya. Tetap menggunakan Bahasa-bahasa kiasan dan kosakata yang baku tetapi indah untuk didengar


Maka, perlahan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan memikat para penontonnya dengan ceritanya. Tak perlu takut untuk merasa bosan saat menyaksikan 160 Menit film ini. Nyatanya, film ini akan berada dalam luar ekspektasi kalian yang sudah mulai memicingkan mata sebelum menyaksikan filmnya. Sebuah romantisme yang kompleks dengan berbagai sindiran-sindiran yang tajam tentang adat yang masih kaku di Indonesia, kesenjangan sosial yang masih memiliki pengaruh penting di kehidupan Indonesia. Meskipun, unsur tersebut hanyalah sebagai subplot sampingan yang nyatanya tidak diusik lagi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck lebih memilih untuk mengeksplorasi cinta milik Zainuddin dan Hayati.

Begitu film ini mulai memiliki kekuatannya yang menjadi sebuah film tearjerker, sebuah musik pengiring yang dibuat begitu megah dan manis dan semakin memperkuat adegan tersebut dengan sangat baik. Nuansa haru biru akan keluar dengan sendirinya tanpa perlu dipaksa. Dan akhirnya, kesalahan scoring yang over the top di film Moga Bunda Disayang Allah yang notabene adalah film mlik Soraya Intercine Films tidak kembali diulang di film ini. Memasukkan musik-musiknya dengan pas di setiap momennya dan memasukkan Soundtrack milik Nidji “Sumpah & Mati Cintaku” yang semakin menambah suasana manis di dalam filmnya.


Suasana haru biru itu semakin diperkuat dengan penggunaan Sinematografi yang mampu menangkap gambar-gambar indah tersebut. Pergerakan kamera yang dinamis mampu mewakili suasana haru biru yang dihadirkan di dalam filmnya. Tetapi, secara teknis pun memiliki sebuah kekurangan yang signifikan. Penggunaan tone color yang sangat biru mengurangi banyaknya warna Indah di dalam filmnya, terutama penggunaan tone itu hanya terjadi di daerah kota Batipuh saja, entah apa yang mau disampaikan dengan tone itu. Belum lagi, coloring-nya yang masih belang di beberapa adegannya.

Pemilihan aktor aktris ternama mungkin bisa dibilang hanya menjadi bagian dari marketing film ini. Salah. Aktor dan Aktris di film ini mampu bermain dengan sangat baik, hanya saja kesalahan terjadi dalam pemeran utama, Zainuddin yang diperankan oleh Herjunot Ali yang merusak suasana haru biru yang harusnya menjadi klimaks. Herjunot Ali looks trying to be a good one, but he still overact and cant blend into the character. Sangat susah untuk tidak tertawa melihat akting Herjunot Ali yang masih over ketika adegan akhir yang harusnya mengharu biru itu. Dia membuat adegan penting di film ini yang bukan untuk melucu tetapi jatuhnya akan membuat penonton tertawa. (setidaknya tersenyum tipis)


Pevita Pearce mampu memikat penontonnya. Ini adalah puncak dari totalitas Pevita Pearce yang ternyata mampu berperan dengan sangat baik. Menjadi seorang kembang desa dengan penggunaan logat minang yang kental tanpa jatuh menjadi kaku dan natural. Tak seperti Herjunot Ali yang terlihat sangat kaku dan dibuat-buat saat melantunkan logat Bugisnya itu. Tak perlu lah kita khawatir dengan performa akting milik Reza Rahadian. Dia tetap melakukan akting yang terbaik yang dia punya. Sebuah bold performance akan jatuh pada Rendy Nidji yang tanpa disangka dia mampu bermain dengan natural sebagai pendatang baru di dunia seni peran. Hebatnya lagi, para aktor-aktris di film ini mampu melantunkan dialog-dialog super panjang dengan kuat. Tak jatuh menjadi overlayaknya 5 Cm.

Overall, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tanpa disangka menjadi sebuah film Hikayat Cinta klasik yang mampu mengikat penontonnya di dalam 160 menit yang disajikan. Berbagai kekurangan jelas masih menghampiri film ini terutama pada departeman aktor pemeran utama yaitu Herjunot Ali yang mampu mengurangi esensi film ini secara signifikan. Diluar kekurangannya, inilah hikayat cinta haru biru yang disajikan begitu berkelas dan megah.

Jumat, 20 Desember 2013

THE HOBBIT - THE DESOLATION OF SMAUG (2013) : ANOTHER UNEXPECTED JOURNEY (WITH HFR 3D REVIEW)

Peter Jackson, sekali lagi mengangkat pesona Middle Earth di layar lebar. Dari Trilogi Lord Of The Rings (LOTR) , kita bisa tahu bahwa peson... thumbnail 1 summary

Peter Jackson, sekali lagi mengangkat pesona Middle Earth di layar lebar. Dari Trilogi Lord Of The Rings (LOTR), kita bisa tahu bahwa pesona dari universe tersebut memang tidak bisa terelakkan lagi. LOTR sendiri diangkat dari buku milik J.R.R Tolkien dan buku miliknya memiliki satu buku dengan cerita sebelum banyaknya konflik dari LOTR terjadi atau bisa dibilang Prekuel. The Hobbit, buku yang akhirnya diangkat oleh Peter Jackson untuk mengembalikan rasa nostalgia kepada para fans dari Universe Lord Of The Rings.

The Hobbit dibagi menjadi 3 jilid, suatu keputusan yang mungkin bisa dianggap kontroversial memang. An Unexpected Journey sudah dirilis tahun lalu, tahun ini Desolation of Smaug dirilis dan menjadi cerita perjalanan bagian kedua sebelum akhirnya akan melewati garis finish di seri ketiganya There And Back Again yang akan dirilis tahun depan. 


Melanjutkan cerita dari An Unexpected Journey, Bilbo Baggins (Martin Freeman) dan para 13 Kurcaci sedang melanjutkan lagi perjalanannya menuju Erebor. Dimana disana dia akan mengambil batu bernama arkenstone. Tetapi, banyak sekali hambatan yang lebih banyak dihadapi oleh Bilbo dan 13 Kurcacinya. Tak hanya berhadapan dengan Orc, dia juga bertemu dengan banyak sekali rintangan. Tak hanya bertemu dengan laba-laba raksasa di hutan Mirkwood.

Mereka akhirnya bertemu dengan Suku Elf yang melucuti senjata mereka yang dipimpin oleh Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lily). Setelah itu, mereka mencoba meloloskan diri dan akhirnya sampai pada Lonely Mountain dan harus berhadapan dengan naga besar bernama Smaug (Benedict Cumberbatch) yang menghancurkan istana milik Dwarves ini. 


And the journey begin again.

Di jilid kedua dari The Hobbit ini, Peter Jackson seperti menebus kesalahannya dari seri pertama dari Unexpected Journey. Menelisik dari An Unexpected Journey yang slow-paced menceritakan berbagai latar belakang cerita dari banyak karakter yang ada di film ini dengan detail. Meskipun cerita yang slow-paced itu menurut saya sangat engaging di durasinya yang sangat lama. Sehingga kita bisa menikmati berbagai keindahan milik Middle Earth. Maka, Cerita dari The Desolation of Smaug ini memiliki pace yang cepat meskipun tetap dengan durasi panjangnya yaitu 160 Menit. Yap, dengan buku yang tidak seberapa tebal itu, Peter Jackson membaginya menjadi 3 Jilid dengan masing-masing jilid berdurasi 160 hingga 165 menit.

The Hobbit : Desolation of Smaug akan memuaskan banyaknya penonton umum yang akhirnya menginginkan banyak adegan aksi yang penuh fantasi dengan visual effects yang grande di layar lebar. Sehingga menurut mereka, itu akan membayar lunas tiket yang sudah mereka bayar. The Hobbit memang sejatinya bukan memiliki cerita yang kompleks layaknya Trilogi Lord Of The Rings. Saya menyukai The Hobbit : Desolation of Smaug yang akhirnya memberikan banyak side effects nostalgia dengan universe Lord Of The Rings terlebih pada bagian Kemunculan suka Elf terutama karakter Legolas.

Jika, An Unexpected Journeymengalami pengembangan karkater yang begitu dalam meskipun jatuhnya memiliki cerita yang lambat, maka The Desolation of Smaug memiliki masalah lain. Karakter-karakter di jilid kedua ini masuk terlalu banyak. Sehingga, karakter-karakter yang ada di film ini terkesan masuk tanpa tujuan pasti di dalam filmnya. Para elves yang masuk di dalam The Desolation of Smaug ini pun masih memiliki perkembangan cerita yang akhirnya setengah-setengah. 


To be honest, as a audience, Even both of The Hobbit series still makes me mesmerize, but I Choose An Unexpected Journey than The Desolation of Smaug. Cerita yang ada di film ini sedikit memiliki kekacauan yang akhirnya mengurangi intens-nya cerita dari The Hobbit sendiri. Memang, Desolation of Smaug lebih memiliki adegan aksi dengan intensitasnya yang luar biasa. Membuat kita akan duduk tenang dan menyaksikan segala adegan aksi yang divisualkan menarik oleh Peter Jackson. Tetapi sayangnya, a little bit rush comes into the story.

Beberapa subplot cerita yang ada mungkin untuk menambah intensitas dramanya. Tapi sayangnya, hal itu menjadi seperti dipaksakan hanya untuk memenuhi syarat 160 menit durasinya yang lama. Cerita cinta segitiga antara Tauriel, Kili, dan Legolas yang harusnya sepertinya tak adapun tak akan mengurangi atau mengubah esensi ceritanya secara keseluruhan. Banyaknya karakter di film ini tak lantas membuat semuanya memiliki spotlight satu satu dan mendapatkan tugasnya masing-masing. 


Ketigabelas kurcaci yang ada di film ini dari awal jilid rasanya tak sampai dekat dengan penonton dan akhirnya mengenal mereka satu-satu. Hanya Thorin, Kili dan Fili yang rasanya mendapat banyak screening time ketimbang yang lain. Begitu pun sosok Bilbo di film ini rasanya juga semakin blur. Karena saya seperti merasakan Peter Jackson akhirnya mencoba untuk memberikan spotlight lebih kepada para elves dan Legolas yang sebenarnya tak mengambil andil yang cukup signifikan kepada isi cerita tersebut.

Disegala kekurangannya itu, rasanya Peter Jackson sudah berusaha untuk mengembalikan kepercayaan para fans universe LOTR dengan The Hobbit jilid kedua ini. Memang, The Hobbit tidak memiliki cerita yang se-kompleks milik LOTR. Tapi, bagaimana Peter Jackson tetap bisa mengeksplorasi dan mengikat penontonnya dalam 160 menit ini patut diacungi jempol. Tetap bisa menikmati setiap menit dalam film ini tanpa merasakan lamanya durasi yang ada di dalam film ini. 


Karena Peter Jackson tetap mampu membangun segala tensinya yang pelan-pelan hingga akhirnya memuncak di akhir film dan meninggalkan bekas akhir yang cliffhanger (yang lebih cliffhanger lagi ketimbang An Unexpected Journey). Apalagi dengan visual yang eye-popping ditambah dengan format 3D yang disajikan dalam format HFR atau High Frame Rate(yang tidak disangka ternyata dirilis di Indonesia tanpa pemberitahuan). Serta voice over milik Smaug yang ternyata diisi oleh aktor ternama yaitu Benedict Cumberbatch. 


Overall, The Hobbit : The Desolation of Smaug adalah jilid kedua dari cerita Trilogi The Hobbit. Tetap memiliki sebuah cerita yang mengikat dan bagus. Tetapi, sedikit kekacauan menjadi kendala di dalam ceritanya. Beberapa bagian terasa dipaksakan untuk ada meskipun tak mengambil peran penting dalam keseluruhan cerita. Dengan cerita yang lebih fast-paced dan adegan aksi yang pastinya lebih memukau, The Hobbit : The Desolation of Smaug tetap memikat. 


The Hobbit memberikan terobosan baru dalam format 3D yang diberikan kepada setiap filmnya. Menggunakan format HFR atau High Frame Rate yaitu 48 Frame Per Seconds yang membuat kita akan merasakan Middle Earth dengan lebih real dan lebih bening. Mari saya rangkumkan.

BRIGHTNESS
 
Kecerahan The Hobbit : Desolation Of Smaug dalam format 3D terasa lebih gelap. Sehingga tak mendapatkan cerah dan bagusnya middle earth layaknya An Unexpected Journey

DEPTH
 
Kedalaman yang begitu bagus dan membuat kita akan merasakan Middle-Earth berada di depan mata kita.

POP OUT
 
Tidak memberikan Pop Out yang signifikan. Meskipun sekalinya Pop Out itu berinteraksi dengan sangat baik dengan penontonnya dan beberapa adegan pop out yang tidak terlalu gimmicky dan stay classy 


Dengan teknologi mutakhir milik The Hobbit : Desolation of Smaug dalam memberikan experience 3D, rasanya sangat disayangkan jika akhirnya kita memilih format 2D saja saat menikmati setiap menit berada dalam Middle-Earth. Meskipun efeknya, HFR atau High Frame Rate akan memberikan efek pusing yang lebih karena interaksinya yang cukup baik dengan mata penontonnya. Serta menghasilkan gambar sehalus video game dan terasa nyata. Jadi? Kenapa tidak dicoba saja dalam bentuk HFR 3D.

Rabu, 11 Desember 2013

SOEKARNO (2013) : SUMMARY OF SOEKARNO'S LIFE

Mengangkat perjalanan pemimpin negeri dalam sebuah film adalah formula yang berhasil mengajak banyak orang untuk menyaksikan filmnya. Kita a... thumbnail 1 summary

Mengangkat perjalanan pemimpin negeri dalam sebuah film adalah formula yang berhasil mengajak banyak orang untuk menyaksikan filmnya. Kita ambil contoh Habibie & Ainun, meskipun tidak sepenuhnya biopik tentang presiden Habibie yang sedang membangun negaranya. Tetapi ada romansa cinta antara beliau dengan sang ibu negara yang dicintainya. Menarik penonton hingga 5 Juta penonton dan menjadikan film ini sebagai salah satu film terlaris tahun lalu dan beberapa tahun terakhir.

Hanung Bramantyo, sosok sutradara yang sudah memiliki banyak karya dan ikut andil dalam meramaikan perfilman Indonesia. Film-film miliknya memang bisa dibilang segmented. Ada yang terpuaskan dengan karyanya, dan ada juga yang tidak merasa puas dengan filmnya. Film biopik bukan menjadi hal baru dalam perjalanan karir Hanung Bramantyo. Dalam Sang Pencerah, dia telah mengangkat biopik milik pendiri Muhammadiyah. Maka, tak heran jika akhirnya Hanung Bramantyo ditunjuk menjadi pemimpin untuk mengarahkan sebuah film perjalanan Bung Karno dalam memerdekakan Indonesia. 


Seperti kita tahu, Bung Karno adalah sosok yang sangat berjasa dalam negeri ini. Merelakan hidupnya bersusah payah untuk memerdekakan Indonesia. Sudah sering dalam pelajaran Sekolah Dasar, kita mendengarkan cerita-cerita sejarah Soekarno saat berjuang memerdekakan Indonesia. Maka, ceritanya kurang lebih sama dengan pelajaran yang kita dapat. Soekarno (Ario Bayu) saat kecil memiliki nama Kusno. Kusno sering terkena penyakit saat itu hingga akhirnya beliau berganti nama menjadi Soekarno. Soekarno kecil (Emir Mahira) sejak kecil sudah belajar berpidato untuk membakar semangat anak negeri dalam membela penjajah Belanda.

Ketika sudah beranjak dewasa, beliau menikah dengan Inggit (Maudy Kusnaedi). Ketika Belanda sudah mulai dikalahkan oleh negara Nippon atau Jepang, Indonesia semakin sengsara. Banyak sekali pertumpahan darah. Soekarno mencoba untuk mencari cara bagaimana negara Indonesia bisa melepaskan diri dari Jepang. Dengan bantuan dari Moh. Hatta (Lukman Sardi), beliau mencoba untuk memerdekakan Indonesia. Masalah tak hanya datang dari Indonesia dan penjajah saja, Masalah pribadi Soekarno juga memiliki masalah. Dimana, Soekarno mencintai seorang murid dari Bengkulu bernama  Fatmawati (Tika Bravani). Hal ini membuat rumah tangganya dengan Inggit berantakan. 


Apa yang disajikan oleh Hanung Bramantyo dalam 145 menitnya ini adalah semua rangkuman dari segala bentuk perjuangan dari Soekarno. Kehidupanya saat melawan penjajah Belanda, Jepang, dan juga masalah kehidupannya sendiri. Tetapi, bagaimana Hanung mencoba merangkumkan segala kehidupan milik Bung Karno dalam film biopiknya kali ini terkesan ambisius. Soekarno terjebak dalam penceritaannya yang serba minimalis. Pembangunan suasana yang rasanya terkesan biasa saja. Tidak jelek memang, tetapi akhirnya fokus cerita itu terbagi-bagi. Kurang memberikan suatu yang menggetarkan yang harusnya bisa dibangun dengan baik lagi.

Ketika permasalahan utama film Soekarno sendiri adalah bagaimana susahnya perjuangan dari bung Karno dalam memerdekakan negara Indonesia. Subplot lain yang diselipkan di film ini membuat banyak sekali suasana yang harusnya bisa dijalin kuat akhirnya berjalan biasa saja dengan lemah. First act film inilah yang paling lemah, pengenalan banyaknya konflik kepada penontonnya membuat film ini terkesan terlalu sesak. Sehingga, banyak subplot-nya yang malah terkesan dipaksakan untuk ada. Banyak adegan-adegan yang berjalan ala kadarnya tak lebih dari sekedar penyesak durasi. Bukan untuk menjelaskan apa yang terjadi. 


Soekarno dalam dua era wanitanya.

Bukannya mencari satu fokus cerita yang bisa diceritakan dengan baik, Hanung rasanya terlalu ingin membuat film Soekarno menjadi sebuah cerita undercover dari sosok Soekarno terutama dalam hal wanita dibalik kesuksesannya saat mencapai kemerdekaannya. Film ini seperti menjadi dalam dua babak kehidupan Soekarno dengan dua wanita yang berbeda. Inggit dan Fatmawati. Sayangnya, karakter Inggit muncul begitu saja tanpa cerita pendukungnya. Hingga mungkin, beberapa dialog ditengah film saat konflik antara Soekarno-Inggit muncul cukup membuat bertanya-tanya ada apa sebenarnya antara Inggit dan Soekarno saat dulu terutama bagi penonton yang tidak mengetahui sejarah dibalik perempuan-perempuan milik bung Karno.

Pembagian dua era Soekarno dengan dua wanita yang berbeda ini cukup membuat film ini terasa episodik. Ketika sudah dalam era Soekarno-Fatmawati, sosok Inggit sudah tidak diangkat lagi. Mungkin benar, jika Hanung akhirnya mengurangi kefokusan dalam filmnya. Tetapi, sosok Inggit yang tiba-tiba dimunculkan dalam episode Soekarno-Fatmawati. Meskipun tak ada jalinan kontak langsung, akhirnya menimbulkan rasa penasaran dengan sosok Inggit lebih lanjut. Subplot tentang wanita milik Bung Karno dan problemanya inilah yang mungkin bisa berjalan beriringan tetapi beberapa konfliknya terkesan asal tempel tanpa emosi yang kuat. 


Film Soekarno rasanya berjalan straight-forward dengan cara penceritaannya yang terlalu modern. Tanpa ada kekuatan lain yang bisa mengiringi berbagai adegannya yang harusnya bisa disajikan kuat itu. Mungkin paruh ketiga dari Soekarno inilah yang bisa membangun suasana film dengan baik. Suasana proklamasi yang penuh haru biru dan semangat itulah yang mungkin akan disukai oleh banyak orang di filmnya. Tak salah, jika Hanung membuat film ini lebih Pop dengan tujuan agar bisa dinikmati berbagai macam orang.

Film Soekarno berjalan dengan timeline sejarah yang tidak seberapa kentara, membuat film ini semakin pop. Perjalanan Soekarno berjalan dengan begitu saja. Bukan menengok beberapa unsur sejarahnya yang mungkin bisa dijadikan pemuda sebagai cara instan untuk mengetahui beberapa detail sejarah di film ini. Membuat filmnya dapat dicerna segampang mungkin oleh para penonton, Mungkin. Tetapi, Bukankah banyak peristiwa penting di sekitar perjuangan Bung Karno sesungguhnya yang mestinya harus diperhatikan lebih detail lagi? 

Apa yang ditakutkan ketika awal trailer filmnya muncul adalah sosok Ario Bayu dalam memerankan Soekarno. Kurang mendapatkan kharismanya saat itu. Tetapi, Ario Bayu ternyata mampu memerankan dan mendapatkan kharisma dari sosok Soekarno. Begitupun dengan jajaran aktor-aktris lainnya. Maudy Kusnaedi, Tika Bravani, Lukman Sardi berhasil memerankan karakternya masing-masing. Kekuatan film Soekarno ada pada performa akting dari para pemainnya. Begitu kuatnya performa dari aktor-aktrisnya tak pelak menjadi sesuatu hal yang bisa diunggulkan dari segala kekurangan film Soekarno sendiri.


Teknisnya, penggunaan tone color vintage yang rasanya digunakan terlalu berlebihan. Rasanya ingin membangun nuansa 40’s di dalam filmnya, tetapi mengurangi brightness dan ketajaman gambarnya itu sendiri. Editing yang mungkin benar tetapi dengan cerita yang jumpy di awal film membuat lemah first act dalam film ini. Belum lagi penggunaan musik yang over the top dan norak. Beberapa bagian akan terasa khidmat jika disajikan dalam keadaan hening. Serta musik saat tentara jepang datang yang dibuat begitu oriental (?)


Beruntung, Soekarno masih memiliki Production Value yang digarap tidak setengah-setengah. Suasana-suasana tahun 40 yang bisa disajikan dengan baik dengan kualitas sinematografi milik Faozan Rizal yang juga bagus. Footage-footage kuno saat era Soekarno diselipkan dalam film ini sebagai penguat rasa nasionalisme dalam filmnya. Adegan 15 Menit terakhir saat akan melakukan Proklamasi akan berhasil membuat semua orang merinding apalagi diperkuat dengan penggunaan Footage Suara asli milik Bung Karno saat pembacaan Proklamasi.

Overall, Soekarno adalah film ambisius milik Hanung Bramantyo yang mencoba untuk merangkum semua peristiwa penting kehidupan Bung Karno. Sayangnya, dengan mencoba merangkum semua cerita sejarah yang ada, malah membuat film ini berjalan seperti biasa dan tidak berhasil membangun suasananya dengan baik. Tetapi, ini adalah film yang tetap wajib untuk ditonton. 

Senin, 09 Desember 2013

THE COUNSELOR (2013) : LOST IN TRANSLATION PHILOSOPHY

Ridley Scott , tahun lalu telah menyapa kita dengan film science fiction miliknya dengan judul Prometheus . Dia pernah berhasil menyajikan s... thumbnail 1 summary
Ridley Scott, tahun lalu telah menyapa kita dengan film science fiction miliknya dengan judul Prometheus. Dia pernah berhasil menyajikan science fiction terobosan baru kala itu yaitu Alien. Di tahun ini, beliau merilis sebuah film baru dengan genre lain yaitu The Counselor yang disesaki dengan banyak aktor-aktris terkenal yang terlibat di dalam filmnya.


Seorang Konselor (Michael Fassbender) menjalani sebuah penjualan barang ilegal yaitu narkoba dengan Reiner (Javier Bardem). Reiner memiliki seorang wanita yang sangat luar biasa bernama Malkina (Cameron Diaz). Seorang konselor tersebut berusaha dengan baik untuk menjalankan transaksinya tapi naas, ketika semua strategi hancur karena transaksinya gagal.

Westray (Brad Pitt) sudah memberikan peringatan kepada Sang Konselor agar tidak jatuh dan gagal saat melakukan transaksi. Karena sekalinya gagal, dia akan berurusan dengan banyak orang yang berbahaya. Bukan hanya berbahaya untuk dirinya sendiri, tetapi juga berbahaya untuk tunangannya yaitu Laura (Penelope Cruz) 


An empty story in every minutes

Memiliki banyak sekali orang-orang yang tangguh dalam bidangnya masing-masing bukan berarti film yang diproduksi itu akan memiliki hasil yang baik. Seperti contoh Man of Steel, memang film ini akan terasa segmented. Ada yang memujinya, tetapi ada pula yang tidak menyukainya. Tetapi dengan rating di sebuah situs yang hanya 55 % itu sepertinya banyak kecewa. Nama-nama seperti Christopher Nolan, David S. Goyer, dan Zack Snyder yang sudah memiliki kemegahan nama masing-masing itu sepertinya hanya sebuah tempelan agar banyak orang akan melirik pada proyek milik DC tersebut.

Begitupun dengan film terbaru milik Ridley Scott ini. Memang, karya-karya milik Ridley Scott masih tidak terlalu stabil dalam memberikan hasil akhir kualitasnya. Tetapi, sutradara film legendaris Alien ini sudah memiliki reputasi yang sangat tinggi juga. Begitupun dengan scriptwriter kaliber oscar, Cormac McCarthy yang pernah ikut andil dalam film No Country For Old Menini. Belum lagi jajaran aktor-aktris papan atas itu yang semakin mewarnai film The Counselor.

The Counselor pun mengikuti jejak Man of Steel dalam hasil akhirnya. Nama-nama yang sudah tangguh dalam bidangnya itu pun hanya sebuah tempelan dalam filmnya. Karena The Counselor menjadi sebuah film yang lost in translation in every aspect. Apa yang dilakukan oleh Ridley Scott dalam film ini hanya untuk membuat semua adegannya memiliki konflik rumit tentang transaksi narkoba ilegal. Tetapi, Ridley Scott salah menerjemahkan apa yang ditulis oleh Cormac McCarthy. 


Sebuah dialog penuh dengan filsafat yang mungkin akan memberikan metafora di dalam setiap adegan dalam filmnya. Alih-alih ingin memberikan sebuah kontemplasi, tetapi unsur filsafat yang ada di dalam film ini hanya sekedar dijejalkan tanpa ada arti berlebih. Tidak ada koneksi yang relevan dengan cerita yang diusung di filmnya. Mungkin iya, sebuah filsafat tentang kehilangan yang akan berkoneksi langsung dengan sang sutradara yang baru saja ditinggal oleh sang kakak. Serta filsafat-filsafat tentang agama yang juga masih diangkat oleh Ridley Scott.

Sebuah filsafat kosong dengan alur cerita yang abstrak. The Counselor hadir dalam presentasi 115 menit berjalan tanpa cerita. Dengan alur yang slow-paced, sedikit adegan aksi, and lot talk about nothing relevant with the story. Dengan berusaha mencernanya pelan-pelan, rasanya The Counselor memang dalam kondisi yang lemah. Menyaksikan gambar demi gambar bergerak tanpa adanya rasa apapun. Ridley Scott sedang bersenang-senang dengan filmnya? Saya rasa tidak. Toh, The Counselor memiliki tone cerita yang gelap. Lantas? Ada apa dengan Ridley Scott? 


All-Star Parade wasted talents.

Lalu, dengan 115 menit itu apa hal yang setidaknya bisa diharapkan? Tentu nama-nama terkenal dari film ini yang menjadi daya tarik utama penonton saat akan masuk ke dalam bioskop. Michael Fassbender, Cameron Diaz, Penelope Cruz, Cameron Diaz, dan Brad Pitt. Sekumpulan bintang-bintang dengan nama yang tangguh dalam dunia akting. Mereka seperti sebuah kamuflase Ridley Scott agar bisa menutupi filmnya yang lemah itu.

Beruntunglah, jajaran cast itu mampu bermain sempurna dan kuat. But, A big bold performance goes to Cameron Diaz. Cameron Diaz berhasil menjadi scene-stealer di dalam filmnya. Wajah dingin dan tato macan tutul di sekujur tubuhnya itu lah yang menarik perhatian penonton. Michael Fassbender, seperti biasa. Melakukan tugasnya dengan baik terutama adegan terakhir film dengan performa aktingnya yang menggetarkan itu. Brad Pitt, dia cocok menjadi karakter yang tidak heroik seperti di film ini. Pria slengekan yang pernah kita temui di film Fight Club. Yah, dia punya kharisma. Hanya Penelope Cruz yang rasanya bermain biasa saja. Bukan jelek, hanya saja Ridley Scott menaruh dirinya sebagai pemanis film. Wanita baik-baik yang mungkin adorable


Setidaknya, jajaran akting itulah yang mampu membayar lunas uang yang sudah dibeli untuk menyaksikan film ini. Serta adegan seperti [spoiler] how to cut brad pitt’s head and how cameron diaz f*** herself with a car [end of spoiler] di film ini yang setidaknya memberikan sajian indah meskipun kenyataanya dalam 115 menit harus menahan betapa lambat dan kosongnya cerita milik The Counselor. 


Overall, The Counselor hanyalah sebuah film dengan tone gelap dan slow-paced milik Ridley Scott dengan bumbu filsafat tanpa koneksi di dalam filmnya. Film yang lost in translation diberi tambahan intrik yang dikira akan memberikan konflik yang lebih kompleks tetapi gagal. Setidaknya, parade cast mampu melunasi uang yang dikeluarkan untuk tiket film ini. 
ads