Kamis, 31 Oktober 2013

REVIEW + 3D REVIEW - THOR : THE DARK WORLD

Marvel Cinematic Universe sudah memasuki fase keduanya. Dimulai dari Iron Man 3 yang sudah di rilis April lalu. Kali ini, giliran Avengers ... thumbnail 1 summary
Marvel Cinematic Universesudah memasuki fase keduanya. Dimulai dari Iron Man 3 yang sudah di rilis April lalu. Kali ini, giliran Avengers Assemble selanjutnya yaitu Thor yang mendapatkan giliran untuk mendapatkan film spin-off menuju The Avengers 2 tahun 2015 nanti. Alan Taylor di tunjuk untuk menjadi sutradara sekuel Thor kali ini. 
 


Aether adalah sesuatu yang berbahaya yang di simpan di dunia gelap milik Malekith. Hingga suatu saat, Jane Foster (Natalie Portman) tidak sengaja masuk ke dalam dunia gelap tersebut karena terbawa oleh portal yang di bumi yang terhubung pada dunia itu. Jane pun tak bisa mengontrol Aether yang ada di dalam tubuhnya. Thor (Chris Hemsworth) pun membawanya ke Asgard. 

Thor berusaha untuk menyembuhkan Jane. Hingga akhirnya, Asgard pun harus di hancurkan oleh pasukan milik Malekith yang sedang memburu Aether yang berada di dalam tubuh Jane. Karena Malekith mempunyai rencana jahat dengan menggunakan Aether tersebut.

Much much better than it first series. Moving, superb, and super cool.
Marvel Cinematic Universeadalah sebuah perjalanan yang seru untuk di ikuti. Phase 1 sudah di tutup dengan The Avengers. Phase 2 pun di mulai dari Iron Man 3 yang cukup menghibur meskipun juga cukup mengecewakan saya. Thor, di Phase 1 menurut saya film ini adalah universe yang paling biasa dan lemah ketimbang yang lain. Meskipun saya tetap suka dengan Thor seri pertama, tapi presentasinya yang terlalu biasa itulah yang membuat saya tidak menaruh hypeapapun kepada seri kedua film ini. 

Ketika trailer muncul, Thor sudah menampilkan banyak sekali hal-hal yang menarik untuk di simak. Tapi, saya tidak mau akhirnya menelan pahitnya kekecewaan karena presentasi Traileryang sangat bagus. Iron Man 3 dan Man of Steel contohnya. Yah, dua film itu cukup mengecewakan saya. Maka, kali ini saya sangat berhati-hati dalam menaruh ekspektasi dari sebuah trailerfilm. Saya tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sama. 

Thor : The Dark World, judul dari sekuel film Thor ini ditangani oleh sutradara film tv series yang terkenal yaitu Game of Thrones. Maka, Thor : The Dark World lebih terasa unsur kolosalnya. Mengingat Thor di ambil dari mitos dewa. Alan Taylor mampu mengarahkan Thor tidak se-pop seri pertamanya. Unsur Asgard Universe-nya begitu kental dengan gaya pembawaan dan tone cerita yang memang sangat terlihat begitu klasik dan pas dengan mitos dewa milik Thor. Yap! Thor : The Dark World ternyata berada di tangan yang tepat.


Jika di film Iron Man 3 kita akan di bawa ke cerita Tony Stark without power, lain hal dengan Thor : The Dark World. Sekuelnya tetap berada di dalam pakem cerita yang tidak terlalu di rubah terlalu banyak. Ceritanya tetap menyajikan unsur film yang begitu menyenangkan, membuat saya sering mengumpat karena naluri fanboy superhero movieyang keluar saat menyaksikan film ini. Mungkin jalan ceritanya yang tak selalu straight to the point. Beberapa pemanis cerita di tuangkan di film ini dan tidak out of control layaknya Iron Man 3 dalam pemberian plot twistnya. 

Plot Twist film ini semakin menambah keasyikan konflik ceritanya. Berbeda dengan film Thor yang pertama yang hanya memiliki satu konflik yang lurus-lurus saja. Banyak sekali unsur-unsur yang tidak terduga di film Thor : The Dark World kali ini. Bukan hanya dari segi cerita yang membuat saya mengumpat terus-terusan, tapi juga cameo di film ini yang juga semakin membuat saya mengeluarkan naluri fanboy saya ketika menonton film Thor : The Dark World kali ini. Bukan hanya Stan Lee yang selalu tampil narsis di setiap film dari komiknya. Tapi ada cameo lain yang membuat saya girang.


Alan Taylor memang bisa di bilang sangat berhasil mengarahkan film ini menjadi sebuah film superhero yang akhirnya membuat semua orang termasuk saya terhibur. Tidak malah seperti Iron Man 3 yang malah membuat saya kesal. Tapi, Kevin Feige as Producer still have a big portion to control this movie. Dia masih berperan penting dalam kelangsungan film Thor : The Dark World. Meskipun kita masih bisa merasakan style Alan Taylor dalam film ini. Tapi, Kevin Feige masih menjaga style Marveldi film Thor : The Dark World and its in a good way

Thor : The Dark World memiliki porsi yang pas antara joke, aksi, dan drama di film ini. For Your Information, Thor : The Dark World pun pernah sesekali di kontrol oleh Joss Whedon selaku sutradara The Avengers. Maka tak salah, jika kita bisa menemukan jokes komikal ala Whedon yang di selipkan di tengah-tengah konflik yang di bangun serius. Meski begitu, jokes itu bisa jadi penawar dan penambah keasyikan film Thor : The Dark World sendiri. 

Bukan hanya menonjolkan jokedan aksi saja. Ada unsur drama yang juga movingdi dalam film ini. Golden moment di film ini pun juga banyak. Upacara funeral yang sangat dibawakan begitu dramatis juga menjadi scene favorit di film Thor : The Dark World ini. Serta masih banyak adegan-adegan lain yang juga moving yang tidak bisa saya ceritakan. Yes! Watch it by yourself and you’ll find it and feel it. Because Thor : The Dark World is super cool, superb, and much good words i give to it. 

Finally, I found a superhero movie which not dissapoint me
Marvel Cinematic Universe Phase 2 sepertinya mencoba agar filmnya memiliki tone yang hampir sama. Jika kita di tilik lebih lanjut, sepertinya Thor : The Dark World dan Iron Man 3 memiliki kesamaan konflik. The trouble comes to their girls. Yap, Pepper Potts dan Jane Foster benar-benar ikut terlibat dengan masalah milik superhero pujaan mereka. Bila Extremis yang masuk ke tubuh Pepper Potts, maka Aether lah yang masuk ke dalam tubuh Jane Foster. Konflik milik mereka bisa di katakan lebih personal di Marvel Cinematic Universe Phase 2

Thor : The Dark World akhirnya mengembalikan kepercayaan saya kepada Marvel Cinematic Universe Phase 2. Dimana opening dari universe phase 2ini di kecewakan oleh Iron Man 3dengan pembawaan ceritanya yang serba memanusiakan superhero dan lebih fokus ke pesta armor-nya milik Tony Stark. Lain hal dengan Thor yang malah tidak saya ekspektasikan apapun tapi hasilnya malah membuat saya sangat girang saat menyaksikan film ini.


Banyak sekali kekecewaan yang terjadi di summer Movies terutama pada film superhero. Man of Steel yang sudah membuat saya girang untuk ditunggu dan ternyata harus berakhir dengan kekecewaan. Begitu pula dengan Iron Man 3. Semua film superhero yang di rilis di Summer telah memberikan sajian film superhero yang kosong tanpa nyawa menurut saya. But, thanks on this Winter i found a superhero which is not dissapoint me. Jika bertanya mengenai CGI atau Visual effect di film Thor ini, Marvel ataupun Hollywood tidak pernah main-main bukan jika sudah di singgung soal hal satu itu. 

Big Damage, Visual yang hebat tentu menjadi jualan utama film superhero. Tapi, bold point di sini yang membuat film Thor : The Dark World berbeda dengan seri yang pertama yaitu bagaimana tone dan style dari Alan Taylor benar-benar mempengaruhi visual film ini. Warna-warna yang digunakan juga memilih yang terasa unsur Kingdom-nya sehingga sangat berpengaruh pada cerita film ini. Yap, seperti yang sudah saya bilang di paragraf atas, unsur asgard dan kemegahannya sangat terasa kental di banding film pertamanya.


Chris Hemsworth dan Natalie Portman masih di gunakan di film keduanya kali ini. Mereka tetap bermain seperti biasanya. Tom Hiddleston as Loki. Bagaimana gaya santai miliknya seperti mencuri semua spotlight di dalam film ini. Rene Russo as Frigga atau Ratu Asgard yang memiliki wibawanya dan keanggunannya. Begitu pula dengan Anthony Hopkins sebagai Raja Asgard atau Odin. Serta masih banyak pemain pembantu lain yang setidaknya meramaikan film ini.


Overall, Thor : The Dark World adalah perjalanan Marvel Cinematic Universe Phase 2 yang sangat terhibur. Alan Taylor benar-benar tahu bagaimana mengarahkan film ini meskipun Kevin Feige masih mengontrol style milik Alan Taylor sehingga tetap memiliki style milik Marvel. Thor : The Dark World pun mengembalikan kepercayaan saya kepada MCU Phase 2 dan Film superhero yang sudah mengecewakan saya tahun ini. Well, Best superhero movie this year goes to it. 
 PS : jangan lewatkan dua credit title setelah mid-credit dan akhir credit title.
 Thor : The Dark World pun di konversi dalam format 3D layaknya Iron Man 3. Maka saya akan menuliskan review format 3Dnya bagi anda.

BRIGHTNESS
Kecerahan film ini sangat berpengaruh saat di saksikan dalam format 3D. Lebih gelap daripada biasanya apalagi pemilihan warna film ini yang juga lebih gelap.

DEPTH
Kedalaman yang cukup bagus mengingat Thor : The Dark World adalah hasil konversi 3D.

POP OUT
Tak terlalu banyak adegan pop out disini. Mungkin hanya beberapa kali yang terasa. Tapi, setidaknya tidak sejelek pop out Iron Man 3 yang tidak bisa memanfaatkan apapun di filmnya.
 
Mungkin tidak ada yang spesial jika kita menyaksikan film ini dalam format 3D. Toh, tidak ada efek 3D yang begitu signifikan. Thor : The Dark World mungkin memanfaatkan format 3D hanya untuk menarik perhatian penonton. Tapi sayangnya, Format 3D tidak seberapa disukai oleh sebagian besar penonton karena merasa pusing saat melihatnya. Tapi, mengingat harga tiket yang sudah sama antara format 2D dan 3D apa salahnya di coba. Well, the choice is in yours.

Selasa, 29 Oktober 2013

REVIEW - MACHETE KILLS

Robert Rodriguez, sutradara dengan gaya film yang nyentrik kembali dengan sekuel dari filmnya yaitu Machete. Machete Kills , judul bagi sek... thumbnail 1 summary
Robert Rodriguez, sutradara dengan gaya film yang nyentrik kembali dengan sekuel dari filmnya yaitu Machete. Machete Kills, judul bagi sekuel dari film tersebut. Tetap menggunakan Danny Trejo sebagai pemeran utama dari film ini dan banyak cast-cast lain di film ini yang meramaikan sekuel dari film Robert Rodriguez’s Machete ini.


Machete (Danny Trejo) kembali lagi dalam sebuah misi. Dia di utus oleh sang Presiden (Charlie Sheen) untuk menangkap seorang gembong narkoba. Awalnya dia tidak mau, tapi karena sang kekasih, Sartana (Jessica Alba) juga di bunuh oleh kelompok tersebut, dia pun menangkap dan mengejar gembong narkoba tersebut yang ternyata membawanya ke seorang pengusaha kaya bernama Voz (Mel Gibson)

Machete pun dibantu oleh banyak rekannya untuk menangkap gembong narkoba dan Voz yang sedang merencanakan sesuatu jahat ke luar angkasa.

A Trashy and disturbing style by Rodriguez
Robert Rodriguez memang memiliki gaya film yang nyentrik. Banyak sekali film-filmnya yang mempunyai visualisasi gila-gilaan. Mungkin salah satu contoh karyanya yang pernah saya tonton adalah Sin City. Visualisasi aneh yang di balut dengan banyak gore scene di filmnya. Hitam Putih dan hanya menunjukkan satu warna merah yang mencolok. Tapi bisa di bilang, gaya nyentrik-nya yang cenderung norak itu pun menjadi kekuatan tersendiri dari Robert Rodriguez. 

Machete karya milik Robert Rodriguez ini pun menambah daftar panjang miliknya dimana film miliknya yang tetap memiliki visual sinting. Saya belum pernah menonton film pertama dari seri Machete. Tapi, banyak sekali orang menantikan sekuel dari film ini karena katanya filmnya yang seri pertama menampilkan banyak hal gila-gilaan dengan gaya yang unik seperti film-film milik Robert Rodriguez seperti biasanya. 

Machete Kills, sebenarnya saya tidak tertarik dengan film itu. Tapi, mengingat hype dari film pertamanya yang begitu besar jadi saya pun memutuskan untuk setidaknya mencoba film keduanya. Mengingat gaya-gaya Robert Rodriguez yang unik layaknya Sin City dan saya cukup menyukainya. Machete Kills pun tetap mengusung gaya-gaya trashy milik Rodriguez dan melakukan banyak tribute-tribute di filmnya. Apalagi, fake trailer di opening film ini yang membuat saya tertawa dan disturbing secara bersamaan. 


Machete Kills memang jauh dari kata bagus. Tapi banyak hal yang membuat saya setidaknya menikmati apa yang disajikan oleh Robert Rodriguez di film keduanya ini. Pace cerita ini memang sangat berantakan. Ceritanya yang sangat cepat di awal. Ceritanya cukup simple dengan banyaknya visualisasi yang trashy sering di tampilkan demi menutupi banyak plot-plot bolong yang tersebar di film ini. Ini bukan tipe film popcorn yang akan disukai oleh banyak orang. Film ini akan menjadi sebuah film personal bagi yang menyukai genre-genre seperti ini.

Jokes yang ditampilkan mungkin lebih ke arah black comedy. Tidak semua orang akan tertawa dengan guyonannya. Adegan-adegan berdarah yang menjijikkan itu akan menjadi sebuah orgasm bagi penikmat hal-hal itu. Tapi, sayangnya LSF memotong banyaknya unsur ‘kesenangan’di film ini. Adegan-adegan gore itu di potong. Mengurangi kesenangan-kesenangan yang ada di film ini. Karena kekuatan utama film Machete Kills adalah adegan-adegan tersebut. Bukan berada di dalam ceritanya yang memberikan sesuatu yang lain. 


Plot milik Machete Kills memang terlihat kemana-mana. Terlebih, ketika banyaknya karakter-karakter yang satu persatu memenuhi layar film ini. Berusaha semua mendapatkan screening time yang sama terkecuali Machete yang, well,pemeran utama jadi otomatis memiliki screening time yang lebih dominan. Terlihat, Rodriguez mulai kewalahan bagaimana cara semua karakter disini terkesan memiliki peran penting satu sama lain serta menimbulkan masalah yang berkesinambungan. Tapi, malah konflik itu saling menumpuk dan membuat film ini kacau.

Belum lagi third act film ini yang Meh. Sehingga semakin memperparah kualitas dari Machete Kills sendiri. Mungkin itu sebuah tribute bagi space adventure movie theme sehingga third act dari Machete Kills ini terlihat sangat eksperimental untuk filmnya sendiri. Tapi, mengingat film ini yang dibuat bukan untuk sebuah film fantasy, maka Machete Kills sangat menganggu di bagian akhirnya. Mengurangi segala kenikmatan perjalanan Machete yang lebih menggunakan Mobil, motor bahkan 
sebuah tank menjadi perjalanan menggunakan spaceshipdan berbagai hal science-fictionlainnya. 

An utter and dumb ways to get some fun.

Saya belum pernah menyaksikan film pertama dari Machete. Tapi, saya terhibur dengan film kedua dari Machete yang mungkin memiliki banyak sekali kekurangan di filmnya. Unsur-unsur trashy-nya yang disajikan di film ini membuat saya menikmati dan menertawakan unsur-unsur itu. Bisa dibilang adegan-adegan dumb yang di sajikan di film ini menjadi kekuatan tersendiri bagi film Machete Kills. Hal yang dumb itulah yang membuat saya menikmati film Machete.

Sebuah sajian instan nan bodoh yang pastinya membuat saya tertawa terbahak-bahak. Belum lagi adegan berdarah-darah yang setidaknya sangat enjoyable meskipun kesenangan itu jadinya terbatasi oleh Lembaga Sensor Film. Yap. Mereka sangat tidak asyik. Jadi bisa dibilang ini adalah film yang di luar logika manusia. Tidak usah kita memutar otak kita dan menanggapi film ini dengan serius. Saksikan saja yang ada tanpa perlu memikirkannya dan dapatkan kesenangan yang berbeda. 


Danny Trejo yang menjadi frontman di film ini. Yap, sosok Machete yang kuat, gagah, angkuh, dan dingin berhasil dia bawakan dengan baik. Terkadang mirip dengan sosok AA Gatot di film Azrax. Penampilan Michelle Rodriguez yang selalu tampil sebagai wanita badass seperti biasanya. Amber Heard yang sangat bitchy ini yang membuat saya terpaku menatap layar saat ada dirinya. So yes, for the surprise, Lady Gaga being a bad-bad-villain-bitch. Ternyata dia memang bisa akting.


Overall, Machete Kills bukanlah film yang bagus. Bahkan, cenderung menjadi sesuatu yang sangat buruk yang pernah disaksikan. Tapi, kebodohan-kebodohan itulah yang membuat film ini menjadi sebuah film hiburan yang instant dan menyenangkan untuk di lihat. It’s totally another Rodriguez’s madness. 
 

Sabtu, 26 Oktober 2013

REVIEW - ABOUT TIME

Tahun ini, film drama romance sangat jarang di buat. Mungkin Before Midnight sekaligus penutup trilogi Before . Maka dari sutradara film Lo... thumbnail 1 summary
Tahun ini, film drama romance sangat jarang di buat. Mungkin Before Midnight sekaligus penutup trilogi Before. Maka dari sutradara film Love Actually, Richard Curtis, film drama romance dengan sedikit imbuhan Science Fiction dengan judul About Time. Film ini pun di rilis seminggu lebih awal di Indonesia ketimbang di US. 


Tim (Domhnall Gleeson) adalah seorang anak laki-laki dari sebuah keluarga. Dia di beritahu oleh sang ayah (Bill Nighy) bahwa keturunan lelakinya akan memiliki sebuah keistimewaan dimana dia bisa kembali ke waktu sebelumnya. Dia pun mencoba beberapa kali hal tersebut ketika sedang dalam hal yang kurang beruntung terutama masalah wanita.

Dia pun bertemu dengan seorang wanita bernama Mary (Rachel Mc Adams). Dia menaksirnya sampai suatu ketika dia hampir melewatkannya. Tetapi, dia menggunakan kelebihannya itu untuk mendapatkan Mary hingga akhirnya dia menikah. Hingga akhirnya, dia menemukan masalah di dalam keluarganya. Tapi, kelebihan milik Tim tidak bisa menghalangi masalah itu. 

A Sweet time-travel romance movie. 
Richard Curtis, sosok ini sudah berpengalaman dalam menghasilkan film-film dengan tema romance. Meskipun dia hanya pernah menyutradarai di film Love Actually yang sangat saya sukai itu. Tapi, namanya tetap ada di beberapa film-film dengan genre serupa sebagai seorang screenwriter. Contoh film-film yang pernah di tulis olehnya adalah Notting Hill serta Dwilogi Bridget Jones Diary. Tema-tema serupa dengan setting british yang sudah menjadi hook bagi sosok Richard Curtis.

Maka kali ini, dengan bantuan nama-nama seperti Rachel McAdams, Domhnell Gleeson, dan Bill Nighy yang meramaikan film terbarunya yang berjudul About Time. Sebuah drama komedi romantis seperti film-film Richard Curtis lainnya. Tapi ada beberapa hal yang membuat film ini setidaknya berbeda. Unsur science-fiction dan time travel yang digunakan di film ini. About Time pun menjadi salah satu film Romance Comedy yang lovable dalam list saya.

About Time, memang menjalin cerita yang cliche dan sweet seperti kebanyakan film romance biasanya. Tapi, Richard Curtis selalu bisa membangun drama-drama itu dengan baik. Cerita-cerita ringan yang di balut sangat lovable dan unyu. Sehingga menarik untuk di ikuti hingga akhir film ini. About Time pun masih memiliki berbagai kekurangan di balik semua unsur Romance-nya yang berhasil dibangun di film ini. Di awal cerita, beberapa plotnya masih berjalan ke segala arah.


About Time seperti tak tahu bagaimana memulai ceritanya. Terlihat sekali, awal konflik film ini masih berjalan kesana kemari meskipun akhirnya cerita tersebut juga di gunakan ketika konflik lain yang ada di tengah film ini. But to be honest,  konflik itu hanya sebagai cerita sampingan yang tidak seberapa memberikan pengaruh besar kepada film ini. Pace film drama, memanglah sedikit melambat. Tapi, saya sangat menikmati 120 menit milik About Time ini tanpa merasakan kantuk meskipun saya menyaksikan film ini di midnight show

Tapi setelah melewati first actfilmnya yang sedikit tidak fokus, maka kita akhirnya diberikan sajian film drama romance yang sangat bisa membuat saya tersenyum. Itulah kekuatan Richard Curtis dalam memberikan treatment kepada filmnya. Dia mampu mempresentasikan sebuah drama romance comedy yang sangat bisa di nikmati. Perjalanan cinta menembus waktu meski tidak senekat Ruby Sparks dalam eksplorasi Science Fiction-nya. Tapi, About Time masih memiliki cerita romance yang fresh bagi saya.


About Time pun masih terlihat malu-malu dalam presentasinya. Mungkin maksud Richard Curtis tidak ingin membuat About Time  menjadi drama romance yang rumit. Tapi, lebih menunjukkan segala romance dan komedinya yang lebih di film ini. Sehingga beberapa penjelasan di film ini mungkin akan menyisakan berbagai plot hole tentang time travelnya yang tersebar di setiap adegannya. Tapi, cerita-cerita itu tak bisa menghalangi setiap momennya yang indah.

Banyak momen-momen indah yang bisa ditangkap oleh Richard Curtis. Sisi Romance antara Tim dan Mary terpancar jelas di layar. Membuat saya terpaku dan menikmati semua jalinan cerita di film ini. Atmosfir-atmosfir indah yang ada di film ini mampu membuat saya memberikan sebuah senyum simpul dari awal film ini hingga akhir film. Entah, senyum itu menyimpul sendiri ketika segala suasana yang mampu di bangun oleh Richard Curtis ini terpancar di setiap adegannya.

   
Not always talked about Romance. This one also has heartwarming father-son drama. 
Bagusnya, film ini pun tak hanya menyajikan drama romance saja. About Time juga masih memiliki drama keluarga tentang hubungan ayah-anak yang tak kalah bagusnya. Sisi sentimentil penonton pun tak di berikan ke cerita romance-nya yang terlalu menye-menye, tapi malah di berikan ke bagian drama father-son relationship yang juga di bangun baik oleh Richard Curtis di film ini. Memberikan suasana hangat bagi film ini.

Maka, About Time bukan menjadi film yang tak hanya cocok di tonton oleh muda-mudi yang berpasangan saja. Tapi juga pas untuk menghabiskan waktu dengan orang yang kita sayang, bukan hanya pacar melainkan keluarga ataupun ayah kita. Dan jika menonton dengan keluarga, pastikan tak ada anggota keluarga yang di bawah umur kala menonton film ini. Karena masih banyak adegan-adegan di luar bagian father-son relationship yang vulgar di dalamnya.

Banyak sekali pelajaran berharga yang kita dapatkan dari film ini. Even we get an ability to travel in time and fix our mistakes and doing something that we like again, but there's a time that we must allowed that moment to let go. Banyak sekali momen-momen indah yang menyentuh di film ini. Membuat kita senyum, tertawa, dan sekaligus sedih. Perasaan yang di campuradukkan di sinilah yang membuat saya begitu menyukai menikmati slow pace dari film About Time ini. 


Pembawaan momen-momen yang indah itu pasti juga tak terjadi jika tak ada cast yang bermain mumpuni di dalam filmnya. Rachel McAdams, tak perlu khawatir dengan performanya jika sudah bermain di dalam sebuah film Romance. Dia memang ratunya. The Notebook, The Vow, serta masih banyak lagi. Wajahnya mampu memberikan pemanis lain di dalam setiap adegannya bahkan di poster film ini. Senyum simpulnya manis sekali.

Belum lagi, dia bisa memberikan chemistryyang kuat dengan lawan mainnya Domhnall Gleeson. Mereka mampu memberikan nyawa terhadap hubungan mereka yang unik. Tom Hughes pun mampu menjadi sosok Tim yang minder saat berada di dekat wanita. Dia mampu mengekspresikan mimik gugup dan suasana nerd yang bagus saat memainkan karakter Tim di film About Time ini. Belum lagi, chemistry bagus lainnya dengan Bill Nighy. Father-son relationship yang di presentasikan begitu baik di film ini.


Technically, gambar-gambar indah mampu ditangkap oleh Director of Photography di film ini. Mampu mengambil momen-momen sweet di film ini. Wedding Ceremony di film ini, tertangkap begitu bagus sehingga saya tertawa gembira kala menyaksikan adegan tersebut. Belum lagi, soundtrack-soundtrack yang menghiasi film ini. Muncul di setiap adegannya dengan tepat. Pemilihan soundtrackyang bagus dan manis semakin menambah nilai plus film ini.


Overall, About Time adalah sebuah film perjalanan cinta dengan bumbu time travel yang di bungkus dengan sangat manis. Meski masih terlihat kurang fokus di awal film, serta masih malu-malu yang menimbulkan plot hole. Tapi, About Time adalah sebuah packaging romance dan drama father-son relationship yang sangat enak untuk di ikuti. My Favorite, My Guilty Pleasure. Lovable.

Kamis, 24 Oktober 2013

REVIEW - ESCAPE PLAN

Dua aktor laga legendaris yaitu Arnold Schwarzenegger dan Sylvester Stallone berada di dalam satu frame. Setelah keduanya memiliki standalon... thumbnail 1 summary
Dua aktor laga legendaris yaitu Arnold Schwarzenegger dan Sylvester Stallone berada di dalam satu frame. Setelah keduanya memiliki standalone movie masing-masing yaitu The Last Stand untuk Arnold dan Bullet To The Head untuk Sylvester. Escape Plan, menjadi film duet mereka yang di sutradarai oleh Mikael Hafstrom.


Ray Breslin (Sylvester Stallone) adalah seorang yang ahli dalam bidang keamanan sebuah penjara. Dia mencoba seluruh penjara yang ada dan menemukan titik lemah dari penjara tersebut. Dia pun merilis buku yang berisi kelemahan-kelemahan dari penjara-penjara yang pernah dia coba dan kabur dari penjara tersebut. Suatu ketika, dia mendapat tawaran untuk mencoba meloloskan diri dari The Tomb yang juga sebuah penjara.

Setelah sampai disana, dia tahu bahwa Ray sedang di jebak oleh seseorang. Akhirnya, dia harus mencari partner untuk bisa meloloskan diri dengannya. Akhirnya dia bertemu dengan Emil Rottmayer (Arnold Schwarzenegger). Mereka pun mencari cara untuk lolos dari The Tomb

Different escape adventure from jail. Cool!
Siapa yang tak kenal si Terminator, Arnold Schwarzenegger dan si Rambo, Sylvester Stallone? Semua orang pasti tahu dan hampir menyukai mereka. Film-film aksi nonstop mereka sangat ditunggu-tunggu penonton. Khususnya orang Indonesia sendiri juga sangat menantikan aksi-aksi dari mereka. Tahun Lalu, mereka sempat berada di satu layar dengan beberapa aktor laga lainnya di film The Expendables 2. Tahun ini, setelah mereka merilis film-film Stand-alone mereka,  akhirnya mereka di pertemukan di dalam satu layar di film terbarunya.

Mikael Hafstrom pun di tunjuk menjadi sutradara dari film terbaru mereka. Escape Plan, judul dari film mereka yang awalnya berjudul The Tomb. Mikael Hafstrom sendiri lebih berpengalaman menangani film-film horor. 1408dan The Rite adalah judul terkenal yang pernah dia tangani. Escape Plan bisa di bilang sebuah film dengan konsep yang berbeda. Petualangan yang dia berikan juga berbeda. Tak seperti kebanyakan film-film aksi milik Arnold atau Sylvester lainnya.

Apa yang ditawarkan oleh Escape Plan ini tak hanya menjadi film aksi-instan saja. Escape Plan ini juga di isi dengan cerita-cerita yang rumit tapi enak untuk di ikuti. Bukan hanya film yang “pokoknya banyak aksi dan ledakan”. Bagaimana Escape Plan ini mampu memberikan sebuah adventure yang berbeda. Perjalanan menyelematkan diri dari penjara yang asyik dan tak hanya memikirkan adegan aksinya saja. Penonton juga akan di ajak untuk berpikir dan ikut menelusuri setiap adegan-adegannya yang penuh misteri di film ini.


Terlihat benar bahwa Mikael Hafstrom lebih sering menangani film horor. Tone yang di sajikan dalam ceritanya ini memang lebih kelam. Unsur-unsur misterinya lebih terasa. Maka benar, jika Escape Plan lebih mengutamakan misteri tiap misteri di dalamnya. Sangat menyenangkan bagi saya yang tidak seberapa menyukai film-film aksi yang instan. Escape Plan pun mampu menjadi sebuah film yang thought-provoking yang membuat saya terpaku menatap layar dalam menyaksikan rentetan adegan-adegannya.

Tapi, bukan berarti Escape Plan sudah benar-benar sempurna. Meski begitu masih terlihat jelas kekurangan-kekurangan dari film ini. Terlihat benar Escape Plan sangat asyik di dalam Skenarionya yang ditulis berdua oleh Jason Keller dan Miles Chapman. Mereka mampu menyusun misteri tiap misteri yang ada di layar dengan baik. Tapi, problem ada pada sang sutradara yang terlihat kewalahan dalam menginterpretasikan setiap misteri yang ada di dalam skripnya dengan baik. Terlihat sekali Mikael Hafstrom masih kewalahan dengan film ini.


Banyak sekali hint-hint di dalam film ini tersampaikan setengah-setengah. Hafstrom mampu membangun karakter Ray Breslin dengan baik sebenarnya. Tapi, ketika berada di tengah dengan sudut pandang konflik yang sudah mulai meluas, Hafstrom pun mulai kewalahan dengan membangun sosok Ray Breslin ini. Banyak sekali cerita yang tersampaikan setengah-setengah. Menyisakan sisa-sisa pertanyaan yang masih belum terselesaikan dengan baik.

Pun begitu dengan berbagai misterinya. Pace yang sudah konsisten di awal ini sudah mulai terasa terulur ketika sudah berada di tengah menuju akhir film ini. Ketika tiba-tiba semua susunan misteri dan teka-teki sudah mulai terkumpul tapi agak melambat dan akhirnya membaik. Penuturan yang di hajar cepat membuat penonton awam yang belum terbiasa akan merasa kewalahan dengan film ini. Tapi, rasa asyik tetap terasa saat menyaksikan film ini.

A Dynamic Duo Schwarzenegger-Stallone
Ketika aktor laga legendaris ini berada di filmnya masing-masing, terlihat kegaduhan yang banyak terjadi di filmnya. Apalagi jika mereka berdua berada di satu frame? Sudah bisa tahu kan? Kegaduhan model apa yang bakal terjadi. Mereka akan membuat kita merasa terhibur dengan film ini. Adegan tiap adegan akan terasa sangat menyenangkan. Terutama bagi saya yang tidak suka dengan sosok Sylvester Stallone di setiap filmnya.

Mereka mampu membangun chemistryyang bagus di film ini. Membuat sebuah dynamic duo yang berhasil. Maka, jangan salahkan Riot yang terjadi akan lebih massive ketimbang film-film stand alone mereka. Saya sangat menyukai Arnold Schwarzenegger di film ini. Menjadi sosok Rottmayer yang slengekan tapi cukup mematikan. Gokil. Sylvester Stallone menjadi sosok yang pintar dan diam. Yah, karakter mereka saling melengkapi satu sama lain di film ini. Jadi tak salah.

Beberapa pemain pendukung seperti villaindi film ini yaitu Jim Caviezel yang menjadi sosok Hobbes dengan senyumnya yang tenang tapi mematikan. Serta nama Curtis ’50 Cent’ Jackson yang bermain singkat. Yah, mungkin dia bisa di bilang hanya sebagai pemanis. Faktor lain yang mungkin akan mendongkrak film Escape Plan ini sendiri. Amy Ryan sebagai Abigail, Istri Ray Breslin. Satu-satunya aktris yang ada di film ini.


Overall, Escape Plan bukan sekedar film aksi yang instan. Film ini akan mengajak penontonnya untuk berpikir dengan film ini. Misteri-misteri yang ada di susun dengan baik meskipun Mikael Hafstrom terlihat sangat kewalahan dalam mengarahkan setiap misterinya sehingga beberapa bagian masih terlihat mentah. Ini adalah sebuah pelarian dari penjara yang berbeda. Fun and Cool! 

Selasa, 22 Oktober 2013

REVIEW - CAPTAIN PHILLIPS

Kisah pembajakan kapal di lautan Somalia di angkat ke layar lebar. Paul Greengrass menangani film adaptasi dari kisah nyata tersebut. Menc... thumbnail 1 summary

Kisah pembajakan kapal di lautan Somalia di angkat ke layar lebar. Paul Greengrass menangani film adaptasi dari kisah nyata tersebut. Menceritakan Captain Phillips yang di perankan oleh Tom Hanks, aktor yang sudah beberapa kali masuk Academy Awards nominee


Phillips (Tom Hanks) adalah seorang kepala kapal Amerika yang sedang bertugas untuk mengirimkan pasokan makanan. Ketika sedang dalam perjalanannya, di tengah laut Somalia dia harus di hadang dan di serang oleh perompak dari Somalia. Muse (Barkhad Abdi) adalah kepala perompak yang sedang membajak kapal milik Phillips.

Phillips pun harus dengan sekuat tenaga memutar otak mereka agar dirinya dan awak kapal mereka selamat dan tidak menjadi tawanan dari sekumpulan perompak somalia tersebut. Berbagai cara di lakukan oleh Phillips sebelum bala bantuan datang kepadanya. 

A intense and breathtaking thriller
Paul Greengrass sudah banyak sekali mendapatkan banyak pujian dalam membuat sebuah film. Sebut saja Trilogi mata-mata paling keren yaitu The Bourne Trilogy yang sangat intense dan menarik tersebut. Kali ini, dia kembali dengan film terbarunya. Kali ini dia tak lagi bekerja sama dengan Matt Damon melainkan aktor lama yaitu Tom Hanks. Tom Hanks sendiri sudah berkali-kali riwa-riwi masuk ke dalam Nominasi Academy Awards serta dia pernah berhasil membawa piala oscar dalam kategori best Actor.

Captain Phillips adalah projek milik mereka berdua. Diangkat dari kisah nyata yang juga di adaptasi ke sebuah novel berjudul A Captain’s Duty : Somail Pirates, Navy Seals, and Dangerous Days at Sea yang di tulis sendiri oleh Sosok asli dari sang kepala kapal, Captain Richard Phillips. Bagi kebanyakan orang serta saya yang tak pernah sesekali mencari tahu, saya mengira Captain Phillips adalah sebuah drama biopic kaliber oscar. Well, ini adalah sebuah perjalanan seru dan mendebarkan di tengah kejadian perompakan oleh perompak somalia terhadap kapal milik Amerika.

Tapi bukan berarti Captain Phillips adalah film aksi dan thriller yang kacangan. Kalian salah, naskah yang di tulis oleh Billy Ray ini punya cerita yang di tulis olehnya dengan baik. Tak hanya itu, treatment selanjutnya dan cara Paul Greengrass menginterpretasikan naskah milik Billy Ray berhasil dengan baik di sajikan ke dalam filmnya. Sebuah sajian yang membuat saya sekali lagi menahan nafas saat menyaksikan sebuah film di dalam bioskop. Setelah Gravity, maka Captain Phillips masuk ke dalam top list saya kali ini. 


Sangat menyenangkan ketika mengikuti semua kejadian perompakan yang terjadi di dalam film ini. Karena Paul Greengrass mampu mempresentasikan semua kejadian itu dengan baik. Membawa kita masuk ke dalam film itu. Merasakan rasa mendebarkan yang juga terjadi saat Captain Phillips sedang menjadi korban perompakannya kala itu. Tak perlu basa-basi menceritakan siapa itu Captain Phillips dan lain sebagainya. Toh, luas sudut pandang film ini juga berkutat pada bagaimana Richard Phillips dan awak kapalnya selamat dari serangan perompak somalia.

Maka, cerita siapa itu Captain Phillips serta Para Perompak Somalia yang di ceritakan singkat tapi sangat efektif sehingga kita masih bisa memahami siapa mereka. Di awal durasi, film ini masih terlihat tenang-tenang saja. Tapi, ketika durasi sudah mulai bertambah rasa thrillingitu semakin bertambah. Durasi sekitar 135 menit ini terasa cukup singkat karena Greengrass mampu mempermainkan suasana film ini dengan baik. Ada kalanya, tensi ketegangan itu menurun sesuai dengan isi cerita di dalamnya. 


Permainan tensi yang dilakukan oleh Greengrass ini sangat efektif. Membuat kita akhirnya selalu terpaku di depan layar tanpa memperdulikan durasinya yang cukup panjang untuk film seperti ini. Kita pasti akan menunggu hal apa yang terjadi selanjutnya. Perasaan kita akan di permainkan oleh Greengrass. Rasa deg-degan, gregetan dan yang lainnya yang mampu membuat kita fokus ke depan layar perak tanpa sesekali menengok ke gadget yang kita bawa atau ke arah lainnya.

Film ini menggunakan kamera celluloid. Tapi dengan tingkat sensitivitas dengan cahaya yang cukup tinggi. Sehingga saat menyaksikan film ini, kita akan merasakan gambar tersebut terlihat grainy. Terlihat banyak bintik-bintik putih di gambarnya. Mungkin, bagi sebagian orang, gambar menggunakan kamera celluloid akan membuat mereka senang. Tapi, saya merasakan hal lain. Cukup menganggu saya dengan kualitas gambar yang hasilnya kurang jernih. Tapi, saya akan mencoba untuk mempelajari keindahan adegan-adegan yang ditangkap dengan kamera tersebut. 

Another well-acted cast on movies. Tom Hanks always did a good job.
Akhir-akhir ini, sepertinya saya sedang menyaksikan parade akting dari aktor-aktor sebuah film yang bermain dengan bagus. Daniel Bruhl di film Rush, Hugh Jackman di film Prisoners. Maka, kali kali ini giliran Tom Hanksyang juga menjadi salah satu aktor-aktor yang sedang bermain sangat prima di filmnya. Tapi, tidak ada yang meragukan performa dari Tom Hanks memang. Dia sudah pernah mendapatkan trophy best Actor di Academy Awards.

Tom Hanks memang menjadi highlightutama dari film ini. Namanya yang di tulis standalonedi posternya seperti memberitahu kepada calon penonton bahwa jualan utama Captain Phillips adalah Tom Hanks. Tom Hanks memang memiliki screening time banyak. Bahkan hampir seluruh durasi ada pada dirinya yang memang menceritakan dirinya sebagai Richard Phillips. Dengan sesekali di selipi adegan bersama Barkhad Abdi sebagai Muse, sang kepala perompak. Dia mampu memerankan sosok Richard Phillips yang sangat berwibawa. Yap, Tom Hanks’s act-ability never get older. Tom Hanks tak pernah mengecewakan saya di dalam setiap filmnya. Dia selalu bisa menguasai layar. 


Tom Hanks bermain sangat bagus di film ini meskipun tak sebagus dirinya di film The Forrest Gump. Tapi, disini dia mampu memainkan mimiknya dengan baik. Adegan favorit saya ketika dia sedang di evakuasi, dia bermain dengan optimal sehingga menimbulkan suasana haru yang sangat kuat. Hampir saya meneteskan air mata saat menyaksikan adegan itu. Tom Hanks mampu mengintepretasikan keketiran di wajahnya dengan sangat bagus.

Maka, tak salah jika Captain Phillips berada di top list saya menyusul Gravity, Prisoners serta Rush. Karena Captain Phillips membuat saya merasakan experience yang bagus ketika menonton sebuah film di dalam bioskop. Rasa deg-degan dan gusar yang saya rasakan ketika menonton film ini. Permainan tensi yang sangat bagus sekali oleh Greengrass dan berhasil menurut saya. 


Overall, Captain Phillips bukanlah sebuah biopik kaliber oscar tapi bukan berarti tidak memiliki cerita yang bagus. Sebuah film yang rasa breathtaking dan thrilling yang sangat intense ini mampu membuat kita gusar di dalam studio dan ikut merasakan apa yang terjadi. Tom Hanks always give a great performance. His act-ability never get older. Well, one of my top list movie. 

Rabu, 16 Oktober 2013

REVIEW - THE BUTLER

Tema rasis memang sering di gunakan oleh sineas Hollywood untuk membuat suatu karya. Lee Daniels kali ini mencoba untuk mengangkat tema ini ... thumbnail 1 summary
Tema rasis memang sering di gunakan oleh sineas Hollywood untuk membuat suatu karya. Lee Daniels kali ini mencoba untuk mengangkat tema ini ke dalam sebuah film semi biopic tentang kepala pelayan berkulit hitam. The Butler adalah judul yang di gunakan oleh Lee Daniels di film terbarunya kali ini.
 

Cecil Gaines (Forest Whitaker) adalah seorang anak dari penjaga kebun. Ayahnya meninggal di tembak pemilik kebun dan Ibunya menjadi gila karena mengalami trauma pernah di perkosa oleh pemilik kebun. Akhirnya Cecil pun di ajari oleh seorang wanita tua bernama Annabeth (Vanessa Redgrave) untuk menjadi seorang pelayan.

Akhirnya setelah dewasa, dia pun berkelana mencari pekerjaan. Dia pun berpindah-pindah. Dari menjadi pelayan sebuah toko, lalu menjadi pelayan di sebuah hotel bintang lima, dan akhirnya dia di rekomendasikan menjadi Kepala Pelayan di Istana Negara milik Amerika. Dia pun mendedikasikan penuh dirinya selama berpuluh-puluh tahun di tempat itu. 

Another Colored-skin racism story
Kulit hitam serta konflik-konfliknya sering sekali di angkat oleh sineas hollywood ke dalam sebuah gambar bergerak di layar. Tema-tema rasisme itu sepertinya masih menjadi suatu hal yang bisa diangkat dan mencuri perhatian banyak orang. Crash, film yang juga bertema rasisme itu pun masih bisa mencuri para juri Academy Awards dan menobatkan film itu menjadi Best Picture di tahun 2004. Tiap tahunnya, banyak film nominee Best Picture Academy Awards yang memiliki tema tentang orang kulit hitam dan tema rasisme kepada orang kulit berwarna.

The Help dan Django Unchained contohnya. Pengangkatan tema tentang Colored-skin peopledengan treatment yang berbeda. The Help lebih mengarahkan film ini menjadi Drama melankolis dan penuh tangis haru. Django Unchained lebih menuju sebuah film Spaghetti Western dan lebih gila. Mereka menjadi dua film favorit saya. Lee Daniels pun mengangkat tema yang sama tapi dengan sentuhan biopictentang seorang Kepala Pelayan yang juga berkulit hitam.

The Butler sendiri di ambil dari kisah nyata. The Butler tidak seperti The Help yang di sadur dari novel. Tapi, treatment mereka memiliki kesamaan. Membawa film ini menjadi film drama melankolis yang penuh inspirasi. Tapi sayangnya, saya lebih menyukai film The Help ketimbang The Butler. Dari segi kisah, kita akan menyaksikan berbagai konfliknya yang biasa saja. Beberapa perlakuan dari sang sutradara yang membuat film ini malah terkesan biasa saja meskipun ini jelas film ini sangat ‘Academy Awards’ dan bisa masuk ke dalam nominasi. 


Penuturan Lee Daniels untuk film ini masih kurang tertata jika saya boleh bilang. Awal film ini, sangat di ceritakan dengan begitu cepat. Tanpa ada penjelasan yang lebih lagi terutama keluarga dari Cecil sendiri. Konflik-konfliknya terjadi begitu cepat di awal film. Lee Daniels seperti masih kurang total dalam menggarap film ini. Sehingga film Biopic ini masih berjalan setengah-setengah. Malah banyak side story nya yang terlihat tidak nyata untuk menjadikan film ini menjadi film biopic.

Saya seperti masuk ke dalam dunia fiksi layaknya The Help. The Butler masih kurang bisa menggali lebih dalam lagi siapa itu Cecil. The Butler lebih ke konflik Cecil dengan Keluarganya. Dengan penokohan yang sedikit ngeblur tentang Cecil sendiri yang notabene adalah karakter utamanya. Banyaknya karakter-karakter di film ini yang masih diperhatikan juga. Daripada memilih satu karakter utama yang benar-benar di gali lebih dan terfokus. Itulah kelemahan The Butler. 

Hit and Miss moment and Forest Whitaker makes this movie better.
Karena penggarapan yang menurut saya masih setengah-setengah, banyak sekali momennya yang kadang mengena dan kadang tidak. Karena ada beberapa momennya yang mampu menyentuh hati penontonnya kala menyaksikan film ini. Tapi ada juga yang akhirnya juga gagal. Karena cerita yang di tuturkan masih kurang membangun momennya. Penuturan ceritanya yang kurang baik dan terkesan terburu-buru itulah yang akhirnya membuat momen mengharukan yang inginnya di tampilkan oleh Lee Daniels pun gagal di sajikan.

Maka, yang berhasil memberikan momennya adalah Forest Whitaker yang memerankan karakter Cecil dengan baik. Dia terlihat total dan bermain dengan bagus menjadi sosok Cecil, Kepala Pelayan yang bertugas dengan penuh tanggung jawab. Sepertinya, Forest Whitaker setidaknya akan masuk ke dalam nominasi Oscar dalam Best Actor tahun ini. Permainan mimik dan bagaimana dia mendalami sosok Cecil inilah yang mampu mengangkat semua momen haru biru di adegan film ini. 


Untuk cast-cast yang lain, Oprah Winfrey juga melaksanakan tugasnya dengan baik. Meskipun saya sangsi dia akan mendapatkan nominasi. David Oyelowo yang juga menjadi sorot banyak di banyak konflik film ini juga masih bermain bagus. Nama-nama lain seperti Terrence Howard, James Marsden, Alan Rickman, dan John Cusack mampu bermain menghiasi layar dan membuat film ini berwarna. Serta penampilan singkat Alex Pettyfier dan Mariah Carey hanya pemanis saja di film ini.

Sukanya, The Butler pun memberikan penggambaran-penggambaran yang asyik tentang periode kepemimpinan banyak Presiden Amerika. Inilah yang membuat saya setidaknya menikmati film ini. Periode-periode dari presiden Amerika seperti John F. Kennedy, Richard Nixon, Ronald Reagan dan yang lainnya menjadi presentasi menarik. Memperlihatkan keadaan-keadaan pemerintahan yang mencoba untuk mengatasi perseteruan antara white-skin people dengan colored-skin people di Amerika yang memang sering terjadi. 


Overall, The Butler adalah sebuah film Biopic yang tidak jelek tapi tak juga bagus sekali. Masih sangat bisa di nikmati. Menjadi sebuah film dengan tema rasisme lainnya yang mungkin akan mencuri hati juri Academy Awards tahun ini. Bukan yang terbaik di temanya, tapi Forest Whitaker masih bisa mengangkat momen haru biru di film ini.

 
ads