Minggu, 23 Februari 2014

VAMPIRE ACADEMY (2014) REVIEW : MEAN GIRLS WITH FANGS

  Harry Potter, The Twilight Saga, The Hunger Games trilogy adalah beberapa contoh dari banyaknya novel-novel best seller yang akhirnya men... thumbnail 1 summary
 
Harry Potter, The Twilight Saga, The Hunger Games trilogy adalah beberapa contoh dari banyaknya novel-novel best seller yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk diadaptasi menjadi sebuah motion picture di layar lebar. 3 buku yang disebutkan di atas tersebut adalah contoh adaptasi buku yang sukses dari segi finansial. Hal tersebut menjadi daya tarik para rumah produksi untuk mengadaptasi beberapa buku untuk dijadikan sebuah film. Ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang akhirnya gagal dalam mempertahankan satu episode pilot dari banyaknya seri buku yang diadaptasinya.

Banyak orang akan menganggap, buku karangan Richelle Mead ini meniru buku milik Stephenie Meyer. Mungkin, mereka mengangkat satu karakter yang sama tetapi dengan jalinan cerita berbeda. Mengangkat sosok makhluk penghisap darah tetapi dengan konsentrasi yang berbeda. Twilight, mungkin akan unggul dalam segala romantisme antara vampir dan manusia dengan segala suasana menye-menye yang sangat kental. Maka, berbeda dengan buku milik Richelle Mead berjudul Vampire Academy ini. 


Vampire Academy lebih mengarah kepada petualangan antara Rose (Zoey Deutch) seorang Dhampir, sosok yang bertugas untuk melindungi vampir Moroi bernama Lissa Dragomir (Lucy Fry). Mereka kabur dari Akademi St. Vladimir tempat mereka bersekolah. Lissa ternyata memilki sebuah kekuatan unik yang dapat mengundang banyak vampir Strigoi, vampir penghisap darah yang sering berkeliaran di saat malam hari.

Lissa dapat menyembuhkan seseorang yang terluka dan orang yang telah mati. Suatu saat, Lissa benar-benar terancam. Tugas Rose adalah melindungi Lissa dari setiap serangan yang ada. Tetapi, keadaan itu tidak lancar-lancar saja. Karena mereka tidak hanya menghadapi satu masalah serius tetapi juga harus menghadapi kejamnya teman-teman sekolah yang doyan bullying Lissa dan Rose. 


Cheesy vampire chick-flick

Vampire Academy kali ini diarahkan oleh Mark Waters, sutradara yang membuat satu film remaja fenomenal kala itu, Mean Girls. Sebuah premis cerita yang tepat jika Mark Waters mengarahkan makhluk penghisap darah yang sedang mengalami pubertas ini untuk menghadapi kejamnya teman-teman sekolahnya. Tema dari Vampire Academy sendiri memang memiliki kemiripan dengan Mean Girls yang menjadi salah satu teen-flick yang terkenang sepanjang masa.

Akademi atau sekolah, Perempuan, Geng, Populer dan tidak populer adalah formula yang tepat untuk mengulang kembali Mean Girls dengan taring ini. Mark Waters pun menginginkan nuansa Mean Girls hadir dalam Vampire Academy.  Mungkin akan banyak sekali adegan-adegan cheesy dalam bullying ala kehidupan remaja. Tetapi sayangnya, Vampire Academy hadir dengan banyak sekali dengan kekurangan sana-sini yang membuat film ini kacau dan tidak bisa mengemas adegan cheesytersebut. Vampire Academy terlihat terengah-engah dalam menuturkan kisahnya dan terlihat sangat berusaha untuk memikat penontonnya.

Film ini memang memiliki banyak sekali nada-nada yang sama dengan Mean Girls. Segala penuturan pop-nya yang terlihat asik dan menarik yang akan membuat film ini akan menjadi satu jalinan kisah chick-flick yang smart. Tetapi sayangnya, Richelle Mead, selaku penulis buku Vampire Academy dan juga penulis skenario untuk filmnya ini tidak bisa memikat penontonnya dengan line-linedialog pintar yang membuat penontonnya tertawa saat menyaksikan film ini. Mungkin masih ada beberapa komedi satir yang menyindir beberapa referensi. Tetapi, hanya beberapa saja karena masih banyak dialog yang akhirnya missed untuk mengundang tawa bagi penontonnya. 


Tak hanya saja kuwalahan dalam memberikan komedi-komedi fresh dan cerdas. Tetapi, bagaimana Vampire Academy akhirnya juga kuwalahan dalam memberikan kisah menarik yang tidak melelahkan untuk diikuti. Banyak sekali kendala yang harus dihadapi oleh Richelle Road dalam menuturkan kisah yang ada di dalam bukunya menjadi gambar bergerak dengan durasi 100 menit. Cerita tersebut terasa draggy saat dipresentasikan di dalam film. Tarik ulur sana-sini dengan tensi yang juga semakin mengendur ketika durasi film juga ikut bertambah. Mungkin paruh awal film ini setidaknya masih enak diikuti. Tetapi, semakin lama film ini semakin melambat dan melelahkan untuk diikuti.

One-punch-line yang juga sering dilantunkan di awal film hingga ketika film ini memasuki paruh kedua, line-line smart itu menghilang digantikan dengan beberapa dialog yang biasa-biasa saja. Mungkin konsentrasi Mark Waters teralihkan dengan konflik dari Vampire Academy yang disadur dari bukunya itu tetapi tetap mempertahankan citarasa Mean Girls di dalam filmnya. Banyak sekali hal-hal yang menarik yang harusnya bisa membuat Vampire Academy ini menarik. Banyak karakter-karakter seperti Dhampir, Strigoi, Moroi yang harusnya bisa diulik lebih lagi agar lebih menarik. 


Serta bagaimana Vampire Academy ini tidak mengusung romance menye-menye yang berlebihan dan lebih mengulik petualangan memberantas keganjilan yang ada di kehidupan Rose dan Lissa selama di Akademi St. Vladimir. Melihat banyaknya potensi-potensi yang harusnya bisa membuat film ini bisa lebih menarik tetapi disia-siakan begitu saja. Apalagi usaha Mark Waters yang ingin membuat film ini menjadi chick-flick makhluk penghisap darah dengan gaya arahannya yang khas itu.

Akhirnya Vampire Academy menjadi salah satu dari banyak deretan film adaptasi buku yang gagal lainnya. Melihat bagaimana ending dari film ini, sepertinya Mark Waters masih memberikan harapan bagi para penggemar buku dari Vampire Academy untuk menyaksikan sekuel dari buku yang terdiri dari 6 seri ini. Tetapi, bagaimana kualitas dan juga kuantitas tetap berbicara. Sepertinya sangat susah untuk Vampire Academy agar mendapatkan slot lagi untuk film kedua yang disadur dari buku kedua milik Richelle Mead ini. 


Overall, Vampire Academy memiliki banyak sekali potensi untuk menjadi film chick-flick yang segar dan menarik. Sayangnya, Richelle Mead kurang memberikan inovasi dalam menyindir referensi sana-sini dan mengundang tawa penontonnya. Cerita yang mulai draggy, adegan-adegan cheesy dan masih banyak sekali sisi minor yang menghiasi perjalanan Vampire Academy dalam menuturkan ceritanya. Menantikan seri kedua? Well, Don’t lose faith but be logic.
 

Sabtu, 22 Februari 2014

POMPEII (2014) REVIEW : OFF THE RECORD TRAGIC LOVE STORY

  Menceritakan ulang sebuah kejadian penuh sejarah memang sering terjadi dan sering digunakan di Industi perfilman di seluruh dunia. Tetapi,... thumbnail 1 summary
 
Menceritakan ulang sebuah kejadian penuh sejarah memang sering terjadi dan sering digunakan di Industi perfilman di seluruh dunia. Tetapi, bagaimana tambahan cerita-cerita fiksi dan lain hal sebagainya, mungkin Hollywood yang lebih jago. Mereka tetap memberikan satu cerita dasar di dalam sebuah film yang mereka garap yang setidaknya mengikuti apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata. Tetapi, bagaimana kejadian bersejarah itu bisa memberikan nilai jual kepada industri perfilman ini, akhirnya para sineas memberikan bumbu konflik fiksi yang bisa dijadikan alternatif hiburan sekaligus setidaknya menjadi medium penontonnya untuk mengetahui kejadian bersejarah itu.

Salah satu kota di wilayah Italia yang menjadi salah satu kota kuno di Roma, Pompeii memiliki salah satu kejadian bersejarah di abad pertama. Dimana, gunung Vesuvius di kota Pompeii mengalami erupsi. Hal ini mengusik sutradara Paul W.S. Anderson yang mengangkat hal tersebut menjadi satu film kolosal yang akan menarik penonton setelah dirinya pernah mengangkat ulang tiga ksatria dalam The Three Musketeers dan mendapat kritik beragam. 


Menggunakan judul Pompeii dengan landasan kisah kota yang disadurnya ini terfokuskan pada sosok pemuda asal Celtic yang selamat saat pembantaian yang dilakukan kekaisaran Romawi, Milo (Kit Harrington) yang akhirnya menjadi seorang Gladiator. Dirinya pun dibawa ke kota Pompeii untuk menghadiri sebuah Festival perayaan yang sedang diadakan oleh kota tersebut. Disaat itu pula, seorang putri raja Pompeii, Cassia (Emily Browning) tiba-tiba jatuh cinta dengan sosok pemuda itu begitupun dengan Milo.

Ketika festival itu berlangsung, Milo bertemu dengan petingga Roma yang pernah membantai seluruh kaumnya itu, Corvus (Kiefer Sutherland), sang petinggi Romawi yang juga memiliki sifat ambisius. Disaat festival itu berlangsung, gunung Vesuvius mengalami erupsi dan meluluhlantakkan semua perkampungan di kota Pompeii. Milo pun berusaha untuk menyelamatkan Cassia, gadis yang dicintainya.


In Paul W.S. Anderson We (don’t) Trust

Terlihat dalam sinopsis cerita, beberapa pengembangan cerita fiksi dan mengulik satu cerita percintaan antara seorang budak dengan putri raja ini menjadi satu frontrunner cerita yang akan dikulik lebih lagi. Sebagai salah satu faktor jual yang mungkin akan menarik minat penonton selain satu basic cerita “Based on true events” yang juga menjadi salah satu gimmick marketing yang ditawarkan oleh film ini.

Sah-sah saja untuk mesin pengeruk penambahan cerita fiksi dalam sebuah kejadian bersejarah di dalam sebuah film sebagai jualan. Tetapi, bagaimana cerita fiksi itu diolah dengan baik, itulah hal yang patut dipertanggungjawabkan di dalam memberikan intrik menarik di dalam film. Pompeii memberikan satu line cerita menarik sebagai tambahan. Tetapi pengemasan kisah-kisah fiksi dalam film Pompeii tidak diperhatikan lagi oleh Paul W.S. Anderson saat mempresentasikan proyek mega budget ini.

Tetapi, apa yang diharapkan saat menyaksikan satu film garapan Paul W.S. Anderson? Satu film penuh dengan intrik menarik dengan kualitas di atas rata-rata yang digarap dengan sepenuh hati? Jangan. Jangan harapkan apa-apa saat menyaksikan film garapan sutradara satu ini. Masih ingatkah Resident Evil : Retributionyang menjadi presentasi film terburuk 2 tahun silam? Begitupun dengan Pompeii, memang tidak seburuk Resident Evil secara keseluruhan tetapi bagaimana cerita dari Pompeii tidak bisa diarahkan dengan baik dan lebih terkesan style over substance but in bad way


Bagaimana satu jam awal dari Pompeii sangat lemah dalam menunjukkan banyak pengembangan karakter-karakter penting. Paul W.S. Anderson memang lebih dikenal lebih bisa mengadakan satu sajian film non-stop aksi dengan begitu baik, tetapi sayangnya, sajian hiburan aksi tanpa henti saja tidak cukup dalam sebuah film. Pompeii benar-benar berantakan dalam menuturkan semua cerita untuk menguatkan konflik dalam filmnya. Semua konflik dan semua cerita-cerita pendukung yang sudah ditulis Janet Scott Bachler ini diarahkan seadanya sehingga tidak ada satu jalinan kisah yang kuat untuk mendukung 40 menit akhir penuh aksi yang menghibur itu.

Cerita pun terasa terbagi-bagi dan tidak matang. Cerita tercampur antara pembalasan dendam Milo kepada kekaisaran Romawi dengan cerita cinta yang tiba-tiba datang dengan begitu mudahnya antara Cassia dan Milo. Ingin lebih menonjolkan satu kisah cinta tragis di balik kejadian Pompeii yang mengerikan tetapi belum terlaksana dengan baik. Konsentrasi Paul W.S. Anderson dalam mengarahkan film ini pun terpecah-pecah sehingga dua konflik itu pun timbul dan tenggelam dengan mudahnya dan terkadang terdistraksi dengan konflik-konflik kecil sehingga dua main conflict itu semakin blur dengan sendirinya.


Akhirnya, babak penyelesaian pun terkesan tergesa-gesa. Konflik-konflik utama yang sudah mulai terdistraksi itupun muncul dengan cara yang tiba-tiba. Diselesaikan dengan begitu instan meskipun dikemas dengan aksi non-stop yang akan memanjakan para penontonnya. Babak dimana gunung Vitruviusmeletus itulah dimana Pompeii sudah mulai bisa dinikmati dan sayangnya itu terletak pada 40 menit akhir film ini. Dengan itulah konflik-konflik yang dituturkan begitu lemah pun ditutupi oleh sajian aksi penuh efek visual menarik yang akan membuat penontonnya melupakan banyak segala lubang-lubang yang ada di dalam film Pompeii ini. 


Kesalahan pun terjadi pada skenario garapan Janet Scott Bachler. Banyak sekali barisan-barisan dialog yang terkesan dangkal. Sehingga penonton sedikit banyak akan merasakan kurangnya koneksi dengan dua lakon utama dalam film ini yaitu Cassia dan Milo yang sedang jatuh cinta dalam pandangan pertama. Anehnya lagi, cinta antara mereka berdua terkesan magis and its like no one can refuse their love bahkan strata sosial yang diperkarakan antara mereka berdua pun terkesan terabaikan. Apalagi film ini ber-setting-kan zaman dulu yang notabene orang-orangnya benar-benar memperhatikan strata sosial dalam menjalin hubungan. Begitu pun dengan chemistrymereka yang kurang memberikan energi yang baik bagi kelangsungan cerita yang sudah mulai tertatih dalam perjalanannya. 


Overall, Pompeii bukanlah presentasi terburuk milik Paul W.S. Anderson. Kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan dalam film Resident Evil setidaknya sedikit membaik di film Pompeii. Tetapi sayangnya, bagaimana W.S. Anderson memperlakukan cerita-cerita yang penting dalam film ini dengan kurang baik cukup memberikan efek negatif yang signifikan dalam kelangsungan cerita film ini. Tetapi, sajian aksi dengan visual efek yang menghibur cukup memanjakan para penontonnya meskipun untuk ukuran film dengan budget $ 100 M ini bisa dibilang kurang. Don’t expect too much in W.S. Anderson. 

Rabu, 19 Februari 2014

ROBOCOP (2014) REVIEW : HE (STILL) HAS A HEART

Remake . Satu kata yang sudah lumrah terjadi di industri perfilman, terutama pada industri perfilman Hollywood . Sudah banyak film-film lama... thumbnail 1 summary

Remake. Satu kata yang sudah lumrah terjadi di industri perfilman, terutama pada industri perfilman Hollywood. Sudah banyak film-film lama yang melegenda di zamannya akhirnya didaur ulang lagi menjadi satu sajian dengan rasa baru dan juga dengan pandangan yang baru. Akan dengan gampang, sutradara yang berani melakukan remakedicari letak kesalahannya jika sedikit saja melakukan kesalahan saat menjalani proyek remake tersebut

Siapa yang tak kenal dengan sosok polisi bertubuh robot? Ya, Robocop. Sosok legendaris di tahun 1987 berasal dari film garapan milik Paul Varhoeven and yes, Robocop get its remake. Ditangan Josh Padhila, Polisi setengah robot ini diangkat kembali ke layar lebar. Pilihan yang tepat, karena Robocop memiliki pandangan masa depan yang menarik jika akhirnya didaur ulang di zaman yang sudah serba canggih ini. Terlebih, tema futuristik Robocop yang akan lebih terpenuhi di film remake-nya.


Tetapi, basic Robocop tetap memiliki cerita yang sama dengan film sebelumnya. Bagaimana seorang officerAlex Murphy (Joel Kinnaman) diincar oleh salah satu gembong pencurian senjata tajam milik kepolisian. Ketika dirinya menangani kasus tersebut, hal naas terjadi padanya. Mobil miliknya dipasang alat peledak dan membuat dirinya menjadi cacat di banyak bagian tubuhnya.

Dengan bantuan dari Dr. Norton (Gary Oldman) serta sponsor dari Raymond Sellars (Michael Keaton), Alex Murphy dipasang dengan tubuh robot yang bisa menopang dirinya dan dapat hidup kembali. Tetapi, Raymond Sellars dan omnicorp, perusahaan miliknya, untuk menghapuskan undang-undang yang tidak boleh menggunakan robot di lingkungan masyarakat. 


Robocop has a heart

Menggunakan pandangan baru, Josh Padhila terlihat berusaha untuk menjadikan Robocop remake ini lebih menjanjikan ketimbang dengan versi lamanya. Terutama dengan banyaknya fasilitas yang ada di zaman sekarang yang mampu memenuhi tema futuristik dari Robocop ini sendiri. Ditangan David Self, selaku penulis naskah, Robocop memang terlihat berbeda. Disinilah, Robocop diberi sedikit tempat untuk menceritakan hubungan dirinya dengan keluarganya.

Sayangnya, cerita tersebut menjadi tumpang tindih dengan banyak konflik yang ada di film ini. Konflik film ini bukan hanya terpaku pada Robocop dalam menumpas kejahatan, tetapi masih banyak konflik lain yang juga menjadi satu benang merah penting bagi kelangsungan film. Dan disinilah, konsentrasi film Robocop terpecah. Alih-alih ingin memberikan porsi yang sama antara satu konflik dengan konflik lainnya, tetapi malah tumpang tindih dan berkesan dibuat setengah-setengah dalam menuturkan setiap plot yang ada.

Paruh awal yang sudah draggydisetiap adegannya membuat film ini menurun daya tariknya. Kesusahan untuk membuat atmosfir yang kuat di cerita dan masih terlihat susah payah dalam mengolah apa yang coba mereka ceritakan. Barulah setelah 30 menit berlalu, Jose Padhila menemukan ritme ceritanya yang sudah sedikit demi sedikit mulai teratur. Meski tetap tak terelakkan, bagaimana David Self mencoba memberikan sentuhan sisi kekeluargaan dan terlihat memperlihatkan bahwa robot still has a heart ini kurang diperhatikan lagi oleh Jose Padhila. Maka, cerita keluarga yang hangat itu masih kurang memberikan nuansa yang baik di film ini. 


Hal tersebut didukung dengan bagaimana Joel Kinnaman dan Abbie Cornish kurang memberikan interaksi dengan baik satu sama lain. Bagaimana mereka masih terlihat hampa dalam menjalin hubungan suami-istri dan itulah yang sangat disayangkan. Mereka masih kurang terkoneksi dan hal tersebut jelas memengaruhi sisi kekeluargaan yang coba David Self tuturkan di film Robocop terbaru ini. Tak ada ikatan yang kuat dan meyakinkan untuk mengangkat hal tersebut, meski beberapa bagian tetap membuktikan bahwa setidaknya Tubuh baja itu masih memiliki hati seorang manusia yang lembut.

Tetapi, bagaimana Jose Padhila akhirnya membuat Robocop ini menjadi salah satu film dengan prosentase menghibur yang sangat tinggi. Robocop memiliki banyak sekali adegan non-stop action yang setidaknya akan menghibur siapa saja. Ledakan sana-sini tetapi tidak terlalu sering dengan kemasan yang lebih elegan. Banyak sekali gambar-gambar indah yang ditangkap oleh Robocop di dalam filmnya dengan penggunaan kamera IMAXyang benar-benar memanjakan mata penontonnya. 


Menggunakan teknologi-teknologi canggih yang tak dapat terelakkan lagi bahwa hal tersebut dengan gampang menarik minat penonton. Efek CGI yang tidak berlebihan dan beberapa hal futuristik itulah yang membuat Robocop menjadi film yang menghibur. Entah, aksi-aksi yang mungkin basi itu terlihat sangat menarik untuk dilihat serta beberapa cerita twist and turn yang setidaknya memberikan warna tersendiri di film ini, sehingga terasa straight-forward.

Hal yang menganggu sekali lagi, bagaimana Amerika terkesan menunjukkan keangkuhannya di film ini. Menggunakan beberapa dialog yang digunakan oleh Samuel L. Jackson yang ditunjukkan pada segmen The Novak Element. Masih kurang jelas juga, apa kegunaan segmen The Novak Element untuk kelangsungan film Robocop kali ini. Mungkin menyelipkan beberapa unsur black comedy dan setidaknya menjadi satu segmen agar tidak melulu serius, But hey, ini malah menjadi satu efek minor yang hampir terlihat signifikan bagi filmnya. 


Mungkin, salah satu efek nostalgia dengan polisi setengah robot ini adalah tetap menggunakan satu theme song lamanya yang disajikan di bagian opening film. Serta menggunakan soundtrack-soundtrack bernada pop-rock yang juga menjadi salah satu kekuatan yang baik dan pas untuk film ini sendiri. Dimana adegan aksi tanpa henti dan ledakan dimana-mana yang membuat film ini memiliki imej jantan kepada penontonnya. 


Overall, Robocop adalah salah satu film remake buatan Hollywood yang masih memiliki beberapa kekurangan sana-sini. Tetapi, bagaimana Jose Padhila masih membuat film ini menjadi sajian yang sangat menghibur untuk ditonton. Serta, bagaimana Jose Padhila bersama David Self memberikan satu gambaran bahwa tubuh Robot masih memiliki hati lembut milik manusia

Selasa, 18 Februari 2014

THE LEGO MOVIE (2014) REVIEW : EVERYTHING IS AWESOME

Siapa yang tak kenal mainan kontruksi bernama Lego . Mainan berbentuk balok yang bisa dibongkar dan dipasang lagi menjadi bentuk baru sesuai... thumbnail 1 summary

Siapa yang tak kenal mainan kontruksi bernama Lego. Mainan berbentuk balok yang bisa dibongkar dan dipasang lagi menjadi bentuk baru sesuai keinginan ini sudah dikenal oleh banyak orang, di banyak belahan dunia. Warner Brosberusaha untuk mengangkat salah satu mainan legendaris ini menjadi sajian gambar bergerak di layar lebar. Sambutan hangat pasti menyertai film ini terlebih, Lego sudah menjadi satu mainan sepanjang masa yang bisa dimainkan lintas usia.

Susahnya, Lego tidak memiliki satu pondasi cerita yang bisa diadaptasi menjadi satu cerita utuh di dalam sebuah film. Layaknya permainan Lego, bagiamana seseorang harus pintar-pintar dalam menyusun mainan itu menjadi bangunan yang indah, sama hal dengan para sutradara film ini. Disinilah, pemikiran duo sutradara, Phil Lorddan Christopher Miller harus pintar dalam mengkonstruksi satu cerita utuh yang menarik untuk dinikmati. Mereka harus pintar-pintar mencari satu cerita yang fresh dan original dengan tetap memperhatikan bagaimana membuat mainan Lego ini memberikan keterpikatan kepada penontonnya. 


Lego Movie dimulai dengan cerita milik Emmet (Chris Pratt) seorang builder biasa dengan kehidupan layaknya banyak lego biasa. Ketika suatu saat, tanpa sengaja dia jatuh dan menyentuh sebuah balok penutup yang membawa dirinya masuk ke dalam sebuah ramalan milik Vitruvius (Morgan Freeman) menjadi sosok yang terpilih dan spesial, The Builder Master.

Emmet pun masuk ke dalam misi rahasia penuh tantangan dengan seorang wanita bernama Wyldstyle (Elizabeth Banks). Mereka mencoba untuk mengagalkan usaha sang Presiden (Will Ferrell) untuk menguasai dunia Lego di hari Tuesday Tacos. Emmet pun berpetualang menjadi ke banyak tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. 


Begitulah konstruksi cerita milik Phil Lord dan juga Christopher Miller untuk proyek The Lego Movie ini. Premis cerita yang diangkat oleh mereka berdua memang bisa dibilang sangat biasa dan sudah pernah terjadi di dalam beberapa film. Seorang penduduk biasa yang tiba-tiba tanpa sengaja menjadi sosok yang spesial dalam sekejap mata. Well, inti dari cerita dalam film-film animasi memang tak perlu terlalu rumit. Tetapi, bagaimana cara mereka menyampaikan sehingga premis yang ringan itu tak malah menjadi bumerang bagi filmnya.

Phil Lord, mungkin sudah berpengalaman dalam menyajikan film animasi Cloudy With A Chance of Meatballs menjadi animasi menghibur dan berisi. Begitu pun dengan The Lego Movie, di mana dirinya dengan rekannya berhasil mengangkat sosok mainan bongkar pasang ini menjadi salah satu film penuh nostalgia dengan mainan tersebut. Menyebabkan para penonton akan kembali di masa-masa mereka bermain dengan mainan yang mampu memperluas daya imajinasi para penikmatnya. 


The Lego Movie memang terkesan memiliki cerita asal tempel sana-sini dengan beberapa ritme-nya yang sedikit draggy. Tetapi, inti dari permainan Lego sendiri adalah bagaimana sang pemilik mainan berusaha untuk membangun apa yang ada dipikirannya dengan lego tersebut, membangun cerita-cerita unik menggunakan daya imajinasi mereka masing-masing dan se-kreatif mungkin. Maka, satu poin yang sudah berhasil diangkat oleh Phil Lord dan Christopher Miller dalam menyajikan permainan bongkar pasang ini dalam sebuah film. Bagaimana duo sutradara ini mengeksplor daya imajinasi mereka sehingga dapat memberikan satu momen khusus dan begitu dekat dengan penontonnya.

Phil Lord dan Christopher Miller mampu mengemas The Lego Movie menjadi sajian animasi ringan dan menghibur yang dapat dinikmati oleh lintas usia. Bagaimana konflik-konflik itu dikemas menjadi sajian film animasi dengan tutur yang dewasa. Tetap dengan jokes slapstick sebagai pemikat penonton anak-anak serta jokes yang smart agar bisa ditonton oleh segala usia. Dengan visualanimasi Stop motion dicampur dengan CGI yang dipresentasikan sangat indah, kreatif, dan tentunya memanjakan mata penontonnya, didukung dengan efek 3D sebagai pemanisnya. Bagaimana Phil Lord dan Christopher Miller tak hanya mampu mengkonstruksi cerita The Lego Movie, tetapi juga mampu menyusun balok-balok Lego itu dengan kreatifitas yang tinggi sehingga tampil indah. 


Everyone born to be a special

The Lego movie pun tak henti-hentinya memberikan kekaguman bagi penontonnya. Banyak sekali cameo-cameo action figure terkenal yang dimasukkan ke dalam film ini. Kemunculan-kemunculan tokoh seperti Gandalf, Wonder Woman, Batman, Superman, Green Lantern, dan banyak tokoh lain yang ditampilkan disini dalam bentuk Lego. Serta beberapa tribute dengan referensi film-film terkenal yang juga akan membuat penikmat film kegirangan saat menyaksikannya.

Musik-musik elektro dance yang menjadi sample dari segala bentuk scoringdi film ini yang juga bisa blend dengan film ini. Musik ala game 2-bit yang indah pas dengan bagaimana Lego di dalam film ini beraktifitas dengan satu sama lain. Terutama lagu soundtrack andalan bagi film dan juga aktifitas para lego di film ini yang easy listening yaitu Everything Is Awesome yang menjadi trademark tersendiri bagi film ini. 

Well, kekuatan The Lego Movie yang paling mutakhir adalah paruh ketiga dari film ini. Poin akhir dan kunci dari segala keindahan dari keseluruhan film. Bagaimana mereka berdua tetap memberikan pelajaran-pelajaran berharga, dikemas dengan metafora yang indah, menghangatkan, serta tanpa menggurui itulah yang bisa menjadikan keseluruhan film ini tak hanya melulu berisikan hura-hura tanpa arti. Meski tak se-tearjerking Toy Story 3, tetapi The Lego Movie setidaknya hampir memiliki nuansa yang sama. 


The Lego Movie pun bisa menjadi salah satu wahana hiburan merangkap mendidik bagi orang tau yang mengajak anak-anaknya menonton film ini. Dengan gamblang, The Lego Movie mengajarkan bahwa semua orang adalah spesial, hanya saja di dalam bidangnya masing-masing. Hanya dengan sedikit kepercayaan yang muncul dari dalam diri sendiri, kita akan bisa menjadi sesosok orang yang menonjol di dalam bidang yang kita bisa lakukan. Well, that’s a very good point that people can learn from this movie. 


Overall, The Lego Movie adalah salah satu film animasi dengan penuturan yang begitu dewasa, penuh dengan komedi-komedi kombinasi antara slapstickdengan komedi cerdas yang tampil mengejutkan dan indah. Bagaimana duo maut sutradara mampu mengkonstruksi cerita imajinatif dan kreatif serta banyak momen-momen indah terutama di paruh ketiga yang menghangatkan itu. Well, everything in this movie was awesome. 

Dengan memanfaatkan efek stop motion dikombinasi dengan CGI, The Lego Movie pun dirilis dalam format 3D. Mari simak ulasannya,

BRIGHTNESS 
 
 The Lego Movie mampu tampil dengan format 3D tanpa kecerahan yang lebih gelap

DEPTH 
 
Kedalaman yang cukup baik ditampilkan oleh The Lego Movie. Terlihat jelas dalam beberapa setting di film ini apalagi, The Lego Movie tampil dalam setting yang bagus. 

POP OUT
 
Memang tak terlalu banyak efek pop out yang tampil di film The Lego Movie. Tetapi, bagaimana The Lego Movie tak menggunakan gimmick murahan sebagai efek pop out di film ini sehingga efek satu ini terkesan efektif sebagai pemanis. 
Sangat disayangkan jika, The Lego Movie hanya disaksikan dalam format 2D. Karena The Lego Movie akan tampil lebih indah dan menyenangkan lagi dalam format 3D didukung dengan harga tiket yang sudah mulai sama antara format 2D dan 3D. Once again, Everything is awesome ~

Kamis, 06 Februari 2014

KILLERS (2014) REVIEW : THE MO BROTHERS PSYCHO TEST

Tahun ini, negara Indonesia boleh berbangga dari dunia perfilman. 2 film milik Indonesia mendapat kesempatan untuk menjadi Official Selectio... thumbnail 1 summary

Tahun ini, negara Indonesia boleh berbangga dari dunia perfilman. 2 film milik Indonesia mendapat kesempatan untuk menjadi Official Selection dalam festival film bergengsi yaitu Sundance Film Festival. Dari satu studio yang sama, dua film itu adalah The Raid 2 : Berandal dan juga Killlers yang mendapat kesempatan emas tersebut. Setelah pemutaran perdana di ajang tersebut, kedua film itu mendapat berbagai sambutan beragam.

Killers, mendapat slot tayang terlebih dulu dari The Raid 2 : Berandal. Sebuah film dari sutradara yang pernah menangani film thriller, Rumah Dara ini mencoba untuk memberikan pendekatan berbeda untuk filmnya kali ini. Tetap mengusung genre thriller, tetapi, Killers lebih mengarah kepada psychological thriller daripada sebuah thriller penuh dengan adegan-adegan sadis dan darah-darah yang bertebaran dimana-mana. 


Menggunakan dua karakter dengan setting tempat yang berbeda di film ini. Nomura Shihei (Kazuki Kitamura), eksekutif muda yang memiliki sifat psikopat. Membunuh adalah salah satu kegiatan favoritnya. Membunuh banyak wanita muda yang baru ia kenal dan memposting video dirinya sedang melakukan kegiatan tersebut ke internet.

Di lain tempat, Bayu (Oka Antara), seorang jurnalis yang sering berjuang keras dan mencoba untuk bertahan dalam pekerjaannya. Mengulik kasus korupsi milik Dharma (Ray Sahetapy) yang tidak sengaja malah mengancam nyawanya dan keluarganya. Hingga suatu ketika, Bayu tidak sengaja membunuh seseorang, merekam kejadian itu, dan mengunggahnya ke internet. Dari hal itulah, Bayu dan Nomura bertemu dan menganggap diri mereka sama. 


Take the test from The Mo Brothers for your healthy mind

Film thriller di kancah perfilman Indonesia sangatlah jarang. Mungkin ada, tetapi yang digarap dengan sepenuh hati dan dengan niat penuh sangat bisa dihitung jari. Salah satunya, sutradara gila milik negara Indonesia, The Mo Brothers menjadi penyumbang film thriller yang digarap dengan niat dan sepenuh hati. Dirinya pun sudah mulai dikenal di kancah Internasional. Segmen ‘Safe Haven’ yang dimasukkan ke dalam omnibus horor V/H/S/2 menjadi salah satu segmen yang sangat impresif.

Tak salah, jika karya terbaru dari sutradara ini menjadi salah satu film yang dinanti-nantikan oleh para penikmat film ataupun masyarakat pada umumnya. Killers, jelas sudah memiliki momoknya sendiri. Terlebih, berita film ini yang gempar dimana-mana ketika Killers ditunjuk menjadi salah satu film yang diputar di ajang festival film bergengsi di kancah internasional. Daya tarik utama yang bisa mengajak penonton untuk menyaksikan film ini.

Selain itu, The Mo Brothers terlihat memberikan pengaruh yang berbeda di film Killers. Pengaruh tersebut akan terasa kita penonton menyaksikan film ini. Menggunakan dua karakter utama sebagai pion yang dijalankan untuk membuat interaksi yang cukup ‘menyakitkan’. Interaksi itu terhubung langsung dengan kinerja otak yang mencoba menyerap segala tingkah laku karakter utama yang terlihat ‘sakit’dalam kehidupan sehari-harinya. 


Di area itulah, The Mo Brothers mencoba untuk bermain-main. Pikiran anda akan diajak untuk ikut berpikir gila layaknya dua psikopat di dalam film ini. The Mo Brothers sangat berhasil mengantarkan atmosfir gelap. Mengarahkan filmnya menjadi sebuah refleksi pikiran atau dunia dari kedua karakter yang bisa dibilang memiliki mental illness, menjadikan satu kegiatan yang tabu itu menjadi sebuah kegiatan yang sangat lumrah untuk dilakukan dan disinilah pikiran anda akan diizinkan masuk ke dalam pemikiran yang sama dengan karakter itu.

Apa yang berbeda dari Killers? Bagaimana film ini memiliki banyak kedewasaan dalam bertutur dan memasukkan konflik filmnya. Mengangkat suatu isu yang lebih personal dibanding dengan film-film sejenis. Di mana tema Keluarga juga ikut disentil di dalam film ini dan pastinya dikemas dengan tutur yang lebih gelap, ‘sakit’, dan beberapa pesan yang dikemas dalam adegan yang penuh metafora serta elegan. The Mo Brothers benar-benar brilian dalam mengarahkan film Killers ini menjadi thriller yang dengan gampang mempengaruhi psikis setiap penontonnya. 


Tetapi, bagaimana Killers masih terlihat kurang kuat di beberapa bagian. Film ini terkesan menjadi film omnibusdengan dua segmen yang berbeda, di mana Nomura memiliki cerita yang terbangun sendiri, begitupun dengan Bayu juga memiliki ceritanya sendiri. Dua karakter ini seperti memiliki satu benang merah yang terasa dipaksa. Plot holes, masih menjadi problema yang tidak bisa dielakkan lagi dalam film ini karena masih ada beberapa ceritanya yang dibiarkan begitu saja tanpa diulik lagi lebih dalam.
Dua karakter dengan dua setting tempat yang berbeda inilah yang sepertinya membuyarkan fokusnya film ini dalam menyusun cerita. Berusaha untuk membangun tensi dari kedua karakter dengan problema hidupnya dengan porsi yang sama itu malah membuat filmnya menjadi terasa tanggung dalam membangun semua tensi itu. Dengan kepribadian yang hampir berbeda satu sama lain, karakter itu tidak mampu blend satu sama lain. Satu kelemahan yang mempengaruhi performa yang dari film Killers, apalagi bagi yang sudah memberikan ekspektasi tinggi. Benar-benar membuat cerita film ini terpecah belah menjadi dua bagian yang berbeda treatment.

Well, abaikan beberapa minoritu karena bagaimana The Mo Brothers masih memiliki detil menarik untuk mengangkat ‘sakit’ yang akan menganggu pikiran penontonnya. Salah satunya adalah Scoring. Disinilah, satu detil menarik yang benar-benar bisa dirasakan dengan indah. Scoring dengan nuansa lembut dengan balutan yang lebih gloomy ini mampu mengangkat atmosfir yang akan menganggu sisi psikis penontonnya. 


Serta bagaimana The Mo Brothers selalu membalut adegan eksekusi atau kegiatan membunuh itu dengan lagu-lagu lembut yang tentunya membuat adegan sadis itu menjadi satu sajian indah dan puitis yang pasti akan mengusik sifat psikopat di setiap individu para penonton. Akhirnya kegiatan membunuh itu menjadi salah satu kegiatan paling romantis yang pernah disaksikan oleh semua orang seumur hidupnya. Well done, The Mo Brothers !

Meskipun di beberapa bagian memberikan performa yang kadang over reacted, Oka Antara patut diacungi jempol dan mampu mengeluarkan sisi psikopatnya dengan sangat baik. Dirinya berhasil membangun hubungan ayah-anak dengan baik. Memberikan keterikatan yang menarik sehingga penonton akan mampu terbawa ke dalam sisi sentimentilnya. Well, its a very deep dad-daughter bond, it goes good. 

 

Overall, Killers adalah salah satu pencapaian luar biasa bagi film Indonesia. Dimana The Mo Brothers, mampu keluar dari zona aman dalam perfilman indonesia dengan memberikan genre-genre yang masih bisa dibilang langka di perfilman Indonesia. Beberapa bagian mungkin masih terasa tanggung dan beberapa plot holes yang tersebar dimana-mana. Tetapi, Killlers adalah salah satu psychological thriller yang sangat berhasil mengusik psikis penontonnya. Well Done ! 
 

Senin, 03 Februari 2014

COMIC 8 (2014) REVIEW : TERTAWA DENGAN SYARAT DAN KETENTUANNYA

Stand up comedy sudah menjadi tren di Indonesia. Bahkan, sudah ada ajang pencarian bakat dalam bidang tersebut. Sayangnya, stand up comedy ... thumbnail 1 summary

Stand up comedy sudah menjadi tren di Indonesia. Bahkan, sudah ada ajang pencarian bakat dalam bidang tersebut. Sayangnya, stand up comedymasih segmented di kalangan masyarakat. Tak semua guyonan yang di lontarkan oleh para Comic – Sebutan untuk pelakon stand up comedy – bisa diterima oleh seluruh kalangan. Anggy Umbara, mengumpulkan para jebolan-jebolan ajang pencarian bakat Stand up comedy itu di dalam sebuah film.

Comic 8, film di mana para Comic berkumpul. Dari trailer, penonton bakal disuguhi dengan berbagai parodi menarik dari film-film luar negeri maupun dalam negeri. Sebut saja The Raid, The Dark Knight, maupun Fast & Furious 6. Comic 8 akan menjadi proyek Anggy Umbara yang lain dengan gaya penceritaan miliknya dan visual yang menarik serta coloring adegan yang sepertinya sudah menjadi trademark untuk film-filmnya. 


Comic 8 sendiri menceritakan 3 geng yaitu The Amateurs yang beranggotakan Babe, Fiko, Bintang dengan latar belakang mereka yang aneh, The Gangstersyang beranggotakan Ernest, Kemal dan Arie dengan kepribadian mereka yang lebih tangguh dan keyakinan yang lebih tinggi, serta The Absurd yang berisikan duo Mongol dan Mudy, mereka memiliki tujuan idealis di dalam gengnya.

Ketiga geng ini memiliki satu tujuan yaitu untuk merampok Bank INI (Indonesia Netherlands Incorporate). Tetapi meskipun satu tujuan mereka tidak menyangka akan bertemu satu sama lain bahkan mereka pun tak saling kenal satu sama lain. AKP Bunga (Nirina Zubir) beserta anak buahnya mencoba untuk menghentikan aksi mereka. 


Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang*

(*syarat dan ketentuan berlaku)

Komedi, salah satu genre yang bisa dibilang gampang-gampang susah. Tak semua orang akan bisa menerima sajian komedi dalam sebuah film. Komedi di dalam sebuah film bisa jadi memiliki dampak yang lain dari satu penonton ke penonton yang lainnya. Maka dari itu, membuat jokesyang universal pun sangat susah dalam suatu film. Mengingat fenomena Stand Up Comedy masih menjadi komedi yang segmented, well, usaha Anggy Umbara dalam mengumpulkan mereka dalam satu film patut diapresiasi.

Mengumpulkan banyak komedian di dalam satu film mungkin menjadi kesulitan tersendiri bagi seorang sutradara. Bagaimana sebuah komedi yang biasanya dilontarkan secara spontan oleh komedian akan terbatas dengan sesuatu yang disebut naskah film. Fajar Umbara, selaku penulis skenario Comic 8 pun mencoba untuk mengatur porsi jokestanpa mengesampingkan premis cerita dari film Comic 8 dan juga dirinya tak lupa untuk mencocokkan kepribadian para Comicdengan karakter-karakter di dalam film ini.

Sadly, ketika akhirnya Fajar Umbara mencoba untuk tetap memberikan porsi seimbang antara Jokes dengan plot cerita ini malah merusak citarasa humor yang disajikan di dalam film. Tak semua kalangan akan bisa menerima dengan baik humor-humor yang dilontarkan oleh para comic. Sebagian mungkin iya, tetapi sisanya? Bisa jadi tidak. Hit and Miss, ungkapan tepat yang mewakili film ini.

Terapi humor yang masih terkesan segmenteditu mungkin dipengaruhi oleh guyonan-guyonan slapstick yang terlalu ringan dan bisa ditebak. Lebih disayangkan lagi, humor-humor andalan yang bisa membuat penonton tertawa bersama-sama itu sudah ditampilkan semua di dalam trailernya, dan tidak ada sisa-sisa kekuatan lagi untuk membangun nuansa komedi yang akan membuat penonton tertawa. Sungguh disayangkan. 


Fajar Umbara mungkin terlihat kebingungan untuk mengatur porsi yang seimbang dalam naskahnya. Tetapi, masih terlihat banyak potensi yang bisa digali dengan cerita di dalam film Comic 8. Plot-plot cerita serius tentang perampokan bank dengan ide-ide yang baik dilengkapi dengan twist-twist yang harusnya menarik meskipun harus dipaksa untuk terlihat ada dengan plot holes bertebaran dimana-mana. Skrip milik Fajar Umbara ini memiliki dasar potensi untuk menjadi sajian yang sangat menarik tetapi tidak memiliki treatment yang baik.

Untungnya, Anggy Umbara, sang Sutradara selalu bisa menampilkan filmnya dengan gaya cerita miliknya yang menarik dan stylish. Begitupun di film Comic 8, bagaimana setiap adegan bisa ditampilkan dengan penampilan semenarik mungkin yang akan memanjakan mata setiap penonton film Indonesia. Meskipun grading color di film ini yang memiliki pengaruh minor bagi setiap visualisasi yang sudah dikemas apik itu.

Aksi tembak menembak yang divisualkan apik lengkap dengan efek slow motion yang mungkin akan membuat sebagian orang berdecak kagum. Lupakan tentang Visual Graphic Effect yang masih begitu kasar dan menjadi kendala di dalam film Comic 8 (dan juga bagi setiap film milik sineas Indonesia) karena hal tersebut hanya sebagai pelengkap dari segala penceritaan stylish ala Anggy Umbara. Setidaknya, masih dibuat dengan niat yang cukup besar meskipun masih kurang diolah dengan lebih baik lagi. 


Hal pendukung lainnya berada pada jajaran musik yang didesain khusus oleh Khikmawan Sentosa dengan sampel lagu Kompor Mleduk milik Benyamin S. Tak hanya itu, soundtrack menarik yang harus digaris bawahi yaitu lagu opening mash-up lagu Kompor Mleduk milik Benjamin S., Bangun Tidur milik Mbah Surip, dan Letoy milik band Blackout dengan irama rock kental yang juga senada dengan tema filmnya. Mungkin telinga anda tidak salah jika mendengarkan salah satu scoring yang sama dari salah satu film Hollywoodyaitu Sherlock Holmes yang dicompose oleh Hans Zimmer.

Maka dari itu, sebuah film komedi menjadi salah satu genre yang sulit untuk diwujudkan jika sang film maker tidak memiliki selera humor yang universal. Karena setiap orang memiliki selera humor yang berbeda-beda. Para film maker mungkin menganjurkan kepada setiap penontonnya untuk tertawa saat menyaksikan film komedi buatan mereka tetapi ingat, syarat dan ketentuan masih berlaku di dalam sebuah film komedi. Komedi ringan yang cerdas dan bisa diterima oleh setiap golongan itulah yang terpenting. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang, tetapi jika tidak ada bahan yang bagus untuk ditertawakan, buat apa tertawa?

Overall, Comic 8 adalah film komedi aksi dengan presentasi dan visualyang begitu stylish dan menarik. Sebuah sajian komedi masih segmented dengan humor slapstick kuno dan klise. Memiliki naskah yang harusnya berpotensi untuk menjadi film yang jauh lebih bagus tetapi sayangnya, tidak diolah dengan lebih baik lagi. 

ads