Jumat, 18 April 2014

TRANSCENDENCE (2014) REVIEW : THE WRONG DEBUT INTELLIGENCE WAS CREATED

Premis adalah satu hal penting yang harus diperhatikan saat membuat film. Pada pra produksi, satu premis menarik harus bisa ditemukan barula... thumbnail 1 summary

Premis adalah satu hal penting yang harus diperhatikan saat membuat film. Pada pra produksi, satu premis menarik harus bisa ditemukan barulah premis itu dikembangkan lebih jauh lagi. Pada proses pengembangan ini adalah satu peristiwa krusial, bagaimana akhirnya para awak film menyajikan premis ini. Bisa jadi premis menarik itu akan jatuh menjadi presentasi yang buruk ataupun bisa malah melejit menjadi karya yang sangat segar.
 
Di dalam genre science fictionsendiri, banyak sekali premis-premis menarik yang bisa diangkat. Banyak yang menarik perhatian tetapi juga tidak sedikit yang akhirnya menjadi bulan-bulanan para kritikus dan juga pecinta film. Premis dalam film science fiction memang banyak yang sudah diangkat oleh para sineas dari yang penuh petualangan hingga drama romantis menyentuh hati. Para sineas pun harus pintar dalam mengangkat satu premis cerita yang menarik pada sub genre ini. Meskipun premis yang diinginkan sudah banyak diangkat, tetapi sekali lagi itu tergantung dari bagaimana sang sineas untuk mengemasnya. 


Premis menarik kali ini datang dari film science fiction garapan Wally Pfister. Film perdana milik Wally Pfister dengan judul Transcendence ini menceritakan tentang sepasang suami istri yang sama-sama seorang pakar ilmiah, Dr. Will Caster (Johnny Depp) dan Evelyn (Rebecca Hall). Sang suami, Will merencanakan untuk menjalankan proyek transendensi untuk umat manusia. Membuat manusia akan lebih hebat daripada sebelumnya.

Tetapi usaha yang akan dilakukan oleh Dr. Will Caster ini mengundang kontroversi dan menyebabkan Dr. Will Caster ditembak oleh peluru yang terisi radiasi. Dengan bantuan sang istri dan temannya, Max (Paul Bettany) segala data yang ada di dalam otak dan tubuh Will dipindahkan ke sebuah piranti lunak. Tetapi, hal ini malah menyebabkan keadaan dunia tidak seimbang dan mengancam kelangsungan kehidupan manusia yang hakiki. 


Interesting plot does not mean it will be good then.

Seperti yang sudah dituliskan, premis menarik bukan berarti film yang ada akan menjadi film yang juga menarik. Hal itu terjadi pada film perdana garapan Wally Pfister ini. Premis menarik miliknya tak bisa dikemas dengan begitu menarik agar penonton bisa betah untuk menyaksikan film miliknya. Transcendence memiliki 115 menit yang artinya masih memiliki ruang yang begitu luas untuk mengolah dan menggali lebih dalam lagi intrik yang sebenarnya menarik di dalam film Transcendence ini.

Tetapi semacam banyak terjadi kesalahan di dalam proses produksinya, di mana Transcendence tak ubahnya adalah film science fiction dengan premis menarik yang sia-sia. Kesalahan awal terjadi bagaimana cerita di dalam film ini terlihat begitu kacau. Transisi setiap adegan di film ini terasa begitu kasar dengan penjelasan yang begitu kurang. Membuat para penonton meraba-raba sendiri apa masalah yang terjadi di film ini. Pertanyaan-pertanyaan yang disebarkan kepada penontonnya di dalam film ini seperti tidak dijawab oleh sang sutradara.

Penanganan oleh sang sutradara terlihat sangat begitu kurang. Terlebih film ini memiliki banyak sekali lubang-lubang cerita yang sengaja dibiarkan menganga begitu besar di dalamnya. Apa yang terjadi dengan 115 menit film ini? ketika masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menjadi tanggungan untuk dijawab. Menjadikan 115 menit yang memberikan ruang yang begitu besar agar menjadi film yang baik itu terbuang dengan sia-sia. Toh, banyak sekali yang dibahas oleh Transcendence tetapi bagaimana Wally Pfister tak bisa memanfaatkan segala yang menjadi pertanyaan itu dalam 115 menit yang panjang dan alhasil, film ini malah jatuh ke slow pace yang menjemukan. 


Perjalanan narasi film ini begitu tertatih dari skenario milik Jack Paglen. Seperti banyak sekali hal-hal yang diskip dan penceritaan yang lompat dari satu scene ke yang lain yang tidak rapi yang tentu menganggu perjalanan film ini. 115 menit durasi benar-benar tidak dimanfaatkan oleh sang sutradara hingga film ini berakhir dengan penceritaan yang tidak efektif. Begitu terasa bagaimana cerita yang dragging serta terasa tertarik ulur dan itu bukanlah hal yang baik dalam sebuah film.

Dengan banyak karakter penting di film ini sebagai kelangsungan intriknya, tetapi sekali lagi durasi itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Karakter-karakter yang harusnya masih perlu disokong dengan cerita yang lebih kuat lagi malah tidak tertangani. 115 Menit itu benar-benar ditujukan kepada Dr. Will dan Evelyn yang terasa ter-ekspos berlebihan. Karena karakter lain hanya seperti sebagai penyesak layar dan masih kurang mengerti kegunaan karakter tersebut dalam jalannya film ini. 


Memang, Transcendence memberikan satu kontemplasi bagi penontonnya terlebih pada teknologi yang sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer seluruh manusia di dunia. Masih ada poin yang baik untuk dijadikan renungan bahwa tak semua inovasi atau semakin canggihnya suatu teknologi akan selamanya memberikan efek positif bagi semua orang. Pasti ada salah satu hal yang harus dikorbankan dan itu akan menginvasi kehidupan manusia yang seharusnya.

Well, dengan adanya satu poin plus dalam film bukan berarti menyelamatkan film secara keseluruhan. Mungkin poin plus lainnya ada pada sinar bintang milik Johnny Depp. Tetapi, tak ada yang spesial dari penampilan miliknya. Begitupun dengan ikatan yang terjalin dengan Rebecca Hall, tidak ada satu rasa emosional yang signifikan akan dirasakan oleh penontonnya. Berjalan tidak terlalu hambar tetapi masih terasa kurang ‘bumbu’


Overall, Transcendence adalah satu film science fiction dengan premis menarik yang tidak tertangani dengan baik. Segala hal di film ini masih terasa begitu mentah dengan cerita yang masih jumpy, narasi yang terbatas, serta pace yang terasa tertarik-ulur. Masih memberikan pelajaran hidup yang berarti serta kekuatan pada nama Johnny Depp tetapi itu saja masih tidak cukup untuk menyelamatkan film ini. Debut milik Wally Pfister yang gagal.
 

RIO 2 (2014) REVIEW : NOT A BIGGER SEQUEL

Sekuel. Satu kata dari perfilmanyang sudah menjadi hal lumrah sebagai mesin pengeruk uang. Mengekor dari kesuksesan film pertamanya jelas ja... thumbnail 1 summary

Sekuel. Satu kata dari perfilmanyang sudah menjadi hal lumrah sebagai mesin pengeruk uang. Mengekor dari kesuksesan film pertamanya jelas jadi alasannya. Tetapi, banyak sekuel akhirnya hanya menyalin formula-formula yang sudah ditampilkan di film predesesor-nya tanpa menghasilkan inovasi yang segar agar sekuelnya tidak basi dan itu sering terjadi. Maka inilah yang menjadi salah satu tantangan bagi pembuat film agar bisa memotivasi agar bisa mengalihkan pandangan bahwa film sekuel akan lebih buruk daripada film predesesornya.



Dan sekuel kali ini jatuh pada film animasi garapan Bluesky Studio yang dinaungi oleh 20th Century Fox, Rio. Film yang menceritakan tentang burung Macaw Spix yang sudah mulai langka ini menjalani petualangan lagi. Kali ini, Blu (Jesse Eisenberg) dan Jewel (Anne Hathaway) melakukan perjalanan ke hutan Amazon karena pemilik mereka menemukan tempat tinggal mereka.
                                    
Blu, Jewel, dan ketiga anaknya melakukan perjalanan tersebut untuk menemukan kembali spesies mereka yang terancam punah. Ketika mereka bertemu dengan spesies mereka, Blu mulai untuk beradaptasi dengan kehidupan asli sebagai burung. Ancaman lain datang oleh seorang bernama Eduardo (Andy Garcia) yang berusaha untuk menghancurkan hutan Amazon.


Bluesky Studio mulai terkenal di dunia film animasi dengan Ice Age sebagai tanda kehidupan dari studio animasi ini. Meskipun masih kalah saing dengan studio animasi lainnya, tetapi Bluesky studio produktif dalam menghasilkan karya-karya film animasi yang cukup banyak meraup keuntungan. Rio adalah salah satu film animasi milik Bluesky studio yang berhasil mendapatkan keuntungan cukup banyak. Pun mendapatkan cukup banyak tanggapan positif dari kritikus di film pertamanya.

Alhasil, Carlos Saldanha selaku sutradara terbuai dengan segala kesuksesan yang diraih dan memutuskan untuk membuat sekuel untuk burung-burung Macaw Spix ini. Memutuskan untuk membuat sekuel untuk para burung biru ini harus memiliki strategi yang baik agar sang sekuel bisa diterima oleh para penonton dan kritikus dengan baik. Terlebih, sang predesesor saja masih terjebak dalam beberapa cerita klise meskipun masih dibungkus cukup baik dan masih menyenangkan untuk disimak. 


Nothing new and fresh even for jokes.

Sekali lagi, sebuah sekuel yang digadang-gadang akan lebih besar ternyata malah berujung pahit. Rio 2 gagal dalam memikat penonton dengan baik. Rio 2 menjelma sebagai film animasi dengan segala unsur klise yang gagal membungkus hasil akhirnya dengan indah. Bebeberapa template yang menyukseskan film predesesornya mungkin dihadirkan kembali. Warna-warna mencolok mata, lengkap dengan gimmick yang dimaksud untuk memaksimalkan format 3D yang dirilis oleh film ini.

Nyanyian-nyanyian indah yang diselipkan oleh film ini mungkin dapat menyita perhatian penontonnya. Meskipun, lagu-lagu di dalam film ini masih jauh dari kata memorable. Mungkin “What Is Love?” lagu pembuka yang sudah ditawarkan di trailer film ini yang bisa menjadi one bold performance untuk film ini. Tetapi, dengan hanya menawarkan semua itu di sepanjang film tak bisa memperbaiki banyak cerita yang sangat lelah untuk diikuti.

Cerita di film ini sangat formulaicdan sudah banyak ditawarkan di film-film animasi serupa. Alih-alih memberikan film animasi yang pas untuk disaksikan bersama keluarga dengan cerita yang ringan, tetapi malah menjadi bumerang bagi film ini. Mengemas cerita-cerita predictable itu lah yang menjadi kendala bagi film Rio 2 ini. Sang sutradara akhirnya masih menggunakan formula yang sama untuk film keduanya meskipun konfilk yang ditawarkan di film kedua kali ini berbeda. 


Kendala lain adalah main conflict yang harus rela untuk terganggu dengan konflik-konflik sampingan yang membuat pandangan sang sutradara harus terbagi-bagi. Sangat terasa dengan durasi sepanjang 100 menit, sang sutradara menyelipkan berbagai macam konflik. Dengan keterbatasan itu lah, Rio 2 pun menjalani alur cerita filmnya dengan begitu terbata-bata karena masih kurang memiliki ruang untuk meng-eksplor konflik yang begitu banyak itu.

Tak berhenti di situ, humor-humor cerdas dan segar juga absen dalam Rio 2 kali ini. Suntikan-suntikan humor segar benar-benar berkurang dalam sekuelnya kali ini. Dengan metode humor slapstick, bukan menjadi senjata ampuh untuk membuat penonton tertawa lepas. Humor slapstick itu terkesan terpaksa dengan formula yang sama dan ter-repetisi dibanyak adegan di dalam film sehingga tidak bisa lagi mengundang tawa penontonnya. Mungkin satu-dua adegan masih mengundang tawa, tetapi hanya sebagian kecil dari 100 menit durasinya.

Sekuel memang harus menjanjikan sesuatu yang lebih besar. Rio 2 menjanjikan banyak hal yang untuk menjadi sesuatu yang besar. Meskipun cerita tak memiliki sesuatu yang besar, tetapi segi animasi dan para pengisi suara di film sekuel ini juga terlihat lebih besar. Memang, masih menggunakan duo Jesse Eisenberg dan Anne Hathaway sebagai pionir untuk film ini. Tetapi, masih ada banyak pengisi-pengisi suara dengan nama besar lainnya yang menghiasi film ini. Seperti Bruno Mars, Kristen Chenoweth, Andy Garcia dan masih banyak lagi. 


Overall, Rio 2 adalah sebuah sekuel yang tidak bisa melampaui apa yang sudah diraih oleh film predesesornya. Tak menghadirkan sesuatu yang baru di segi cerita bahkan segi komedinya, penuh dengan formula yang klise yang tidak dapat dikemas dengan baik. Tak menjanjikan sesuatu yang besar walaupun dipenuhi dengan bintang-bintang besar di dalamnya. Bukan sekuel yang penting selain untuk mengeruk keuntungan. 

Selasa, 08 April 2014

CAPTAIN AMERICA : THE WINTER SOLDIER (2014) REVIEW : THE PHASE 2 HAS JUST BEGINS

Setelah Iron Man 3 dan Thor : The Dark World di rilis itu artinya Marvel Cinematic Universe phase 2 sudah akan menuju akhir. Di tahun 2013, ... thumbnail 1 summary

Setelah Iron Man 3 dan Thor : The Dark World di rilis itu artinya Marvel Cinematic Universe phase 2 sudah akan menuju akhir. Di tahun 2013, dua film milik Marvel ini tidak memiliki satu film stand-alone yang memiliki satu kesan siginifikan. Banyak pihak sudah merasa tidak memiliki harapan yang besar terhadap sekuel dari The Avengers yang akan dirilis di tahun 2015 mendatang. Maka perjalanan puncak akan segera sampai. Sekuel milik Captain America ini yang adalah beberapa jalan akhir sebelum menuju Avengers : Age of Ultron sebagai penutup Marvel Cinematic Universe phase 2.

Di Marvel Cinematic Universe Phase 2 ini, sutradara dari semua film stand alone superhero di sini tidak ada yang sama dengan phase 1. Sejatinya, Kevin Feige sang produser adalah sutradara sesungguhnya dari film-film milik Marvel. Dia memiliki andil besar untuk mengarahkan film-film Marvel sebagaimana mestinya. Untuk sekuel Captain America ini, kakak beradik  Joe dan Anthony Russo sebagai sutradaranya sekuelnya yang diberi judul Captain America : The Winter Soldier ini. 


Dengan setting pasca kejadian dari The Avengers, Steve Rogers (Chris Evans) atau sang Captain America mulai untuk beradaptasi dengan dunia-dunia modern di dalam markas S.H.I.E.L.D. Menjadi seorang agen pembasmi kejahatan dengan Black Widow (Scarlett Johansson) sebagai sang rekan dan Nick Fury (Samuel L. Jackson) sebagai komandan. Tetapi, ada sesuatu hal yang salah sedang terjadi di dalam organisasi S.H.I.E.L.D.

Di bawah naungan Alexander Pierce (Robert Redford), S.H.I.E.L.D memiliki satu kerjasama rahasia berbahaya dengan The Winter Soldier. Nick Fury pun tidak mengakses apapun dalam markas S.H.I.E.L.D yang mengancam nyawa miliknya. Steve Rogers dan Black Widow berusaha untuk mengungkap segala kejahatan yang sedang berada di dalam kepengurusan milik S.H.I.E.L.D yang sedang salah. 


Put your little faith for this Phase 2.

Perjalanan Marvel Cinematic Universe (MCU) Phase 2 ini memang sedang tidak dalam perjalanan yang mudah. Dengan semakin bertambahnya angka di belakang judul, maka jalan cerita harus benar-benar diperhatikan agar bisa semakin mendalam dan semakin baik. Dalam phase 2 kali ini, terdapat berbagai ragam penuturan dalam stand alonepara superhero. Iron Man 3 yang dicoba untuk mengulik sisi kelam, Thor : The Dark World yang lebih kental dalam ranah kolosal (serta komedi). Kali ini di Captain America : The Winter Soldier juga mengalami perubahan dalam penuturannya.

Ketika The First Avenger, predesesor Captain America ini berjalan lurus-lurus saja dengan unsur patriotisme dan nasionalis tinggi di filmnya maka berbeda dengan The Winter Soldier. Kali ini, The Winter Soldier memiliki unsur espionage kental di dalam filmnya. Berbeda? Ya, sangat berbeda but its being so good. Captain America : The Winter Soldier mengembalikan sedikit kepercayaan kepada para fans MCU dan penonton agar tetap antusias untuk menyaksikan Avengers : Age of Ultron pada tahun 2015 mendatang.

Kekuatan utama dari film ini adalah bagaimana sang sutradara, Joe dan Antony Russo berhasil menginterpretasikan naskah yang ditulis oleh Christopher Markus dan Stephen McFeely. Bagaimana naskah tersebut dikemas dan disajikan kepada penontonnya dengan begitu rapi dan padat. Dengan durasi selama 130 menit, film ini berhasil membuat penontonnya duduk tenang dan memperhatikan segala intrik menarik yang di angkat ke dalam filmnya. 


Memberikan bumbu-bumbu politik yang cukup kental membuat sekuel milik Captain America ini terasa seperti James Bond-ish dengan unsur fantasi yang juga menyenangkan. Bagaimana tensi yang konsisten terjaga juga menjadi kunci yang sangat baik untuk sekuelnya kali ini. Paruh awal diisikan berbagai dialog menarik tentang intrik politik yang sedang terjadi di dalam organisasi S.H.I.E.L.D ini. Bertambahnya durasi, maka bertambah pula rumitnya konflik-konflik yang ada dan ledakan sana-sini tanpa perlu efek hancur-hancuran kota yang berlebihan (well, another plus point).

Captain America : The Winter Soldier tak hanya menjalankan cerita straight forward to the end. Tetapi, ada bumbu twist and turn yang cukup bukan jatuh mengecewakan seperti yang dilakukan Shane Black di dalam film Iron Man 3. Bahkan, Joe dan Antony Russo tetap berhasil mengangkat unsur patriotik – bahkan bisa dibilang lebih -- ke dalam karakter Captain America tanpa perlu mengekspos berlebihan tentang pengabdian sang kapten kepada negara ataupun S.H.I.E.L.D yang sekarang sedang menaungi dirinya. 


Who’s Captain America without his Shield and costum? Well, di film ini citra Captain America benar-benar terangkat. Siapapun yang pada awalnya memicingkan mata atas kekuatan milik sang kapten, di sinilah sang kapten unjuk gigi. Tanpa perlu tameng dan kostum miliknya, sang kapten bisa melawan para musuh dengan tangan kosong dan dengan strategi yang pintar. Adegan fighting tangan hampa ini memberikan unsur kental lagi pada film-film espionage.

Chris Evans dan Scarlet Johansson berhasil memberikan chemistry yang begitu bagus saat bekerja sama dalam satu tim. Begitu pun dengan sang Villain yang bisa dikatakan menjadi satu Villain terkuat di dalam film-film Marvel. Atmosfir saat menonton The Avengers akan terasa saat menyaksikan film ini dan inilah yang membuat kepercayaan pada phase 2 setidaknya kembali naik untuk sekuel Avengers assemble. Satu hal yang terasa kurang untuk sekuel milik Captain America ini. Theme song di film predesesornya yang digarap oleh Alan Silvestri tidak kembali hadir di film terbarunya ini. Jika saja theme song itu kembali dihadirkan, mungkin akan menambah satu lagi poin plus di film ini.


Overall, Captain America : The Winter Soldier menjadi satu film stand alone superhero terbaik milik Marvel di Marvel Cinematic Universe Phase 2 bahkan bisa disejajarkan dengan Iron Man 1 milik Jon Favreau yang juga sangat baik. Russo Brothers berhasil mempresentasikan film superhero yang rapi dan membuat penonton memberikan kembali harapannya dan rasa antusiasme mereka untuk menyaksikan sekuel Avengers di tahun mendatang. One of the best superhero movie that marvel’s ever made. 

PS : There's 2 scene after mid-credit and the last credit
 
Sama hal dengan Iron Man 3 dan Thor : The Dark World, Captain America : The Winter Soldier pun merilis filmnya dalam format 3D.

DEPTH
 
Tidak memiliki depth yang istimewa bahkan cenderung datar-datar saja.

POP OUT
 
Nihil. Tidak ada Pop Out yang berinteraksi baik dengan penontonnya. Bahkan kepulan asap ataupun serpihan kaca juga tidak bisa menyapa penontonnya.
 
Captain America : The Winter Soldier cukup disaksikan dalam format 2D. Tidak ada yang terasa dalam format 3D kali ini depth datar, pop out yang sama sekali tidak ada dan mata yang harus disayang-sayang kesehatannya. Maka, format 2D direkomendasikan. 
ads