Rabu, 28 Mei 2014

EDGE OF TOMORROW (2014) REVIEW : BE QUIET. WATCH. REPEAT [WITH 3D REVIEW]

Musim panas tahun ini sedang mulai memanas. Di mulai dengan The Amazing Spider-Man 2 yang membuka musim panas dengan penuh mixed reviews , l... thumbnail 1 summary

Musim panas tahun ini sedang mulai memanas. Di mulai dengan The Amazing Spider-Man 2 yang membuka musim panas dengan penuh mixed reviews, lalu X-Men Days of Future Past juga ikut andil dalam fim-film musim panas tahun ini. Film-film blockbuster musim panas memang terkenal dengan karya-karya yang megah dan murni hiburan. Meskipun, beberapa membawa sajian penuh hiburan, akan berdampak buruk dengan kelangsungan cerita dari sebuah film.


Untuk menyusul kesuksesan yang sudah diraih oleh dua film musim panas sebelumnya, Doug Liman bersama Tom Cruise pun bergabung dalam satu proyek. Proyek tersebut adalah Edge Of Tomorrow yang pada saat comic-con akan dirilis dengan judul All You Need Is Kill. Film ini diangkat dari buku dengan judul yang sama dengan judul awal film ini. Buku dari negara sakura ini ditulis oleh Hiroshi Kasurazaka dan dibeli hak ciptanya oleh Warner Bros dan Village Roadshow untuk diangkat ke layar lebar. 


Edge Of Tomorrow ini ber-genre science-fiction dengan mencampurkan unsur time loop di dalamnya. Edge Of Tomorrow terfokus pada sosok William Cage (Tom Cruise), seorang Mayor yang ditangkap dan diterjunkan langsung ke dalam sebuah perang. William Cage pun menjadi seorang prajurit untuk mengalahkan mimic, alien yang sedang menginvasi bumi. Hingga suatu ketika saat perang, William Cage terbunuh oleh sesosok mimic yang lebih besar yang disebut Alpha.

Ketika William Cage merasa dirinya telah mati, dia malah kembali ke kejadian sehari sebelum kematiannya. Itu dilakukan terus menerus hingga suatu ketika dia bertemu dengan Rita Vrataski (Emily Blunt) yang juga pernah mengalami kemampuan seperti itu sebelumnya saat perang di Verdun. Kemampuan William Cage digunakan untuk mengalahkan mimic dengan cara menghancurkan sang induk bernama Omega. 


The real definition of Summer Blockbuster movie.

Time looping dan semacamnya bukanlah hal yang baru di dalam genre science fiction terlebih di perfilman Hollywood. Banyak film sejenis yang menggunakan subplot yang bertemakan time looping untuk filmnya. Di tahun 2012, ada film milik Rian Johnsonyaitu Looper yang berhasil mendapat kritik pujian dari kritikus film. Yang memiliki premis mirip dengan Edge Of Tomorrow adalah Source Code milik Duncan Jones tetapi dengan fokus yang berbeda.

Maka, Doug Liman yang ditunjuk sebagai pengarah untuk Edge Of Tomorrow ini adalah pilihan yang tepat. Sutradara yang mengantarkan The Bourne Identity dan Mr. & Mrs. Smith ini berhasil menyatukan dua elemen berbeda dari filmnya terdahulu ke dalam film terbarunya ini. The Bourne Identity yang serius dipadukan dengan selera humor di film Mr. & Mrs. Smith dan dipresentasikan ke Edge of Tomorrow miliknya ini. Edge Of Tomorrow bisa menyandang predikat film musim panas terbaik di tahun ini sejauh ini. Dengan tagline-nya ‘Live. Die. Repeat.’ Menjadi tagline film paling asyik tahun ini begitu pun dengan filmnya.

Dan film ini juga bisa mewakili definisi dari summer blockbuster yang penuh dengan visual efek, ledakan, dan tentunya dengan cerita yang tidak di nomer duakan. Bagi pecinta genre science fiction, Edge Of Tomorrow akan berhasil merebut hati mereka. Pun begitu dengan penonton awam yang ingin menyaksikan aksi dengan alur cerita yang intriguing. Dengan alur yang looping ini, Doug Liman berhasil menjadikan Edge of Tomorrow penuh dengan kejutan menarik di dalam filmnya. Tepat rasanya jika Edge Of Tomorrow ini adalah sajian Popcorn movie yang berkelas. 


Christopher McQuarrie selaku penulis naskah, tahun lalu cukup berhasil mengantarkan Jack Reacher menjadi penuh misteri. Maka, kali ini Christopher McQuarrie berhasil mengadaptasi novel milik Hiroshi Sakurazaka dengan bantuan Jez Butterworth. Mereka berdua berhasil menata setiap detail cerita dari novel untuk diadaptasi di medium film. Cerita dengan subplot Time Looping memang memiliki cerita yang akan memusingkan penonton awam.

Tetapi, Bagaimana Christopher McQuarrie dengan gampang mengolah unsur time Looping di dalam film menjadi sajian yang mudah di cerna bagi setiap kalangan. Christopher McQuarrie menjadikan cerita Looping ini dengan penuh unsur fun dan tidak akan memusingkan penontonnya dan diolah dengan baik sehingga tidak jatuh berantakan. Tentu dengan eksekusi yang benar dari Doug Liman sehingga misteri-misteri di film ini berhasil ditutup dan memiliki puncak klimaks yang dengan gampang merebut hati penontonnya.



Dengan durasinya yang berkisar 110 menit, sang sutradara mengantarkan setiap menit di filmnya dengan rapi. Pace film ini pun memiliki tempo yang baik dan terjaga hingga akhir filmnya. Informasi yang diberikan kepada penontonnya terhadap dunia milik film ini pun dirangkum dengan singkat dan jelas untuk penontonnya. Tanpa perlu bertele-tele tetapi berhasil menjadikan film ini memiliki unsur thrills yang kuat di setiap menitnya.

Identik dengan film-film musim panas lainnya, Edge Of Tomorrow akan penuhi dengan ledakan bombastis. Visual efek dan representasi dari dunia post apocalyptic yang disajikan oleh Edge of Tomorrow pun digarap begitu megah. Terlebih ketika film ini dalam  format 3D, setiap visual efek itu akan memiliki pengaruh kuat untuk format 3D tersebut. Penonton awam yang mencari visual efek megah akan dengan gampang jatuh hati dengan film ini. 


Poin plus tentu datang dari cast dari film ini. Tom Cruise seperti biasa akan mencuri setiap spotlight dari film miliknya. Tetapi, Tom Cruise di sini tidak terlalu terlihat dominan seperti film-film miliknya terdahulu. Ada Emily Blunt, dengan paras cantik dan aura femme fatale dari dirinya yang juga akan dapat menyaingi Tom Cruise untuk mencuri spotlight film ini. Cukup dengan dua nama besar tetapi film ini mampu berjalan begitu prima dari awal hingga akhir film. 


Overall, Edge Of Tomorrow adalah kandidat film blockbuster musim panas terbaik tahun ini. Dengan segala visual efek yang megah dan cerita yang time looping yang menawan akan dengan gampang membuat penontonnya jatuh cinta. Segala aspek mulai dari sutradara, penulis naskah, dan dua nama besar di film ini berhasil memiliki harmonisasi yang baik sehingga popcorn movie ini menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar hiburan. So, BE QUITE. WATCH. REPEAT!


Edge of Tomorrow pun dirilis dalam format 3D. Berikut adalah review 3D film ini.

DEPTH
Kedalaman film ini begitu luar biasa. Penonton seperti menyaksikan film ini secara langsung di depan mata mereka.

POP OUT
Mungkin tak terlalu banyak efek ini. Tetapi sekalinya muncul, efek tersebut akan berinteraksi dengan baik dengan penontonnya. 


Edge Of Tomorrow memiliki visual efek megah yang ternyata bisa dimanfaatkan dengan efek 3D-nya yang mewah. Tentu, menonton film ini dalam format 3D adalah keharusan. Karena format 3D di film ini digarap dengan baik and yes it worth in every pennies spent.

Senin, 26 Mei 2014

OCULUS (2014) REVIEW : CREEPY MIRROR’S TERROR

  Film horor adalah salah satu genre yang digemari oleh mayoritas penonton. Bukan hanya dalam negeri, luar negeri pun masih banyak yang menj... thumbnail 1 summary
 

Film horor adalah salah satu genre yang digemari oleh mayoritas penonton. Bukan hanya dalam negeri, luar negeri pun masih banyak yang menjadikan film horor sebagai ladang uang di dunia perfilman mereka. Tahun lalu, dua film horor menggemparkan Box Office US. Di tangan dingin James Wan, The Conjuring dan Insidious 2 berhasil merebut hati pemirsanya. Tahun ini, masih dibilang minim film-film horor. Baru 2 judul yang dilepas di tahun ini, Paranormal Activity : The Marked Ones dan Devil’s Dueyang masih formulaic.
 
Mike Flanagan mungkin masih asing di perfilman Hollywood. Dia adalah moviemaker indie yang juga terbiasa menangani film-film horor. Kali ini, Mike Flanagan menciptakan film horor terbarunya dengan judul Oculus. Mike Flanagan menjadi sutradara sekaligus penulis skenario dari film miliknya yang dibantu oleh Jeff Howard. Oculus sendiri awalnya adalah film pendek milik sang sutradara yang bergenre horor. Dia mengadaptasi film pendeknya sendiri menjadi film panjang. 


Di tahun 2001, Kaylie kecil (Annalise Basso) dan Tim kecil (Garrett Ryan) mengalami keanehan di keluarganya semenjak pindah rumah. Di mulai ketika Ayah mereka, Alan Russell (Rory Cochrane) memiliki aksesoris di ruang kerjanya yaitu cermin antik. Sang ayah mengalami perubahan perilaku menjadi sosok yang dingin. Hal tersebut membuat kejadian-kejadian aneh yang menghantui keluarga mereka. Membuat sang Ibu, Marie Russell (Katee Sackhoff) menjadi stres oleh kelakuan suaminya.

Semakin membuat bencana, ketika kejadian aneh itu ternyata menghilangkan nyawa kedua orang tua dari Kaylie dan Tim. 11 Tahun kemudian, Kaylie (Karen Gillan) akhirnya mencari tahu apa yang aneh dengan cermin antik tersebut. Sang adik, Tim (Brenton Thwaites) sudah tidak mau mengingat kejadian itu lagi tetapi dengan paksaan Kaylie akhirnya Tim ikut andil dalam mencari tahu sesuatu yang aneh tersebut. 


Intense yet thrilling horror movie without cheapy jump scares.

Film horor memiliki satu barang antik yang menjadi ciri khas. Entah itu dalam bentuk boneka, lukisan, dan beberapa barang lainnya yang bisa dijadikan pembawa makhluk astral untuk hinggap di barang tersebut. Di film Oculus kali ini, Cermin menjadi objek dari makhluk astral tersebut. Mungkin, cermin bukan hal yang baru untuk dijadikan objek sebuah film horor. Mirrors yang dirilis di tahun 2008 juga menjadikan cermin sebagai objek pembawa makhluk astral.

Maka, kali ini cermin di Oculus pun menjadi karakter antagonis utamanya. Mike Flanagan menjadikan Oculus film horor yang memiliki isi dan bisa membawakan atmosfir mencekam yang bagus. Well, mungkin penonton awam akan dikecewakan dengan minimnya penampakan makhluk-makhluk astral yang bisa dibilang minim. Oculus bukan semata-semata film horor dengan jump scares murahan yang akan membuat penontonnya berteriak.

Mike Flanagan bukanlah menawarkan hal tersebut karena Oculus memiliki sensasi horor yang berbeda. Mike Flanagan tentu berhasil mengarahkan filmnya dengan baik, meskipun beberapa kekurangan masih menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Oculus memiliki 2 setting waktu yang berbeda. Dan Mike Flanagan menyajikannya dengan potong demi potong yang akan menyatu di bagian akhirnya, layaknya sebuah puzzle


Beberapa bagian ceritanya mungkin akan terasa rush. Mike Flanagan masih kurang bisa menata dua setting cerita yang disajikan bersamaan dengan sangat baik, sehingga Oculus masih jauh dari kata sempurna. Puzzle yang disebar oleh sang sutradara memang berhasil disusun, tetapi masih kurang rapi dan masih menimbulkan plot holes. Plot holes itu seharusnya bisa dihindari ketika Mike Flanagan bisa mengatasinya dengan baik. Dari segi naskah yang ditulisnya pun, Oculus bisa menjadi film yang baik. Kisahnya masih segar dengan selipan-selipan ilmiah di dalamnya sehingga Oculus bukanlah horor kacangan.

Dengan dua setting waktu yang berbeda itulah, Oculus juga mendapatkan poin plusnya. Oculus berhasil memainkan emosi penontonnya dengan dua setting waktu yang berbeda itu. Perjalanan mencari makhluk astral di film Oculus ini pun terasa berbeda. Sang sutradara seperti memberikan puzzleyang tidak utuh di awal. Banyak sekali dialog-dialog yang menunjukkan peristiwa sebelumnya tanpa menjelaskan cerita yang sebenernya terjadi terlebih dahulu kepada penonton. 


Baru mulailah perlahan-lahan tensi itu semakin naik dan naik. Puzzle yang berantakan tersebut mulai disusun perlahan-lahan dan bisa memainkan emosi penontonnya. Menyatukan puzzle-nya pun tidak berurutan, melainkan dari menyusunnya dari sisi yang berbeda. Sepotong di setting 10 tahun lalu, sepotong lagi di setting waktu sekarang. Sehingga pada waktu dan timing yang tepat, film ini berhasil memberikan klimaks yang bagus dan menjadi satu kesatuan film yang menarik.

Mike Flanagan berhasil menginterpretasikan suasana seram di film ini. Tanpa perlu scoring yang overused, beberapa adegan hening tersebut berhasil menciptakan suasana yang begitu gelap dan mencekam. Meskipun Oculus minim dengan Jump scares, tetapi dengan atmosfirnya yang mencekam inilah yang membuat Oculus satu level di atas banyaknya film horor yang pernah dibuat. Adegan mencekam dan gelap itu benar-benar tampil memikat. 


Oculus bukan hanya bermain-main dengan emosi penontonnya, tetapi juga bermain-main dengan psikologis penontonnya. Oculus berhasil menciptakan suasana seram yang akan menganggu pikiran penontonnya. Penonton pun akan mengharapkan film ini segera berakhir karena teror-teror yang disajikan di film ini begitu menakutkan bagi penontonnya. Mike Flanagan ini berhasil membangun image bagi Cermin tersebut sehingga menjadi mimpi buruk bagi karakternya. Bukan hanya sekedar menjadi objek, melainkan karakter antagonis utama untuk film ini.

Hal tersebut juga diperkuat dengan barisan aktor dan aktrisnya yang bermain dengan baik. Memang tidak ada nama-nama familiar di jajaran aktor dan aktrisnya. Tetapi, Karen Gillan berhasil menampilkan performa yang sangat menarik di film ini. Berhasil memberikan ekspresi penuh kengerian campuran dengan wajah psycho di parasnya yang cantik. 

 

Overall, Oculus bukanlah film yang mengandalkan jump scares sebagai kekuatan utama untuk filmnya. Tetapi, bagaimana Mike Flanagan menginterpretasikan horor dalam presentasi yang lebih berkelas dengan menampilkan suasana yang mnyeramkan dan mengikat. Meskipun beberapa bagian terlihat rushy, tetapi Oculus tetap berhasil menyajikan horor yang akan memainkan emosi serta psikologis penontonnya. Thrilled! 
 

Kamis, 22 Mei 2014

X-MEN : DAYS OF FUTURE PAST (2014) REVIEW : WELL-MADE X-MEN MOVIES [WITH 3D REVIEW]

X-Men Universe mengalami pasang surut yang cukup signifikan di setiap filmnya. Terlebih pada trilogi X-Men yang harus ditutup pahit oleh Bre... thumbnail 1 summary

X-Men Universe mengalami pasang surut yang cukup signifikan di setiap filmnya. Terlebih pada trilogi X-Men yang harus ditutup pahit oleh Brett Renner. The Last Stand, mendapat banyak sekali kritikan tajam oleh para kritikus, penonton film, dan fans dari komik X-Men yang sudah berharap lebih dengan babak terakhir dari trilogi X-Men.Untuk membalas kesalahan dari The Last Stand, di tangan Matthew Vaughn, 20th Century Fox membangun kembali dunia X-Men mulai dari awal.

X-Men First Class yang menjadi garapannya menjadi babak baru dari X-Men. Mengulang kembali universe X-Men dari awal mula pertemuan Charles dan Erik. First Class menjadi sebuah harapan bahwa prekuel bisa menjadi tontonan yang mengikat dan sangat bagus. Kali ini, Bryan Singer yang pernah mengerjakan dua seri X-Men di triloginya kembali mengerjakan sekuel dari First Class. Days Of Future Past, judul yang digunakan untuk lanjutannya. 


Days Of Future Past memiliki trailer yang menarik ketika ada unsur time travel di dalamnya. Dunia sudah mulai hancur ketika Sentinel, robot yang digunakan untuk membasmi para mutan itu dibuat dan memburu para mutan satu persatu. Ini membuat para mutan di X-Men mulai panik, Professor X (Patrick Stewart) mengutus Wolverine (Hugh Jackman) untuk melakukan time travel dengan kekuatan milik Kitty Pride (Ellen Page).

Wolverine mendapatkan misi untuk menemukan Charles (James McAvoy), dirinya saat muda untuk menghentikan Mystique (Jennifer Lawrence) dalam usahanya membunuh Trask (Peter Dinklage). Karena usahanya dalam membunuh Trask itulah yang membuat masa depan mutan tidak selamat dan buruk. Wolverine pun juga diutus oleh Magneto (Ian McKellen) untuk menemukan Erik (Michael Fassbender) atau Magneto muda agar bisa bekerja sama untuk menemukan Mystique. 


Bryan Singer made X-Men movies back to the right path.

Bryan Singer sangat berhasil untuk memperkenalkan 2 film X-Men untuk triloginya dengan sangat baik. Setelah dirinya hengkang dari trilogi tersebut, Brett Renner menggantikannya di kursi sutradara dan menutup trilogi tersebut dengan pahit. X-Men trilogi tanpa Bryan Singer pun hancur lebur jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya yang sangat bagus. Untuk menghapus kesalahannya yang absen menangani film terakhir X-Men, dirinya kali ini hadir kembali untuk menyetir Days Of Future Past yang diiakui sebagai sekuel dari First Class.

Days of Future Past memiliki kerumitan konsep cerita yang jika saja salah perlakuan mungkin akan membuat film ini gagal. Tetapi 20th Century Fox beruntung ketika mengutus kembali Bryan Singer untuk mengerjakan film X-Men kali ini. Bryan Singer benar-benar berusaha keras agar dengan kembalinya di proyek X-Men bisa menghapus kesalahannya. Dan dirinya berhasil mengantarkan Days Of Future Past sebagai film summer blockbuster yang sangat berhasil.

Days Of Future Past akan membuat penontonnya bertanya-tanya Professor X dan Charles Xavier bisa bertemu satu sama lain. Jangan khawatir, Bryan Singer tahu benar konsep dari time travel yang akan memenuhi segala ekspektasi penontonnya. Inilah yang menarik, time travel yang akan memberikan koneksi terhadap masa lalu dan masa depan para mutan. Menjaga koneksi untuk menghubungkan cerita yang memiliki dua setting waktu yang berbeda adalah hal yang cukup susah. Tetapi, sang sutradara berhasil mengarahkan cerita tersebut dengan sangat baik dan begitu intriguing. 


Penonton akan terpaku dan tidak sadar bahwa mereka telah menghabiskan 130 menit untuk menyaksikan film ini. Tentu, dibantu dengan sokongan naskah yang ditulis oleh Simon Kinberg, Days of Future Past berhasil menceritakan setiap timeline cerita dan plot dengan begitu baik. Days of Future Past bisa dikatakan adalah re-united dari semua film-film X-Men. Semua karakter mutan tumpah ruah di film ini dan dengan porsinya masing-masing. Days of Future Past pun bisa dikatakan sebagai tempat nostalgia bagi para fans X-Men untuk sekedar nostalgia dengan mutan-mutan yang pernah ada di film-film X-Men sebelumnya.

Banyak sekali karakter-karakter masuk yang biasa kita temui di film-film X-Men terdahulu. Sehingga layar akan penuh dengan banyak sekali mutan, di sinilah kepintaran Bryan Singer di uji. Dengan masuknya banyak karakter di film ini bagaimana sang sutradara harus bisa membuat karakternya saling tumpang tindih memenuhi layar dan Days of Future Past berhasil mengemas semua karakter di filmnya dengan porsinya masing-masing. Semua tertata rapi dan cerita inti masih utuh. 


Days of Future Past memiliki cerita yang cukup rumit dengan tambahan karakter yang begitu banyak. Jika saja sutradara tidak memiliki kompetensi yang baik, maka tamat saja film ini. Terlebih juga ada konsep time travel yang semakin membuat film ini semakin rumit. Days of Future Past tidak hanya mengandalkan efek-efek CGI rumit dan ledakan tanpa memiliki cerita yang baik. Toh, film ini tetap memberikan sisi emosional di dalam ceritanya. Pertarungan antar karakternya dibalut dengan sisi emosional yang baik tentu akan menambah poin plus bagi Days of Future Past.

Semenjak First Class milik Matthew Vaughn, X-Men mulai diminati oleh banyak penonton. Karena tanpa di sangka, First Class menjadi tontonan yang sangat memikat di setiap menitnya. Dan semenjak First Class, kepercayaan penonton terhadap X-Men pun melonjak untuk menantikan Days Of Future Past. Dengan arahan Bryan Singer yang baik ini, bisa dibilang memperkuat kepercayaan bagi X-Men universe untuk bersaing dengan film-film Marvel lainnya. Mengembalikan X-Men Universe ke jalan yang benar setelah triloginya yang rusak oleh The Last Stand.


Days of Future Past adalah film X-Men yang memiliki balutan cerita yang cerdas dengan memberikan sisi emosional serta menyelipkan humor agar filmnya benar-benar pas disaksikan saat musim panas. Di setiap menit yang diarahkan dengan baik oleh sang sutradara, penonton akan gampang takjub dibuatnya. Dan untuk ukuran film summer blockbuster, Days of Future Past akan dengan gampang melaju sebagai film summerterbaik di tahun ini. 


Overall, X-Men : Days Of Future Past akan melampaui setiap ekspektasi orang yang mengharapkan filmnya. Dengan arahan yang begitu baik oleh Bryan Singer, tentu film ini melaju sebagai film summer terbaik tahun ini. Banyaknya karakter di film ini memiliki porsi yang benar-benar pas dan tidak saling tumpang tindih. Dan tentu saja, bisa dijadikan ajang nostalgia di film-film X-Men sebelumnya. Ini adalah upaya permintaan maaf oleh Bryan Singer terhadap trilogi X-Men and he got it.


Days Of Future Past juga dapat disaksikan dalam format 3D. Berikut reviewnya

DEPTH
Tidak ada kedalaman yang gambar yang signifikan saat menonton film ini dalam format 3D. Mungkin hanya beberapa adegan saja.

POP OUT
Asap dan butiran salju saja yang dapat berinteraksi baik dengan penontonnya.
 
Menyaksikan X-Men Days Of Future Past dalam format 3D mungkin tidak diwajibkan. Karena tidak ada efek yang begitu signifikan dalam format 3D film ini. Menyaksikan film ini dalam format 2D pun cukup.

Rabu, 14 Mei 2014

GODZILLA (2014) REVIEW : SEGMENTED GODZILLA'S NEW UNIVERSE [WITH 3D REVIEW]

Gojira , makhluk ciptaan fantasi manusia dengan ukuran gigantis yang berasal dari jepang ini pernah ditampilkan dalam film Godzilla milik je... thumbnail 1 summary

Gojira, makhluk ciptaan fantasi manusia dengan ukuran gigantis yang berasal dari jepang ini pernah ditampilkan dalam film Godzilla milik jepang di tahun 1954. Kembali dihidupkan oleh perfilman Hollywood lewat tangan Rolland Emmerich di tahun 1998. Meskipun tidak mendapatkan respon yang baik dari kritikus ataupun para pecinta makhluk berukuran gigantis ini. Di tahun 2014 ini, konstruksi ulang cerita dari sang raksasa ini mendapat slot untuk bersaing dengan film-film musim panas.

Di tangan Gareth Edward sebagai sutradara, Godzilla akan bersiap-siap untuk memporak-porandakan kota dengan reka ulang yang lebih meyakinkan. Dengan photo still yang sudah dirilis pada Comic Con tahun lalu, hingga poster-poster yang memiliki desain mengagumkan. Tak salah, banyak orang sangat menanti-nantikan Godzilla sebagai film monster yang ‘besar’ dan menjadi salah satu film monster terbaik yang pernah dibuat oleh Hollywood. 


Setelah pulang dari tugasnya menjadi anggota angkatan laut, Ford (Aaron-Taylor Johnsson) berkumpul kembali dengan keluarga kecilnya bersama sang istri, Elle (Elizabeth Olsen). Di tengah berkumpulnya mereka, Elle mendapat telepon dari Jepang yang mengatakan bahwa ayah dari Ford, Joe (Bryan Cranston) tengah melewati zona terlarang yang membuatnya harus berurusan dengan polisi.

Alasan kenapa Joe melewati zona terlarang itu adalah suatu keganjilan yang pernah terjadi padanya 15 tahun lalu. Dimana perusahaan tempat dia dan sang istri bekerja dulu, Janjira mengalami kebocoran pada zat radiasi yang menyebabkan sang Istri atau Ibu dari Ford harus meninggal disana. Dan apa yang ganjil di 15 tahun lalu bukan sebab dari human error, tetapi disebabkan oleh makhluk asing bernama MUTO yang mencari zat radiasi untuk berkembang biak. 


Fans treatment for gigantic-creature-called-Gojira fans.

Roland Emmerich pernah mengajak makhluk besar ini untuk menginvasi layar perak. Tetapi sayang, usaha miliknya bisa dibilang gagal untuk bisa memikat para penonton, fans, maupun kritikus film. Film miliknya ini mendapat banyak sekali kritikan pedas. Warner Brosdan Legendary Pictures pun mendapatkan kesempatan untuk me-reka ulang Godzilla dengan Gareth Edward sebagai pemegang kendali agar filmnya tak akan jatuh layaknya milik Roland Emmerich.

Hingar bingar Godzilla terjadi ketika photo still pertama di rilis tahun lalu. Diperkuat dengan film milik Guilermo Del Toro, Pacific Rimdengan pertandingan antara monster dan robot yang secara tidak langsung memiliki benang merah dengan Godzilla. Begitupun dengan film Godzilla itu sendiri, entah apakah Warner Bros dan Legendary Pictures ini benar-benar sengaja membangun universe antara Godzilla dengan Pacific Rim atau memang hanya sebatas ketidaksengajaan saja. Tetapi, bagi siapapun yang pernah menonton Pacific Rim bisa mendapat beberapa easter eggdi film Godzilla yang bisa dikatakan sebagai prekuel tidak resmi dari Pacific Rim.

Kembali ke film Godzilla, dengan skrip yang ditulis ramai-ramai oleh Max Borenstein, Frank Darabont, dan Dave Callaham ini membuat film ini sendiri tak hanya berisikan pertarungan monster penuh ledakan dan kehancuran dengan plot yang tidak jelas. Mereka pun menyelipkan human drama yang kental sehingga ada satu plot yang berjalan untuk memperkuat film ini. Meskipun berjalan dengan cukup intens, sayangnya human drama itu tidak memiliki latar belakang yang dapat menyokong plot dengan baik. Film Godzilla membangun karakter-karakternya dengan begitu pelan dan hati-hati tetapi sayangnya, it doesn’t work very well. 


Godzilla memang memiliki intens cerita yang cukup menarik di paruh awalnya. Bagaimana asal mula makhluk-makhluk berukuran besar itu bisa menginvasi bumi. Dengan ulasan scientific di dalamnya yang bisa menjadi salah satu pondasi kuat. Dengan bangunan human drama yang cukup besar, akhirnya Godzilla pun terlihat terlalu sibuk untuk membangun ceritanya. Mengesampingkan inti dari filmnya sendiri yaitu sang Godzilla. Yang harusnya perlu diperhatikan, ketika karakter-karakter yang muncul rasanya masih belum ada yang memiliki satu alasan jelas dan kuat. Ini membuat semua karakter di film terasa abu-abu.

Jika dibilang Ford sebagai front line karakter di film Godzilla pun rasanya masih kurang. Hanya saja, Aaron-Taylor Johnson sebagai Ford memiliki running time yang lebih banyak ketimbang yang lain. Dan dengan durasi mencapai 120 menit, rasanya karakter-karakter di film Godzilla pun masih memiliki penggalian yang kurang kuat. Seperti ada yang hilang dengan karakter-karakter di film ini. Hal tersebut memiliki pengaruh yang signifikan bagi film ini. Film Godzilla pun tak memiliki daya tarik yang kuat di paruh kedua filmnya.  


Dengan pembangunan human drama untuk film Godzilla, tanpa disengaja human drama itu mengambil alih porsi dari Godzilla yang dimaksudkan sebagai film monster. Membangun tensinya perlahan-lahan dari paruh pertama sebagai building part of this universe. Perjalanan cerita mulai terasa draggy di paruh kedua dan dibalas di paruh ketiga meskipun masih lack of powerness to be a great climax. Memiliki banyak subplot yang bercabang-cabang sehingga terasa asal tempel untuk memenuhi durasi. Serta sebagai media tarik ulur akan kemunculan sang Godzilla.

Tetapi, usaha Gareth Edward dalam mengarahkan filmnya perlu diacungi jempol. Banyak sekali hal-hal lain yang membuat film ini masih layak untuk ditonton. Poin plus pertama untuk film Godzilla kali ini adalah Gareth Edward terlihat berusaha untuk tak terlalu jauh dengan sumber aslinya. Bagi penonton yang tidak pernah menonton Godzilla dari versi apapun, bisa merasakan bahwa Gareth Edward menyelipkan banyak tribute untuk sumber asli dari film Godzilla.

Serta, Gareth Edward tentu dengan gampang bisa menarik hati para fans-fans Gojira. Tetapi negatifnya ini akan membuat film miliknya segmented. Poin plus kedua, Gareth Edward sepertinya tidak mau film monster miliknya ini sebagai ajang narsisme makhluk gigantic ini. Tidak membuat Godzilla milik Gareth Edwards ini hanya penuh dengan ledakan dan kehancuran kota. Setidaknya masih memilik plot yang bagus dan kuat sebagai pondasi. 


Gareth Edward mengeksekusi dengan baik atmosfir yang ada di film ini. Penonton film ini bisa merasakan atmosfir penasaran dengan nuansa gelap yang kental. Menutupi segala hal tentang Godzilla sehingga for the right timing, it will be something massive. Tetapi sayangnya it’s gone too far. Bagaimana Godzilla datang ke kota sepertinya datang secara tiba-tiba. Ini sangat berpengaruh dengan klimaks yang kurang berhasil untuk memikat penontonnya dan hal tersebut dipengaruhi pada kemunculan Godzilla yang terlampau sedikit.

Dengan pertarungan-pertarungan dengan rasa yang cukup hambar. Meskipun, visual effect menarik yang menampilkan kota hancur dengan rasa yang begitu gelap dan indah. Di sinilah, porsi drama yang mengambil alih menjadi satu efek minor bagi Godzilla. Final battle Godzilla pun terasa anti-klimaks dan penonton terlebih yang bukan fans Gojira ataupun penonton film-filmnya akan keluar studio dengan perasaan yang biasa saja. Karena dengan penantian yang cukup lama, ternyata hanya seperti itu saja.


Overall, Godzilla milik Gareth Edwards ini bukanlah presentasi yang sempurna. Mungkin akan pas jika dibilang Godzilla miliknya ini adalah fans service untuk para penggemar makhluk berukuran gigantis ini. Tetapi, hal tersebut akan membuat karyanya akan terbagi-bagi. Gareth Edwards tahu benar untuk menampilkan film monster yang masih memperdulikan plot meskipun gone too far yang malah memberikan efek minor untuk bagian klimaks. Gareth Edward takes a lot of risky way


Godzilla dirillis dalam format 3D. Meskipun hasil 3D-nya ini hanya hasil konversi. Berikut review format 3D milik Godzilla.
DEPTH
Dengan kedalaman yang cukup menarik, penonton akan merasakan pertarungan para kaiju Godzilla seperti di depan mata.
POP OUT
Hampir tidak ada efek Pop Out yang bisa dirasakan ketika menonton film Godzilla. 

Disaksikan dalam format 2D saja tidak akan melewatkan berbagai momen dari film Godzilla. Tetapi, dengan efek depth yang cukup baik ini bisa mendekatkan penonton dengan pertarungan Godzilla saat menontonnya. Terlebih, tiket 3D dan 2D memiliki harga yang sama. 

Jumat, 09 Mei 2014

MARMUT MERAH JAMBU (2014) REVIEW : ASAM MANIS CINTA PERTAMA

Raditya Dika dan film-film adaptasi dari novelnya adalah formula mudah untuk mendapatkan banyak sekali penonton di setiap filmnya. Tahun 201... thumbnail 1 summary

Raditya Dika dan film-film adaptasi dari novelnya adalah formula mudah untuk mendapatkan banyak sekali penonton di setiap filmnya. Tahun 2013 lalu, Raditya Dika sudah menghiasi layar bioskop dengan 3 film yang dibintangi langsung olehnya. Tentu saja, 3 film itu mendapat andil dalam 10 film Indonesia terlaris dengan jumlah penonton berjumlah ratusan ribu. Dan dengan bekal larisnya film-film miliknya, di tahun 2014 ini Raditya Dika pun berusaha untuk menyutradarai sendiri film-film yang dibintanginya.

Dengan Remaja sebagai sasaran target pasar dari film-film milik Raditya Dika, 2 film sudah disiapkan oleh Raditya Dika di tahun 2014. Salah satu yang mendapat slot rilis terlebih dahulu adalah adaptasi dari buku miliknya, Marmut Merah Jambu. Filmnya kali ini bisa dikatakan melanjutkan Trilogi dari yang dimulai dari Cinta Brontosaurus meskipun tak ada cerita yang benar-benar memiliki benang merah dengan 2 seri tersebut. Serta, film ini adalah debut dari Raditya Dika sebagai sutradara.


Marmut Merah Jambu kali ini menceritakan Dika (Raditya Dika) yang berkunjung ke rumah cinta pertama dari Dika Kecil (Christoffer Nelwan), Ina (Anjani Dina). Dika datang dengan membawa 1000 burung kertas dan undangan pernikahan Ina yang akan menikah besok. Di rumah itu disambut oleh ayah Ina (Tio Pakusadewo) lalu Dika menceritakan cerita-cerita SMA-nya bagaimana Dika bisa menyukai Ina dan menyebabkan luka di perut ayah Ina saat pesta ulang tahun. 

Dika di saat muda berteman dengan Bertus (Julian Liberty), dia ingin sekali populer. Hingga suatu saat, Dika bertemu Ina di UKS kala itu. Dika pun mendukung Bertus agar dirinya dan Dika untuk menjadi populer agar bisa mendapatkan Ina. Mereka berdua pun membuat grup detektif dengan tambahan satu personil wanita bernama Cindy (Sonya Pandawarman). Setelah berhasil menyelesaikan banyak kasus, Grup detektif tersebut menjadi populer. Hingga suatu saat ada satu kasus yang tidak dapat diselesaikan yang sebenarnya membawa kepada satu cerita cinta milik Dika. 


Kisah manis tentang cinta pertama.

Lupakan tentang Kambing Jantan, karena Cinta Brontosaurus bisa dibilang memberikan pembuka yang lain untuk film-film adaptasi dari buku milik Raditya Dika. Cinta Brontosaurusmilik Fajar Nugros ini gagal untuk mendapatkan hati di penontonnya. Tak hanya dari segi cerita cinta remaja yang harusnya bisa jadi manis, tapi juga dalam sajian komedi yang benar-benar gagal menarik tawa yang riuh dari penontonnya. Malah, membuat kerutan di kening setiap penontonnya.

Di Manusia Setengah Salmon, akhirnya mengalami kenaikan yang sangat signifikan dari segala aspek seiring dengan bergantinya Sutradara. Meskipun harus mengalami penurunan dari segi penonton. Di proyek ketiga ini, Sutradara pun diganti oleh Raditya Dika yang mengalami debut penyutradaraan untuk film bioskop pertamanya. Marmut Merah Jambu bisa dibilang penentuan bagaimana hasil akhir dari debut sutradara dari Raditya Dika ini dalam pengarahannya.

Well, Marmut Merah Jambu ternyata berhasil diarahkan dengan begitu baik oleh Raditya Dika dalam debut penyutradaraannya. Meskipun tak sampai menjadi satu pengarahan yang mengagumkan, tetapi Raditya Dika berhasil mengarahkan novelnya menjadi Romance-Comedy film yang begitu manis dan menyenangkan untuk diikuti. That is so surprising. Marmut Merah Jambu pun mampu berdiri sejajar dengan Manusia Setengah Salmon dan malah bisa setingkat lebih baik. 


Komedi yang disajikan tetap memiliki khas Raditya Dika. Masih mampu mengundang tawa riuh penonton di dalam studio saat menontonnya. Raditya Dika tahu bagaimana untuk menyelipkan komedi-komedi miliknya di saat yang tepat sehingga setiap komedinya berhasil mengenai sasaran. Hit and Miss masih tetap menghiasi komedi-komedi di film-film yang dibintangi oleh Raditya Dika. Di Marmut Merah Jampu pun, masih ada beberapa komedi yang tidak memiliki kekuatan penuh untuk mengundang semua penonton agar tertawa bersama-sama saat menontonnya.

Hal tersebut terjadi karena intensitas komedi yang ada di film ini terlalu sering muncul di permukaan film yang akhirnya memiliki kesan memaksa untuk beberapa adegan. Perlunya jeda untuk film komedi adalah satu hal yang diperhatikan. Tentunya, agar cerita-cerita yang menjadi pondasi kuat untuk jalannya sebuah film itu bisa diperhatikan dengan sangat baik. Dan Marmut Merah Jambu memiliki satu masa di mana lelucon-lelucon itu harus dikurangi agar cerita cinta dan pertemanan Dika, sang pemeran utama ini bisa lebih diperhatikan lebih lagi. 


Satu hal yang menarik di Marmut Merah Jambu, menggunakan alur campuran dengan transisi yang menarik. Marmut Merah Jambu memiliki pakem yang berbeda ketimbang dua film sebelumnya. Tentu, itu menjadi kekuatan lain untuk Marmut Merah Jambu hingga tidak membuat Marmut Merah Jambu ini berjalan lurus-lurus saja. Akhirnya memberikan cita rasa lain untuk menceritakan cinta pertama saat SMA yang berujung pada kisah cinta Dika saat dirinya sudah dewasa.

Raditya Dika juga berhasil mengarahkan cerita cinta remaja untuk filmnya ini dengan manis. Dikemas dengan sedemikian rupa sampai paruh ketiga dari film ini tiba, kesan manis dan romantis itu berhasil disajikan kepada penontonnya dengan kekuatan penuh dan sangat berhasil. Kesan Romantis yang dibangun di Marmut Merah Jambu pun tak memberikan kesan murahan. Dengan dukungan dialog-dialog romantis yang quote-abledan memiliki satu analogi dengan seekor Marmut dalam kisah cinta pertamanya. Gampang saja jika paruh ketiga dari film ini akan berhasil membekas di hati penontonnya terlebih pada penonton remaja. 


Dibalut dengan soundtrack-soundtrackmenarik dan manis di setiap adegannya yang mampu berkoneksi baik dengan adegan-adegan romantis di film ini. Tentu saja, dengan shot indah yang ditangkap dan disajikan di setiap Frame-nya. Sehingga, bisa mendapatkan gambar-gambar indah yang dapat menguatkan kesan romantis itu. Ditambah dengan set dalam production value yang juga menekankan kesan manis untuk adegannya. 


Overall, Marmut Merah Jambu adalah usaha debut penyutradaraan Raditya Dika yang berhasil. Dengan komedi-komedi renyah dan kisah cinta romantis tentang cinta pertama dikemas menarik yang akan menarik perhatian penonton remaja khususnya. Meskipun, memiliki beberapa kesalahan kecil dalam presentasi leluconnya. Tetapi, Marmut Merah Jambu berhasil menaruh patokan lumayan tinggi untuk sebuah film RomCom di perfilman Indonesia. Manis. 

Kamis, 01 Mei 2014

THE AMAZING SPIDER-MAN 2 (2014) REVIEW : THE BATTLE STARTS FROM NOW [WITH 3D REVIEW]

Setelah kegagalan Sam Raimi dalam mengantarkan episode ketiga dari Spider-Man dan memutuskan untuk berhenti, Sony Pictures akhirnya meminda... thumbnail 1 summary

Setelah kegagalan Sam Raimi dalam mengantarkan episode ketiga dari Spider-Man dan memutuskan untuk berhenti, Sony Pictures akhirnya memindah-tangankan kepercayaan itu kepada Marc Webb untuk mengarahkan manusia laba-laba berkekuatan super ini. Maka, Marc Webb menggunakan acuan dari komik milik Stan-Lee dengan judul The Amazing Spider-Man, pun juga untuk judul filmnya. Serta, The Amazing Spider-Man bisa dibilang sebuah rebootdengan berbagai perubahan oleh Marc Webb.

Merekonstruksi ulang sebuah film bukanlah perkara gampang. Toh, masih banyak sekali film-film reboot yang harus merasakan nasib untuk dibanding-bandingkan dengan film-film pendahulunya. Begitu pun dengan The Amazing Spider-Man milik Marc Webb ini. Karya miliknya ini pun Segmented. Akan ada yang suka milik Webb dan juga masih ada yang akan menganggap milik Sam Raimi lah yang lebih bagus.

Kenyataannya, The Amazing Spider-Man toh tetap berjaya di tangga box office. Maka, ini tidak menyurutkan Sony Pictures untuk mengepakkan sayap lebih lebar lagi untuk film manusia laba-laba dengan visi baru ala Marc Webb. Dan paska 2 tahun dari The Amazing Spider-Man, maka sekuel dari The Amazing Spider-Man muncul dengan berbagai janji bahwa sekuelnya kali ini akan lebih besar daripada film sebelumnya dengan poster-poster dan teaser yang dimunculkan.


The Amazing Spider-Man 2 kali ini bercerita tentang bagaimana Peter Parker (Andrew Garfield) akan menghadapi tantangan yang lebih besar dari sebelumnya. Paska film pertama, Peter harus mencari cara agar bisa menjauh dari kekasihnya, Gwen Stacy (Emma Stone). Hal itu dilanggar oleh Peter, tetapi dia masih terbayang-bayang oleh pesan yang disampaikan oleh Ayah dari Gwen. Selain itu, dirinya sebagai Spider-Man juga mengalami masalah yang lebih rumit.

Dia harus berhadapan dengan musuh-musuh besar yang menghadangnya. Mulai dari Electro yang ternyata adalah sosok yang kecewa dengan Spider-Man. Serta, bagaimana Peter Parker harus berhadapan dengan sahabat kecilnya sendiri yang juga anak dari Norman Osborn, pendiri Oscorpyaitu Harry Osborn (Dane DeHaan). Harry Osborn harus mendapatkan darah milik Spider-Man agar dapat sembuh dari penyakit genetik yang diturunkan dari sang Ayah.



The sequel is getting bigger.

Menilik dari sinopsis dari The Amazing Spider-Man sendiri, sudah dapat gambaran bahwa memang film ini memiliki konflik yang akan lebih besar ketimbang installment pertamanya yang straight-forward and been there before. Menawarkan sesuatu yang baik dan menarik untuk film keduanya kali ini bukan sesuatu yang gampang untuk The Amazing Spider-Man. Marc Webb sudah terlihat berusaha keras untuk membangun imagebaru untuk sang manusia laba-laba agar tidak terbayang-bayang dengan versi Sam Raimi.

Pada installment pertama, Marc Webb masih memberikan selipan-selipan tributedari film Spider-Man milik Sam Raimi untuk filmnya. Untuk sekuelnya, Marc Webb benar-benar membangun universe dari The Amazing Spider-Man miliknya and it going to be great one. Marc Webb memang menitikberatkan The Amazing Spider-Man miliknya ini pada elemen ‘how the story goes’. Pada first installment, mungkin action sequences terlihat kurang begitu besar dan biasa saja. But how about the sequel?

Sekuel kali ini memang lebih besar. Besar kali ini memang dalam banyak artian. Pertama, bagaimana cerita di sini akan dibuat lebih rumit ketimbang film pertamanya. Inilah hal menarik dari Marc Webb, this is what sequel is used to be, membuat installment keduanya kali ini benar-benar memiliki benang merah dengan film pertamanya. Adegan opening dari masa kecil Peter Parker yang di film predesesornya hanya ditampilkan sekelumit. Maka di film keduanya kali ini, akan ada penggalian lebih dalam lagi tentang masa kecil Peter Parker agar memiliki dimensi ruang cerita yang lebih luas. 


Dan bagaimana Peter Parker juga masih berkutat dengan berbagai cerita hidupnya sebagai remaja yang sudah harus bertransformasi untuk menjadi sosok manusia dewasa yang bertanggung jawab. Skrip yang ditulis ramai-ramai oleh Alex Kurtzman dan Roberto Orci yang sudah pernah berhasil menulis untuk Dwilogi J.J. Abrams’s Star Trek, serta penulis baru Jeff Pinkne ini masih memiliki efek minor dalam menata cerita film ini. Meskipun toh Marc Webb sudah terlihat untuk berusaha bisa menerjemahkan skrip itu dengan baik.

Dengan banyak karakter yang masuk dan cerita yang pasti akan lebih banyak lagi, The Amazing Spider-Man 2 ini harus memiliki pembagian dengan jam terbang tinggi agar tidak berat sebelah. Tetapi pada akhirnya, dengan durasi sekitar 141 menit ini malah membuat film ini di beberapa bagian terasa overlong dengan cerita yang masih berantakan. Well, bisa dibilang The Amazing Spider-Man 2 ini adalah jembatan untuk film selanjutnya dengan menceritakan berbagai karakternya agar lebih kuat untuk film selanjutnya. 


Tetapi jika ditangani lebih baik lagi, cerita di film ini akan memiliki lebih memikat lagi. Dan daya pikat yang berhasil mendapat presentasi dengan baik adalah Gwen and Peter relationship. Jangan salahkan jika Marc Webb berhasil mengolah itu, ingatlah karya brokenhearted masterpiece miliknya (500) Days of Summer. Kekuatan itu pun hadir juga lantaran bagaimana chemistry antara Andrew Garfield dan Emma Stone yang benar-benar terasa dekat dengan para penontonnya.  

Bagusnya, konsentrasi yang lebih menekankan pada Gwen dan Peter di film ini adalah sesuatu yang krusial untuk seterusnya. Yang lemah adalah pembangunan karakter sosok Electro yang seharusnya sebagai villain utama. Toh, tokoh dirinya disini seperti tanpa memiliki tujuan yang secara harfiah jelas untuk menyerang dan marah kepada seorang Spider-Man. Maka, jangan salahkan penonton jika akan mengira musuh utamanya adalah Harry Osborn.


Faktor penguat perkiraan tersebut adalah bagaimana Dane DeHaan bermain dengan sangat bagus untuk peran itu. Beringas tetapi memiliki kerentanan dalam hidupnya dengan perpaduan yang sangat menarik. Jika, The Amazing Spider-Man 2 akan lebih menyorot Peter and Harry as Friend but going to be an enemy, it will be greater and yet bigger. Dengan selipan satu twist yang akan membuat penontonnya akan membeku saat menonton adalah poin plus. Dan bagusnya, Marc Webb tahu benar bagaimana menyelipkan hal tersebut dengan sangat baik.

Kedua, ketika kekurangan Instalmen pertama dari The Amazing Spider-Man 2 adalah bagaimana action sequences yang lebih intens dan besar. Jangan khawatir, sekuelnya kali ini menawarkan sesuatu yang lebih besar pun lengkap dengan CGI yang menarik ditambah efek-efek slow motion yang menyegarkan. Terlebih disokong dengan filmnya yang dirilis dalam format 3D and that’s a definition of the real 3D format for a movie. Benar-benar menyapa penontonnya dengan begitu  baik.


Selanjutnya, teknis yang bagus pun menyokong film ini. Bagaimana sinematografi yang menangkap banyak angle kamera yang sangat memanjakan mata. Landscape setting kota New York di dalam semua adegan yang tertangkap oleh kamera benar-benar indah. Belum lagi tambahan scoring dari Hans Zimmer dengan bantuan The Magnificents Six serta Pharrell Williams dan Johnny Marr. Dan Marc Webb memiliki referensi lagu-lagu yang bagus untuk beberapa adegan filmnya and its good


Overall, The Amazing Spider-Man 2 adalah sebuah sekuel yang lebih besar ketimbang film pertamanya. Dengan penuh percaya diri, The Amazing Spider-Man melaju untuk menyaingi film pertamanya. Tetapi, masih memiliki kekurangan-kekurangan kecil yang harusnya bisa diolah lebih baik lagi. But with top-notch action and how the good story goes, ini benar-benar menghibur. Take its as a path into the next bigger sequel, because his greatest battle has just begin
 

The Amazing Spider-Man 2 tentu dirilis dalam format 3D seperti installment pertamanya. Maka, ini review dari format 3D film The Amazing Spider-Man 2.

DEPTH
Tidak memiliki kedalaman yang begitu istimewa. Tetapi, beberapa bagian terlebih di outdoor masih memiliki efek kedalaman yang bagus untuk menguatkan sinematografinya yang cantik.

POP OUT
Sangat Bagus ! Efek ini benar-benar memanjakan mata para penontonnya dengan sangat baik. Segala adegan mampu berinteraksi dengan penontonnya dan itu menyenangkan!

The Amazing Spider-Man 2 sangat patut untuk ditonton dalam format 3D. This is the real definition about 3D format on movie. GO SEE IT ON 3D !
ads