Sabtu, 19 Juli 2014

STEP UP : ALL IN (2014) REVIEW : ALL IN, FALL OUT

Siapa yang tak kenal franchise dari film tari modern dengan judul Step Up ini? Semenjak tahun 2006, film ini benar-benar booming menghibur ... thumbnail 1 summary

Siapa yang tak kenal franchisedari film tari modern dengan judul Step Up ini? Semenjak tahun 2006, film ini benar-benar booming menghibur para penonton dan fans dari tarian modern. Aktor kaliber Channing Tatum pun mengawali perjuangan Step Up dalam meraih penontonnya hingga ke installment kedua dari film Step Up. Akhirnya, setiap 2 tahun sekali film Step Up hadir untuk meramaikan bioskop.

Setelah di tahun 2012 lalu, setidaknya berhasil menghibur penonton dengan tarian yang menarik lewat Step Up Revolution, maka di tahun 2014 ini Step Up lagi-lagi merilis seri terbarunya. Dan katanya adalah installmentterakhir dari franchise ini. Trish Sie ditunjuk sebagai sutradara untuk film terbarunya kali ini menggantikan Scott Speer. Tetap, Jon M. Chu yang menghidupkan franchise Step Up ini mengawasi kelangsungan dari film Step Up terbaru ini sebagai produser. 


‘All In’ digunakan sebagai judul penanda installment kelima dari Step Up ini. Meneruskan cerita dari Step Up : Revolution, Sean (Ryan Guzman) mencoba untuk bertahan hidup dengan hobi menarinya. Dengan timnya – The Mob – Sean berusaha untuk mengikuti casting di banyak tempat agar tim-nya tetap eksis pasca kejadian Miami yang pernah melambungkan nama tim mereka. Sayangnya, hal tersebut tidak berjalan lancar dan malah membuat Sean ditinggalkan oleh tim mereka.

Tak mau begitu saja terpuruk, Sean akhirnya menemukan iklan di internet tentang kompetisi dance di Las Vegas yang diadakan oleh penyanyi terkenal. Sean pun mengajak Moose (Adam G. Sevani) untuk ikut dalam kompetisi dancetersebut. Tetapi, Sean tidak memiliki tim untuk mengikuti kompetisi tersebut. Moose pun mengajak Sean untuk bertemu dengan Andie (Briana Evigan) untuk mengajak beberapa orang agar masuk ke dalam tim yang akan ikut dalam berkompetisi. 


 ‘All In’ is a reason this franchise should be done.

Setelah berhasil membuat penonton terkesima lewat dance di dua installment sebelumnya, tentu berdampak pada excitement di installment selanjutnya. Mungkin juga, beberapa orang juga sudah mulai lelah untuk mengikuti franchise yang tidak kunjung berakhir. Meski begitu, franchise ini tetap melenggang dengan penuh percaya diri untuk menghibur para penonton dan fans dari franchise ini sendiri. Terlebih, film ini juga katanya adalah seri penutup dari franchise ini.

Step Up bukanlah presentasi film yang akan menjual segala teknis cerita yang begitu kuat se-kaliber oscar. Harapkan sesuatu yang menyenangkan yang datang dari seni koreografi tarinya yang indah. Dan itulah kekuatan sebenarnya dari franchise Step Up. Setelah kemasan dance yang menarik di installment sebelumnya, Step Up : All In adalah pertunjukkan yang mengalami kepudaran dalam segala aspek teknis yang harusnya menjadi kekuatan dari franchise ini.

Tanggung jawab Trish Sie selaku sutradara tidak bisa terlaksana dengan baik. Step Up : All In tidak bisa memikat penontonnya. Trish Sie terlalu menekankan isi cerita yang akhirnya malah berujung kurang indah untuk 90 menit filmnya. Tak perlu terlalu berkutat dengan isi cerita karena akhirnya hal tersebut tentu akan menguak betapa minimnya penggarapan naskah yang ditulis oleh John Swetnam ini. Dan hal itulah yang terjadi di Step Up : All In


Predictable plot? Jelas tak bisa terelakkan lagi. Step Up akan selalu mengulang-ulang formula yang sama. Tetapi apa yang terjadi di Step Up : All In ini benar-benar dalam masa titik yang paling rendah di dalam franchise-nya. Akan banyak sekali momen-momen cheesy yang dalam kadar yang tidak wajar yang memenuhi setiap durasinya. Bisa dibilang, Step Up : All In pun mengalami penggarapan yang juga minim sehingga terasa seperti film direct-to-video.

Mari jauh-jauhkan rasa penasaran anda dengan cerita apa yang akan diangkat oleh Step Up : All In. Serta jauhkan pula ekspektasi dance yang akan menggelegar layaknya Step Up : Revolution atau Step Up 3D. Karena danceyang disajikan untuk film Step Up : All In ini pun tidak ada yang mampu mengikat penontonnya. Banyak sekali koreografi yang been there, done there tetapi dengan kemasan yang minimalis serta dibalut dengan lagu yang mungkin kurang ear-catchy


Penonton akan kurang terkesima dengan beberapa adegan yang menyajikan rupa-rupa tari modern yang ada di film ini. Serta penonton pun tidak akan mempunyai minat untuk mencari tahu lagu-lagu apa saja yang digunakan dalam mengiringi tarian tersebut. Tetapi satu yang akan membuat film ini setidaknya masih memiliki daya pikat itu, satu tarian khusus yang berada di penghujung durasi film Step Up : All In. Yah, penonton diajak untuk bersabar hingga akhirnya menikmati tarian tari yang megah itu.

Satu poin lagi yang akan disukai oleh penonton–khususnya untuk para fans franchise ini– yaitu film ini jelas digunakan sebagai ajang reuni para pemain dari Step Up 2. Ya, bukan dari Step Up pertama yang berhasil menjadikan Channing Tatum sebagai pionir.  Sehingga, penonton khususnya fans akan merasakan sedikit nostalgia dari seluruh seri franchise tari modern ini. Meskipun, penutup franchise ini tidak meninggalkan sisa yang begitu baik kepada penontonnya. 


Mari kita sambut Step Up : All In sebagai penutup franchise Step Up yang sudah menemani penonton bioskop selama 8 tahun terakhir. Meski menjadi sebuah penutup dan digadang menjadi sesuatu yang besar, Step Up : All In bukanlah penutup yang baik untuk sebuah franchise. Ya, sudah saatnya franchise ini untuk tutup usia dan Step Up : All In menjadi alasan yang tepat untuk mengakhirinya.

Minggu, 13 Juli 2014

DAWN OF THE PLANET OF THE APES (2014) REVIEW : DAWN OF THE REMARKABLE SEQUEL [WITH 3D REVIEW]

Kera sudah mengambil alih dunia dan menjatuhkan para manusia. Hal tersebut sudah terjadi sejak remake dari Planet of The Apes oleh Tim Burto... thumbnail 1 summary

Kera sudah mengambil alih dunia dan menjatuhkan para manusia. Hal tersebut sudah terjadi sejak remakedari Planet of The Apes oleh Tim Burton yang menunjuk Mark Wahlberg sebagai ilmuwan yang tersesat dalam planet penuh kera. Ketika film tersebut sudah tidak mendapat highlight, 10 tahun kemudian, prekuel dari film milik Tim Burton ini pun mendapat slot untuk rilis. Dengan komando dari Rupert Wyatt, Rise of The Planet of the Apes berhasil menarik hati para kritikus serta pendapatan yang cukup di tangga box office.

Tentu, 20th Century Foxselaku rumah produksi yang menaungi film ini pun memberikan lampu hijau untuk menggarap lagi sekuel dari prekuel ini. Dengan tim penulisan naskah yang sama, tetapi ada yang berbeda untuk sekuelnya. Kali ini, komando bukanlah dari Rupert Wyatt, melainkan datang dari Matt Reeves yang mengarahkan bagaimana jalannya sekuel ini. Dawn of The Planet of The Apes pun mendapat slot rilis di tahun ini. 


Tentu, Dawn of the Planet of the Apes melanjutkan timeline cerita dari Rise of the Planet of the Apes. Setelah kehancuran yang disebabkan oleh Caesar (Andy Serkis) dan kawan-kawan kera-nya, bumi mengalami banyak kehancuran. Para manusia terkena virus-virus mematikan yang memaksa mereka harus rela untuk bertahan hidup dengan serba kekurangan. Flu Siaman, menyerang para manusia dan menyebabkan spesies manusia semakin menipis.  

Malcolm (Jason Clarke) datang ke hutan untuk mencari bendungan agar bisa menyalakan listrik untuk kehidupan manusia. Sayangnya, hutan tersebut telah menjadi tempat tinggal para kera yang dipimpin oleh Caesar. Malcolm dan tim berusaha bernegosiasi dengan Caesar agar bisa mengelola bendungan tersebut. Tetapi, Caesar pun mengalami konflik dengan para kawanan kera-nya yang sudah tidak percaya dengan manusia. Sehingga, kubu yang tidak percaya mencoba untuk men-sabotase hubungan manusia dengan kera dan perang pun di mulai. 

 
Outstanding performances in any aspect.

Pergantian bangku sutradara untuk sebuah film sekuel tentu menjadi momok tersendiri. Jika salah pilih, jelas akan terjadi sebuah bencana bagi kelangsungan film sekuelnya. Beban yang dipikul oleh sutradara baru akan lebih berat. Tak bisa dibantah bahwa kinerjanya akan dibanding-bandingkan dengan hasil dari sutradara sebelumnya. Rupert Wyatt sudah mematok nilai yang tinggi untuk hasil jerih payahnya di Rise of the Planet of the Apes. Hal tersebut akan memacu Matt Reeves untuk menghasilkan output yang akan menyamai predesesornya atau malah bisa melebihi predesesornya.

Tetapi 20th Century Foxpatut bergembira, karena Matt Reeves dan karya-karyanya tidak bisa diremehkan begitu saja. Kredibilitas Matt Reeves sudah sangat bagus di ranah perfilman Hollywood. Hal ini berdampak pada karya terbarunya yaitu Dawn of the Planet of the Apes. Sekuel dari prekuel Planet of the Apes ini dengan gampang menyaingi predesesornya. Bahkan, bisa dibilang Dawn of the Planet of the Apes memiliki kualitas dua kali lebih bagus ketimbang sang predesesor.

Kerja sama yang baik sebagai tim sangat diperlihatkan oleh Matt Reeves dengan para tim penulis naskah. Apa yang disajikan oleh Dawn of the Planet of the Apes memiliki cerita yang sangat padat dengan durasinya 120 menit. Tak perlu panjang-panjang dalam bertutur tetapi berhasil memikat penontonnya dengan cerita yang menarik. Memang, Dawn of the Planet of the Apes memiliki pace yang lambat jika dibandingkan dengan Rise of the Planet of the Apes.


Tetapi, dengan pace yang lambat itu akan berhasil memberikan development character yang sangat baik. Tidak ada kesan draggy, setiap ceritanya mengalir dengan sangat baik dan tak terasa penonton pun akan tiba dipenghujung filmnya dan akan menantikan seri berikutnya. Jika Rise of the Planet of the Apes masih memiliki karakter manusia yang juga sama kuatnya dengan Caesar, maka berbeda dengan film lanjutannya kali ini. Fokus cerita dan karakter yang dikembangkan lagi di film ini adalah Caesar dan kawanan kera-nya yang sedang mengalami konflik dengan para manusia.

Sehingga di sepanjang film, layar bioskop akan dipenuhi dengan para kera yang berinteraksi satu sama lain tanpa dialog. Menonton para kera berinteraksi dengan bahasa mereka yang mungkin akan membuat geli penonton awam yang tidak pernah mengikuti setiap seri Planet of the Apes. Padahal, di setiap scene tersebut memiliki dialog-dialog yang krusial untuk menit-menit selanjutnya pada film Dawn of the Planet of the Apes. 


Yang jelas, nama-nama seperti Jason Clarke, Keri Russell, Kodi Smit-McPee, dan bahkan nama legenda Gary Oldman tidak bisa memberikan penampilannya yang memorable. Karena screening time mereka yang cukup sedikit ketimbang para kera yang ada di film ini. Setidaknya, mereka tetap memberikan penampilan yang maksimal untuk kelangsungan filmnya. Maka, penampilan terbaik jatuh kepada Andy Serkis yang memerankan Caesar dengan teknologi motion capture yang luar biasa. Penampilannya sebagai Caesar layak mendapatkan penghargaan lebih dari penontonnya.

Teknologi motion capture-nya pun semakin berkembang. Setiap visual effect di setiap adegannnya digarap begitu megah dan semakin halus jika dibandingkan dengan Rise of the Planet of the Apes. Hal ini akan menguatkan bahwa Dawn of the Planet of the Apes setidaknya akan mendapatkan nominasi di ajang bergengsi, Academy Awards untuk nominasi Visual Effect Terbaik. 


Hal lain yang membuat Dawn of the Planet of the Apes sangat layak ditonton oleh semua orang adalah bagaimana sang penulis naskah memberikan beberapa dialog-dialog yang pintar untuk menyindir masalah-masalah sosial. Dawn of the Planet of the Apes penuh dengan nilai-nilai sosial dan pesan moral di sepanjang filmnya. Memberikan tanda atau lambang metaforik untuk merepresentasikan setiap pesan moral-nya sehingga tidak ada kesan menggurui untuk penuturannya. Dan akan dengan mudah, pesan tersebut akan menancap di hati penontonnya. 


Begitulah, Dawn of the Planet of the Apes yang dengan mudah akan merebut hati penontonnya. Dengan mudah menobatkan film ini menjadi salah satu film sekuel terbaik yang pernah ada dan tentu akan banyak orang akan menempatkan film ini di urutan teratas film terbaik sepanjang tahun ini. Serta, penonton akan sangat menantikan apa yang akan terjadi dengan Caesar dan kawanannya di film selanjutnya yang akan rilis di tahun 2016. Mengagumkan.
Dawn of the Planet of the Apes pun juga dirilis dalam format 3D. Berikut adalah review format 3D untuk film ini.

DEPTH
Tidak ada yang istimewa untuk kedalaman di setiap adegan Dawn of the Planet of the Apes. Akan terasa jika setting berada di luar ruangan.

POP OUT
Hampir tidak ada efek pop out untuk film ini. Tanah dan asap pun tidak bisa berinteraksi baik dengan penontonnya.
 
Menonton Dawn of the Planet of the Apes dalam format 3D tidak direkomendasikan. Tonton saja film ini dalam format 2D dan tidak akan kehilangan momen apapun di filmnya. Toh, experience menonton film ini bukanlah dari format 3D-nya melainkan film ini sendiri.
ads