Sabtu, 27 September 2014

TABULA RASA (2014) REVIEW : ‘Makanan’ Sederhana, Kaya ‘Rasa’

  Di masa sekarang, kuliner menjadi tren di social media Instagram. Fenomena food porn tentu menarik perhatian banyak orang. Tak terkecuali ... thumbnail 1 summary
 

Di masa sekarang, kuliner menjadi tren di social media Instagram. Fenomena food porn tentu menarik perhatian banyak orang. Tak terkecuali para sineas untuk menjadikan tren tersebut menjadi hal produktif. Coba kita ingat lagi, sudah berapa film indonesia yang mengangkat kuliner sebagai dasar ceritanya? Brownies, Saus Kacang, dan yang paling baru adalah Madre. Sebuah masakan dijadikan medium untuk menjalankan cerita dari film tersebut.

Lifelike Pictures yang dinaungi oleh Lala Timothy pun mengangkat kembali tema kuliner sebagai dasar cerita film miliknya. Tabula Rasa, satu term adaptasi dari bahasa asing, menjadikan masakan khas padang sebagai ikon untuk filmnya beserta cerita yang ada di dalamnya. Film ini sekaligus menjadi debut layar lebar dari sutradara bernama Adriyanto Dewo yang biasanya hanya menangani film-film pendek.


Mempunyai mimpi yang tinggi sebagai pemain sepak bola terkenal membuat Hans (Jimmy Kobogau) ini rela pergi ke ibu kota Jakarta untuk meraih mimpinya. Sayangnya hal tersebut tidak berjalan manis dan dia harus terlantar di jalanan. Mak (Dewi Irawan) dan Natsir (Ozzol Ramadhan) menemukan Hans tergeletak di jalan dan berinisiatif untuk mengajaknya ke warung padang miliknya. Takana Juo, nama warung padang milik Mak dengan Parmanto (Yayu Unru) sebagai juru masaknya.

Tetapi kedatangan Hans ternyata bukanlah sebuah kabar baik. Rumah Makan Takana Juo memiliki problem dalam kondisi keuangannya. Belum lagi ada rumah makan padang baru yang harus bersaing dengannya. Tentu, Hans menjadi kontradiksi bagi orang-orang yang ada di dalam Takana Juo. Tetapi, Mak tetap mempertahankan Hans yang setidaknya bisa membantunya untuk menemani ke pasar atau sekedar membersihkan rumah makannya. 


“Makanan adalah i’tikad baik untuk bertemu”

Siapa yang tak kenal masakan Padang? Bahkan di pinggiran jalan pun, banyak sekali rumah makan padang berjejeran. Menjadikannya sebagai dasar cerita untuk sebuah film tentu cukup menggairahkan. Masakan berbumbu khas padang itu pun akhirnya bisa kita nikmati lewat layar besar. Tetapi, tentu bukan perkara mudah untuk menjadikan sebuah film bertema kuliner yang benar-benar lezat layaknya sebuah masakan.

Demand yang sudah terbangun dengan cukup baik lewat berbagai media, Tabula Rasa mencoba meyakinkan para calon penontonnya. Dengan gimmick promo yang juga menonjol di antara semua film-film indonesia, tentu Tabula Rasa ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar film kuliner. Film debut layar lebar dari Adriyanto Dewo ini, tentu menjadi salah satu sajian hangat di perfilman indonesia dalam genre-nya yang belum banyak ragam.

Tagline di poster Tabula Rasa cukup mewakili apa yang ada di dalam ceritanya. “Makanan adalah i’tikad baik untuk bertemu” dan masakan khas padang sebagai makanannya. Tabula Rasa bukan hanya sekedar film bertema kuliner dengan gambar-gambar makanan yang menggiurkan saja. Juga memberikan intrik dengan budaya dan keberagamannya yang dipertemukan lewat satu makanan berbumbu dan kaya rasa khas padang. Sajian Tabula Rasa pun juga punya hal tersebut di dalamnya. 


Sebagai karya debut, tentu ini menjadi sebuah karya menjanjikan dari Adriyanto Dewo. Tabula Rasa berhasil meracik bumbu-bumbu itu dengan pas. Film ini pun sesederhana tampilan masakan padang tetapi dibalik kesederhanaan itu ada banyak sekali kekayaan rasa di dalamnya. Tabula Rasa tentu bukan hanya menjadi sebuah film bertema kuliner dengan tampilan saja menggiurkan. Tetapi, ada makna dibalik yang disampaikan dengan cara yang tidak kentara. Mengajak penontonnya menyelami setiap adegan di setiap 100 menitnya itu agar bisa menangkap sendiri pesannya.

Anggap saja para karakter di film ini adalah bahan-bahan dasar untuk memasak. Rempah-rempah dari tanah agraris Indonesia. Mereka sangat beragam, memiliki latar belakang buadaya ataupun agama dan ciri-ciri fisik yang berbeda. Tetapi ketika semua ‘bahan’ berhasil diracik dan dikolaborasikan, semuanya sangat sedap dipandang dan disantap. Bukankah hidup dalam keberagaman itu sebenarnya begitu indah? Itulah yang coba disampaikan oleh Tabula Rasa.


Tetapi, Tabula Rasa bukanlah film bertema kuliner dengan sajian pop. Sebenarnya, film ini tidak memanjakan penontonnya. Di balik tema-nya yang mainstream itu ada naskah yang ditulis oleh Tumpal Tampubolon yang menyetir Tabula Rasa menjadi film art house. Terlihat cara penuturan film ini yang sebenarnya masih memiliki kesan eksperimental ketimbang ke ranah yang lebih mudah dicerna. Kesan eksperimental itu mungkin tidak akan terasa dominan karena masih ada batasan dalam menyalurkan gaya quirky-nya dalam bertutur di film ini.

Untuk akhirnya bisa mengambil hati penontonnya pun sepertinya masih segmented. Tetapi, kerja keras Adriyanto Dewo berusaha untuk menerjemahkan naskah milik Tumpal Tampubolon ini bisa dibilang berhasil. Toh, Tabula Rasa ini tidak terjerumus terlalu dalam. Karena dengan tema yang seharusnya universal ini, pun harusnya bisa dinikmati oleh segala usia dan kalangan. Bukan hanya sebagian dari penontonnya. 


Character depth pun masih memiliki keterbatasan. Penonton tak bisa masuk lebih dalam lagi agar terkoneksi dengan emosi karakternya. Beruntunglah, kekurangan itu pun bisa ter-cover oleh performa dari jajaran aktor-aktris di film ini. Nama-nama yang ada di film ini mungkin tak eye-catchy, tetapi jangan ragukan performa mereka. Terutama Dewi Irawan yang memerankan sosok Mak dan juga Hans yang diperankan oleh Jimmy Kobogau.

Gambar-gambar indah dari sang DOP ini berperan sangat efektif di film ini. Bagaimana setiap bahan-bahan dapur, makanan-makanan padang seperti rendang atau gulai kepala ikan berhasil memiliki kharismanya. Karena di sinilah bagaimana fenomena foodporn di social media ini berhasil tertangkap lewat gambar bergerak. Alhasil, penonton yang menonton film ini akan merasakan indahnya rendang ataupun gulai kepala ikan. Dengan sesekali membayangkan bau dan rasanya yang akan terasa nikmat saat dihidangkan. Setelah selesai nonton, penonton akan segera mencari rumah makan padang terdekat.


Dengan minimnya keberagaman di tema ini, Tabula Rasa menjadi salah satu cinema gem yang wajib kita santap selagi bisa. Karena, Tabula Rasa bukanlah sekedar tentang sebuah makanan tetapi bagaimana ‘Rasa’ yang kaya itu sangat penting. Meski penuturan ceritanya yang masih memiliki rasa segmented di dalamnya. Tetapi, Tabula Rasa adalah salah satu karya buatan anak negeri yang patut dapat apresiasi dan perhatian lebih. Selain menggugah selera makan, film ini pun akan menggugah hati penontonnya.

Jumat, 19 September 2014

THE MAZE RUNNER (2014) REVIEW : The Potential Debut Adaptation

Setiap production house berlomba-lomba untuk mengadaptasi buku-buku populer apalagi buku tersebut berseri. Ada yang berhasil seperti Warner ... thumbnail 1 summary

Setiap production house berlomba-lomba untuk mengadaptasi buku-buku populer apalagi buku tersebut berseri. Ada yang berhasil seperti Warner Bros dengan Harry Potter-nya, Lionsgate dengan The Hunger Games-nya, dan yang tak bisa dipungkiri yaitu Summit dengan The Twilight Saga-nya serta Divergent yang juga mulai memiliki massa-nya. 20th Century Fox pun mencoba peruntungan lewat film adaptasi buku berseri milik James Dashner yaitu The Maze Runner

The Maze Runner milik James Dashner ini berbentuk trilogi. Penggemar buku ini mungkin tidak sebesar yang lain. Begitupun dengan promo film ini yang terlihat masih malu-malu untuk sebuah film adaptasi novel. Sutradara yang menangani film ini adalah Wes Ball. Sutradara yang juga baru memulai debut di dunia perfilman. 20th Century Fox juga masih meraba-raba apakah The Maze Runner ini akan sukses atau tidak.


The Maze Runner terfokus pada satu anak bernama Thomas (Dylan O’Brien) yang ingatannya terhapus dan dia terdampar di sebuah area bernama Glade. Di sana, terdapat banyak sekali anak lelaki yang berusaha bertahan hidup. Mereka yang hidup di area ini, menyebut diri mereka Gladers. Di Glade, terdapat sebuah labirin yang setiap hari akan berubah pola. Gladers berusaha untuk mencari jalan keluar yang di dalamnya berisikan makhluk berbahaya bernama Grievers.

Setiap bulannya, anak lelaki baru akan datang ke Glade. Tetapi ketika Thomas datang semuanya berubah. Hanya selang beberapa hari ada anak baru bernama Teresa (Kaya Scodelario). Dengan sebuah pesan yang bertuliskan “She’s the last one ever” datang bersamanya. Dia mengingat Thomas sehingga menimbulkan pertanyaan bagi Thomas. Thomas yang ingin tahu pun berusaha untuk menjadi seorang Runners dan ingin menemukan jalan keluar dari Glade.


Quite well-directed to cover not so well written script.

Tak dapat dipungkiri, banyak production house berusaha untuk mengekor kesuksesan dari The Hunger Games trilogy. Begitu pun dengan The Maze Runner ini. Buku yang sudah diterbitkan sejak tahun 2009 ini, akhirnya dilirik juga untuk diadaptasi menjadi sebuah film. Tentu dalam mengadaptasi sebuah novel untuk menjadi motion picture, perlu usaha keras agar menjadi film adaptasi yang bagus.

Diperlukan penulis skenario handal agar bisa memindahkan halaman demi halaman dari buku tersebut. Tetapi perlu diingat, buku dan film bukan satu medium yang sama. Selalu akan ada perubahan dalam mengadaptasinya ke film. Tetapi dengan usaha yang baik dari penulis skenario dan arahan yang kuat dari seorang sutradara, tentu akan menghasilkan sesuatu yang bagus. Sayangnya, The Maze Runner memiliki satu departemen yang tidak kuat agar dapat berjalan seimbang.

Yang salah dalam adaptasi The Maze Runner adalah bagian penulisan skenario. Naskah yang ditulis oleh Noah Oppenhaim dan Grant Pierce Mayers ini memiliki penulisan skenario yang lemah. Hal ini memberikan kesan one-dimensional terhadap beberapa karakter. The Maze Runner memiliki banyak sekali karakter di dalamnya. Sayangnya, karakter-karakter yang muncul ini tidak diberi perhatian lebih sehingga semuanya terkesan memenuhi layar. 


Yang menjadi pion untuk menjalankan cerita di film ini hanyalah Thomas. Beban yang cukup berat bagi Dylan O’Brien untuk menjalankan karakter Thomas. Perlu performa yang kuat dan meyakinkan. Sayangnya, Dylan O’Brien sedikit kurang meyakinkan penontonnya bahwa dialah yang mengatur segala permainan film ini. Tentu karakter di film yang terkesan one-dimensional ini, berdampak pada kurangnya koneksi antara karakter dengan penontonnya. Tidak ada rasa simpati dari penontonnya kepada karakter-karakter di film ini.

Tetapi, Wes Ball sebagai sutradara debutan melakukan arahan yang cukup bagus. Dengan lemahnya di bagian penulisan naskah, Wes Ball berhasil membangun filmnya setidaknya menjadi film yang menghibur. Tensi yang terbangun di film ini cukup baik yang setidaknya menciptakan atmosfir horor dan misteri yang cukup baik. Tentu, Wes Ball sebagai sutradara debutan, masih mendapatkan kategori ‘layak’ tidak seperti halnya sutradara 47 Ronin.


The Maze Runner memang bukanlah menjadi sebuah film adaptasi young adult yang outstanding. Dibandingkan dengan The Hunger Games series, The Maze Runner bukanlah apa-apa. Tetapi, The Maze Runner memberikan hal-hal menarik yang cukup membuat penontonnya penasaran dalam mengikuti setiap menit dari 100 menit film ini. Sayangnya, kekurangan lain menjadi masalah baru bagi The Maze Runner.  Yaitu bagaimana representasi visual di film ini.

Ada yang salah dalam visualisasi di film ini. Tidak ada sesuatu yang spesial dalam production value di film ini. Tidak ada gambar-gambar indah yang dapat ditangkap oleh Director of Photography, terlebih film ini dirilis dalam format IMAX. Visual itu tidak dapat menunjang kelangsungan filmnya. Mata penonton tidak terlalu dimanjakan dengan gambar-gambar di film ini. Apalagi, film ini sering menggunakan waktu malam sebagai setting waktunya. Bisa jadi dengan 'Malam' sebagai setting waktunya, Sang sutradara ingin menyampaikan atmosfir yang lebih mencekam. 


Pada akhirnya, The Maze Runner masih memiliki potensi menjadi salah satu film adaptasi buku young adult yang gagal. Sama halnya seperti Divergent, The Maze Runner memiliki beberapa kelemahan yang sama, terletak pada lemahnya penggalian karakter dan beberapa penyampaian cerita yang masih berantakan. Tetapi, bagaimana sutradara debutan Wes Ball ini bisa menutupi kekurangan dalam skenarionya sehingga The Maze Runner masih menjadi salah satu film yang menghibur.
 

Rabu, 17 September 2014

MALAM MINGGU MIKO MOVIE (2014) REVIEW : Old Template, New Title

Diangkat dari sebuah Web Series yang secara tak sengaja menjadi sebuah hits di kalangan remaja. Yang pada awalnya seri ini dirilis secara p... thumbnail 1 summary


Diangkat dari sebuah Web Series yang secara tak sengaja menjadi sebuah hits di kalangan remaja. Yang pada awalnya seri ini dirilis secara periodik lewat situs Youtube. Malam Minggu Miko, sebuah web series yang dibuat oleh Raditya Dika yang juga salah satu dari penulis serta Comic ternama di Indonesia. Di versi layar lebarnya kali ini, Raditya Dika juga berkesempatan untuk mengarahkan serta menulis langsung skenario film ini. 


Malam Minggu Miko tentu masih memiliki template dari web series-nya. Pria bernama Miko (Raditya Dika) yang lagi-lagi gagal menjalin hubungan dengan seorang wanita. Hal ini menyebabkan dia harus melewati setiap malam minggunya dengan peristiwa tragis dengan wanita yang sedang dekat dengannya. Hingga suatu saat, temannya Ryan (Ryan Adriandhy) kembali lagi menemui Miko untuk melepaskan sebuah kutukannya agar mendapatkan kekasih. 

Menurut Ryan, kutukan itu berada di jas laboratorium milik Miko pada saat SMP dengan tulisan tentang cinta-cintaan. Akhirnya, Miko pun mencari tahu siapa yang menuliskan kutukan tersebut di Jas Laboratorium pada saat SMP. Miko dan Ryan pun memiliki nama-nama untuk diinvestigasi yang akhirnya membuat Miko menemukan seseorang yang cocok di hatinya. 


Pointless Humor about love. 

Raditya Dika masih saja belum jera untuk menyapa lagi penontonnya di layar bioskop. Ya siapa yang bisa menghentikan dia, karena nyatanya film-film miliknya selalu laris manis lantaran nama Dika yang sudah memiliki target pasarnya sendiri. Setelah Marmut Merah Jambu yang juga berhasil dari segi penonton maupun konten di dalamnya, tentu beberapa orang masih menunggu kejutan apa lagi yang akan dibawakan oleh Raditya Dika di film Malam Minggu Miko Movie ini. 

Malam Minggu Miko Movie ini benar-benar menggunakan template yang sama dengan web series miliknya. Baik yang tayang di stasiun televisi lokal, maupun yang rilis di situs Youtube. Bedanya, Malam Minggu Miko Movie tentu saja memiliki durasi lebih panjang daripada web series-nya yang hanya berdurasi 25 menit per-episode. Inilah yang menjadi kendala dari Malam Minggu Miko Movie. Film ini seperti sebuah medley dari episode-episode Malam Minggu Miko series yang ditayangkan di layar lebar. 

Malam Minggu Miko Movie seperti terbagi dalam tiga bagian di filmnya sendiri. Tiga bagian ini memiliki sub plot masing-masing yang ternyata tidak menyokong garis besar cerita di filmnya. Tiga sub plot ini memiliki tiga pion berbeda yang memimpin ceritanya. Salah? Seharusnya tidak jika Raditya Dika bisa mengarahkan sub plot yang ada di film ini dengan baik dan mengkoneksikannya satu sama lain. Sehingga, tidak seperti sebuah sub plot yang berdiri sendiri. 


Sudah waktunya bagi Raditya Dika untuk tidak terlalu sering muncul atau menelurkan karya terbaru di setiap tahunnya. Raditya Dika terlalu sering melakukan pengulangan lelucon di setiap filmnya. Begitupun dengan Malam Minggu Miko Movie yang memiliki gaya humor khas Raditya Dika yang sudah sering didengarkan entah lewat Stand Up Comedy-nya, Buku, ataupun yang lain. Raditya Dika sudah benar-benar kehabisan bahan yang segar untuk komedinya. 

Pengulangan itu beberapa akan berhasil. Tetapi juga beberapa akan sangat gagal dan tidak berhasil membuat penontonnya tertawa. Raditya Dika pun juga terlihat kewalahan dalam gaya arahannya di Malam Minggu Miko Movie. Sangat terlihat jelas, Raditya Dika masih kebingungan untuk mengakhiri Malam Minggu Miko Movie. Paruh akhir film ini seperti diselesaikan secara tiba-tiba dengan satu turning point yang membuat tone dari filmnya berubah. Beberapa pelajaran hidup dan pelajaran tentang cinta yang tidak pernah disinggung sama sekali di paruh awal. 


Malam Minggu Miko Movie tentu tidak bisa memberikan kejutan manis layaknya Marmut Merah Jambu yang juga diarahkan langsung oleh Raditya Dika. Tetapi, Raditya Dika masih setia dengan web series Malam Minggu Miko dengan musik-musiknya and how Raditya Dika deliver the story in this movie version with his web series template. Setidaknya, hal tersebut mengingatkan pada fans-fans Raditya Dika yang mengikuti web-series-nya bahwa “Oh, ini memang Malam Minggu Miko, banget”. 


Tetapi, hal tersebut tidak bisa menghilangkan bahwa Malam Minggu Miko Movie masih memiliki kekurangan-kekurangan. Raditya Dika tidak mengarahkan film dengan kuat layaknya Marmut Merah Jambu. Hal ini menyebabkan, Malam Minggu Miko Movie hanyalah sebuah film komedi yang pointless yang stereotip ala Raditya Dika. Dengan template jokes yang diulang dari film satu ke film lain. Raditya Dika should trying too hard for making another fans service, this movie is a reason. 
 

Minggu, 07 September 2014

HERCULES (2014) REVIEW : REALISTIC VERSION OF ZEUS'S SON [WITH 3D REVIEW]

Sang legenda yunani kembali lagi di layar lebar. Setelah di awal tahun telah disapa oleh Kellan Lutz yang memerankannya lewat The Legend of ... thumbnail 1 summary

Sang legenda yunani kembali lagi di layar lebar. Setelah di awal tahun telah disapa oleh Kellan Lutz yang memerankannya lewat The Legend of Hercules dan mendapatkan banyak sekali respon negatif untuk filmnya. Maka, Universal Pictures dengan berani di tahun yang sama mengeluarkan versi lain dari legenda yunani bernama Hercules ini. Sang putra Zeus versi universal ini diperankan oleh Dwayne Johnsson dan dirilis dipertengahan tahun dalam memperingati musim panas di US.


Brett Ratner ditunjuk oleh pihak Universal untuk mengarahkan film ini. Track Record Brett Ratner memang tidak cukup bagus lantaran usahanya untuk mengarahkan final round dari film X-Men yang benar-benar mendapat kritik pedas baik dari kritikus maupun para penikmat film. Dengan reputasi tersebut, tentu akan membuat beban Brett Ratner bertambah ketika dirinya menggarap film Hercules versi terbaru kali ini.


Tentu akan menceritakan Hercules (Dwayne Johnsson) sang putra zeus yang legendaris ini. Hercules adalah sosok tentara bayaran dengan lima sahabatnya yang setia bersamanya. Suatu saat, datanglah sosok Ergenia (Rebecca Ferguson) yang meminta dirinya untuk melindungi dan melatih para pasukan kerajaan Thrace agar bisa melawan oleh musuhnya.

Dengan iming-iming bayaran emas yang banyak, Hercules dan lima sahabatnya ini pun menerima permintaan dari anak Lord Cortys (John Hurt) ini. Mereka pun melatih pasukan dari kerajaan Thrace hingga suatu ketika sosok Hercules menemukan kembali cerita-cerita masa lalu yang membuat dirinya tertekan. Cerita tentang dirinya, istrinya, serta anaknya.


Literally myth bedtime story about Hercules.

Lagi, lagi, dan lagi, usaha para sineas Hollywood untuk mengangkat lagi para mitos-mitos, dongeng-dongeng yang sudah ada sejak dulu kala untuk diangkat ke sebuah layar lebar. Meng-upgrade-nya dengan segala sesuatu yang bisa menjadikan karya tersebut menjadi berbeda. Sayangnya, dengan rombakan yang dilakukannya itu malah menjadikan karyanya bak bumerang yang menyerang balik kepada sineas yang bertanggung jawab dalam proyek tersebut.

Kali ini Brett Ratner mencoba untuk menggunakan kemampuannya untuk mengolah sebuah dongeng-dongeng atau mitos legendaris yang sudah dekat dengan penontonnya. Hercules miliknya yang pada awalnya berjudul Hercules : The Thracian Wars ini ternyata tak jauh berbeda dengan karya-karya sejenis lainnya. Hercules yang diperankan oleh Dwayne Johnsson ini pun membangun alternate universe sendiri yang memanusiakan sosok Hercules yang kuat.

Melenceng dari dongeng-dongeng sebelumnya tentu bukan suatu masalah besar di dunia perfilman Hollywood. Tetapi, bagaimana Brett Ratner ini mencoba untuk memanusiakan sosok Hercules dengan arahan yang minimalis olehnya ini toh malah membuat film ini kurang memuaskan. Alih-alih memberikan alternatif cerita yang lebih realistis, and the result is Herculesjust being another Swords and Sandals movie that we have ever seen before.


Alih-alih ingin memberikan sebuah alternate cerita yang berbeda, nyatanya Hercules versi Brett Ratner ini malah tampil lemah. Memang bukan yang terlemah antara film-film dengan tema sejenis beberapa bagian ada yang bisa dinikmati. Sayangnya, Hercules memiliki template yang sama dengan beberapa film sejenis. Kesannya Hercules milik Brett Ratner ini seperti versi lain dari film kolosal 300 milik Zack Snyder dengan minus CGI dan Slow motion effect dipadu padankan dengan Pompeii milik Paul W.S. Anderson.

Usaha Brett Ratner untuk keluar dari jalur dalam menceritakan ulang sosok putra Zeus ini pun terkesan sia-sia. Toh, Hercules malah menghilangkan banyak bagian dari dongeng-dongeng yang sudah dekat dengan penontonnya. Sosok Hercules yang notabene adalah setengah dewa dan setengah manusia ini diceritakan dengan masalahnya yang kompleks. Good point of view to tell, tetapi minimnya pengarahan membuat Hercules ini malah tidak menunjukkan sosok Hercules yang sebenarnya.

Dengan adanya kompleksitas di departemen cerita, tentu akan melahirkan beberapa subplot yang bergerak di sepanjang durasi. Pergerakan subplot itu terlalu sempit untuk diceritakan dan tentu berpengaruh untuk penuturannya dengan durasi sepanjang 100 menit. Inisiatif Brett Ratner untuk menyembunyikan subplot yang menarik tetapi sayangnya Brett Ratner seperti lupa untuk menjelaskan apa yang sudah di-tease-kan di awal cerita. Akhirnya, seperti dipaksa tampil segala cerita tumpah ke 30 menit akhir film yang membuat film ini terasa draggy.


Akan terasa di beberapa bagian bahwa ada beberapa cerita yang sepertinya belum diceritakan. Ya, Hercules milik Brett Ratner ini terkesan menjadi sebuah sekuel dari film miliknya yang nyatanya tak pernah ada karena penuturan ceritanya terasa tak lengkap. Brett Ratner terkesan malas untuk menceritakan hal yang sudah disajikan di layar dan meyakinkan dirinya bahwa penonton mungkin sudah tahu seperti apa cerita dari film arahannya ini.

Bagi penonton yang menginginkan cerita dongeng yunani dengan demi-god atau sejenisnya, harus siap-siap untuk kecewa. Karena, Hercules akan benar-benar meninggalkan segala jenis fantasinya yang seharusnya menjadi sebuah trademark untuk sosok Hercules. Maka dari itu, buang jauh-jauh ekspektasi itu agar tidak merasakan kekecewaan. Sebagian kecil dari cerita fantasi tersebut mungkin dituangkan dalam cerita pembuka yang ternyata bukanlah bagian dari plot di film Hercules milik Brett Ratner ini.


Hercules kali ini memang akan terkesan humanis dengan point of view berbeda yang diambil oleh Brett Ratner. Sayangnya, Brett Ratner masih belum menunjukkan kepiawaiannya untuk mengarahkan sebuah film dan menjadikan Hercules tampak meyakinkan. Pengolahannya pun jatuh menjadi sajian yang sama seperti film sejenis lainnya. Brett Ratner masih belum bisa belajar atas kegagalannya di X-Men : The Last Stand. Toh, Hercules masih belum memperlihatkan bahwa Brett Ratner adalah sutradara yang kompeten.
Hercules pun dirilis dalam format 3D. Berikut review-nya

DEPTH
Efek Depth untuk format 3D Hercules cukup bagus meskipun di beberapa adegan masih kurang terjamah.

POP OUT
Pop Out sangat berinteraksi dengan baik kepada penontonnya. Dan inilah kelebihan dari film Hercules di segi teknik.

Ya, tontonlah film ini dalam format 3D karena Hercules sangat memanjakan penontonnya dengan format yang berbeda. Setidaknya format 3D akan menghibur anda dengan betapa mediocre-nya Hercules arahan Brett Ratner ini.
ads