Rabu, 29 Oktober 2014

JOHN WICK (2014) : Super High Dose of Fun

Film genre action menjadi salah satu favorit para penonton. Asal ada suara tembakan dan ledakan, film genre ini akan dengan sangat mudah ... thumbnail 1 summary

Film genre action menjadi salah satu favorit para penonton. Asal ada suara tembakan dan ledakan, film genre ini akan dengan sangat mudah menarik minat penontonnya. Tetapi, sebuah film aksi akan menjadi sangat hambar tanpa dukungan plot yang kuat. Bisa juga, film genre ini mengemas setiap adegannya dengan kemasan yang lebih segar agar menjadi satu karya besar di genre ini. Tetapi seperti apapun, film genre actionakan dengan mudah membuat penonton berbondong-bondong pergi ke bioskop.

John Wick, sebuah film aksi yang menambah daftar panjang film-film dengan genre action. Film ini menjadi karya debut dari sutradara Chad Stahelski yang pada awalnya lebih dikenal sebagai seorang stuntman di film-film besar Hollywood. Keanu Reeves menjadi lead actor untuk film debutnya kali ini. Meski begitu, ini bukan pertama kali Chad Stahelski berkerja sama dengan Keanu Reeves. Karena dulu, Chad Stahelski pernah menjadi stuntman Keanu Reeves di film The Matrix. 


Premis film ini mungkin akan terlihat cukup aneh, ketika seseorang bernama John Wick (Keanu Reeves) ditinggal oleh sang istri. Di akhir hidup istrinya, sang istri merencanakan untuk memberikan kado terakhir untuk John Wick yaitu Seekor Anjing dan sebuah mobil Ford Mustang tahun 1969. Ketika hidupnya mulai berjalan normal, seseorang bernama Iosef Tarasov (Alfie Allen) menyerang rumahnya dan mencuri mobil miliknya.

Dia pun menyerang John Wick dan juga membunuh anjing yang dibelikan oleh sang istri. John Wick pun tidak terima karena dua barang terakhir milik istrinya ini diambil. John Wick pun melancarkan sebuah misi balas dendam kepada Iosef dan kawan-kawannya. Kegiatan balas dendamnya ini pun menghubungkan dia kepada gembong mafia rusia yang jahat dan masa lalunya. 


Style over substance with super fun action packed

Film dengan genre actionsudah mengotak-atik formula yang sama dari A hingga Z. Tetapi, bagaimana pintar-pintarnya para sutradara di genre ini mengemas formula A hingga Z itu menjadi A atau Z dengan faktor “Wow”yang akan disukai oleh penontonnya. Dengan sering munculnya film genre action di setiap tahun, sebagian besar masih akan menggunakan formula dan template yang sama antara satu film dengan film yang lainnya.

Dan ketika penonton haus dengan film-film genre action yang segar, datanglah Chad Stahelski yang membawa John Wick menjadi sajian film action yang segar. Dia bukan menawarkan sesuatu yang baru di dalam konflik filmnya. Malah, premis miliknya pun akan sedikit terkesan konyol dibanding film-film bertema sejenis. Tetapi, John Wick dikemas sangat berbeda dan begitu mengasyikkan yang ditujukan kepada penonton atau penggemar film action yang haus akan hal segar itu.

John Wick hanya memiliki 95 menit durasi untuk menjalankan setiap ceritanya. Dengan plot tipis, John Wick berhasil menguatkan plot tersebut. Sehingga, 95 menit akan terasa sangat efektif menceritakan segala hal yang ada di dalam filmnya. Bagusnya lagi, Chad Stahelski berhasil menginterpretasi naskah milik Derek Kolstad yang berpotensi menjadi sajian yang biasa saja. John Wick benar-benar berhasil membangun rasa penasaran penontonnya hingga ke menit terakhir film ini.


Film ini disusun seperti sebuah teka-teki yang benar-benar acak. Penonton benar-benar akan merasa kekurangan informasi tentang siapa itu John Wick dan apa yang terjadi dengannya sebelum adegan pembuka. Sehingga seiring bertambahnya durasi, penonton akan dijejali sedikit demi sedikit informasi tentang John Wick. Pada akhirnya, akan menemukan sebuah pola tentang informasi tersebut. Hal inilah yang dikemas begitu kreatif sehingga John Wick yang memiliki naskah klise dan plot yang minimalis ini berhasil menjadi sajian yang begitu segar untuk penontonnya.

John Wick memang tidak mendapat treatment untuk bagian naskahnya. Akhirnya, Chad Stahelski menggunakan segala intens-nya untuk adegan aksi di setiap menitnya. Adegan aksi di film ini pun disajikan penuh dengan sesuatu yang stylish. Penonton akan duduk manis di kursi mereka karena terpesona dengan adegan tembak-tembakan yang sangat indah untuk disaksikan. Apalagi dengan rating R untuk film ini menambah tingkatan violence untuk filmnya. 


Beberapa poin yang patut untuk digarisbawahi adalah bagaimana musik-musik di film ini bekerja dengan sangat baik. Berkolaborasi dengan setiap adegannya dan menciptakan harmoni yang indah. Musik-musik di film ini bisa menguatkan adegan-adegan aksi tersebut. Memberikan intensitas yang sangat luar biasa untuk penontonnya. Sehingga, John Wick seperti sebuah medley video klip yang indah di setiap action sequences-nya.

John Wick pun menjadi titik balik bagi Keanu Reeves. Di mana Keanu Reeves kembali ke jalannya yang benar. Di film ini lah, penonton kembali melihat aktor Keanu Reeves yang mereka kenal sebelumnya. Setelah selama beberapa waktu ini, Keanu Reeves benar-benar dalam titik terendah dalam karirnya. Di dalam film ini, Keanu Reeves berhasil menghidupkan karakter John Wick yang dingin dan tanpa ampun, tetapi masih memiliki sisi humanis yang vulnerable


Dengan segala ketipisan plot dan premisnya yang terlihat konyol, John Wick adalah sajian film di genre action yang sangat menyenangkan. Tanpa perlu basa-basi dan di dalam 95 menit durasinya, sajian klise film ini berhasil menjadi sajian yang sangat segar untuk dinikmati dengan beberapa aspek menguatkan film ini. John Wick pun menjadi titik balik Keanu Reeves yang sempat turun di beberapa filmnya. Waiting for the sequel, huh? He would be back. 

Rabu, 22 Oktober 2014

REMEMBER WHEN : KETIKA KAU DAN AKU JATUH CINTA (2014) REVIEW : Potret Manis Kehidupan Cinta Remaja

  Membahas kisah cinta saat remaja memang cukup indah, bukan? Dengan konflik klise yang sebenarnya bisa dihindari agar tidak terjadi. Dan ya... thumbnail 1 summary
 

Membahas kisah cinta saat remaja memang cukup indah, bukan? Dengan konflik klise yang sebenarnya bisa dihindari agar tidak terjadi. Dan ya, Kisah cinta remaja memang punya daya tariknya sendiri. Oleh karena itu, para sineas ingin menggambarkan kisah cinta remaja dengan konflik yang klise itu dalam sebuah film layar lebar. Tentu, dengan cara pengemasan konflik yang berbeda dari setiap sutradaranya.

Fajar Bustomi pun mengadaptasi sebuah novel milik Winna Efendi berjudul ‘Remember When’. Dengan cerita cinta dan persahabatan yang cukup kental di dalam bukunya. Disokong dengan naskah yang ditulis oleh Haqi Achmad yang sudah terbiasa menulis naskah adaptasi dari sebuah buku. Juga dengan Memasang wajah aktor dan aktris muda yang segar. Adaptasi buku ini menggunakan Remember When : Ketika Kau Dan Aku Jatuh Cinta sebagai judulnya. 


Remember When : Ketika Kau Dan Aku Jatuh Cinta ini bermula dari empat orang yang bersahabat di satu SMA. Dua lelaki, dua perempuan, dan mereka berpasangan. Freya (Michelle Zudith) berpasangan dengan Moses (Miqdad Addausy), Gia (Stella Cornella) berpasangan dengan Adrian (Maxime Bouttier). Mereka masing-masing sudah menjalani hubungannya selama dua tahun. Mereka berempat sering keluar untuk double date di suatu tempat.  

Suatu ketika, Moses tidak dapat menjemput Freya untuk pergi double date. Moses pun meminta Adrian untuk menjemput Freya di rumahnya. Freya kaget ketika dijemput oleh Adrian dan merasa gugup. Mereka pun saling berbincang satu sama lain dan menemukan kesamaan di antara mereka. Freya pun merasakan sesuatu yang lain di dalam dirinya. Dia merasa dia mulai menyukai Adrian tetapi dia sudah memiliki Moses. Begitu pun dengan Adrian. 


Enjoyable romance movie with great ensemble cast.

Mungkin, ini bukan pertama kalinya buku milik seorang Winna Effendi ini diangkat menjadi sebuah film layar lebar. Masih ingatkah Refrain? Ya, film itu pun berasal dari buku yang ditulis oleh orang yang sama. Remember When juga salah satu buku best seller milik Winna Effendi yang sekali lagi diadaptasi menjadi naskah sebuah film oleh Haqi Achmad –setelah Refrain –dengan pilot baru yaitu Fajar Bustomi. Fajar Bustomi dikenal lewat karyanya di Slank, Gak Ada Matinya dan salah satu segmen di film omnibus Aku Cinta Kamu.

Remember When : Ketika Aku dan Kau Jatuh Cinta ini pun masih memiliki tema yang generik di film-film cinta remaja. Perselingkuhan, persahabatan yang hancur gara-gara cinta, dan hal yang klise lainnya. Tetapi, bukan berarti hal klise itu tidak dapat dikemas dengan baik. Fajar Bustomi bisa dibilang cukup berhasil mengarahkan buku karangan Winna Effendi ini. Dibalut dengan naskah milik Haqi Achmad yang juga mampu merepresentasikan kehidupan remaja pada zaman sekarang.

Remember When : Ketika Aku dan Kau Jatuh Cinta ini memang memiliki banyak karakter yang bergerak sebagai pemeran utama. Tetapi, poin terpenting di film ini dipegang oleh Freya. Fajar Bustomi berhasil menggerakkan setiap pion karakternya dengan matang. Didukung naskah milik Haqi Achmad yang menggunakan dialog-dialog manis yang bisa dikutip. Akhirnya, setiap karakternya berhasil berjalan, menggerakkan ceritanya masing-masing dengan porsinya yang pas. Tidak ada yang pointless yang hanya menyesaki layar. 


Memang, Remember When bukanlah sajian cerita cinta remaja yang sempurna. Pun masih ada beberapa kekurangan di dalam filmnya. Penggunaan musik yang overused di beberapa adegan yang semestinya bisa beberapa dihilangkan. Penggunaan musik yang terlalu banyak itu pun sedikit menganggu beberapa momennya. Tetapi ada hal lain di musiknya yang juga menjadi salah satu poin plus untuk film Remember When. Musik yang ear-catchydan manis di beberapa bagian cukup berhasil menguatkan momen indah di dalam filmnya. Pun didukung dengan lagu manis milik RAN yaitu Dekat Di Hati yang menguatkan sisi manis film ini.

15 menit pertama milik Remember When : Ketika Aku dan Kau Jatuh Cinta ini masih memiliki potongan-potongan cerita yang belum rapi. Beberapa subplot cerita di Remember When pun masih terasa tumpang tindih and it happened suddenly. Masalah ini terjadi karena penggalian karakter yang masih dirasa kurang. Sehingga, penonton belum mendapat kesempatan untuk menemukan koneksinya dengan karakter di film ini, terutama pada sosok Moses. Treatment yang dilakukan oleh karakter satu ini memang yang paling lemah di antara karakter lainnya. 


Di samping lemahnya penggalian karakter ada faktor yang memperkuat karakter tersebut. Para aktor dan aktris di film ini mampu menghidupkan karakter-karakter muda di film ini. Michelle Zudith, Stella Cornella, Maxime Bouttier, dan Miqdad Addausy berhasil memberikan chemistry mereka sebagai seorang sahabat dan sepasang kekasih. Sehingga, pada momen klimaks film ini, semuanya mampu berkolaborasi dengan baik dan memberikan emosinya. Wajah-wajah segar dan performanya yang cukup baik patut diperhitungkan untuk bermain di film-film lainnya. 


Remember When : Ketika Kau dan Aku Jatuh Cinta masih mengangkat tema yang generik untuk film cinta remaja. Konflik klise tentang perselingkuhan dan persahabatan ini dikemas dengan cukup baik oleh Fajar Bustomi. Juga didukung dengan naskah dari Haqi Achmad yang memiliki dialog-dialog yang manis dan musik yang manis, sehingga berhasil merepresentasikan kehidupan cinta remaja yang berwarna. Meski beberapa kesalahan-kesalahan pun masih ada di film ini. Tetapi, Remember When : Ketika Kau dan Aku Jatuh Cinta adalah film remaja yang dibuat dengan baik. 

Senin, 20 Oktober 2014

3 NAFAS LIKAS (2014) REVIEW : Siapa itu Likas ?

Tak henti-hentinya para sineas Indonesia menggarap film biopik untuk meramaikan perfilman Indonesia. Mulai dari para petinggi negeri, tokoh-... thumbnail 1 summary

Tak henti-hentinya para sineas Indonesia menggarap film biopik untuk meramaikan perfilman Indonesia. Mulai dari para petinggi negeri, tokoh-tokoh agama, hingga sosok menginspirasi yang berhasil menitih karir from zero to hero. Tema biopik ini memang bisa dibilang sukses untuk menarik perhatian penontonnya. Sehingga tak salah, jika para sineas Indonesia mulai berlomba-lomba untuk mengangkat sosok-sosok penting di dalam negeri untuk diadaptasi ke layar lebar.

Rako Prijanto contohnya, salah satu sutradara yang sudah pernah menggarap film biopik tokoh agama yaitu Sang Kiai. Kesuksesan Sang Kiai di ajang Festival Film Indonesia 2013 ini, membuat Rako Prijanto sekali lagi mengarahkan sebuah film biopik. Diangkat dari kisah sosok Likas Tarigan, perempuan asal Karo yang juga sekaligus istri dari Djamin Gintings. Bersama dengan Atiqah Hasiholan dan Vino G. Bastian di deretan pemainnya, film biopik ini diberi judul 3 Nafas Likas. 


Dimulai saat era 1930-an, Likas Kecil (Tissa Biani Azzahra) ingin sekali menjadi guru. Di sekolahnya, Likas kecil mendapatkan prestasi yang bagus. Hingga Ayah Likas (Arswendi Nasution) memutuskan untuk mendaftarkan Likas ke sekolah guru di Padang Panjang. Hal tersebut mendapatkan tentangan dari Ibu Likas (Jajang C. Noer) yang berharap Likas tidak pergi ke sekolah guru tersebut. Tetapi, Likas tetap yakin dengan kemauannya.

Selang waktu berlalu, Likas (Atiqah Hasiholan) sudah lulus dan berhasil menjadi seorang guru di Padang Panjang. Pada akhirnya, dia bertemu dengan pemuda pasukan PETA, Djamin Gintings (Vino G. Bastian). Djamin tiba-tiba menaruh hati pada Likas. Meski pada awalnya, Likas selalu membuang muka dan menghindar dari Djamin. Di saat itu pula, keadaan Indonesia yang sedang dijajah Jepang semakin memburuk dan mengharuskan Likas untuk berjuang menyelamatkan dirinya. 


Still being one of the gem in indonesian cinemas.

Biopik kembali menjadi tren ketika Habibie & Ainun, film yang mengisahkan perjalanan presiden ketiga negara Indonesia ini, berhasil memperoleh jutaan penonton. Beberapa biopik pun dibuat alih-alih untuk mendapatkan antusiasme penonton. Rako Prijanto, yang pernah menggarap Sang Kiai –yang juga sukses– dibawah rumah produksi Oreima Pictures menggiring 3 Nafas Likas menjadi salah satu film biopik yang akan dikenang oleh penontonnya.

Satu hal yang mungkin akan dipertanyakan oleh penonton film biopik. Siapa itu Likas? Apa yang telah diperbuatnya oleh negara? Tentu, Likas akan memiliki koneksi yang cukup kuat di daerah tertentu. 3 Nafas Likas akan membuat penonton tahu siapa itu Likas. Orang biasa yang ingin mewujudkan mimpinya menjadi seorang agar menjadi kenyataan. Kehidupan orang biasa ini sepertinya belum bisa diarahkan dengan cukup baik oleh Rako Prijanto.

Pertanyaan awal tadi sepertinya juga patut dipertanyakan di dalam film 3 Nafas Likas. Siapa itu Likas? Istri Djamin Gintings, sosok Letnan Jendral. Lantas apa yang membuatnya spesial sebelum itu? Rako Prijanto pun seperti masih mempertanyakan siapa itu Likas di dalam filmnya. Dengan naskah yang ditulis oleh Titien Wattimena, sosok Likas masih terbangun baik dalam paruh pertama filmnya. Rako Prijanto berhasil memberikan harapan di paruh pertama kepada penontonnya. 


Ketika Vino G. Bastian yang memerankan Djamin Gintings muncul, ini adalah titik turun di dalam filmnya. Bukan karena akting dari Vino G. Bastian yang buruk, tetapi karena bagaimana Rako Prijanto terlihat kuwalahan untuk mengarahkan karakter-karakter yang sudah mulai menumpuk di dalam filmnya. Penuturan lembut di dalam skrip milik Titien Wattimena itu masih terasa, tetapi Rako Prijanto tidak bisa merepresentasikan naskah yang ada. Di sisa-sisa menit yang ada, 3 Nafas Likas terlihat susah untuk menuturkan apa yang terjadi di dalam filmnya.

Dengan Timeline yang memiliki rentang waktu yang cukup panjang, 100 menit akan terasa sangat singkat. Rako Prijanto pun seperti harus memasukkan setiap adegan-adegan yang ada meskipun akan terasa beberapa cerita masih ada yang belum tuntas untuk diceritakan. Begitupun dengan sosok Likas yang sudah mulai buram dalam pembangunan karakternya. Sosok Likas yang seharusnya lebih diceritakan seperti diambil alih oleh cerita milik Djamin Ginting, meski tetap menggunakan Likas sebagai point of view di dalam filmnya. 


Akan terasa episodik di setiap paruh filmnya, karena transisi karakter yang cukup dominan. Sesuai dengan judulnya, 3 Nafas Likas, metafora kehidupan Likas yang bergantung terhadap 3 orang yang berpengaruh di hidupnya. Tetapi, naskah milik Titien Wattimena ini memiliki beberapa hal yang patut dipuji. Bagaimana kehidupan budaya Karo tentang merantau dan beberapa adat lainnya yang mampu dirangkum di dalam naskahnya. Meski, Rako Prijanto masih belum bisa menerjemahkan semua itu dengan sempurna.

Pun juga perlu mendapatkan apresiasi dalam nilai produksi di dalam setting filmnya. Setiap detil tempat dan suasana berhasil menangkap bagaimana kehidupan di Karo, bagaimana kehidupan di tahun 1930, dan seterusnya. Digarap dengan sangat baik yang mampu menutupi segala kekurangan tutur cerita milik Rako Prijanto yang belum rapi. Usaha-usaha teknis yang benar-benar digarap serius dan tertangkap oleh sinematografi yang cantik ini layak diacungi jempol. 


Juga dengan kekuatan akting dari Atiqah Hasiholan dan Vino G. Bastian yang berhasil menggunakan logat etniknya dengan baik. Meski, chemistry antara mereka belum benar-benar terjalin kuat layaknya Reza Rahadian dan juga Bunga C. Lestari di Habibie & Ainun. Yang patut disorot adalah Tissa Biani Azzahra yang memerankan Likas Kecil. Sebagai aktris cilik, performa miliknya begitu luar biasa dan mampu membuat penonton simpati dengan karakternya.

3 Nafas Likas masih memiliki kelemahan di dalam penuturan ceritanya. Belum bisa membangun karakter Likas dengan begitu spesial sehingga layak diapresiasi lewat film biopik. Tetapi, 3 Nafas Likas tetap menjadi salah satu film Indonesia yang patut untuk diapresiasi. Dengan nilai produksi yang sangat detil dan digarap serius, 3 Nafas Likas ini perlu untuk mendapat dukungan dari penontonnya. Salah satu film Indonesia yang digarap tidak sembarangan. 

Senin, 13 Oktober 2014

STRAWBERRY SURPRISE (2014) REVIEW : Analogi Cinta dan Stroberi

Jatuh cinta, siapa yang tak pernah merasakan indahnya jatuh cinta? Banyak sekali cerita cinta yang divisualkan untuk film layar lebar. Mula... thumbnail 1 summary

Jatuh cinta, siapa yang tak pernah merasakan indahnya jatuh cinta? Banyak sekali cerita cinta yang divisualkan untuk film layar lebar. Mulai dari cinta bertepuk sebelah tangan, orang ketiga, dan beberapa konflik cinta yang lainnya yang dekat dengan kehidupan insan manusia sehari-hari. Sineas Indonesia pun juga banyak yang menawarkan film bertema cinta. Beberapa judul film pun mengusung tema cinta dengan konfliknya yang berbeda.

Meski tema cerita cinta cenderung memiliki formula yang klise. Tetapi, sineas Indonesia masih saja menggarap film drama romantis. Begitu pun dengan Hanny R. Saputra, sutradara yang pernah menggarap film Di Bawah Lindungan Ka’bah ini kembali ke jalurnya untuk mengarahkan satu film cinta dewasa. Kembali berkolaborasi bersama Oka Aurora di departemen penulisan naskah, Hanny R. Saputra mengangkat cerita cinta dari buku karangan Desi Puspitasari berjudul ‘Strawberry Surprise’.


Aggi (Acha Septriasa) mengibaratkan kisah cintanya seperti sekotak buah stroberi, berharap buah stroberi tersebut manis tetapi asam luar biasa. Kisah cintanya bersama Timur (Reza Rahadian) pun pada awalnya baik-baik saja. Tetapi setelah menjalin hubungan cukup lama dengan kondisi tempat mereka yang berjauhan, mereka pun memutuskan untuk berpisah. Timur masih berharap 5 tahun lagi, Aggi masih sendiri dan menerimanya kembali.

5 Tahun berikutnya, Timur kembali menagih janji dari Aggi. Berharap Aggi masih sendiri dan mengajaknya untuk kembali menjalin hubungan. Beberapa minggu, Timur terus mengejar dan menagih cerita Aggi bersama mantan-mantannya. Aggi masih mempertimbangkan kelanjutan hubungannya Timur. Timur pun merelakan apapun agar bisa kembali bersama Aggi. 


Kejutan yang manis di genre ini.

Film bertema cinta milik sineas indonesia memang cukup banyak dibuat. Tetapi, ada berapa yang bisa menancap di hati penontonnya? dan kapan terakhir kali anda menontonnya? Memang judul-judul film romansa cinta Indonesia memang tak banyak yang bisa menancap di hati penontonnya. Hanny R. Saputra sudah banyak sekali mengarahkan film-film cinta di awal-awal debutnya sebagai sutradara. Heart, Love Is Cinta, dan Love Story adalah trilogi LOVE miliknya

Maka, sudah bukan hal baru lagi bagi Hanny R. Saputra untuk mengarahkan film yang diadaptasi dari buku milik Desi Puspitasari, Strawberry Surprise. Film bertemakan cinta biasanya memiliki formula dan template yang sama dari satu film ke film yang lain. Begitu pun dengan Strawberry Surprise, dari sinopsis pun kita bisa tahu bagaimana film ini akan berjalan. Tetapi, ada yang berbeda dengan Strawberry Surprise. Sesuatu yang benar-benar mengejutkan yang patut untuk anda simak setiap menitnya.

Jika anda sudah pernah melihat sekilas dari Strawberry Surprise lewat trailernya, anda akan tertipu. Trailer film ini memang terkesan biasa saja, tipikal film-film cinta yang gampang dilupakan. Tetapi ketika menonton film ini secara penuh di bioskop, Strawberry Surprise benar-benar tampil di luar dugaan dari trailernya yang biasa saja. Strawberry Surprise memiliki jalinan cerita yang disampaikan cukup rapi kepada penontonnya. Penonton akan dengan mudah hanyut dengan kisah cinta milik Aggi dan Timur. 


Oka Aurora berhasil mengadaptasi buku milik dari Desi Puspitasari ini dengan baik. Dialog-dialog dinamis tentang cinta yang dianalogikan sebagai sekotak buah stroberi dan dialog-dialog lainnya pun meninggalkan kesan manis untuk penontonya. Dialog-dialog yang bisa dikutip dan beberapa akan menohok penontonnya yang memiliki cerita yang sama dengan Aggi dan Timur. Hubungan jarak jauh yang membutuhkan kepercayaan satu sama lain agar bisa bertahan. Ya, penonton pun akan dengan mudah terwakili lewat karakter Aggi dan Timur.

Strawberry Surprise pun berjalan apa adanya tanpa kesan berlebihan di 90 menit filmnya. Hanny R. Saputra pun berhasil berkolaborasi dengan naskah yang ditulis oleh Oka Aurora. Hasilnya, tidak ada kesan over-dramatic, semuanya berjalan sederhana tetapi berhasil meninggalkan kesan manis yang cukup dalam untuk film ini. Hanny R. Saputra berhasil mengarahkan filmnya agar penonton bisa terkoneksi dengan karakter-karakternya. Karena setiap adegan di Strawberry Surprise begitu terasa emosinya. 


Strawberry Surprise tidak seluruhnya sempurna, masih ada beberapa minor kecil di dalamnya. 20 menit pertama film ini mungkin masih sedikit kacau. Strawberry Surprise mencoba menggunakan alur campuran untuk menceritakan setiap detil latar belakang karakternya. Editing dan penuturannya sedikit kacau sehingga penonton awam akan sedikit kebingungan dengan apa yang terjadi dengan Aggi dan Timur. Tetapi semakin bertambah durasinya, Strawberry Surprise menemukan iramanya dan berjalan dengan sangat baik.

Pun dengan karakter-karakter pendukungnya yang juga masih terkesan one dimensional. Karakter yang diperankan oleh Olivia Jensen, Inda pun masih ragu di dalam film ini. Karakter yang diperankan oleh Olivia Jensen mungkin akan berpotensi sebagai penguat karakter Timur tetapi kurang digali lebih oleh Hanny R. Saputra. Beberapa konflik antara Timur dan Inda pun seperti ada yang menahan, mungkin agar tidak terlalu membuat film ini menjadi over dramatic dan terlalu klise. Dia lebih memfokuskan Strawberry Surprise kepada kisah cinta Timur dan Aggi. 


Dan beruntunglah, Strawberry Surprise memiliki pemilihan aktor dan aktris yang tepat sehingga menambahkan kesan manis di dalam filmnya. Acha Septriasa dan Reza Rahadian mungkin pernah bermain dengan sangat bagus di film Test Pack. Dan sekali lagi, chemistry kuat itu mereka tampilkan di film ini. Mereka sangat berhasil membawa suasana haru dan romantis dengan sangat kuat bukan secara berlebihan. Sehingga penonton akan dengan mudah ikut tersenyum lantaran jalinan cerita cinta mereka yang penuh perjuangan. 


Maka tak salah, di tengah minimnya film-film cinta milik sineas Indonesia, Strawberry Surprise mampu menjadi salah satu yang terbaik di genre-nya tahun ini bahkan beberapa tahun terakhir. Sebuah kejutan manis hasil kolaborasi Hanny R. Saputra dan Oka Aurora yang mengantarkan kisah asam manis cinta yang memorable. Asam manis cinta milik Aggi dan Timur yang diibaratkan lewat sekotak buah stroberi ini akan mampu membuat penontonnya tersenyum.

Kamis, 02 Oktober 2014

ANNABELLE (2014) REVIEW : ‘The Conjuring’ Cinematic Universe

Kesuksesan James Wan dalam menangani kasus-kasus supranatural dalam film garapannya tentu tidak diragukan lagi. Kesuksesan yang digapai oleh... thumbnail 1 summary

Kesuksesan James Wan dalam menangani kasus-kasus supranatural dalam film garapannya tentu tidak diragukan lagi. Kesuksesan yang digapai oleh James Wan ini menjadi babak baru bagi film horror Hollywood. The Conjuring dan Insidious menjadi mahakarya milik James Wan yang mengembalikan lagi semangat-semangat film horror Hollywood yang sudah mulai menghilang. Kedua film tersebut pun mulai meng-expand lagi universe-nya.

The Conjuring pun sudah mendapatkan slot untuk sekuelnya. Sebelum menuju ke sekuelnya, penikmat film horor dimanjakan oleh sebuah spin-off dari The Conjuring. Siapa yang tak tahu boneka “menggemaskan” di film The Conjuring, Annabelle? Boneka ini berkesempatan untuk mendapatkan penuh 90 menit durasi film yang menceritakan tentangnya. John R. Leonetti ini berkesempatan untuk menjalankan penuh cerita boneka setan ini.


Where to begin the Annabelle? Sepasang suami-istri, John Form (Ward Horton) dan Mia (Annabelle Wallis) hidup di sebuah rumah. Mia yang sedang hamil tua mendapatkan hadiah dari sang suami sebuah boneka Annabelle yang sudah lama di carinya. Di malam yang sama, dua orang pengikut sekte pemuja setan datang tiba-tiba dan meneror rumah mereka. Pertumpahan darah pun terjadi dan boneka Annabelle tersebut menjadi saksi bisu.

Setelah kejadian pada malam itu, Mia merasa tidak nyaman dengan rumahnya. Dia pun mengalami beberapa kejadian janggal di dalam rumahnya dan juga dengan boneka Annabelle miliknya. Dia pun menyuruh sang suami membuangnya dan memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Tetapi, Boneka tersebut mengikuti ke mana mereka pergi. Dan teror pun dimulai.


A spin-off to expand ‘The Conjuring’ universe

Kemunculan boneka Annabelle di film The Conjuring menjadi salah satu hal ikonik untuk film arahan James Wan tersebut. Annabelle pun disandarkan dengan sang boneka setan legendaris, Chucky. Tentu, Warner Bros pun tak mau diam mengenai fenomena boneka Annabelle ini. The Conjuring pun memperluas universe horror dengan sebuah spin-off dari boneka setan Annabelle. Hanya berselang setahun setelah euphoria The Conjuring, Annabelle pun diluncurkan.

Orang pun menilai Annabelle ini adalah aji mumpung dari The Conjuring. Spin off pengeruk uang yang tentu bisa menarik perhatian penontonnya di tengah sepinya film besar di bulan Oktober. John R. Leonetti belum punya track record baik di karya. Dia hanya ikut andil menjadi co-producer dalam dua seri Insidious yang juga disutradarai oleh James Wan. Lantas, Annabelle tentu hanya menggunakan pamornya di The Conjuring untuk menjalankan misinya.

Annabelle arahan dari John R. Leonetti ini belum bisa dikatakan menjadi salah satu film horor yang dapat mengekor kualitas milik The Conjuring. Di tengah sepinya film horor di tahun ini, Annabelle pun belum bisa dikatakan yang paling menonjol untuk tahun ini. Di luar pamornya yang tinggi, Annabelle tidak memberikan efek dalam jangka panjang. Segala hal di dalam film ini pun akan mudah dilupakan oleh penontonnya setelah credit title bergulir.


Harapan yang digantungkan oleh penonton kepada film Annabelle cukup tinggi ketika tahu bahwa The Conjuring benar-benar membuat penonton ketakutan. Nyatanya, Annabelle arahan John R. Leonetti ini masih tidak memiliki potensi yang sama bagusnya. Annabelle tentu memiliki hal klise dalam mengkonstruksi cerita di dalamnya. Lewat naskah yang ditulis oleh Gary Dauberman ini terlihat menggunakan lagi template cerita yang sudah usang.

Cerita yang ada di film ini seperti sudah pernah penonton saksikan di film horor-horor lainnya seperti sekte pemuja setan, simbol, dan beberapa konflik lainnya. Hanya saja yang sedikit berbeda yaitu adanya medium setan tersebut berinang, Boneka Annabelle. Cerita milik Annabelle ini bukan hanya tidak spesial, tetapi penuturannya pun tertatih. Semua terkesan dipercepat di awal hingga pada bagian paruh akhirnya, film ini pun tak tahu akan dibawa dalam penyelesaian seperti apa.


Hasilnya, penonton merasa terkejut dengan penyelesaian yang menggelikan. Cerita milik Annabelle memang tidak ada yang istimewa tetapi cerita yang tak istimewa itu tidak menjadi hal pendukung untuk filmnya. John R. Leonetti terlihat begitu semangat dan tidak sabar untuk  meneror penontonnya. Alhasil, begitu cepat karakter-karakter dan konflik itu masuk di dalam film ini. Paruh pertama masih cukup bagus dalam membangun suasananya. Tetapi setelah itu, segalanya terlihat sangat melelahkan untuk diikuti. Beberapa karakter pun akan terkesan asal tempel untuk menyesaki layar.  

Tetapi, John R. Leonetti masih patut diacungi jempol untuk mengarahkan film Annabelle yang masih mampu meneror penontonnya. Tetapi, tingkatan teror itu masih belum bisa menyaingi The Conjuring yang mampu melekat di penontonnya hingga berhari-hari. John R. Leonetti masih memiliki semangat dan beberapa ciri dari film James Wan yang digunakan di film ini. Beberapa kesan old-school lewat scoring meski tak sekuat jika ditangani oleh James Wan.

Kekuatan dari Annabelle adalah Jump-scareyang beberapa juga masih hit and miss. Tidak ada inovasi yang digunakan oleh sang sutradara untuk mengageti penontonnya. Jump-scaremilik Annabelle pun terkesan been-there, done-that tetapi masih efektif untuk membuat penontonnya berteriak. Mungkin ada beberapa yang terasa fresh di jump scare-nya, terutama adegan di dalam lift. John R. Leonetti pun masih bisa memberikan atmosfir yang tegang di beberapa bagian. Tetapi, tak sedikit pula yang masih gagal dalam membangun atmosfir tersebut.


Annabelle mungkin tidak dapat menyaingi The Conjuring yang mematok harga tinggi untuk film horor. Dengan cerita yang dibangun masih sangat lemah dan arahan milik John R. Leonetti yang terlalu bersemangat, Annabelle pun tidak dapat berdiri sejajar dengan pamornya yang tinggi. Tetapi, semangat dan beberapa identitas milik James Wan yang masih diikuti polanya oleh sang sutradara, Annabelle masih akan diburu oleh penonton awam dan pecinta horor untuk dinikmati sensasinya.
ads