Jumat, 21 November 2014

THE HUNGER GAMES : MOCKINGJAY PART 1 (2014) REVIEW : A Bridge for The Last Chapter

Siapa yang tak kenal dengan ‘Girl on fire’ ? siapa yang tak tahu slogan ‘May the odds be ever in your favor’ ? Ya, The Hunger Games sudah h... thumbnail 1 summary

Siapa yang tak kenal dengan ‘Girl on fire’ ? siapa yang tak tahu slogan ‘May the odds be ever in your favor’? Ya, The Hunger Games sudah hampir mendekati bagian paling akhir dari serinya. Tetapi seperti kebanyakan film-film adaptasi dari novel laris US, Mockingjay, seri terakhir dari trilogi The Hunger Games ini pun dibagi menjadi dua bagian film yang dirilis secara berkala. Di tahun 2014, seri pertama dan setahun kemudian, seri kedua akan menjadi penutup.
 
The Hunger Games : Mockingjay Part 1 masih ditangani oleh para kru dari film sebelumnya. Francis Lawrence masih mendapatkan kesempatan untuk menangani seri terakhir dari perjuangan Katniss melawan presiden Snow dan Capitol-nya. Langkah yang cukup beresiko untuk membagi satu buku tipis Mockingjay menjadi dua bagian film yang berbeda. Tentu kepentingan bisinis dari pihak Lionsgate lah yang menjadi alasannya. 


Timeline cerita masih melanjutkan dari The Hunger Games : Catching Fire, di mana Katniss (Jennifer Lawrence) mengalami perguncangan mental setelah Quarter Quell. Katniss mengungsi di Distrik 13 yang selama ini dipercaya telah hilang. Distrik 13 pun menjadi tempat penampungan orang-orang Distrik 12 yang selamat karena penyerangan yang dilakukan oleh Presiden Snow (Donald Sutherland). Plutarch Heavensbee (Phillip Seymour Hoffman) merekomendasikan Katniss sebagai ikon pemberontakan kepada presiden Distrik 13, Alma Coin (Julianne Moore).

Katniss setuju menjadi ikon pemberontakan atau biasa disebut Mockingjay. Melakukan video-video propaganda untuk menyerang Presiden Snow. Gale (Liam Hemsworth) selalu ada untuk menemani dan menguatkan Katniss yang masih terganggu secara mental. Tetapi, apa yang dilakukan oleh Katniss ternyata memperburuk keadaan terhadap orang-orang terdekatnya, terutama kepada Peeta (Josh Hutcherson). 


Weakest part of The Hunger Games Trilogy.

Tren membagi sebuah film seri terakhir dari adaptasi novel ini dimulai oleh Harry Potter and The Deathly Hallows. Akhirnya, film-film yang juga diadaptasi dari novel laris pun mulai mengikuti jejak Harry Potter. Tentu, dengan alasan hype yang tinggi dan yang paling penting adalah alasan komersil. The Twilight Saga : Breaking Dawn sebagai contohnya. Selanjutnya Allegiant, seri terakhir dari Divergent nanti pun akan menambah daftar panjang “film seri terakhir dari novel yang terbagi menjadi dua bagian”.

Sebenarnya, seri terakhir yang terbagi menjadi dua ini bukanlah ide yang baik. Yang jelas, bagian pertama ini akan menjadi kambing hitam di dalam keseluruhan seri filmnya, akan menjadi salah satu yang memiliki performa terlemah di segala serinya. The Hunger Games : Mockingjay Part 1 pun menjadi salah satu korban dari tren ini. Bisa dibilang, The Hunger Games : Mockingjay Part 1 ini menjadi salah satu yang terlemah di semua serinya yang sudah terbangun dengan sangat baik. Apalagi dengan performa dari The Hunger Games : Catching Fire yang akan melambungkan ekspektasi penontonnya.

Penyakitnya akan sama dengan film-film dengan treatment seperti ini. Bagaimana segala konflik di film pertama ini hanya akan mengenalkan konflik dasar kepada penontonnya saja. Segala sesuatu yang ditawarkan di film pertama pun akan terasa pointless dan tanggung. Jilid pertama dari seri terakhir dari trilogi The Hunger Games ini pun terlihat tidak kaya akan konflik. Sehingga, keputusan untuk membagi seri menjadi dua jilid ini pun terkesan terlalu panjang. Tetapi, ada yang membuat The Hunger Games : Mockingjay Part 1 ini tetap bersinar untuk triloginya. 


Tensi ketegangan di film ini pun masih sangat kuat hanya saja akan sangat minim aksi ledakan ketimbang dua seri sebelumnya. Tensi itu akan diambil alih oleh dialog-dialog yang sangat intens di dalam filmnya. Juga menyelipkan isu tentang politik juga propganda media massa yang memang sangat kuat bagi kehidupan manusia. Bagaimana sebuah media akan mempengaruhi pola pikir serta perilaku masyarakat, bagaimana sebuah media menyeleksi realita-realita yang ada, dan bagaimana otoritas seorang pemimpin yang direpresentasikan pada sosok Presiden Snow.

Naskah yang ditulis oleh Danny Strong dan Peter Craig ini mampu memberikan dialog-dialog yang pintar, menyelipkan beberapa dark comedy untuk memperkuat nuansa filmnya yang sarkastik. Juga, mampu memutar otak dalam mengolah konflik yang minim di film ini. Serta, adanya i’tikad baik untuk memperkuat karakter seperti Alma Coin dan Plutrach Heavensbee bahkan kepada karakter Gale. Karena pada seri sebelumnya, karakter Gale hanya terlihat sebagai one dimensional character yang seharusnya memiliki peran penting pada kehidupan Katniss. Naskah milik mereka pun pada akhirnya berkolaborasi dengan baik dengan arahan yang kuat dari Francis Lawrence.


Dengan minimnya konflik, Francis Lawrence masih mampu mengarahkan The Hunger Games : Mockingjay Part 1 ini memiliki sesuatu yang potensial, masih memiliki sesuatu yang thought-provokinguntuk diikuti dari awal hingga akhir. Bagaimana Francis Lawrence akan menggiring penontonnya mengikuti kehidupan Katniss yang sudah mulai goyah mentalnya atas segala perlakuan Presiden Snow. Melakukan treatment yang akan terasa lebih ‘gelap’ ketimbang seri-seri sebelumnya tetapi dengan pace dan cara bertuturnya yang sangat lembut
Bukanlah sesuatu yang mudah untuk membuat penonton awam agar selalu fokus mengikuti segala upaya katniss melawan Capitol. Apalagi hanya bermodal dialog-driven dan minim adegan aksi. Francis Lawrence terlihat benar-benar berusaha dan mengeluarkan segala kemampuannya agar The Hunger Games : Mockingjay Part 1 ini masih memiliki performa yang kuat. Meski tetap saja, Mockingjay Part 1 ini hanyalah sebuah jembatan untuk mengakhiri trilogi The Hunger Games ini. Penonton masih belum benar-benar mencapai akhir dari sebuah trilogi dunia fantasi milik Suzanne Collins ini. Anggap saja ini masih teaser dari seri penutup yang semoga menjadi penutup yang baik. 


Apalah arti The Hunger Games : Mockingjay Part 1 tanpa ensemble cast yang mampu menghidupkan karakter-karakter di dalamnya. Ada Julianne Moore yang mampu menghadirkan sosok presiden Distrik 13, Alma Coin, yang masih penuh misteri. Ada Jennifer Lawrence yang juga selalu menunjukkan bahwa dia adalah aktris yang patut diperhitungkan di semua filmnya, bahkan untuk karakter fiksi seperti Katniss sekali pun. Katniss akan terasa hidup lewat sosok Jennifer Lawrence yang mampu memberikan suasana getir dan penuh tekanan. Juga, Josh Hutcherson yang mampu memanfaatkan screening time-nya yang bisa dibilang minim di film ini tetapi bisa menciptakan suasana ‘gelap’ di film ini.

Tentu dengan dibaginya satu seri buku menjadi dua bagian ini, penonton akan mendapatkan satu cliffhanger ending. Jika ending di Catching Fire sudah membuat penontonnya penasaran, maka rasakan pukulan yang lebih keras dari Cliffhanger ending milik Mockingjay Part 1. Kabar buruknya, jawaban dari cliffhanger ending di film ini akan terjawab tahun berikutnya. So, have a nice seat and be patient to wait the real ending of this series. 


Maka, dari semua seri The Hunger Games, Mockingjay Part 1 adalah salah satu yang terlemah sejauh ini. Tetapi, arahan milik Francis Lawrence mampu membuat Mockingjay Part 1 tetap memiliki performa yang prima sebagai jembatan menuju penutup seri film adaptasi ini. Dialog yang intens, karakterisasi yang kuat, serta performa ensemble cast yang juga masih sangat baik, The Hunger Games : Mockingjay Part 1 masih menggugah penontonnya untuk mengikuti hingga akhir. Meski, penonton harus menunggu satu tahun untuk jawaban dari akhir seri ini. So, Happy Hunger Games and may the odds be ever in your favor.
 

Jumat, 07 November 2014

BIG HERO 6 (2014) REVIEW : “I’m Satistified With Disney’s Care”

Beberapa tahun terakhir, Walt Disney berhasil merebut kepercayaan penontonnya dengan film-film animasi buatannya. Tahun lalu, Frozen menja... thumbnail 1 summary

Beberapa tahun terakhir, Walt Disney berhasil merebut kepercayaan penontonnya dengan film-film animasi buatannya. Tahun lalu, Frozen menjadi karya yang sangat fenomenal dari studio animasi legendaris ini. Pixar, yang juga bekerja sama dengan studio Disney pun kalah telak. Tahun ini pun, Disney kembali menelurkan karya animasi terbarunya. Film animasi tahun ini bisa dibilang cukup banyak. Hanya saja, Pixar absen dalam meramaikannya tahun ini.

Setelah hak cipta Marvelsudah ditangan Disney, tentu membuat studio satu ini semakin memiliki proyek-proyek besar. Film animasi garapannya kali ini bukanlah berasal dari ide orisinil dari Walt Disney. Melainkan, adaptasi dari komik Marvel karya Steven T. Seagle dengan judul Big Hero 6. Menunjuk Don Hall dan Chris Williams sebagai komandan tertinggi untuk mengarahkan film adaptasi komik marvel ini. Serta, Big Hero 6 menjadi film animasi pertama Disney yang diadaptasi dari komik milik Marvel. 


Big Hero 6 menceritakan sosok jenius dari kota San Fransokyo Hiro Hamada (Ryan Potter) yang berhasil lulus sekolah menengah atas pada umur 14 tahun. Dia ingin masuk ke universitas robotika di San Fransokyo untuk melanjutkan studi dengan syarat membuat penemuan baru. Hiro pun membuat mikrobot yang berhasil memukau semua orang yang ada di sana. Tetapi, Mikrobot tersebut dicuri dan digunakan untuk kejahatan oleh seseorang bertopeng kabuki.

Baymax (Scott Adsit), robot perawat putih menggemaskan yang diciptakan oleh kakak Hiro, Tadashi (Daniel Henney), ini di-upgrade oleh Hiro untuk melawan musuhnya. Teman-temannya pun ikut membantu Hiro untuk melawan seseorang yang telah menyalahgunakan mikrobot buatan hiro. Go Go (Jamie Chung), Wasabi (Damon Wayans Jr.), Fred (T.J. Miller) dan Honey Lemon (Genesis Rodriguez) bersatu dalam satu tim yang dinamakan Big Hero 6. 


Super fun and visually beautiful without losing it hearts.

The Princess and The Frog, Tangled, Wreck-It Ralph, dan Frozenadalah titik balik dari rumah produksi animasi legendaris satu ini. Walt Disney kembali menghidupkan rasa klasik di film-film animasi terbarunya dengan visual yang diperbarui. Frozen inilah yang benar-benar membuat studio Walt Disney ini berhasil secara kualitas dan kuantitas. Meraih piala Oscars mengalahkan rumah produksi pesaingnya, Pixar, yang biasanya lebih dapat merebut hati juri di ajang tersebut.

Disney kali ini akan mencoba mengadaptasi komik Marvel dalam format animasi. Big Hero 6 mulai mencuri perhatian penontonnya lewat teaser trailer yang menggemaskan. Mengeluarkan sosok ikonik lainnya dalam film animasi yaitu Baymax. Robot putih dengan perut yang tambun itu menggugah minat penonton untuk menyaksikan film Big Hero 6. Then, expect big for this and you will satisfied more than trailer you watch.

Big Hero 6 adalah salah satu film animasi yang menonjol lainnya milik studio Walt Disney. Penonton memang sudah pernah melihat visual-visual penuh warna dan menarik lewat film Wreck-It Ralph. Big Hero 6 memiliki visual yang benar-benar colorfultetapi dengan teknik yang lebih smooth ketimbang Wreck-It Ralph. Bagaimana kota San Fransokyo digambarkan dengan begitu megah dan konsep futuristik di dalam film animasi ini pun sangat tergambarkan dengan baik. 


Bagaimana kota San Fransokyo ini benar-benar gabungan antara lampu-lampu ala kota-kota di Amerika tetapi dengan etnik ala-ala jepang. Big Hero 6 pun menawarkan landscapecantik kota San Fransokyo yang sangat akan bisa dinikmati dengan format tiga dimensi. Bukan hanya mengandalkan visual-visual kota San Fransokyo-nya yang indah saja, tetapi bagaimana Big Hero 6 ini tidak kehilangan hangatnya cerita di dalam film ini.

Ya, ini memang film animasi yang segmentasinya adalah untuk anak-anak. Tetapi, bukankah orang dewasa pun seharusnya bisa menikmati film animasi untuk menemani anak-anaknya? Big Hero 6 pun bisa dinikmati oleh segala usia. Meski karakter utama film ini berusia 14 tahun, tapi bagaimana adanya kedewasaan dalam mengantarkan ceritanya di film ini. Don Hall dan Chris Williams sebagai sutradara berhasil menyentuh hati nurani penonton dengan plot ceritanya. 


Memang, ini bukanlah ide cerita originalseperti film Disney sebelumnya. Tetapi, treatment yang dilakukan oleh Don Hall serta Chris Williams ini terasa ala Disney. Menggunakan karakter-karakter berkekuatan super sebagai bingkai yang membangun ceritanya. Tetapi, memiliki isi yang lebih dari sekedar film dengan karakter-karakter superhero seperti biasanya. Big Hero 6 akan sangat menyenangkan untuk diikuti dengan berbagai aksi petualangan serunya tetapi ada hati yang diletakkan dalam subplot-nya sehingga mampu menghangatkan hati penontonnya.

Film Big Hero 6 memiliki action sequences ala superhero yang sangat menyenangkan untuk disaksikan. Meskipun film ini diangkat menjadi film animasi, tetapi Big Hero 6 masih memiliki identitasnya sebagai film adaptasi dari komik Marvel. Final action di film Big Hero 6 akan mengingatkan penontonnya dengan film-film Marvelseperti The Avengers atau Guardians of the Galaxy. Mungkin Don Hall dan Chris Williams sengaja memberikan Easter Eggs di film Big Hero 6 seakan-akan film ini masuk dalam Marvel Cinematic Universe


Meski begitu, dengan judul Big Hero 6 yang diangkat sepertinya naskah yang ditulis oleh juga Don Hall dan bantuan timnya belum bisa mewakili judul itu. Big Hero 6 itu sebuah tim yang terdiri dari 6 karakter yang berbeda. Tetapi, semua karakter itu tidak bisa memiliki porsi yang sama. Sehingga, karakter-karakter selain Hiro dan Baymax akan terasa one dimensional. Tetapi, hal itu tidak menjadi masalah yang besar untuk film ini. Karena penonton akan mengerti kenapa dua karakter itu memiliki porsi yang lebih dominan ketimbang karakter lainnya.

Sekali lagi, Disney memiliki satu karakter ikonik. Setelah Olaf di film Frozen yang menggemaskan, kali ini di film Big Hero 6 akan ada Baymax. Baymax, robot putih dengan perut tambun akan dengan mudah merebut hati penontonnya, akan dengan mudah membuat penontonnya ingin memiliki satu robot Baymax di rumah. Karena Baymax akan mendominasi porsi komedi di dalam film Big Hero 6. Tak salah jika di trailer Big Hero 6, Baymax ditampilkan dengan porsi yang cukup banyak. 


Big Hero 6 memang bukanlah ide orisinil dari Walt Disney Studio. Tetapi, Big Hero 6 masih memiliki rasa Disney dan juga ada identitas Marvel yang cukup kental di dalamnya. Big Hero 6 dengan sangat mudah merebut hati penonton anak-anak juga penonton dewasa ketika menyaksikan film ini. Meskipun dengan judul Big Hero 6, tidak semua karakter di dalam tim tersebut memiliki porsi yang sama. Tetapi, ini adalah film animasi yang menyenangkan tanpa kehilangan rasa hangat di dalamnya. Baymax will stole the everybody’s hearts and like baymax said that you will satisfied with disney's care. 

PS : Jangan buru-buru meninggalkan studio karena ada after-credit scene yang sangat menghibur. Juga, jangan terlambat masuk studio karena ada short animated film berjudul ‘Feast’ yang tak kalah menggemaskan.

Film Big Hero 6 jelas dirilis dalam format tiga dimensi untuk mendukung visual cantik di dalam filmnya. Berikut review-nya.

DEPTH
Memiliki kedalaman yang sangat indah. Sehingga, segala visual indah landscape kota San Fransokyo akan dekat dengan mata penontonnya.

POP OUT
Tak terlalu banyak memiliki efek pop-out seperti film Disney kebanyakan. Tetapi, beberapa adegan akan terasa menyenangkan dengan efek pop-out tersebut.
 
Big Hero 6 akan sangat menyenangkan ketika disaksikan dalam format tiga dimensi. Dengan depth dan pop-out yang cukup maksimal, Big Hero 6 sangat direkomendasikan untuk disaksikan dalam format ini. Karena penonton format dua dimensi tidak akan merasakan cinematic experience layaknya penonton yang menyaksikan film ini dalam format tiga dimensi.

Kamis, 06 November 2014

INTERSTELLAR (2014) REVIEW : In Nolan We Always Trust

Kehidupan astronot di luar angkasa sudah pernah diangkat menjadi salah satu yang terbaik tahun lalu. Siapa yang tak ingat film Gravity kary... thumbnail 1 summary

Kehidupan astronot di luar angkasa sudah pernah diangkat menjadi salah satu yang terbaik tahun lalu. Siapa yang tak ingat film Gravity karya sutradara ambisius, Alfonso Cuaron? Cinematic experience yang dirasakan oleh penontonnya benar-benar sangat maksimal terlebih didukung dengan efek 3D dan format IMAX-nya. Tema sejenis pun diangkat oleh salah satu film science fiction yang dinantikan di tahun 2014 kali ini. Interstellar, film garapan sutradara fenomenal Christopher Nolan.

Sutradara asal London ini sangat terkenal dengan karya-karyanya yang masterpiece. Sebut saja Inception, The Prestige, The Dark Knight Trilogy dan yang paling lama adalah Memento. Rentang waktu 2 tahun setelah The Dark Knight Rises, Christopher Nolan kembali ke jalannya menggarap genre Science Fiction dengan screenplay originalyang ditulis bersama dengan saudaranya, Jonathan Nolan. Dan ini bukanlah kali pertama mereka berkolaborasi dalam sebuah film. 


Interstellar dimulai ketika kehidupan manusia di bumi sudah dalam titik rendahnya. Bahan makanan menipis, badai pasir yang akan sering menyerang dan membuat penduduknya tersiksa. Hal tersebut pun berpengaruh di keluarga Cooper (Matthew McConaughey). Murph kecil (Mackenzie Foy) merasa ada ‘hantu’ yang memberikan kode kepadanya hingga Cooper menemukan markas NASA.

Cooper tertarik untuk ikut dalam misi yang dikemukakan oleh Professor Brand (Michael Caine). Di mana, sang professor mengatakan bahwa dia ingin menemukan masa depan untuk kehidupan manusia di bumi. Bersama-sama dengan tim, Amelia (Anne Hathaway), Doyle (Wes Bentley), dan Romily (David Gyasi), Cooper ingin menemukan masa depan tersebut yang setidaknya dapat menyelamatkan hidupnya dan keluarganya. 


Perfect-blend for Sci-Fi and Human Drama

Christopher Nolan kembali lagi menyapa penonton (dan fanboy-nya) dengan film layar lebar terbarunya. Dalam selang 2 tahun pasca The Dark Knight Rises, Interstellar adalah proyek film yang akan dinanti-nantikan oleh para penikmat film. Selama proses pra-produksi pun, Nama-nama seperti Matthew McCounaghey, Anne Hathaway, serta Michael Caine menambah antusiasme para pecinta film, khususnya para fanboy Nolan.

Siapa yang tidak tertarik jika film genre science fiction digarap oleh Christoper Nolan? Rasanya sudah tidak bisa diragukan lagi. Nolan kembali menggarap serius tema-tema ini dan Interstellar adalah salah satu karya gila milik Nolan. Siapa yang tidak gila membahas cinta yang bisa diukur secara ilmiah? Siapa yang tidak gila membahas fisika kuantum, hukum newton, hukum relativitas, hukum gravitasi, dan gaya sentripegal secara bersamaan? Film ini pun akan terasa tebal layaknya buku-buku Fisika untuk para Engineers untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

Secara harfiah, hal itu dilakukan oleh Christopher Nolan di dalam film Interstellar ini. Science-fiction ini bukan hanya sekedar merepresentasikan film ini secara futuristik. Tetapi, benar-benar membahas segala rekayasa ilmiah ini dengan hitungan-hitungan yang terasa logis. Di dalam durasinya selama 169 menit, penonton akan dijejali hal itu semua sehingga tak ada kesempatan untuk mengalihkan perhatian dari layar. You missed one scene and you missed everything, hal yang selalu diterapkan oleh film karya Christopher Nolan. Selama penonton bisa mengikuti ritme film-film khas Nolan, tentu penonton akan dengan mudah mencintai Interstellar. 


Ini bukan film astronot dengan Alien sebagai musuh utama, bukan. Interstellar menceritakan lebih dari sekedar hanya bertemu dengan makhluk asing. Ini memang tentang perjalanan luar angkasa tetapi bukan hanya sekedar membahas ilmiah dengan perjalanan luar angkasanya saja. Interstellar juga mengusik cerita kehidupan manusia dengan jalinan cerita yang kuat. Memberikan pesan-pesan moral tentang manusia tetapi dikemas rapi sehingga tak ada kesan menggurui penontonnya.

Apa yang coba diangkat oleh Christopher Nolan tersebut adalah refleksi nyata tentang kehidupan manusia di bumi yang memang sudah mengalami kemunduran di setiap tahunnya. Pun, juga tentang cinta yang sebenarnya adalah sesuatu yang ilmiah, kuat, yang terjadi di dalam diri manusia. Dijelaskan dengan durasi 169 menit meski terlalu panjang dan terasa melemah di tengah durasi, tetapi tertutupi oleh performa secara keseluruhannya.

Mungkin beberapa akan mencoba membandingkan film ini dengan film milik Stanley Kubrick, 2001 : A Space Odyssey. Tebakan itu tidak salah, hanya saja Interstellar memiliki gaya narasi yang lebih bisa diterima oleh penontonnya jika dibandingkan dengan film karya sutradara legendaris tersebut. Hanya saja, Stanley Kubrick-ish di film ini hanya sebagian kecil dari film Interstellar karya Christopher Nolan ini. Karena sisanya akan terasa film ini memang milik Nolan.


Christopher Nolan terkenal dengan bagaimana film-filmnya berakhir dengan plot yang berputar secara 180 derajat dari awal film. Bersama dengan saudaranya, Jonathan Nolan, mereka menulis naskah Interstellar bukan hanya sekedar untuk plot twist saja. Ada sesuatu yang harus penontonnya tahu bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi di dunia nyata mereka. Bagaimana reaksi mereka tentang plot itu yang ternyata memang dekat dengan kehidupan mereka. Bagaimana jika seharusnya kita sudah benar-benar sudah diperingatkan?

Juga sisi teknis yang sangat menonjol sehingga mendukung Interstellar menjadi pengalaman cinematic yang sangat luar biasa oleh penontonnya. Lihat saja bagaimana gambar-gambar di setiap adegan di film ini bisa ditangkap dengan indah. Hoyte Van Hoytema, sang Director of Photography yang sebelumnya juga berperan sama di film milik Spike Jonze’s Her, bisa menangkap keindahan yang ada di dalam film ini. Diperkuat dengan gambar yang sangat sinematis menggunakan kamera 70 mm. Sehingga, Interstellar memang terasa sangat ‘film’ dengan tone warna yang sangat indah. Hal tersebut akan sangat mendukung dalam format IMAX. 


Bukan film Christopher Nolan jika filmnya tidak menggunakan scoring garapan komposer kondang, Hans Zimmer. Sekali lagi, Hans Zimmer mampu memperkuat setiap adegan dengan musik-musik indah dan menggugah. Musik dan setiap adegan di film ini berhasil berkolaborasi sehingga akana terasa indah untuk dirasakan. Hans Zimmer sekali lagi mendukung ide gila dari Christopher Nolan dengan musik-musik indah sekaligus gilanya itu.

Tak usah khawatirkan para pemain-pemain di dalam filmnya. Siapa yang tak tahu performa Matthew McCounaghey di dalam film-filmnya? Peraih piala Oscar lewat Dallas Buyers Club ini juga berhasil menunjukkan performa gemilangnya. Berhasil mengantarkan suasana getir, miris, serta hangat lewat chemistry-nya bersama dengan Mackenzie Foy. Pun dengan Anne Hathaway dan juga Jessica Chastain. Performanya mendukung segala hal di film ini juga dengan paras cantiknya. 


Tak salah jika Interstellar ini dinanti-nantikan oleh para penikmat film dan penggemar dari sutradara gila ini. Karena sekali lagi, Christopher Nolan berhasil membuat sebuah film science-fictionyang orisinil yang akan membuat penontonnnya kagum. Perpaduan yang sempurna antara science-fiction dengan human drama di dalam 169 menit. Sisi teknis dan departemen akting dengan performa terbaik juga menguatkan film ini dan melaju di posisi puncak film terbaik tahun ini. That is why there’s a statement “In Nolan We Trust”.

Senin, 03 November 2014

OUIJA (2014) REVIEW : Cliches in It Lowest Point.

Film horror tahun ini memang tak terlalu banyak bermunculan. Dan untuk menyambut datangnya Halloween , film horor adalah salah satu film waj... thumbnail 1 summary

Film horror tahun ini memang tak terlalu banyak bermunculan. Dan untuk menyambut datangnya Halloween, film horor adalah salah satu film wajib yang ada. Setelah The Book of Life yang juga dirilis untuk menyambut pesta Halloween, juga adanya re-release film thriller legendaris, Saw, yang ditayangkan secara limited di bioskop US. Maka, Universal Picturestidak mau kalah dan merilis film terbarunya untuk menyambut pesta Halloween ini.

Universal Picturesmengadaptasi sebuah permainan produksi Hasbro yang diproduseri oleh Michael Bay. Ouija (dibaca : wi-ji), permainan pemanggil roh ini bisa dikatakan sebagai permainan Jelangkung ala barat. Stiles White ditunjuk sebagai sutradara film ini dengan screenplay yang juga ditulis olehnya bersama dengan Juliet Snowden. Ouija adalah karya debut dari Stiles White dalam mengarahkan sebuah filmnya sendiri. 


Ouija (dibaca : wi-ji)menceritakan sepasang sahabat sejak kecil bernama Debbie (Shelley Hennig) dan Laine (Olivia Cooke) yang melakukan permainan Ouija sejak kecil. Tetapi, permainan itu hanya pura-pura dan tidak terjadi apa-apa. Hingga saat mereka sudah remaja, Debbie melakukan permainan yang sama dengan papan Ouija yang berbeda di rumahnya. Hal tersebut merenggut nyawa Debbie dan diserang oleh roh jahat di rumahnya.

Kematian Debbie membuat Laine terpukul dan sedih berkepanjangan. Laine menemukan papan Ouija milik Debbie di kamarnya. Melihat barang itu, Laine mencoba untuk memanggil arwah Debbie setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal. Tetapi, hal tersebut malah membuat petaka. Bersama teman-temannya, mereka memanggil arwah Debbie dengan papan Ouija tersebut. Tetapi, mereka malah menjerumuskan diri ke sebuah masalah, karena roh jahat mengejar mereka. 


Flat as the board game they adapted

Tahun ini memang tak terlalu banyak film horor yang bermunculan. Annabelle adalah salah satu yang fenomenal dari film horor. Mampu membuat penonton berbondong-bondong pergi ke bioskop, rela antri, meskipun masih mengecewakan untuk menjadi sajian yang menarik. Tak lama, Universal pun memanfaatkan momen Halloween untuk merilis karya horor dari rumah produksinya. Ouija diharapkan menjadi salah satu yang fenomenal dari genre-nya.

Diburu penontonnya? mungkin iya. Karena bagaimana pun hasil akhirnya, film horor menjadi salah satu guilty pleasure para penonton. Mereka menolak untuk ditakut-takuti tetapi film horor tetap diburu. Ouija sepenuhnya bukanlah film horor yang benar-benar memberikan hal baru di dalam ceritanya. Hanya menjadi film horor generik pun dengan formula yang benar-benar been there-done that. Sayangnya, Ouija benar-benar tidak mengolah pola tersebut.

Stiles White sebagai sutradara, mengarahkan film perdananya ini benar-benar sangat minimalis. Selama 90 menit, Ouija adalah sajian yang melelahkan dari awal hingga akhir. Permainan pemanggil roh lewat medium papan ini tidak bisa memberikan atmosfirnya dengan baik. Malah, porsi drama persahabatan antara Debbie dan Laine memiliki peran yang dominan ketimbang cerita horornya sendiri. Segalanya terasa begitu bertele-tele hingga penonton akan mulai jengah dengan cara penuturan Stiles White di dalam film ini. 


Penggunaan Jump scares di film ini memiliki porsinya yang berlebihan. Jump scares memang bukan sesuatu yang salah untuk digunakan di film horor. Toh, tak dapat dipungkiri bahwa Jump Scaresadalah formula yang berhasil untuk menakut-nakuti penontonnya. Meski efek yang dihasilkan hanya efek yang temporary atau terjadi di saat itu juga. Ouija pun menggunakan formula Jump Scares itu tetapi tidak diolah menjadi sajian yang segar. Penonton pun akhirnya bisa menebak di mana dan seperti apa kemunculan setan-setan di film ini untuk menakuti penontonnya.

Begitu pun dengan naskah yang ditulis oleh Stiles White dan juga Juliet Snowden. Mereka benar-benar menceritakan setiap adegan dengan asal-asalan. Formula horor yang klise mungkin juga tidak bisa dipungkiri. Tetapi, unsur klise di film ini benar-benar berada di titik yang paling jenuh dan paling rendah. Segalanya terjadi secara ajaib dan tiba-tiba meski ada tambahan plot twist di film ini, tetapi tidak mengubah bagaimana Ouija benar-benar tertatih dalam menjalankan plot ceritanya. 


Ouija pun tidak mencoba untuk menarik minat penontonnya untuk meneruskan sisa-sisa durasinya hingga akhir, segalanya benar-benar pernah kita lihat. Hanya saja, permainan pemanggil roh dan medium-nya saja yang berbeda. Pun suasana menyeramkan itu benar-benar absen di film ini. Setidaknya, Annabelle masih bisa mengolah unsur klise di dalam filmnya menjadi beberapa yang segar untuk diikuti meskipun dengan akhir film yang menggelikan. 


Ouija yang sudah mulai tertatih dalam menjalankan durasinya, pun semakin diperparah dengan performa para pemainnya. Aktor dan aktris di film ini pun masih terkesan kaku dalam menunjukkan ekspresi ketakutan di film ini. Mereka hanya mengandalkan paras cantik dan ganteng mereka yang setidaknya mengampuni kemampuan akting mereka yang masih perlu dilatih dan dipoles lagi.

Lantas apa beda Ouija dengan film horor indonesia? Hanya saja minus sensualitas yang diekspos berlebih oleh sineas tanah air. Jika anda menganggap film horor Indonesia tidak layak tonton, sebenarnya Ouija pun memiliki hal yang benar-benar serupa dengan film-film horor Indonesia. Formula Ouija pun sebenarnya sama dengan film-film horor indonesia yang ada. Hanya saja, penonton akan lebih percaya dengan film horor Hollywood daripada dalam negeri, sejelek apa pun itu. 


Ouija adalah aji mumpung Universal Pictures untuk mengambil untung sekaligus untuk meramaikan perayaan Halloween tahun ini. Diadaptasi dari sebuah papan permainan, Ouija menjadi sajian yang datar layaknya papan permainan Hasbro ini. Stiles White masih mengarahkan Ouija dengan sangat minimalis tanpa mengolah unsur klise di dalam film ini menjadi sajian yang segar. Ouija is definitely be one of the worst of this year. 
ads