Rabu, 31 Desember 2014

MERRY RIANA : MIMPI SEJUTA DOLAR (2014) REVIEW : Inaccuracy in Inspirational Story

Mengangkat kisah inspiratif seorang tokoh bisa menjadi ke dalam sebuah film layar lebar menjadi tren di kalangan industri perfilman Indonesi... thumbnail 1 summary

Mengangkat kisah inspiratif seorang tokoh bisa menjadi ke dalam sebuah film layar lebar menjadi tren di kalangan industri perfilman Indonesia. Sebuah biopik dari berbagai kalangan mulai dari seorang yang terpandang dan penting bagi negara hingga seorang yang sukses dalam karirnya mulai dari nol. Kisah inspiratif itu pun selalu dengan mudah menarik minat penontonnya untuk berbondong-bondong pergi ke bioskop untuk menontonnya.

MD Pictures kembali hadir mewarnai genre ini dengan biopik baru dari sosok terkenal, Merry Riana. Nama ini akan orang-orang jumpai lewat bukunya berjudul Manusia Sejuta Dolar di toko buku terdekat. Ya, sosok ini sudah terkenal lewat buku-buku motivasinya yang ditulis oleh Alberthiene Endah yang berdasarkan dari kisah nyata dari Merry Riana. Digawangi oleh Hestu Saputra, Merry Riana pun diangkat menjadi sebuah cerita gambar bergerak untuk menginspirasi penontonnya. 


Dikarenakan sebuah kerusuhan yang terjadi saat reformasi, Merry Riana (Chelsea Islan) dan keluarganya harus meninggalkan negara Indonesia. Naas, dalam perjalanannya keluarga Merry Riana diserang oleh para perusuh yang mengambil uang mereka. Merry Riana pun diterbangkan ke Singapura untuk bertemu dengan saudaranya, sendirian. Ketika sampai di sana, saudaranya pun hilang karena bangkrut.Merry Riana yang sendirian di kota Singapura pun menginap di asrama temannya, Irene (Kymberly Rider).

Tetapi tak berlangsung lama, karena peraturan di dalam asrama Irene melarang adanya orang lain di dalam kamarnya kecuali orang tersebut akan mengikuti tes masuk kuliah. Irene pun memaksa Merry untuk ikut tes masuk kuliah. Setelah berhasil masuk, problem berikutnya yaitu Merry harus membayar 40.000 dolar untuk membiayai kuliahnya. Alva (Dion Wiyoko) menjadi penjamin kehidupan Merry Riana di Singapura karena Merry meminjam uang dari universitas dengan atas namanya. 


Sudah cukup banyak film-film di Indonesia yang menjadikan kisah sukses kehidupan seseorang sebagai nilai lebih di dalam sebuah film. Sebut saja Habibie & Ainun, 3 Nafas Likas, Soekarno, dan Sepatu Dahlan adalah beberapa judul yang memiliki genre serupa dengan film terbaru milik MD Pictures ini. Tak masalah jika film dengan tema serupa itu digarap serius untuk menginspirasi penontonnya dengan adegan-adegan yang menyentuh.

Sayang, beberapa judul pun hanya mengumbar embel-embel ‘terinspirasi kisah nyata’ tanpa memberikan keseimbangan dengan hasil akhirnya. Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar menjadi salah satu film dengan tema biopik yang memiliki kesalahan dalam menginspirasi penontonnya. Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar pun hanya mencuil sedikit bagian dari kisah Merry Riana yang katanya menginspirasi banyak orang di Indonesia.

Tugas dari sebuah film biopik adalah untuk mengenalkan sosok yang memiliki pamor lebih dan merangkumnya ke dalam 120 menit atau lebih. Penonton yang hanya mengenal sosok Merry Riana lewat mulut ke mulut tentu menginginkan jawaban dari sebuah pertanyaan ke benak mereka, “Kenapa orang ini bisa sangat terkenal dan inspiratif?”. Pertanyaan besar ini pun sayangnya tidak berusaha dijawab oleh Hestu Saputra lewat film terbarunya. 


Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar tidak menunjukkan seberapa besar perjuangan sosok Merry Riana untuk bertahan hidup di negara tetangga, Singapura. MD Pictures terlihat ingin mengekor kesuksesan Habibie & Ainun yang memiliki cerita cinta yang kental. Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar pun putar balik dari sebuah kisah inspiratif menjadi sebuah kisah romansa pelik antara Merry Riana, Irene, dan Alva dengan setting negara Singapura. Habibie & Ainun memang memiliki sumber tentang kisah cinta mereka berdua. Saat hal itu diterapkan ke film Merry Riana, hal itu terlihat salah.

Kejomplangan porsi antara cinta dan kisah perjalanan Merry Riana pun jadi berbanding terbalik. Kisah inspiratif itu pun akhirnya hanya menjadi landasan cerita yang semakin bertambahnya menit, semakin blur dan tidak bisa berjalan seimbang dengan kisah cintanya. Jelas, Hestu Saputra melenceng jauh dari konsep dasar untuk menjual Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar sebagai film kisah inspirasional bagi penontonnya. Pun, diperlemah lewat tidak adanya akurasi setting waktu yang digunakan sebagai penggerak cerita.

Hestu mengaku bahwa Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar adalah adaptasi bebas dari kisah inspirasional sosok Merry Riana. Lubang besarnya adalah penempatan kerusuhan tahun 1998 di awal film yang akhirnya membuat film ini terkesan masih minimalisnya kinerja dari Hestu Saputra selaku sutradara. Borok besar itu pun akan semakin menambah beban film ini sehingga tak ada kesan untuk berusaha membuat production value dengan niat. Hanya menjual lansekap indah Singapura yang sangat modern dengan latar setting tahun 1998. 


Well, dengan banyaknya borok itu, Merry Riana pun masih memiliki kekuatan di dalam kisah cinta antara Merry dan Alva. Beruntunglah, kisah cinta yang masih enak diikuti itu pun tak lepas dari usaha dan ikatan kimia kuat antara Chelsea Islan dan Dion Wiyoko yang mampu berlakon apik. Mereka berhasil meyakinkan penonton sebagai sepasang kekasih yang saling melengkapi. Meski dengan editing yang super berlebihan, efek slow motion yang dibuat-buat, musik di setiap transisi adegan yang memekakkan telinga. Dan benar saja, Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar diselamatkan oleh mereka berdua.

Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar memang akan gagal menjawab pertanyaan besar tentang siapa itu Merry Riana, tetapi akan menyentuh penontonnya lewat kisah cinta melodramatik yang kuat lewat chemistry pelakonnya. Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar terkesan tidak adanya usaha keras Hestu Saputra sebagai komando tertinggi di dalam pembuatan filmnya. Dengan kurangnya keakuratan di latar waktunya, minimnya production value yang dibuat secara niat, Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar masih kurang berhasil menginspirasi penontonnya.
 

Rabu, 24 Desember 2014

THE HOBBIT : THE BATTLE OF FIVE ARMIES (2014) REVIEW : Last Chapter of Bilbo’s Journey [With HFR 3D Review]

The Hobbit sama-sama diangkat dari novel milik J.R.R Tolkien. Bedanya, The Hobbit hanya memiliki satu buku yang dibagi menjadi tiga bagian, ... thumbnail 1 summary

The Hobbit sama-sama diangkat dari novel milik J.R.R Tolkien. Bedanya, The Hobbit hanya memiliki satu buku yang dibagi menjadi tiga bagian, tak seperti Trilogi The Lord of The Ringsyang memiliki seri yang berbeda-beda. Tentu, bukan keputusan yang bijak dari Peter Jackson untuk membagi satu buku menjadi 3 bagian yang masing-masing memiliki durasi sektar 150 sampai 165 menit. Hanya dengan satu buku, The Hobbit akan terkesan minim sekali konflik.

Tiga tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh Peter Jackson untuk menjalankan cerita yang minimalis dari Bilbo Baggins. Perlu satu tahun untuk menunggu episode terakhir dari perjalanan Bilbo Baggins dan para dwarfs untuk menyelesaikan misinya. Trilogi The Hobbit menjadi cerita prekuel dari trilogi The Lord of The Rings yang juga diarahkan oleh Peter Jackson. Tetapi, sambutan positif tak lantas mengiringi setiap seri dari The Hobbit sendiri. 


Dua tahun lalu, An Unexpected Journey diedarkan dengan cliffhanger ending yang cukup smooth. Bilbo Baggins pun melanjutkan misinya dalam seri The Desolation of Smaug yang mulai memberikan easter egg sedikit demi sedikit kepada The Lord of The Rings. The Battle of Five Armies, seri ketiga ini melanjutkan dari seri The Desolation of Smaug. Di mana,  Bilbo Baggins (Martin Freeman) yang sudah berada di daerah kelahiran para dwarfs. Smaug yang marah menyerang kawasan sekitar dan membuat segalanya luluh lantak.

Tetapi, masalah utama ternyata bukan pada naga Smaug yang telah mencuri dan menguasai istana mereka terdahulu. Akan ada masalah yang lebih besar yang harus dihadapi oleh para dwarfs setelah berhasil menguasai kembali istananya. Masalah besar tersebut melibatkan lima sekutu yang berbeda dan terjadi perang yang sangat besar di antara mereka. Middle-Earth tentu sedang dalam guncangan yang hebat dikarenakan perang dari lima sekutu yang berbeda di atas tanah mereka. 


The Battle of Five Armies mengalami perubahan nama judul yang sebelumnya adalah There and Back Again. Ya, perubahan nama itu memang dirasa perlu agar penonton merasakan bahwa penutup dari trilogi ini akan menjanjikan sesuatu yang sangat besar. Kata ‘Battle’yang berarti perang tentu akan dengan mudah menarik perhatian penonton agar menyaksikan babak terakhir petualangan Bilbo Baggins dan para dwarfs yang sudah mencapai titik puncaknya.

The Battle of Five Armies pun memiliki durasi yang paling pendek di antara dua seri lainnya. Dalam durasi yang mencapai 150 menit, The Battle of Five Armies pun hanya menitikberatkan filmnya pada adegan aksi yang digarap grande. Final Battle di film ini pun digarap serius yang akan memanjakan para penonton yang sudah mengidam-idamkan adegan perang sejak An Unexpected Journey dirilis. Tetapi, penonton tampaknya harus bersabar hingga The Battle of Five Armies ini datang dan memuaskan mereka yang haus akan itu.

Peperangan antara lima sekutu perang ini pun berlangsung hampir 45 menit filmnya. Tetapi, 105 menit sisanya masih harus mengurusi penyelesaian dari konflik yang disebarkan di kedua film terdahulunya. Tetapi, Peter Jackson pun masih kebingungan mau konflik seperti apa lagi yang mau dia sampaikan di film ini agar dapat memenuhi durasi. Dengan hanya bermodalkan satu buku sebagai kiblat ketiga filmnya yang berdurasi panjang, tentu The Battle of Five Armies ini sebenarnya akan lebih efektif jika dimampatkan ke dalam kedua seri sebelumnya. 


Tetapi, The Battle of Five Armies bukanlah sebuah penutup yang buruk. Bahkan, performa The Battle of Five Armies bisa dikatakan bisa lebih smooth ketimbang The Desolation of Smaug. Segala bentuk adventure di dunia Middle-Earthini bisa menjadi sajian yang sangat menghibur dan bisa dinikmati hingga akhir. Meskipun masih ada momen up and downskarena durasi yang cukup lama dalam bertutur, namun The Battle of Five Armies menyimpan segala bentuk adegan mengejutkan di dalam Final Battle sequence-nya.

The Battle of Five Armies menjadi sebuah penutup trilogi The Hobbit yang manis. Tanpa sengaja, seri penutup ini akan mempersuasi penontonnya untuk membuka lagi kenangan trilogi The Lord of The Rings dan menyaksikan seri itu kembali. Karena pesona Middle-Earthdalam buku J.R.R Tolkien ini memang luar biasa dan selalu menempel di otak penontonnya meski sudah 10 tahun lalu film-film itu dibuat. 


Tapi perlu adanya garis bawah untuk trilogi The Hobbit ini. The Hobbit adalah sebutan untuk para penghuni middle earth dengan kakinya yang besar dan tinggi badannya yang pendek. Dengan menggunakan kata The Hobbit di setiap judulnya, tentu perlu ada sesuatu performa yang lebih besar yang ditujukan kepada sosok Bilbo Baggins yang mewakili ras Hobbit itu sendiri. Tetapi, hal itu dihiraukan oleh Peter Jackson dan akhirnya The Hobbit hanyalah adaptasi sebuah judul dari buku J.R.R. Tolkien tetapi tak memberikan ruang untuk sosok Hobbit bernama Bilbo Baggins untuk berkembang.

Di dalam An Unexpected Journey, karakter Bilbo masih diberikan kendali yang lebih kuat untuk menjalankan ceritanya. Hal itu dapat digunakan sebagai pegangan bahwa The Hobbit ini perlu untuk diangkat versi layar lebar. Tetapi, kesalahan itu sudah terjadi semenjak The Desolation of Smaug. Di mana, Bilbo Baggins pun harus kalah pamor, kalah saing, dan kalah screening time dengan karakter-karakter baru lainnya seperti Legolas, Bard, bahkan para Dwarfs. Bilbo tidak diberi ruang untuk menjadi sosok yang penting untuk filmnya. 


Begitu pun di dalam seri penutupnya, karakter Bilbo Baggins pun semakin lama semakin turun pamor. Kegunaannya di dalam seri ini pun tertutupi karakter lain yang semakin mendapatkan spotlight lebih. Peter Jackson pun tak mencoba untuk memberikan kesan yang baik kepada sosok Bilbo Baggins yang seharusnya menjadi karakter utama jika dilihat dari judulnya. Tetapi, malah semakin tenggelam dari satu seri ke seri lainnya dan penonton akan mengenang karakter seperti Kili dan Fili ketimbang Bilbo Baggins yang seharusnya menjadi penggerak narasinya sejak awal. 


The Hobbit : The Battle of Five Armies ini pun benar-benar hanya menyelesaikan semua konflik yang sudah disebar di dua seri pendahulunya. Dengan final battle sequence-nya yang dieksekusi secara grande, tentu hal ini akan memuaskan penonton yang sudah mengidam-idamkan hal ini di dua seri sebelumnya. Dengan berbagai minor kecil di segala aspeknya, The Hobbit : The Battle of Five Armies ini adalah sebuah penutup yang manis yang dapat membuka memori penontonnya untuk menyaksikan kembali trilogi The Lord of The Rings


Seperti seri sebelumnya, The Hobbit : The Battle of Five Armies pun dirilis dalam format 3D. Tetapi, memiliki banyak jenis format 3D yaitu IMAX 3D, HFR 3D, dan IMAX HFR 3D. Berikut adalah review The Hobbit : The Battle of Five Armies dalam format HFR 3D.

DEPTH
The Hobbit : The Battle of Five Armies memiliki kedalaman yang sangat luar biasa jika disaksikan dalam format HFR 3D. Segalanya akan terasa dekat dan riil.

POP OUT
Banyak sekali adegan Pop Out dalam The Hobbit : The Battle of Five Armies yang menyapa mata penontonnya. Terlebih dalam adegan final battle yang sangat memaksimalkan efek pop out dalam format tiga dimensinya.
 
Dengan terobosan terbaru dalam format tiga dimensinya, The Hobbit : The Battle of Five Armies sangat direkomendasikan untuk disaksikan dalam format HFR 3D. Akan menambah suasana battle yang terasa lebih nyata jika dibandingkan bila disaksikan dalam format dua dimensi.

Selasa, 23 Desember 2014

PENDEKAR TONGKAT EMAS (2014) REVIEW : Misi Menghidupkan Kembali Seni Bela Diri

Martial Arts kembali dikenalkan kepada penonton lewat beberapa film yang menonjolkan gerakan laga menarik. Perpaduan Martial Arts dengan dr... thumbnail 1 summary

Martial Arts kembali dikenalkan kepada penonton lewat beberapa film yang menonjolkan gerakan laga menarik. Perpaduan Martial Arts dengan drama mafia pun coba dikembangkan lewat The Raid yang ditangani oleh Gareth Evans, meskipun sutradara film ini bukan asli Indonesia. Maka, penonton perlu diyakinkan bahwa sineas Indonesia mampu menyajikan film-film berkualitas dengan tangannya sendiri. Maka, Miles Films berkolaborasi dengan Ifa Isfansyah mencoba untuk menghidupkan Martial-Arts kolosal lewat film terbarunya.

Pendekar Tongkat Emas, sebuah tribute kepada film-film laga Indonesia lawas yang terlihat digarap serius di tangan-tangan pelaku balik layarnya. Sumba, Nusa Tenggara Timur dijadikan latar tempat cerita dengan kekayaan alamnya yang indah. Dengan para lakon di dalam film yang sudah memiliki nama di industrinya, membangun pondasi yang bagus bahwa film Pendekar Tongkat Emas bukanlah film yang digarap sembarangan. 


Dimulai di sebuah perguruan silat yang dikepalai oleh Cempaka (Christine Hakim), Perguruan Tongkat Emas yang memiliki empat murid dengan latar belakang yang berbeda. Masing-masing adalah anak dari musuh-musuh cempaka yang diangkat sejak kecil. Mereka berempat adalah Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah). Cempaka merasa Perguruan Tongkat Emas ini sudah waktunya untuk melakukan regenerasi.

Tongkat Emas turun temurun milik perguruan itu dipindah tangankan kepada salah satu murid dari perguruan. Dara mendapatkan kehormatan untuk mendapatkan tongkat emas tersebut. Biru dan Gerhana tidak terima dengan keputusan Cempaka memberikan tongkat emas kehormatan tersebut kepada Dara. Gerhana dan Biru mencoba untuk melakukan usaha balas dendam untuk merebut Tongkat Emas tersebut dan menunjukkan bahwa mereka lah yang terkuat. 


Film dengan tema seperti ini mungkin tidak terlalu dekat dengan penontonnya di generasi yang sudah ter-modernisasi. Akan sangat susah untuk di zaman yang sudah berbeda ini untuk mengetahui seperti apa film-film laga silat yang pernah mahsyur di zamannya. Tentu, Pendekar Tongkat Emas memiliki tugas yang berat untuk melakukan dari awal lagi dalam membangun citra untuk genre film serupa di zaman yang sudah mulai berubah ini.

Ketika penonton awam mendengar judul Pendekar Tongkat Emas pun akan muncul kecanggungan di telinga mereka. Penonton merasakan culture-shock karena belum terbiasa dengan munculnya genre-genre baru yang semakin mewarnai industri perfilman di Indonesia. Miles Films pun memiliki strategi yang taktis untuk membangun citra film ini dengan nama-nama yang menarik perhatian di jajaran pelakon filmnya. Tetapi tanpa nama Ifa Isfansyah, Mira Lesmana dan Riri Riza, Pendekar Tongkat Emas hanyalah film yang akan mendapatkan tatapan sinis dari penontonnya.

Apa yang diharapkan dari sebuah film dengan tema Martial Arts di dalamnya? Cerita dengan terobosan baru dengan penyelesaian yang berlapis? Bukan, Pendekar Tongkat Emas memiliki premis cerita sederhana dikemas menarik lewat selipan seni bela diri kedaerahan yang kental akan budaya. Maka, kekuatan dari Pendekar Tongkat Emas adalah bagaimana seni bela diri itu berhasil memberikan atmosfir berbeda kepada penonton di sebuah layar lebar. 


Pendekar Tongkat Emas mungkin masih akan mempunyai keterbatasan dalam menyampaikan narasinya. Terlebih, dalam menyampaikan setiap cerita untuk masing-masing karakter di dalam filmnya. Masih ada keraguan untuk memperdalam lagi siapa itu Cempaka, Elang, Gerhana, Dara, Biru, dan Angin. Pun akan berpengaruh terhadap kelangsungan setiap menitnya karena penonton akan masih sangat susah untuk masuk ke dalamnya.

Meski dengan cerita tanpa kedalaman yang kuat, Pendekar Tongkat Emas masih menyelipkan pesan yang direpresentasikan lewat medium gambar dan karakternya. Hanya Pendekar Tongkat Emas yang fokus kepada detil-detil kecil yang sebenarnya bukanlah bagian dari ceritanya sendiri. Proses penyampaian sebuah pesan dari sang sutradara pun terwakilkan lewat nama-nama para karakternya yang memiliki muatan filosofis. Para nama karakter di sini memiliki pesan menarik kepada penontonnya untuk diinterpretasikan.

Nama Elang menunjukkan karakternya yang kuat dengan mata yang tajam layaknya burung elang. Diperkuat lewat adegan yang menangkap warna mata coklat milik karakter Elang. Nama Dara menunjukkan masih adanya kesucian di dalam karakternya yang digambarkan dengan karakterisasi yang sama dengan tokoh yang diperankan oleh Eva Celia. Tetapi, berbeda dengan Biru. Ketika Biru yang memiliki arti ketenangan dan dikaitkan dengan hal baik, tetapi karakter Biru memiliki sesuatu yang kontradiktif dengan apa yang biasanya direpresentasikan. 


Karakter Biru yang memiliki latar belakang sebagai anak dari musuh dari Cempaka ini memiliki benang merah dengan hal kontradiktif antara nama Biru dengan karakterisasinya. Menunjukkan bahwa adanya keironisan yang terjadi di antara dua hal yang berseberangan itu. Hal tersebut terlihat sangat menarik untuk menjalankan cerita di dalamnya. Serta, adanya kesamaan peran Cempaka dan Dara. Mereka memiliki jalur cerita yang sama yang menunjukkan bahwa pada akhirnya mereka akan kembali kepada dasar atau pondasi yang dibangun di dalam diri mereka

Sebagai film dengan tema Martial Arts, Pendekar Tongkat Emas bisa dikatakan berhasil menjalankan misinya dengan baik, bahkan sangat baik. Segala jenis koreografi silat menggunakan tongkat ini berhasil membuat penonton terperangah di setiap adegannya. Penonton awam memang tak bisa menyadari adanya beberapa tribute di genre yang serupa, tetapi misi Pendekar Tongkat Emas juga untuk meyakinkan penonton agar bisa terima dengan genre seperti ini. Karena bukan tidak mungkin, film-film seperti ini akan ada di setiap tahunnya. 


Tak usah khawatirkan performa pelakonnya yang sudah memiliki nama besar di industri perfilman Indonesia. Nicolas Saputra, Reza Rahadian, dan Tara Basro dengan sangat mudah memerankan karakter fiktif karangan Ifa Isfansyah di dalam Pendekar Tongkat Emas. Begitu pun dengan Eva Celia, meski historinya di dalam sebuah film masih sedikit, tetapi Eva Celia juga sangat berhasil menjadi sosok Dara yang menunjukkan adanya transisi karakter yang semakin lama semakin matang atau dewasa.

Kemasan Pendekar Tongkat Emas pun diperkuat dengan setting tempat alam Sumba yang indah dan menawan. Menggunakan teknik time lapse dan beberapa shootindah dari Director of Photography yang dapat menangkap potensi alam Sumba yang hijau dan menawan. Begitu pun dengan editing adegan aksinya yang dapat menutupi kurang piawainya para pemain film ini dalam melakukan koreografi seni bela diri silat di dalam filmnya. Dan jangan lupakan production value yang dibuat sanat tidak sembarangan dengan detil-detil yang memperkuat atmosfir Pendekar Tongkat Emas sendiri. 


Pendekar Tongkat Emas mendapat misi mulia untuk menghidupkan kembali genre ini di tengah industri perfilman yang semakin modern. Beruntung, orang-orang yang menangani film ini adalah Miles Films dan Ifa Isfansyah yang notabene adalah kompeten di bidangnya. Pendekar Tongkat Emas pun sangat berhasil menjalankan misinya untuk menghidupkan film ini di era yang sudah berubah. Meski masih ada kekurangan dalam memberikan kedalaman cerita. Pendekar Tongkat Emas adalah film anak negeri yang sangat patut untuk diapresiasi karena bukan dibuat dengan sembarangan. 

Selasa, 16 Desember 2014

DORAEMON : STAND BY ME (2014) REVIEW : Recall For Our Childhood [With 3D Review]

Fujiko F. Fujio memang sudah wafat beberapa tahun lalu. Tetapi, siapa yang tak kenal Fujiko F. Fujio lewat karyanya, Doraemon, robot kucing... thumbnail 1 summary

Fujiko F. Fujio memang sudah wafat beberapa tahun lalu. Tetapi, siapa yang tak kenal Fujiko F. Fujio lewat karyanya, Doraemon, robot kucing asal Jepang yang dikirim dari masa lalu? Sosok itu memang sudah legendaris lewat komik, anime series, dan beberapa film panjang. Di tahun 2014, sosok Doraemon kembali dihidupkan lewat film yang digadang-gadang menjadi babak perpisahan antara Doraemon dan Nobita. Babak terakhir itu berjudul Stand By Me.

Ryuichi Yagi dan Takashi Yamazaki menjadi komandan tertinggi untuk mengarahkan film Doraemon dalam versi 3D-animated CGI ini.Tak salah jika di Indonesia ikut memiliki demand yang besar saat menyambut film panjang robot kucing satu ini. Karena salah satu stasiun televisi lokal di Indonesia sampai sekarang masih memutarkan seri dari Doraemon dan nobita ini. Stand By Me memiliki pasar yang sangat besar saat perilisan perdananya di Indonesia. 


Stand By Me sendiri kembali lagi bercerita tentang bagaimana seorang anak bernama Nobita (Megumi Ohara) bertemu dengan Doraemon (Wasabi Mizuta). Nobita yang tidak berbakat dalam bidang apapun ini ternyata berpengaruh terhadap masa depannya. Soby, keturunan keempat menjadi dampak dari kemalasan nobita di masa sekarang. Akhirnya, Soby memutuskan untuk mengajak robot kucing dari masa depan untuk membantu kehidupan Nobita yaitu Doraemon.

Doraemon pun tidak bisa kembali ke masa depan karena harus mengemban misi untuk membuat Nobita berhasil dan senang. Lama kelamaan, kehidupan Nobita semakin membaik dengan bantuan dari alat-alat dari masa depan milik Doraemon. Hingga suatu ketika, kehidupan Nobita yang semakin membaik itu membuat dirinya harus berpisah dengan sahabat baiknya, robot kucing kesayangannya, dan orang yang membantunya itu.


Stand By Me sendiri mungkin hanya beberapa rangkuman, potongan-potongan adegan dari cerita-cerita lama milik Fujiko F. Fujio yang sudah dipublikasikan lewat komik atau seri anime-nya sendiri. Akan ada beberapa bagian yang sebenarnya sudah pernah ditayangkan atau pernah dibaca sebelumnya oleh anak-anak generasi 90-an yang sangat setia mengikuti seri ini. Sehingga, masalah plot di dalam film Stand By Me ini adalah kurang adanya inovasi di dalam ceritanya, berbeda dengan film-film Doraemon lainnya. 

Sebut saja Doraemon dan Legenda Raja Matahari, Tersesat di Luar Angkasa, Robot Kingdom, Doraemon dan Kerajaan Angin dan yang terakhir menyapa penonton bioskop Indonesia adalah Nobita and Dinosaur. Film-film itu memiliki satu cerita panjang yang berbeda dari seri-seri yang sudah ditayangkan di televisi. Sehingga, menontonnya di bioskop akan menjadi keuntungan tersendiri. Tetapi, kemagisan Stand By Me bukanlah dari plot cerita yang besar dan megah. Melainkan dari rasa Nostalgia yang ditawarkan dengan sangat tulus oleh Ryuichi Yagi dan Takashi Yamazaki.

Dalam 95 menit durasinya, Stand By Me pun tidak terlalu bertele-tele untuk mengenalkan lagi karakter-karakter di dalamnya. Shizuka, Suneo, dan Giant pun tak berlu background cerita yang kuat agar karakter-karakter mereka terasa nyata. Takashi Yamazaki selaku penulis cerita pun memfokuskan cerita ini untuk Nobita dan Doraemon agar penonton merasakan kedekatannya agar merasakan sisi emosional di akhir cerita. Untuk generasi yang sudah dekat dengan film Doraemon pun, kehadiran Shizuka, Giant, dan Suneo yang hanya sebatas ada pun rasanya tidak terlalu memiliki efek minor. 


Tetapi, untuk penonton awam yang tak terlalu dekat dengan seri ini pun tak perlu khawatir merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Kehadiran karakter-karakter ini pun tetap bisa menghibr mereka. Stand By Me sepertinya sepenuhnya ditujukan kepada orang-orang yang sudah tumbuh dan berkembang bersama Doraemon semenjak kecil. Maka dari itu, Takashi Yamazaki pun seperti menggali lagi kenangan-kenangan indah para penonton setianya dengan serpihan-serpihan adegan di dalam film Stand By Me dan memunculkan rasa nostalgia itu.

Selain suka duka kehidupan Nobita, ada intrik time travel yang akan menambah manisnya cerita di film Stand By Me. Ada selipan pesan-pesan moral sentimentil untuk menambah nyawa dan kehangatan cerita dalam filmnya. Apa yang kamu lakukan sekarang, berimbas dengan masa depan. Hal itu direpresentasikan ke dalam kehidupan karakter Nobita yang harus berkerja keras agar masa depannya baik-baik saja. Tak hanya sisi hangatnya sebuah cerita saja, penonton pun akan terhibur dengan tingkah laku para karakternya. 


Ada guyonan-guyonan khas Fujiko F. Fujio di dalam seri anime atau komiknya yang masih melekat di dalam film Stand By Me. Sehingga, film ini masih memiliki semangat dan cita rasa klasik ala Fujiko F. Fujio meskipun memiliki visualisasi yang diperbarui lewat 3D-Animated CGI yang digarap oleh Shin-Ei Animation. Visualisasi yang semakin diperbarui itu pun diperkuat dengan gambar-gambar yang sangat cantik dan semakin membuat karakter di dalam film ini menggemaskan. Meski kualitas animasi 3D-Animated CGI di film ini masih jauh dari film-film milik Dreamworks apalagi Pixar. Tetapi, masih ada gambar-gambar dan warnanya yang menarik untuk memanjakan mata.

Adanya semangat, cita rasa, dan cerita-cerita yang masih loyal dari seri-seri milik Fujiko F. Fujio di dalam film Stand By Me ini, akan memunculkan rasa nostalgia yang sangat kental. Setelah perjalanan yang menyenangkan dari awal, pelan-pelan Ryuichi Yagi dan Takashi Yamazaki membangun sisi emosional di dalam filmnya. Ketulusan bertutur dari Ryuichi Yagi dan Takashi Yamazaki akan dengan mudah menyentuh hati penontonnya dan air mata yang menetes dari mata penontonnya akan menjadi pemandangan yang lumrah terjadi. Anggap saja, itu adalah hasil dari effort bertutur mereka yang hangat. 


Stand By Me akan menjadi ajang nostalgia untuk para generasi yang tumbuh dan berkembang bersama Doraemon dan Nobita. Plot yang diusung oleh Stand By Me pun hanya adaptasi dari beberapa komik Doraemon dan dirangkum ke dalam 95 menit durasinya. Tetapi, ketulusan bertutur dari Ryuichi Yagi dan Takashi Yamazaki akan memberikan effort yang luar biasa kepada penontonnya. Para penonton akan dengan rela menyumbang air mata bahagianya untuk kerja keras mereka yang telah menghadirkan kembali sosok robot kucing dari masa depan ini.

(Note : Film ini hanya ditayangkan di jaringan bioskop Blitz Megaplex, Cinemaxx, dan juga Platinum Cineplex. Untuk penonton daerah Jawa Timur, Film ini hanya bisa disaksikan di Platinum Cineplex, Sun City Mall Sidoarjo)


Doraemon : Stand By Me pun didukung dengan format tiga dimensi di dalam filmnya. Berikut review format tiga dimensi dalam film ini.

Film ini ditonton di Platinum Cineplex Sun City Sidoarjo. Experience menonton tiga dimensi bisa saja berbeda dari satu bioskop dengan bioskop lainnya.

DEPTH
Tidak ada kedalaman yang signifikan di dalam filmnya. Hanya di beberapa setting tempat saja film ini menghasilkan effect kedalaman yang cantik.

POP OUT
Efek Pop-Out akan selalu menyapa penontonnya ketika menonton Doraemon : Stand By Me dalam format tiga dimensi. Mulai dari serpihan salju, asap, hingga karakter-karakter menggemaskan, terutama Doraemon.
 
Menonton Doraemon : Stand By Me dalam sebuah layar lebar sudah memberikan efek nostalgia yang sangat luar biasa. Apalagi, diperkuat dengan efek tiga dimensi yang memberikan pengalaman menonton yang lebih menyenangkan. Sehingga, Doraemon : Stand By Me pun menjadi sebuah pengalaman menonton yang tak akan terlupakan.

(PS :  Doraemon : Stand By Me bukanlah film terakhir dari Doraemon. Masih akan ada kisah selanjutnya dari petualangan Doraemon dan Nobita.)

Jumat, 12 Desember 2014

SUPERNOVA : KSATRIA, PUTRI, DAN BINTANG JATUH (2014) REVIEW : Rekonstruksi Cinta dengan Teori Ilmiah

Satu persatu novel milik penulis terkenal, Dewi Lestari atau biasa dikenal dengan nama Dee memiliki kesempatan untuk diadaptasi ke sebuah fi... thumbnail 1 summary

Satu persatu novel milik penulis terkenal, Dewi Lestari atau biasa dikenal dengan nama Dee memiliki kesempatan untuk diadaptasi ke sebuah film layar lebar. Perahu Kertas, Rectoverso, Madre, Filosofi Kopi yang sedang dalam proses syuting, dan Supernova yang berada di bawah naungan rumah produksi Soraya Films. Supernova sendiri memiliki 5 buku yang sudah dirilis dan Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah seri yang mengawali seri Supernova.

Rizal Mantovani kembali mengarahkan sebuah film atas komando dari Sunil Soraya. Setelah 5 Cm, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh menjadi tanggung jawab dari sutradara satu ini. Bukan sebuah tanggung jawab yang mudah karena seri Supernova memiliki jutaan penggemar di Indonesia. Banyak orang yang merasa Supernova adalah sebuah maha karya dari penulis Dewi Lestari dan sangat susah untuk diadaptasi menjadi sebuah film. 

Supernova adalah sebuah seri yang sangat rumit dan butuh penanganan khusus agar bisa menjadi satu sajian film yang bagus. Karena dewi Lestari atau Dee benar-benar bermain dengan diksi kata di bukunya. Untuk seri pertamanya, Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ini bukan sekedar roman klise tentang cinta segitiga melainkan juga tentang sebuah fiksi ilmiah yang rumit. Bagaimana sains bertemu dengan romansa cinta segitiga anak manusia yang bisa memiliki dimensi yang luas. 


Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ini bermula ketika Reuben (Hamish Daud) dan Dimas (Arifin Putra) bertemu dan saling berkenalan. Mereka berdua adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di kota Washington D.C., Amerika Serikat. Saat berada di sebuah pesta, Mereka yang sedang mabuk saling berjanji 10 tahun dari sekarang mereka harus menulis sebuah cerita yang bisa menggemparkan semua orang.

10 tahun kemudian, di sebuah apartemen, mereka menulis sebuah cerita tentang cinta dengan setting Pseudo Jakarta. Di mana Ferre (Herjunot Ali), seorang eksekutif muda yang sangat sukses yang jatuh cinta dengan seorang wartawati bernama Rana (Raline Shah). Sayangnya, Rana sudah memiliki suami bernama Arwin (Fedi Nuril) yang sudah dinikahi selama bertahun-tahun. Tetapi, Rana dan Ferre tetap menjalin hubungan diam-diam. Juga ada Diva (Paula Verhoeven), seorang model dengan kehidupan yang tak disangka-sangka. 


Plot cerita yang sebenarnya hanyalah sebuah cerita cinta klise. Tetapi, Supernova memiliki sesuatu yang berbeda untuk menerjemahkan kisah cinta ini. inilah sebuah rekonstruksi kisah cinta dengan dialog-dialog yang berisikan teori limiah yang sebenarnya akan membuat penontonnya kebingungan. Dan lagi-lagi, masih ada kesalahan persepsi tentang medium yang digunakan dalam bertutur di dalam sebuah film adaptasi dari novel, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh pun salah satunya. 

Film dan buku adalah sebuah medium yang berbeda untuk bertutur. Maka, untuk sebuah film adaptasi dari sebuah novel harus ada keseimbangan yang pas sehingga bisa melengkapi pengalaman membaca dan menonton sebuah film. Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh masih seperti sebuah film adaptasi mentah dari buku laris milik Dee. Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya selaku penulis naskah film, hanya menulis ulang kata-kata yang berasal dari novelnya. 


Perlu adanya tinjauan ulang agar dialog-dialog di dalam film ini terkesan lebih dinamis. Jika ingin dibuat lebih loyal dengan sumber aslinya, harus ada sebuah pengarahan yang kuat agar penceritaan dengan dialog yang berat ini bisa tampil prima dan diterima oleh segala penonton, bukan hanya sekedar penonton yang mengikuti novelnya saja. Karena segala dialognya lah yang mengatur segala emosi di filmnya dan penonton akan kesusahan beradaptasi dengan itu jika menggunakan bahasa-bahasa baku khas novel milik Dewi Lestari.

Ya, hal itu tergambar jelas lewat dialog-dialog yang diucapkan oleh para pemainnya. Raline Shah, Herjunot Ali, apalagi Paula Verhoeven masih hanya sekedar menghafal dialog yang sudah ditulis di atas kertas. Sehingga, ketika dialog itu dilantunkan belum ada emosi yang begitu kuat sehingga membuat penontonnnya simpati dengan karakter-karakter itu. Terkecuali untuk Dimas dan Reuben, Arifin Putra dan Hamish Daud bisa meyakinkan penontonnya bahwa mereka memang memiliki daya intelektual yang benar-benar tinggi. 


Rizal Mantovani pun masih bisa dibilang kurang untuk mengarahkan sebuah dengan kompleksitas yang luar biasa ini. Memang, dasar besar cerita film ini adalah kisah cinta segitiga dari Ferre, Rana, dan Arwin. Tetapi, Rizal malah lebih fokus untuk memperkuat kisah cintanya ketimbang beberapa hal yang berkaitan dengan film ini seperti sosok Diva, kritik-kritik sosial yang sebenarnya bisa menghasilkan sebuah satu kemagisan luar biasa untuk keseluruhan filmnya.

Meski begitu, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah sebuah presentasi yang buruk. Film ini masih sangat bisa dinikmati di luar segala kekurangannya yang seharusnya bisa dimaksimalkan lagi. Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah sebuah film yang sudah memiliki dasar yang berbeda ketimbang film sejenis ini. Sehingga, film ini akan menjadi salah satu alternatif tontonan film bertemakan cinta milik sineas Indonesia. 


Kisah cinta di dalam film ini berhasil dipadu padankan dengan visual dan gambar-gambar indah yang dapat mewakili Pseudo Jakarta, kota rekayasa milik Dimas dan Reuben. Merepresentasikan sesuatu yang metaforik lewat gambar-gambar dan narasi sebagai pengantarnya. Bagaimana manusia yang memiliki sisi hitam dan putih juga dijelaskan lewat penggambaran yang unik. Tentu jika seorang penonton menyadari, pemilihan busana di dalam film ini pun ikut menjadi sebuah medium pesan itu disampaikan oleh sang sutradara.

Hitam dan Putih adalah sebuah warna yang saling berlawanan, layaknya sifat manusia yang terkadang masih menutupi hitamnya diri mereka. Karakter-karakter di film ini pun sebenarnya memiliki hal yang sama dengan perumpamaan hitam dan putih. Karakter Ferre, Rana, Diva, dan Arwin tampak luar adalah sosok luar biasa sukses, terkenal, dan bisa memiliki segalanya. Tetapi, ada yang harus mereka sembunyikan di luar sosok luar biasa mereka. Masih ada kekurangan yang tak bisa terelakkan bahwa mereka hanyalah manusia, ciptaan tuhan yang jauh dari kata sempurna.

Cerita ini pun ingin menyampaikan sosok hitam dan putih itu lewat rekonstruksi pikiran milik Dimas dan Reuben. Juga dengan pemilihan busana yang hanya sebagian besar dominan dengan warna Hitam dan Putih itu. Lihat saja bagaimana para karakter film ini saat menggunakan warna hitam dan putih di dalam filmnya. Warna hitam digunakan ketika ada yang harus ditutupi, ketika para karakter sedang dalam sisi melankolisnya. Warna putih digunakan ketika para karakter sedang dalam sosoknya yang dihormati, sedang dalam kisah mereka yang baik-baik saja.



Diperkuat dengan musik-musik  yang di-supervisor oleh Tiesto. Meski masih ada yang salah tempat dan terlalu sering digunakan, tetapi musik-musik ini berhasil memberikan nuansa lain yang juga merepresentasik jati diri premis unik milik Supenova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Sehingga, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah film yang dibuat secara sembarangan karena masih memiliki effort yang sangat luar biasa dalam segala komposisi teknisnya.  

Sebagai sebuah film adaptasi, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh masih memiliki problematika yang sama dengan film-film adaptasi kebanyakan. Memiliki beberapa kekurangan dan masih mentah dalam mengadaptasi sebuah buku best seller dari penulis Dewi Lestari. Meski begitu, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah film yang dibuat secara sembarangan karena production value, gambar, dan scoring dari film ini masih digarap secara serius.

Jumat, 05 Desember 2014

7 HARI/24 JAM (2014) REVIEW : Problematika Pernikahan dalam Tawa

  Siapa yang tak kenal dengan Dian Sastrowardoyo? Paras cantiknya sudah terkenal lewat perannya sebagai Cinta lewat film arahan Rudi Soedjar... thumbnail 1 summary
 

Siapa yang tak kenal dengan Dian Sastrowardoyo? Paras cantiknya sudah terkenal lewat perannya sebagai Cinta lewat film arahan Rudi Soedjarwo, Ada Apa Dengan Cinta? Setelah lama vakum setelah film terakhirnya, 3 Doa 3 Cinta, kali ini Dian Sastrowardoyo kembali hadir lewat film dengan genre komedi romantis bersama Lukman Sardi. Mereka berdua beradu akting lewat film terbarunya berjudul 7 Hari/24 Jam.
 
Sinar Dian Sastrowardoyo tak pernah redup. Keputusannya kembali ke layar lebar pun disambut hangat oleh para penikmat film. Banyak yang menantikan kembalinya wanita yang sudah memiliki 2 anak ini di dalam sebuah film. Fajar Nugros kembali menyapa penontonnya dengan arahannya di film ini. Sutradara komersil, Fajar Nugros, tahun ini telah menelurkan banyak karyanya. 7 Hari/24 Jam adalah karya sekian darinya yang dirilis tahun ini. 


5 tahun menjalin komitmen dalam sebuah pernikahan tidak membuat Tania (Dian Sastrowardoyo) dan Tyo (Lukman Sardi) saling mengenal satu sama lain. Mereka adalah orang-orang yang sibuk dengan karir atau pekerjaannya. Tyo adalah seorang sutradara kaliber yang sudah memiliki nama di industrinya. Sedangkan, Tania adalah seorang pekerja bank yang sangat dicintai oleh bosnya karena kredibilitasnya.

Hingga suatu ketika, Tyo harus dirawat di rumah sakit. Hal ini membuat Tania harus mengurusi segala urusan rumah tangganya sendiri ditambah harus merawat Tyo di rumah sakit. Selang beberapa hari, Tania pun juga harus dirawat di rumah sakit karena kelelahan. Mereka harus istirahat total dan melupakan pekerjaan mereka. Tania dan Tyo pun dirawat di dalam satu kamar. Saat mereka dirawat inilah, mereka mulai benar-benar mengenal satu sama lain. 


Pernikahan adalah suatu yang krusial di dalam tradisi Indonesia. Adanya ikatan antara pria dan wanita yang sudah cukup umur dan matang untuk menjalin kisah cinta mereka. 7 Hari/24 Jam tak jauh-jauh dari permasalahan rumah tangga yang sebenarnya sedang perlu untuk digarisbawahi, khususnya untuk pasangan muda yang memutuskan untuk menjalin ikatan itu. Karena, pernikahan bukan hanya sebuah komitmen untuk saling bersama tetapi ada hal yang lebih kompleks selain itu.

7 Hari/24 jam sedikit menyindir masalah-masalah yang sedang dekat dengan penontonnya. Pekerjaan atau karir yang sedang melejit membuat seseorang lupa dengan kewajibannya atau peran mereka di dalam keluarga. Baru ketika satu turning point datang, seseorang akan menyadari hal tersebut. Hal-hal itu diangkat oleh Fajar Nugros dengan balutan komedi romantis yang akan membuat penontonnya terhibur dan Fajar Nugros berhasil mengarahkan poin-poin tersebut.

7 Hari/24 Jam bisa dibilang sebagai karya terbaik dari sutradara komersil satu ini. Film ini berhasil memberikan jalan cerita yang menarik di dalam durasi 100 menit filmnya. Sebuah film komedi romantis tentang pernikahan yang akan membuat penontonnya sangat menikmati setiap menitnya. Bukan hanya menikmati paras cantik Dian Sastro saja, tetapi juga akan disuguhi oleh intrik-intrik menarik yang menghibur penontonnya sekaligus miris. 
 

Bisa juga, arahan milik Fajar Nugros ini berhasil karena adanya kontrol dari sang produser. Affandi Abdul Rachman memiliki kontrol penuh dalam film 7 Hari/24 Jam. Sehingga, film ini tak jatuh menjadi film komedi romantis yang setipe dengan film-film Fajar Nugros lainnya. Tetapi, 7 Hari/24 Jam bukan berarti bebas dari zona berbahaya. Masih ada beberapa kekurangan yang membuat 7 Hari/24 Jam ini bukan menjadi sajian yang sempurna untuk penontonnya. 

Problem utama adalah komedi di dalam film ini. Sebuah lelucon atau komedi adalah sesuatu yang memiliki segmentasi yang berbeda. Beberapa orang akan memiliki selera humor yang berbeda dari slapstick hingga sarkastik, 7 Hari/24 Jam memiliki kelemahan di dalam hal itu. Humor di dalam film ini belum bisa terolah dengan baik dan masih memiliki gaya humor khas dari Fajar Nugros sebagai sutradara. Bagaimana humor itu memiliki repetisi yang akhirnya menimbulkan kebosanan untuk penontonnya. Beberapa adegan dengan humor yang ditujukan kepada penontonnya pun meleset. 


Selain itu, paruh kedua di film ini pun masih memiliki kelemahan dalam bertutur. Di dalam pertengahan durasinya, film ini terasa kehilangan kepercayaan diri setelah paruh pertama yang menyenangkan itu. Segala ide cerita yang segar itu pun mulai melemah di paruh kedua dan Nataya Subagya sebagai penulis naskah pun kebingungan untuk mencari intrik menarik untuk kelangsungan filmnya. Akhirnya, paruh kedua di film ini pun terasa lambat untuk diikuti penontonnya.

Beruntung, masih ada penampilan yang menarik dari duo maut Lukman Sardi dan Dian Sastrowardoyo. Kelemahan itu pun ditutupi oleh performa yang prima dari kedua artis tersebut. Mereka berdua tampil menjanjikan berlakon sebagai sepasang suami-istri yang sudah berkomitmen selama lima tahun. Mereka berdua pun mampu menggerakkan ceritanya sendiri meski masih ada beberapa pemeran pendukung yang tampil untuk memaniskan film ini. Sebuah comeback yang sangat manis dari Dian Sastrowardoyo setelah beberapa tahun absen dari dunia perfilman. 


Sebuah problem penting dalam sebuah pernikahan akan terasa menampar penontonnya ketika menyaksikan 7 Hari/24 Jam. Di mana, pernikahan bukan hanya sekedar komitmen tetapi ada beberapa hal lain yang memang harus membutuhkan kesiapan. 7 Hari/24 Jam merangkum hal itu di dalam 100 menit yang menghibur. Meski dengan beberapa kekurangan yang masih sama di setiap arahan Fajar Nugros, tetapi 7 Hari/24 Jam adalah sebuah komedi romatis yang masih nikmat untuk diikuti. 
ads