Minggu, 01 November 2015

GOOSEBUMPS (2015) REVIEW : New Takes From R.L. Stine Books

Menjadi salah satu penulis termahsur di eranya, R.L. Stine menuliskan cerita misteri pengantar tidur untuk anak-anak, Goosebumps . Karya mi... thumbnail 1 summary

Menjadi salah satu penulis termahsur di eranya, R.L. Stine menuliskan cerita misteri pengantar tidur untuk anak-anak, Goosebumps. Karya milik R.L. Stine ini memiliki beberapa seri yang berbeda di setiap bukunya. Pun, buku milik R.L. Stine ini pernah diangkat menjadi sebuah serial televisi di tahun 1995. Karyanya yang tak pernah lekang oleh waktu ini dimanfaatkan oleh Sony Pictures untuk diangkat menjadi sebuah film layar lebar di tahun 2015 ini. 

Goosebumps diangkat menjadi sebuah gambar bergerak dengan durasi 100 menit dan diarahkan oleh Rob Letterman. Dibintangi oleh Jack Black, film Goosebumpspun menjadi sebuah film adaptasi yang berbeda. Goosebumps tak didasari atas cerita dari salah satu buku yang ditulis oleh R.L. Stine. Rob Letterman memutuskan untuk membuat Goosebumps sebagai sebuah tribut untuk karya R.L. Stine yang sudah menemani generasi 90an dan diperkenalkan kembali kepada generasi millenium.

Membuat cerita sendiri di atas buku-buku R.L. Stine bukan berarti malah membuat Goosebumps kehilangan charm-nya menjadi sebuah film yang menarik. Tak perlu terlalu ambisius untuk mengadaptasi salah satu cerita dari bukunya, bersama Darren Lenke sebagai penulis naskah, Goosebumps berubah dari cerita misteri menjadi sebuah cerita fantasi. Film arahan Rob Letterman ini pun tak disangka menjadi sebuah film  yang sangat menyenangkan untuk diikuti. 


Zach (Dylan Minnette) dan ibunya, Gale (Amy Ryan) baru saja pindah dari New York ke sebuah kota kecil. Dia masih berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, apalagi ketika kepindahannya tersebut dikarenakan sang Ayah yang meninggal dan Ibunya harus terus menjalani kehidupan agar bisa bertahan hidup. Di lingkungan rumahnya, dia bertemu dengan gadis bernama Hannah (Odeya Rush). Seorang gadis menyenangkan yang hidup terkekang karena ayahnya yang protektif. Hingga pada suatu malam, Zach mendengar suara teriakan minta tolong dari Hannah.

Zach langsung menelepon polisi untuk mendatangi rumah tetangga barunya itu. Polisi tak menemukan apapun dari apa yang dilaporkan oleh Zach. Merasa tak puas, Zach menyelinap sendiri ke rumah Hannah. Di sana, dia bertemu dengan Hannah dan menemukan tumpukan buku yang terkunci. Tak sengaja, Zach menjatuhkan buku tersebut dan ternyata sesosok monster keluar dari buku tersebut. Ternyata, buku tersebut adalah buku tulisan milik R.L. Stine (Jack Black), ayah Hannah. 


Keputusan yang menarik dilakukan oleh Rob Letterman untuk tidak berusaha mengadaptasi salah satu cerita dari buku Goosebumps. Memiliki resiko besar dengan bagaimana mengolah cerita di dalam film Goosebumps ini agar bisa menghadirkan sesuatu yang tak asal dan sama menariknya dengan karya-karya legendaris dari R.L. Stine. Memutuskan untuk menjadikan film Goosebumps menjadi sebuah film penuh dengan tribut dan nostalgia ini memang bisa menjadi senjata ampuh atau malah menjadi bumerang dari filmnya.

Nyatanya, film Goosebumps menjadi sebuah film fantasi keluarga yang bisa merangkul segala jenis usia yang ingin mendapatkan sensasi menonton yang menyenangkan. Goosebumpsmenyajikan cerita-cerita misteri dan makhluk-makhluk menyeramkan yang dibuat oleh R.L. Stine dengan pendekatan yang lebih kid-friendly. Sehingga, makhluk-makhluk menyeramkan tersebut bisa dikenalkan kembali kepada anak-anak di era millenium agar Goosebumps bisa menjadi sebuah kapsul waktu di berbagai zaman. 


Rob Letterman kali ini berhasil berkolaborasi dengan Jack Black. Setelah sebelumnya sempat gagal lewat Gullivers Travels, Goosebumps ini berhasil menjadi titik balik dari rekam jejak Rob Letterman sebagai sutradara. Rob Letterman berhasil menyajikan sebuah film fantasi petualangan yang mengasyikkan. Meskipun belum dalam taraf luar biasa, setidaknya Goosebumpsberhasil menjadi sebuah karya yang menonjol dan bisa menghibur penontonnya.

Komedi dan suasana kekeluargaan yang diusung di dalam film Goosebumps ini memang bisa menjadi kekuatan di dalam filmnya. Komedi yang tak terlalu slapstick, membuat Goosebumps bisa menjadi sajian yang menghibur. Meski ada beberapa formula bahan tawa yang usang di dalam filmnya yang beberapa kali tak tampil menghibur, tetapi naskah Darren Lenke tak terlalu banyak memberikan sorotan. Dia menyelipkan beberapa referensi bahan guyonan lewat beberapa kultur pop dan referensi horor ke dalam film arahan Rob Letterman. Sehingga, banyak sekali poin yang mengundang tawa penontonnya. 


Pun, suasana film Goosebumps yang berhasil menghadirkan nuansa gaya lama ala serial televisinya. Nuansa misteri tetapi tetap dikemas secara menyenangkan yang tampil begitu kental di dalam filmnya. Juga, Rob Letterman tak melupakan bagaimana tujuan dari karya R.L. Stine sebagai karya yang legendaris dan hal tersebut mampu tampil di dalam film arahannya. Sehingga, penonton yang pernah ada di era itu bisa merasakan kembali apa yang mereka rindukan.

Jelas, Goosebumps adalah sebuah kuda hitam dari beberapa pihak yang merasa pernah menyudutkan bahkan memandang sebelah mata film adaptasi ini. Film arahan dari Rob Letterman ini berhasil menyajikan kembali suasana nostalgia dan tribut terhadap karya dari R.L. Stine yang legendaris ini. Meskipun tanpa mengadaptasi salah satu cerita dari bukunya sebagai sumber. Goosebumps adalah sebuah film fantasi petualangan keluarga yang menyenangkan dan dapat merangkul segala jenis usia. Baik yang pernah tumbuh dengan R.L. Stine, maupun yang tidak. 

CRIMSON PEAK (2015) REVIEW : Enchanting Yet Powerful Gothic Romance

Menghadirkan sebuah film mencekam dengan mempedulikan detil-detil artistik adalah keahlian dari sutradara, Guillermo Del Toro. Dengan anugra... thumbnail 1 summary

Menghadirkan sebuah film mencekam dengan mempedulikan detil-detil artistik adalah keahlian dari sutradara, Guillermo Del Toro. Dengan anugrahnya tersebut, Guillermo Del Toro bisa menjadikan sebuah film horor naik satu tingkat dibanding dengan film-film horor lainnya. Tak hanya dalam film-film horor, tetapi Guillermo Del Toro tetap bisa mengarahkan film-film fantasi lainnya dengan kekhasan gaya penyutradaraan darinya. 


Poin yang membuat Guillermo Del Toro menjadi salah satu sutradara yang menjanjikan adalah kinerjanya dalam film Pan’s Labyrinth. Dia berhasil menjadikan sebuah film yang penuh dengan makhluk-makhluk yang berdampak mimpi buruk ini menjadi sajian yang cantik. Sehingga, banyak penonton yang menantikan karya-karya dari sutradara asal Meksiko ini. Di tahun 2015 ini, Guillermo Del Toro menghasilkan karya terbarunya yang menggabungkan sebuah film romance dengan gaya gothic yang sangat khas dengannya.

Crimson Peak, proyek terbaru dari Guillermo Del Toro ini mengalami pengunduran jadwal rilis dari Juni ke Oktober. Dibintangi dari Mia Wasikowska, Tom Hiddleston, dan Jessica Chastain, Crimson Peak menjadi sebuah film romance dengan level yang baru lewat pengarahan luar biasa dari Guillermo Del Toro. Crimson Peak menyajikan sebuah film horor artistik yang memiliki kekuatan luar biasa dari pembangunan cerita, karakter, dan atmosfir yang mengagumkan. 


Edith Cushing (Mia Wasikowska), anak dari Carter Cushing (Jim Beaver) memercayai tentang keberadaan sosok hantu. Sosok tersebut berusaha dia tuangkan ke dalam cerita-cerita yang dia tulis. Meskipun, karya-karyanya ditolak di berbagai penerbit, dia tetap tak patah semangat untuk menuliskan ceritanya. Hingga pada suatu saat, Thomas Sharpe (Tom Hiddleston) datang kepada Carter untuk meminta bantuan donasi terhadap proyek mesin yang sedang dia buat. Tak sengaja, Edith menaruh hati terhadap Thomas karena kepintaran dan kharisma darinya.

Hubungan tersebut tak mendapat restu dari Carter dan Edith pun dilema antara Thomas atau teman masa kecilnya, Alan McMichael (Charlie Hunnam). Musibah datang pada Edith, Carter dibunuh oleh seseorang yang tak tahu siapa. Edith melarikan diri dari musibah tersebut dan memutuskan untuk menikah dengan Thomas Sharpe. Edith pindah ke kastil tua milik Thomas yang dijadikannya sebagai tempat tinggal. Di sana, dia tinggal bersama dengan kakak Thomas, Lucille Sharpe (Jessica Chastain). Di sana, Edith merasa ada yang menerornya, sosok hantu yang ada di dalam kastil tua ini. 


Menjadikan film dengan poster, trailer  dan setting mencekam menjadi sebuah film drama romance memang bukan sesuatu yang lumrah. Tetapi, Guillermo Del Toro membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan mungkin untuk dibuat. Crimson Peak adalah pembuktian bahwa dengan premis cerita seaneh apapun Guillermo Del Toro berhasil membuktikan bahwa dia adalah sutradara yang menjanjikan di industri perfilman Hollywood.

Tak ada cerita terobosan baru dari Crimson Peak sebagai film bertema gothic. Drama tahun 80an dengan misteri yang kental tetapi memasukkan unsur supranatural di dalam filmnya. Crimson Peak memiliki cerita yang sangat intens di 119 menit filmnya. Naskah yang juga ditulis oleh Guillermo Del Toro ini berhasil memikat penontonnya untuk mengikuti setiap menit dari Crimson Peak. Cerita yang dibangun oleh Guillermo Del Toro ini memiliki kekuatan untuk menghipnotis penontonnya lewat gambar bergerak.

Tempo bertutur milik Crimson Peak memang bisa dibilang lambat. Paruh awal film Crimson Peak dipenuhi dengan pembangunan masing-masing karakter yang begitu kuat. Sehingga, penonton bisa menaruh simpati kepada karakter-karakter yang ada di dalam film Crimson Peak ini. Hingga semakin bertambahnya durasi, Crimson Peakmenambahkan unsur-unsur misteri yang membuat penonton bertanya-tanya akan apa yang terjadi di dalam konflik ceritanya. 


Misteri yang disebar di dalam Crimson Peakini tak terlalu terburu-buru. Sedikit demi sedikiit, Guillermo Del Toro menaruh setiap keping teka-teki di dalam filmnya. Perlahan, Guillermo Del Toro membanguh misteri yang kuat di dalam ceritanya. Bertambahnya durasi di dalam Crimson Peak, tensi cerita pun semakin naik. Bukan hanya dari aspek kepingan teka-teki yang disebar saja, tetapi dari pembangunan cerita dari Del Toro yang semakin kokoh hingga paruh akhir filmnya.

Ketika waktu yang tepat datang, barulah Crimson Peak berada dalam puncak emosi di dalam filmnya. Final showdown di dalam film Crimson Peak memiliki kekuatan luar biasa. Menggabungkan setiap tensi cerita bercampur misteri yang sudah terjawab yang bisa membuat penonton ikut serta merasakan atmosfir di dalam filmnya. Kejutan-kejutan yang ada di dalam akhir film akan dengan mudah membuat penontonnya merasa kaget dan hal itu tersimpan rapi berkat pengarahan dari Guillermo Del Toro.

Seperti Edith Cushing yang menganggap hantu di dalam cerita-ceritanya adalah sebuah metafora dalam kehidupan, Guillermo Del Toro pun juga menjadikan hantu-hantu itu sebagai metafora pertarungan psikis dari karakter Edith Cushing. Dan bisa dibilang, Crimson Peak bukan hanya menggabungkan romance dan gothic, tetapi juga thriller psychological yang juga menjadi poin penting di dalam film ini. Sehingga, dengan adanya poin itu Crimson Peak menambah kekuatannya. 


Detil artistik di dalam film Crimson Peakpun menjadi poin penting yang sangat diperhatikan oleh Del Toro. Hal tersebut menjadi satu poin wajib di setiap film milik Del Toro. Crimson Peak berhasil memanjakan mata penontonnya lewat detil-detil menarik, tata busana nomor wahid, serta permainan warna merah dengan hitam dan putih yang juga tampil sangat cantik. Dengan beberapa aspek itu, Del Toro berhasil membangun suasana mencekam meskipun penampakan makhluk supranatural tersebut tak terlalu memiliki poin besar bagi kelangsungan film ini.

Dengan segala pengarahan Guillermo Del Toro yang sangat visioner di dalam genre ini, Crimson Peak menjadi sebuah pengalaman menonton yang sangat indah. Penggabungan beberapa isu atau tema di dalam film ini menjadikan Crimson Peak tak kehilangan arah, malah menjadi sebuah kekuatan di dalam filmnya. Guillermo Del Toro berhasil membangun cerita dan karakter yang kuat di dalam film Crimson Peak. Dan hal ini berdampak bagi ketenangan psikis penontonnya, mereka seperti dihantui dan diusik lewat film horornya yang indah dan luar biasa kuat.

Kamis, 15 Oktober 2015

3 : ALIF LAM MIM (2015) REVIEW : Tatkala Problematika Sosial Berdampak Pada Kehancuran

Menjadi salah satu sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan kary... thumbnail 1 summary

Menjadi salah satu sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan karya di setiap tahunnya. Dengan kesuksesan luar biasa dari Comic 8, semakin menegaskan lagi bahwa Anggy Umbara adalah rival bagi para sineas lain yang ingin bersaing. Memiliki proyek franchise besar yaitu Comic 8, Anggy Umbara kembali menyusun setup baru untuk dikembangkan agar menjadi franchisebesar lainnya.
 
Menawarkan sesuatu yang berbeda, 3 : Alif Lam Mim, judul karya terbaru dari Anggy Umbara ini berpotensi untuk menarik minat penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film Indonesia yang monoton. Premis yang diusung oleh 3 : Alif Lam Mim ini memiliki isu yang sangat sensitif dan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kontroversi. Tetapi, film ini juga bisa menjadi salah satu media untuk membuat surat terbuka terhadap isu yang selalu ada di negara yang selalu tanpa sengaja mematok kebenaran yang sudah pasti. 

Anggy Umbara berani mempertanyakan satu poin penting di dalam filmnya. Bagaimana jika apa yang selalu mereka percaya dan mereka anggap benar adalah ujian terbesar dan rintangan bagi segala manusia untuk bisa saling berbuat baik terhadap sesama? Bagaimana jika rasa kepemilikan terhadap apa yang mereka anggap benar yang terlalu signifikan malah membuat seseorang takabur dan melupakan toleransi yang seharusnya diajarkan dan menjadi dasar kita membangun relasi dengan sesama?  


Hal tersebut tergambar lewat cerita di dalam 3 : Alif Lam Mim, menceritakan tentang keadaan negara Indonesia paska kehancuran. Di tahun 2036, Indonesia masa depan adalah sebuah negara dengan pemahaman liberal dan menganggap bahwa memihak di satu agama adalah masalah utamanya. Plot cerita dijalankan lewat tiga karakter berbeda dengan latar belakang pembangun karakter yang sama. Alif (Cornelius Sunny), Lam (Abimana Aryasatya), dan Mim (Agus Kuncoro)

Mereka menjadi sosok individu yang berbeda untuk menjalani hidup mereka. Alif, menjadi seorang polisi dengan paham liberal sesuai dengan negara Indonesia saat itu. Lam, seorang jurnalistik yang harus berperang dengan pekerjaannya sendiri untuk tetap bisa hidup beriringan dengan kepercayaan yang dipegangnya. Dan Mim, memutuskan untuk tetap membela kepercayaan yang mereka pegang meski akan terus dianggap ancaman. 


3 : Alif Lam Mim menawarkan premis dan potensi yang menarik dari sekian banyak film-film Indonesia yang ada. Anggy Umbara berusaha untuk mencari celah dan memberikan pandangan selangkah lebih maju untuk mengembangkan perfilman Indonesia yang sudah minim akan terobosan. 3 : Alif Lam Mim berani untuk menggambarkan Indonesia paska kehancuran yang disebabkan oleh problematika sehari-hari negara ini sendiri. Sang sutradara membangun pemahaman baru yang menyangkut pautkan problematika ini ke dalam filmnya.

Arogansi dalam membela apa yang mereka percaya itu benar menjadi problematika yang tak akan pernah tahu jawabannya dan tak akan pernah habis untuk dibahas. Hal tersebut menguap menjadi suatu isu yang sensitif untuk disinggung oleh beberapa pihak. Merasa geregetan dengan isu tersebut, Anggy Umbara memasukkan konten tersebut  ke dalam naskah film terbarunya. Dan ditulis ramai-ramai dengan 2 saudaranya, Fajar dan Bounty Umbara.

Presentasi 3 : Alif Lam Mim memang belum bisa dikatakan sempurna meskipun memiliki konten yang dahsyat. Memasukkan banyak sekali isu sosial yang berusaha untuk disindir sehingga konten-konten itu belum bisa menyatukan kepingan-kepingan cerita yang dibangun. Apalagi, kekhasan pengarahan dari sutradara Comic 8 ini adalah memecah setiap keping cerita karakternya satu persatu. Berusaha menguliti sang karakter agar memiliki pendalaman karakter yang seimbang.


Di luar presentasinya yang belum sempurna, setidaknya Anggy Umbara tahu dan berusaha untuk membuat filmnya menjadi salah satu yang berbeda di lini film Indonesia lainnya. Juga, naskah penuh pertanyaan kontemplatif tentang kehidupan. Dilempar kembali oleh sang sutradara untuk menampar sisi arogansi dan acuh manusia tentang kepercayaan yang mereka pegang ternyata adalah sebuah bumerang bagi kehidupan mereka bersosial.

Meskipun, naskah milik Umbara bersaudara ini masih terkesan pretensius dan salah kaprah untuk membangun idealisme baru bagi filmnya. Berusaha untuk tidak terkesan stereotip memberikan pandangan terhadap suatu kepercayaan, malah film 3 : Alif Lam Mim tetap menegaskan bahwa satu kepercayaan tersebut adalah suatu kebenaran yang absolut. Tanpa sengaja, mereka menempel atribut dari diri pembuatnya ke dalam naskah yang mereka tulis. Sehingga, bisa jadi film ini tak bisa menjadi sajian yang universal dan mengusik keberadaan instansi dan orang-orang terkait lainnya yang juga diakui.

Tetap, 3 : Alif Lam Mim memberikan i’tikad baik setidaknya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari konten dan presentasi. Dengan konten yang berat, Anggy Umbara tetap mengemas filmnya menjadi sesuatu yang megah dan mahal. Semua konten cerita yang berat itu ditampilkan secara eksplisit dan tak perlu basa-basi sehingga penonton bisa menyerap apa yang coba disampaikan oleh Anggy Umbara. Tanpa melupakan bahwa film ini juga bisa menjadi media refleksi penonton tentang kebenaran kepercayaan mereka. Sudah benarkah cara mereka untuk membela apa yang mereka anggap benar? 


Maka di luar presentasinya yang belum dalam taraf sempurna, 3 : Alif Lam Mim berusaha untuk tampil berbeda dan memberikan sumbangsih besar di deretan film Indonesia lainnya. Anggy Umbara berani untuk mengangkat isu sensitif tentang suatu kepercayaan di dalam film terbarunya. Meskipun, ada satu poin yang terlewat ketika tanpa sengaja menempelkan atribut dirinya ke dalam naskah filmnya. Setidaknya, 3 : Alif Lam Mim bisa dijadikan sebuah pencerminan dan kontemplasi akan kehidupan sosietas negara yang terbelah dalam beberapa kubu yang merasa paling benar.

Jumat, 09 Oktober 2015

THE MARTIAN (2015) REVIEW : Another Bold Performance In Sci-Fi Genre

  3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat me... thumbnail 1 summary
 
3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Di setiap tahunnya, film-film ber-setting tempat luar angkasa itu selalu mendapatkan respon positif dari kritikus maupun penonton film. Gravity di tahun 2013, mematok nilai yang sangat tinggi untuk film bertema ini. Di tahun 2014, Interstellar milik Christopher Nolan pun juga menghempas pemikiran penontonnya dengan alur cerita yang ditawarkan.
 
Maka di tahun 2015, salah satu master di genre ini yaitu Ridley Scott kembali menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang diadaptasi dari buku milik Andy Weir. The Martian, buku yang menjadi salah satu best seller di New York ini diadaptasi menjadi sebuah naskah oleh Drew Goddard yang selalu berhasil menulis ulang sebuah buku ke dalam naskah yang ditulisnya. Juga, film ini dibintangi oleh bintang-bintang ternama dan salah satunya adalah Matt Damon di deretan aktor utamanya.

Dengan adanya Gravity dan Interstellardalam deretan film-film ber-settingluar angkasa, The Martian jelas tak bisa menawarkan sebuah terobosan cerita baru untuk ditawarkan kepada penontonnya. Tetapi tanpa adanya premis cerita yang baru, The Martian tetap bisa menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Dengan durasi 141 menit, The Martian bisa menjadi salah satu pengalaman merasakan luar angkasa di layar perak yang sangat seru. 


Satu tim dikirim oleh NASA ke planet Mars untuk bisa menemukan materi-materi kehidupan di sana. Tim tersebut terdiri dari Mark Watney (Matt Damon), Melissa Lewis (Jessica Chastain), Beth Johanssen (Kate Mara), Rick Martinez (Michael Pena), dan Chris Beck (Sebastian Stan). Di tengah perjalanan dalam menyelesaikan misinya tersebut, badai datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpaksa harus meninggalkan planet Mars sebelum misinya selesai.

Di perjalanan menuju ke pesawat luar angkasa mereka bernama Hermes, Mark Watney terhantam oleh satelit milik tim tersebut dan membuatnya menghilang saat badai. Anggota tim berusaha untuk menyelamatkan Mark Watney, tetapi waktunya tak cukup dan mereka merasa bahwa Mark Watney terdeteksi telah meninggal karena kehilangan oksigen. Setelah anggota tim kembali ke pesawat dan menuju kembali ke bumi, Mark Watney ternyata masih selamat dan dia berusaha bertahan hidup di planet Mars sampai NASA datang menyelamatkan mereka. 


Dengan patokan yang sangat tinggi dari dua film ber-setting luar angkasa yang sama di 2 tahun berturut-turut, rasanya akan susah bagi The Martian untuk bisa mendapatkan respon serupa dari para kritikus atau penonton film. Tetapi, akan berbeda ketika film ini ditangani oleh Ridley Scott. Orang yang berhasil mengarahkan genre science fiction lewat film Prometheus, Blade Runner, atau pun film legendarisnya Alien.

Benar, The Martian bisa tampil sangat prima untuk menawarkan sebuah konflik bertahan hidup di luar angkasa yang menyenangkan dan berbeda dari film-film yang sama di genre ini. The Martian memang tak bisa menawarkan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan Gravityatau Interstellar. The Martian akan cenderung berpremis sama dengan Gravity tetapi juga memiliki babak yang sama dengan Interstellar. Hanya saja, The Martian memiliki nuansa yang berbeda dari dua film itu.

Lupakan 2 film yang selalu menjadi bayang-bayang The Martian atau film-film lain yang bertema serupa karena The Martian memiliki caranya sendiri untuk menghipnotis penontonnya. Di dalam durasi yang bisa dibilang panjang, The Martianmemiliki cara penyampaian yang sangat dinamis tanpa ada rasa jenuh yang menghampiri penontonnya. Drew Goddard tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan kembali apa yang ada di buku ke dalam naskahnya. Dia bisa menyusun alur cerita yang seharusnya bisa saja terpecah dalam 3 babak yang terasa episodik. 


Penyusunan cerita yang bagus dari Drew Goddard dalam naskahnya, tak berarti apa-apa jika Ridley Scott juga tak berhasil mengarahkan filmnya dengan baik. Ada 3 settingutama yang ada di dalam film The Martian, yaitu Mars, Pesawat Hermes, dan juga Kantor NASA. Ridley Scott sangat berhasil mengoneksikan ketiga setting tersebut meskipun tak terkoneksi secara langsung. Meski hanya terhubung lewat Interkom sebagai media penyampaian pesan setiap karakternya, The Martian bisa membangun atmosfir dan tensi yang kuat lewat dialog pun juga dengan keterikatan setiap karakternya.

Karakter-karakter di dalam The Martian cukup banyak untuk menggerakkan plot ceritanya yang mungkin sederhana, tetapi Ridley Scott bisa memaksimalkan setiap karakternya sehingga The Martian tersajikan dengan kuat. Bukan malah menjadi bumerang bagi filmnya yang bisa saja terpecah fokusnya hanya karena karakter di dalamnya terlalu banyak. Justru, karakter-karakter yang banyak itu malah memperkuat konten utama dari The Martian yang cukup sederhana.

Pun, The Martian mengangkat isu kehumasan yang direpresentasikan kepada salah satu karakter yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Bagaimana seorang jembatan perusahaan kepada khalayak untuk mengklarifikasi konflik besar yang terjadi di perusahaan tersebut. Juga, strategi apa yang digunakan seorang humas agar tidak menimbulkan keresahan luar biasa bagi khalayak tentang masalah yang sedang menyerang suatu perusahaan tersebut. 


The Martian pun memiliki suasana retroyang menyenangkan sebagai sebuah film ber-settingluar angkasa. Dengan pilihan-plihan playlist lagu dari Abba, David Bowie, dan beberapa musisi lain yang datang  di tahun 80-an, The Martian jelas menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa yang berbeda. Pun juga, The Martian mematahkan suasana film-film di genre ini yang melulu serius dalam penceritaannya dan dengan mudah menyita perhatian penontonnya.

The Martian memang tak bisa dihindarkan akan selalu dikomparasikan dengan dua film ber-setting dan ber-genre yang sama yang hadir di 2 tahun terakhir. The Martian memang tak bisa menghadirkan premis cerita yang baru dengan hadirnya Gravity atau Interstellar. Tetapi, bukan berarti The Martianbisa dipandang sebelah mata, karena The Martian tampil sangat prima lewat arahan yang kuat dari Ridley Scott dan didukung naskah yang ditulis oleh Drew Goddard. Sehingga, The Martian adalah salah satu film space survival yang bisa dijajarkan menjadi salah satu film ber-settingluar angkasa terbaik dan juga salah satu yang terbaik tahun ini.

Rabu, 07 Oktober 2015

HOTEL TRANSYLVANIA 2 (2015) REVIEW : The Hotel Has Nothing New to Offer

  Setelah sukses luar biasa dari segi pendapatan, Hotel Transylvania jelas menjadi salah satu film animasi yang menjanjikan bagi Sony Pictu... thumbnail 1 summary
 

Setelah sukses luar biasa dari segi pendapatan, Hotel Transylvania jelas menjadi salah satu film animasi yang menjanjikan bagi Sony Pictures Animation. Film arahan dari Genndy Tartakovsky ini akan dijadikan sebagai senjata pengeruk uang bagi rumah produksi satu ini. Benar, selang 3 tahun kemunculan film pertamanya, Hotel Transylvania kembali dibukan untuk para penonton yang ingin merasakan kehidupan para monster di dalamnya.
 
Hotel Transylvania 2 tetap di bawah komando Genndy Tartakovsky. Meski film pertamanya memiliki presentasi yang tak terlalu baik, tetapi Hotel Transylvania 2 tetap mendapatkan lampu hijau untuk mendapatkan jadwal rilis. Hotel Transylvania 2 pun dibidik menjadi salah satu film keluarga yang dapat menghibur mereka, terutama untuk anak kecil. Adam Sandler dan Selena Gomez pun tetap kembali memberikan sumbangsih mereka sebagai pengisi suara karakter-karakter di dalamnya.

Kekhawatiran penonton terhadap sekuel Hotel Transylvania untuk bisa lebih baik dari yang pertama jelas ada. Presentasi Hotel Transylvania yang terkesan medioker bukan menjadi berita bagus bagi sekuelnya yang akan dibuat. Benar saja, Hotel Transylvania 2 pun tak bisa setidaknya berdiri sejajar dari film pertamanya yang setidaknya masih enak untuk diikuti. Sekuelnya kali ini memiliki banyak sekali konflik yang dijejalkan agar bisa memenuhi durasi selama 89 menit. 


Setelah sekian lama berpacaran, Mavis (Selena Gomez) dan Jonathan (Andy Samberg) pun akhirnya menikah. Keberadaan Jonathan menjadi salah satu anggota keluarga dari Drac (Adam Sandler) memberikan perubahan besar bagi kelangsungan Hotel Transylvania miliknya. Hotel ini pun dibuka untuk kalangan yang lebih luas, contohnya adalah manusia. Kehidupan di Hotel Transylvania pun semakin berwarna karena Mavis dikaruniai seorang anak hasil dari pernikahannya.

Dennis (Asher Blinkoff) anak dari Mavis dan Jonathan pun diperebutkan oleh Drac dan juga keluarga dari pihak Jonathan. Drac sangat ingin tahu apakah Dennis ini adalah keturunan vampir sepertinya dirinya atau manusia seperti Jonathan. Keingintahuan itu pun membuat Mavis kesal karena Drac seperti memaksa Dennis menjadi seorang Drakula sepertinya. Drac pun mencari cara agar bisa membawa pergi Dennis dan membuktikan bahwa Dennis adalah vampir seperti dirinya. 


Hotel Transylvania mungkin bukan salah satu kontender film animasi yang kuat dan belum bisa menjadi ancaman bagi film-film animasi lainnya. Presentasi Hotel Transylvania pertama yang hanya sebatas menghibur belum bisa  menggoyahkan film-film animasi lainnya. Hanya saja, dewi fortuna datang menghampiri Hotel Transylvania. Mendapatkan word of mouth yang besar dan juga penghasilan yang besar sehingga sebuah sekuel layak untuk ia dapatkan.

Lewat presentasi medioker yang ditawarkan oleh Hotel Transylvania yang pertama, mungkin penonton mencoba lebih menerima apa yang ditawarkan oleh sekuelnya. Trailer yang dikemas menyenangkan juga bisa jadi menjadi pedoman utama penonton untuk memberikan kesempatan bagi Hotel Transylvania 2 memiliki presentasi yang sama menghiburnya dengan yang pertama. Memang, Hotel Transylvania 2 masih memiliki karakter yang menggemaskan hanya saja sekuelnya ini tak memiliki kekuatan yang sama besar dibanding film pertamanya.

Hotel Transylvania 2 pun terasa dipanjang-panjangkan di dalam durasinya yang hanya 89 menit. Konflik-konflik yang ditawarkan di dalam Hotel Transylvania 2 pun terlalu banyak, sehingga penonton pun akan merasa terlalu lelah untuk mengikuti 89 menit filmnya. Ganndy Tartakovsky pun seperti kehilangan semangat untuk mengarahkan film animasinya. Hal-hal menarik di dalam filmnya memang tak terlalu terlihat di trailer-nya, karena apa yang menarik itu hanya ada segelintir dari apa yang dipresentasikan olehnya. 


Semangat untuk menjadikan sekuel Hotel Transylvania mendapatkan lagi perhatian dan hati penontonnya, kali ini sepertinya sudah runtuh. Ganndy Tartakovsky terlihat bingung untuk menyelesaikan satu persatu konflik-konflik kecil yang dimunculkan olehnya di sepanjang film. Hasilnya, filmnya pun memiliki tempo yang sangat lambat meski dengan durasi yang singkat. Di paruh kedua, Hotel Transylvania 2 pun seperti kebingungan untuk menambahkan konflik apa lagi agar durasi filmnya memenuhi kriteria sebagai film layar lebar.

Segmentasi Hotel Transylvania memang ditujukan sebagai anak-anak, sehingga jokes yang ditawarkan di film-filmnya memang terkadang tak bisa menyenangkan penonton dewasa yang menemani mereka. Dan Hotel Transylvania 2 tak memiliki perkembangan signifikan untuk membuat tertawa penontonnya. Gurauan yang dihadirkan di Hotel Transylvania 2 pun gampang ditebak dan malah membuat penontonnya tak menghadirkan respon yang diharapkan sutradaranya.

Penonton di studio pun hening, tak menimbulkan suara tawa riuh ketika menonton Hotel Transylvania 2. Sedikit senyum simpul atau tawa lembut hadir di dalam bioskop ketika humor tersebut di sampaikan oleh Ganndy Tartakovsky di dalam Hotel Transyvania 2 dan itu pun bisa dihitung jari. Hotel Transylvania 2 pun sedikit gagal menghadirkan kekuatan yang sama yang dihadirkan oleh film pertamanya untuk menghibur penontonnya.


Tujuan Ganndy Tartakovsky pun berubah, dari sebuah film yang menjadikan sarana hiburan keluarga menjadi sebuah sarana pemenuh hasrat kebutuhan para penggemarnya. Beberapa ikon menarik seperti ‘I Zing You’ pun hadir hanya sebatas lewat, tak memiliki momen magis seperti film pertamanya. Dan juga, Hotel Transylvania 2 hanyalah sebatas penjawab bagaimana kehidupan Mavis dan Jonathan selanjutnya di mana hal tersebut sudah terjawab di paruh awal filmnya.

Dari presentasi yang kelewat sederhana di film pertamanya, Hotel Transylvania 2bukanlah sebuah kabar baik. Ganndy Tartakovsky meruntuhkan ekspektasi penonton yang sudah berharap besar untuk terhibur dengan sekuel dari kehidupan Drac, Mavis, dan Jonathan. Selain dari visual yang menarik dan karakter yang menggemaskan, Hotel Transylvania 2tak menawarkan apa-apa untuk dikembangkan di dalam sebuah sekuel. Malah, Hotel Transylvania 2 mengalami penurunan yang meski tak signifikan tetapi sangat berpengaruh bagi kelangsungan 89 menit filmnya yang terasa panjang.

Rabu, 30 September 2015

SOUTHPAW (2015) REVIEW : Stellar Performance Inside The Mediocrity

Film bertema olahraga dengan nilai-nilai kemanusiaan, mungkin menjadi salah satu film yang berpotensi ikut dalam ajang penghargaan bergeng... thumbnail 1 summary

Film bertema olahraga dengan nilai-nilai kemanusiaan, mungkin menjadi salah satu film yang berpotensi ikut dalam ajang penghargaan bergengsi. Apalagi di akhir-akhir tahun seperti ini, adalah waktu yang tepat untuk merilis film-film dengan tema seperti ini. Southpaw adalah salah satu proyek yang mungkin memiliki materi itu untuk bisa mendapatkan perhatian di ajang-ajang penghargaan bergengsi. Apalagi, film ini disutradarai oleh Antoine Fuqua yang pernah berhasil mendapatkan perhatian para juri ajang penghargaan lewat Training Day.

Southpawdibintangi oleh Jake Gyllenhaal, Rachel McAdams, dan banyak bintang lainnya yang juga memiliki reputasi yang sangat baik di dalam filmnya. Jelas, Antoine Fuqua berharap banyak dengan apa yang dia arahkan di proyek film terbarunya. Pun juga, dengan materi film Southpawmemiliki banyak sekali potensi untuk menjadikannya sebuah film yang mumpuni untuk disaingkan dengan film-film lainnya yang disiapkan sebagai film-film awards nods.

Memang, film arahan Antoine Fuqua ini tak bisa dipungkiri memiliki materi awards yang bisa diandalkan sebagai poin utama dari film ini. Southpaw memang berhasil menyajikan jajaran pemain dengan performa yang kuat. Sayangnya, unsur klise dan beberapa arahan Antoine Fuqua yang terkesan minimalis membuat Southpaw tak bisa memaksimalkan potensi dan materi yang ada di dalamnya. Bisa jadi, Southpawtak bisa mencapai tujuan utama untuk mendapatkan perhatian di ajang penghargaan bergengsi tahun depan.


Billy Hope (Jake Gyllenhaal) seorang petinju ternama yang mendapatkan gelar juara di mana-mana. Ketangguhannya di atas ring, memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Betapa tangguhnya dia, tetap tak bisa dipungkiri bahwa dia adalah seorang ayah dari satu orang anak hasil pernikahannya dengan Maureen (Rachel McAdams). Sang istri setia menemani Billy menyelesaikan pertandingannya. Dan suatu ketika nyawa istrinya direnggut oleh musuhnya di atas Ring ketika mendatangi jamuan makan malam.

Kehidupan Billy Hope pun menjadi kacau balau. Dia sangat emosional dan hubungannya dengan sang anak, Leila (Oona Laurence) pun renggang. Hingga suatu ketika, Leila dan Billy harus hidup terpisah karena Billy dianggap tidak bisa mendidik anak dengan baik. Hal ini semakin menghancurkan kehidupan Billy. Dia pun berusaha bangkit lewat dengan bakat yang dia punya yaitu dunia tinjunya. Dia ingin membuktikan bahwa dia sedang baik-baik saja kepada dunia dan juga anaknya. 


Ketika foto teaser dari Jake Gyllenhaal dirilis di media sosial atau pun portal berita film, banyak sekali respon dari orang yang mengatakan bahwa film ini bisa mendapatkan perhatian di ajang bergengsi. Terlebih, performa Jake Gyllenhaal di setiap film memang tak main-main. Pun benar, Jake Gyllenhaal bermain kelewat apik di dalam film terbaru arahan dari Antoine Fuqua ini. Dia terlihat totalitas menjadi seorang yang badung tetapi memiliki bagian sentimentil tersendiri di dalam dirinya.

Performa Gyllenhaal di dalam film Southpaw memang memiliki performa yang luar biasa. Hanya saja, apa yang diperankan oleh Gyllenhaal ini bukan berarti akan mudah mendapatkan perhatian dari para juri di ajang penghargaan. Bukan berarti itu buruk, pun performa miliknya bisa mengangkat presentasi keseluruhan dari Southpaw yang malah cenderung monoton. Performanya dan juga chemistryGyllenhaal dengan pemainnya adalah penyelamat dari presentasi keseluruhan dari Southpaw arahan Antoine Fuqua.

Southpawmemang akan cenderung memiliki formula-formula yang sudah pernah ada sebelumnya. Cerita seseorang from zero to hero sebagai momok utama di dalam filmnya. Dengan formula yang sudah pernah dipakai sebelumnya, jelas tak bisa dipungkiri bahwa Southpaw memiliki cerita-cerita perjuangan yang klise di beberapa adegan. Hanya saja dibumbui dengan human drama menarik antar ayah-anak yang bisa memberikan konflik di tengah perjuangan Billy Hope. 


Arahan milik Antoine Fuqua pun makin menguatkan kesan mediocre yang ditambatkan ke dalam filmnya. Southpaw pun terkesan episodik di setiap babak penceritaannya. Pun dengan pengarahan yang tak konsisten dari Antoine Fuqua. Plot sampingan di dalam film Southpawpun terlalu banyak. Hasilnya, di paruh kedua filmnya, film ini mengalami penurunan tensi dan tone cerita terkesan berubah. Dan adegan-adegan klise sedikit demi sedikit mulai bermunculan.

Paruh kedua film ini pun mulai tersendat-sendat. Kebangkitan karakter Billy Hope sebenarnya menjadi poin penting dari filmnya. Hanya saja, poin tersebut terkesan hanya sebagai tempelan untuk menambah kerumitan plot utuh dari film Southpaw. Penurunan performa di bagian tengah film ini pun ditambahi dengan pemilihan Forest Whitaker sebagai karakter pendukung yang malah terkesan tak bersemangat. Karakternya sebagai penyulut api semangat dan mendominasi karakter Billy Hope, malah menjauh dari kesan yang harusnya hendak disampaikan oleh Antoine Fuqua.

Presentasi secara keseluruhan di dalam film Southpaw memang tak memiliki sesuatu yang mewah selain dari jajaran nama aktor-aktris dan performa dari mereka. Sehingga, Southpaw tak punya cukup tenaga untuk mendapatkan perhatian untuk bisa bersaing di ajang penghargaan. Tetapi, Southpaw cukup berhasil memberikan performa yang membekas di hati penontonnya, terlebih yang ingin menonton sajian alternatif di tengah film-film yang penuh dengan visual efek. 


Ingin filmnya menjadi salah satu film yang akan mendapatkan perhatian di ajang-ajang bergengsi ternyata malah menyerang balik Antoine Fuqua selaku sutradara. Southpaw tak memiliki presentasi yang sempurna dan cenderung biasa namun dibekali dengan performa luar biasa dari jajaran aktor dan aktrisnya. Apalagi performa Gyllenhaal lah yang menyelamatkan dan menghidupkan film arahan dari Antoine Fuqua ini. Meski tak dapat perhatian dari para juri ajang penghargaan, setidaknya Southpaw bisa mendapatkan hati penontonnya. Dan juga bisa digunakan sebagai alternatif tontonan bagi penonton yang sudah bosan dijejali film penuh visual efek yang bombastis.

Senin, 21 September 2015

EVEREST (2015) REVIEW : Not Really Hike to Top of the Mountain

Film-film dengan berbujet besar dan penuh ledakan yang diedarkan selama musim panas pun akhirnya berakhir. Di kuartal akhir tahun, slot-slot... thumbnail 1 summary

Film-film dengan berbujet besar dan penuh ledakan yang diedarkan selama musim panas pun akhirnya berakhir. Di kuartal akhir tahun, slot-slot besar itu diperuntukkan bagi film-film yang sudah siap bersaing di ajang-ajang bergengsi seperti Golden Globe Awards atau pun Academy Awards. Akan banyak sutradara yang bersaing untuk mendapatkan lini terdepan sebagai jagoan untuk memenangkan beragam penghargaan di dalam ajang bergengsi tersebut.

Salah satu film yang memiliki konten tersebut adalah Everest, arahan dari Baltazar Kormakur. Film ini pun terlihat memiliki konten yang setidaknya bisa diperhitungkan di dalam ajang-ajang bergengsi. Diadaptasi dari sebuah buku berjudul Into Thin Air, Baltazar Kormakur mengarahkan sebuah film yang didasari oleh kejadian nyata tentang para pendaki yang kesulitan untuk mencapai puncak gunung tertinggi dunia. Beberapa nama besar pun ikut andil di dalam film ini seperti Jason Clarke, Josh Brolin, Keira Knightley, dan Jake Gyllenhaal.

Terlalu memiliki ambisi untuk menjadikan film arahannya agar mendapatkan sebuah pengakuan di ajang bergengsi pun malah menyerang balik dirinya. Everest adalah sebuah film drama berdasarkan kisah nyata yang memang memiliki konten yang berpotensi untuk dapat bersaing di sebuah ajang penghargaan. Hanya saja, Baltazar Kormakur memiliki pengarahan yang sangat hati-hati dan malah cenderung bermain aman. Hasilnya, Everest pun tak dapat memberikan performa yang sesuai dengan ekspektasi penontonnya. 


Rob Hall (Jason Clarke), seorang pendaki yang ingin mencapai puncak tertinggi di dunia yaitu gunung Everest. Dia pun mengajak teman-temannya seperti Beck (Josh Brolin), Doug (John Hawkes), dan masih banyak lagi untuk melakukan ekspedisi terakhir tersebut. Setibanya di sana, dia bertemu dengan Jon (Michael Kelly) dan Helen (Emily Watson) untuk melakukan rencana perjalanan agar ekspedisi yang mereka lakukan berhasil. 

Ketika semua sudah dipersiapkan, mulai dari kesehatan, jalanan di sana, dan banyak hal lainnya, mereka memulai perjalanan ekspedisi mereka. Tetapi, mereka harus tiba di sana tepat waktu agar tak terkena badai salju besar yang bisa menewaskan mereka. Sayangnya, perjalanan mereka di sana tak terlalu lancar. Mereka harus dihadapkan oleh beberapa masalah kecil yang tak membuat mereka terhambat. Mereka berhasil menuju puncak, tetapi ketika mereka melakukan perjalanan kembali ke dataran rendah, badai salju besar tersebut menerpa mereka.


Badai salju tak hanya datang menerpa para karakter yang ada di dalam film Everest, tetapi badai itu pun menyerang keseluruhan presentasi yang diarahkan oleh Kormakur. Baltazar Kormakur tak berusaha untuk menjadikan Everest memiliki performa yang sama tingginya dengan latar tempat utama mereka. Banyak sekali beberapa poin yang hilang ketika menyaksikan Everest secara utuh dengan durasi mencapai 121 menit.

Baltazar Kormakur ingin menjadikan Everest sebagai film yang memiliki kekuatan emosional. Dengan banyaknya nama terkenal di dalam lini pemainnya, Everest pun tak bisa memaksimalkan salah satu poin penting di dalam sebuah film. Everest ingin membuat filmnya menjadi sebuah film slow-burn drama dengan pengaruh yang besar bagi penontonnya. Sayangnya, Baltazar Kormakur belum mempunyai kompetensi untuk mengangkat semua cerita yang ada di dalamnya. 


Jalan terjal film Everest pun terlalu banyak. Tak seperti karakternya yang berhasil menuju puncak gunung tertinggi tersebut, Everest tak berhasil mencapai puncak emosi yang seharusnya menjadi senjata utama bagi Everest. Permainan emosi yang dihadirkan oleh Baltazar Kormakur tetap hadir, hanya saja di beberapa bagian tertentu. Sehingga, tujuan utama Everest untuk menghadirkan pengaruh yang besar bagi penontonnya pun tak bisa tercapai maksimal.  

Memiliki banyak karakter yang ikut andil ke dalam filmnya pun membuat Baltazar Kormakur kebingungan untuk memberikan spotlight kepada siapa di filmnya. Ketika seharusnya spotlight besar ditujukan kepada Jason Clarke, jatuhnya semua karakter memiliki porsi yang sama dan ini bukanlah sesuatu yang baik. Hal tersebut lah yang memengaruhi bagaimana performa Everest yang menyebar segala tensinya ke setiap karakternya dengan merata. Sehingga, tak ada adegan yang membuat siginifikansi emosi bagi penontonnya.

Dengan durasi mencapai 120 menit, beberapa bagian di film arahan Baltazar Kormakur ini pun terasa hambar. Penonton akan kebingungan dan terus mencari mana yang menjadi sebuah titik puncak dari Everest yang seharusnya memiliki dasar konten yang kuat. Di dalam presentasi secara keseluruhan, Baltazar Kormakur lupa dengan tujuan dan konten yang bisa menjadikan film Everest bisa tampil jauh lebih baik dari apa yang sudah dikemas sekarang.


Beruntung adalah bagaimana Everest mampu menampikan visual-visual menarik. Hal tersebut setidaknya membuat penonton bisa merasakan perjalanan ekspedisi menuju salah satu gunung tertinggi di dunia. Dengan berbagai cara pengambilan gambar yang menarik, setidaknya Everest memiliki sisi positif di bagian teknisnya. Pun, cara pengambilan gambar yang menarik itu berhasil mendukung format tiga dimensi sebagai salah satu alternatif cara untuk menonton film ini. 

Memiliki konten yang bisa masuk menjadi salah satu daftar film yang dapat bersaing di ajang bergengsi, nyatanya Everest tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Everest seharusnya mampu untuk tampil lebih maksimal dari pada yang hasil akhir yang diarahkan oleh Baltazar Kormakur. Arahan darinya tak bisa menangkap emosi yang secara konstan hadir di dalam 120 menit durasinya. Pun, dengan jajaran aktor-aktris dengan nama yang besar, Everest pun tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Beberapa bagian film ini pun terasa hambar dan tak semenarik dari seharusnya.
Film Everest pun tak lupa untuk dirilis dalam format tiga dimensi dan salah satunya dirilis dalam format IMAX 3D. Berikut rekapan format tiga dimensi IMAX.

DEPTH
 

Kemegahan luar biasa ditampilkan oleh film Everest lewat teknik pengambilan gambar. Dan dengan format tiga dimensi, kedalaman gambar pun tampak nyata

POP OUT 
Meski tak berapa banyak, efek ini di dalam format tiga dimensinya menyokong suasana dingin filmnya lewat butiran-butiran salju yang berhasil keluar dari layar.
Format tiga dimensi dari Everest sangat layak untuk disaksikan. Terlebih, ketika kalian menyaksikannya dalam format IMAX yang berhasil menangkap kemegahan Everest.

Sabtu, 19 September 2015

MAZE RUNNER : THE SCORCH TRIALS (2015) REVIEW : Another Victim of Sequel Disease

Buku-buku Young Adult dengan tema paska kehancuran banyak sekali diproduksi dan diminati oleh beberapa penulis. Pun, hal tersebut digunakan ... thumbnail 1 summary

Buku-buku Young Adult dengan tema paska kehancuran banyak sekali diproduksi dan diminati oleh beberapa penulis. Pun, hal tersebut digunakan oleh beberapa rumah produksi untuk mengeruk keuntungan dengan membeli lisensi dari buku tersebut. Ada The Hunger Games dan Divergent yang sudah mendapatkan hati di penontonnya dan rumah produksi. 20th Century Fox pun tak mau ketinggalan dengan rumah produksi yang lain untuk membeli lisensi dari buku Young-Adult terlaris.

Dan 20th Century Fox memutuskan untuk mendapatkan lisensi dari buku karangan James Dashner, The Maze Runner. Buku miliknya adalah sebuah trilogi yang ketiganya mendapatkan plakat terlaris di beberapa majalah. Film pertama dari seri ini telah dibuat filmnya di tahun 2014 dan memiliki performa yang cukup menyenangkan untuk diikuti. Dengan respon yang baik dari penonton, kritikus, dan pendapatan, lampu hijau untuk memproduksi sekuel dari The Maze Runner pun diberikan oleh 20th Century Fox kepada Wes Ball, sang sutradara.

The Maze Runner berhasil menyajikan konflik-konflik penuh misteri yang membuat penontonnya akan terus menanyakan apa yang ada selanjutnya. Dengan performan yang tak disangka cukup baik, sekuel The Maze Runner pun mendapat antisipasi yang cukup tinggi dari penontonnya. Maze Runner :  The Scorch Trials –judul dari sekuelnya –memiliki penurunan performa dan tak dapat membuat penontonnya bertahan menyaksikan apa yang coba dipresentasikan oleh sang sutradara. Meskipun, petualangan dari Scorch Trials lebih banyak daripada The Maze Runner. 


Setelah berhasil lolos dari Maze, para penghuni Glade diusung ke sebuah tempat pertahanan orang-orang yang juga berhasil lolos dari Maze yang dibuat oleh WCKD. Dengan berhasilnya lolos dari Maze tersebut, Thomas (Dylan O’ Brien) merasa bahwa dirinya dan teman-temannya sedang dalam kondisi yang aman. Ternyata, suasana yang tenang di tempat mereka bukanlah sesuatu yang baik artinya. Thomas dan teman-temannya ternyata sedang terperangkap oleh rencana jahat dari WCKD.

Mereka yang sudah berhasil ternyata sedang dijadikan sebuah kelinci percobaan untuk menemukan obat penawar dari wabah Flare yang telah menghancurkan kota mereka. Thomas yang merasa dirinya sedang terancam bahaya mengajak Minho (Ki Hong Lee), Newt (Thomas Brodie-Sangster), dan teman-teman Glade lainnya untuk keluar dari tempat tersebut dan mencari Right Arm untuk menemukan penawar wabah tersebut. Dibantu oleh Aris (Jacob Lofland), mereka melakukan pelarian untuk menemukan Right Arm. 


Ada poin yang berbeda dari The Maze Runner dan The Scorch Trials. Di dalam The Maze Runner, penonton akan diajak untuk menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam ceritanya. Sehingga, semua petunjuk akan disimpan erat-erat oleh sang sutradara agar dapat memberikan respon yang lain di akhir filmnya. Dan Scorch Trials, memiliki jalan cerita yang melulu straight-forward dan bisa membuat jengah penontonnya meskipun seharusnya memiliki kompleksitas cerita yang lebih.

Wes Ball pun lupa untuk menjadikan The Scorch Trials sebagai sajian yang bisa menahan penontonnya untuk tetap memandang layar. The Scorch Trials sepertinya memiliki misi untuk bisa mengolah lebih konflik yang diadaptasi dari buku James Dashner ini dengan lebih baik. Hal tersebut pun berpengaruh kepada durasi yang dimiliki oleh Maze Runner : The Scorch Trials ini. Dengan durasi 131 menit, seharusnya bisa digunakan dengan maksimal oleh Wes Ball untuk menjadikannya padat dan memiliki kompleksitas yang ia harapkan.

Tetapi, hal tersebut disia-siakan oleh Wes Ball untuk mengolah The Scorch Trials menjadi sajian yang setidaknya memiliki unsur misteri yang kental seperti film sebelumnya. 131 Menit milik The Scorch Trials pun penuh dengan cara bertutur Wes Ball yang bertele-tele untuk menyampaikan konflik utama dari filmnya sendiri. Banyak sekali adegan-adegan yang dipanjang-panjangkan dan tak diperhatikan. Hasilnya, Wes Ball pun terlihat kuwalahan untuk menyampaikan konflik cerita The Scorch Trials. 


Pengarahan yang kurang kuat dari Wes Ball ini pun berpengaruh dengan bagaimana performa filmnya. Di paruh keduanya, ritme The Scorch Trials pun terlihat melambat dan berjalan di tempat. Banyak hal yang perlu diceritakan di dalam naskah yang ditulis oleh T.S. Nowlin tetapi malah Wes Ball seperti pusing sendiri untuk mencari jalan bagi The Scorch Trials. Dan di paruh akhir, Wes Ball terlihat sangat berusaha untuk mengembalikan ritme The Scorch Trials. Hanya saja, usaha tersebut memiliki sisa kekuatan yang tak banyak.

Beruntungnya, The Scorch Trials memiliki semangat petualangan yang cukup baik. Wes Ball tetap bisa memberikan beberapa adegan yang membuat penontonnya merasakan ketegangan di setiap petualangan Thomas dan kawan-kawan Glade-nya. Beberapa jump scares dan thrill di beberapa adegan masih memiliki performa yang cukup baik. Dan hal-hal itu menjadi senjata utama dari The Scorch Trials yang memiliki kelemahan dalam hal pengarahan filmnya. 


Dengan perubahan pola dari The Maze Runner ke The Scorch Trials, hal tersebut bukanlah jimat yang baik untuk performa dari film sekuelnya. Terlihat kebingungan untuk mengarahkan konflik yang lebih berkembang, Wes Ball pun menjadikan Maze Runner : The Scorch Trials menjadi sajian yang cukup melelahkan untuk diterima oleh beberapa penonton. Meskipun, suasana yang thrilling dan tensi yang kuat di beberapa bagian cukup membuat Maze Runner : The Scorch Trials bisa dinikmati, tetapi keseluruhan presentasinya jelas masih di bawah film predesesornya.

ads