Senin, 23 Maret 2015

THE DIVERGENT SERIES : INSURGENT (2015) REVIEW : Bigger Visual, Sacrificing Other Element

Tak perlu khawatir, film dengan embel-embel adaptasi buku best seller tahun ini akan semakin banyak. Terutama pada buku dengan genre young-a... thumbnail 1 summary

Tak perlu khawatir, film dengan embel-embel adaptasi buku best seller tahun ini akan semakin banyak. Terutama pada buku dengan genre young-adult yang sebenarnya memiliki formula yang sama dari satu buku ke buku yang lain. Seri penutup The Hunger Games, babak kedua dari The Maze Runner, dan masih banyak lagi buku-buku young adultmeski bukan tema dystopian yang diangkat ke dalam sebuah gambar bergerak.

Maka, di bulan Maret ini adalah giliran untuk babak kedua dari buku karangan Veronica Roth. Insurgent, lanjutan dari Divergent ini memiliki kesempatan untuk menunjukkan diri terlebih dahulu ketimbang buku-buku best seller lainnya. Setelah Divergent yang berhasil memikat penonton dan pendapatan yang luar biasa, tentu Summit Entertainment tak akan segan-segan untuk memberikan lampu hijau kepada seri keduanya.


Insurgent kali ini mengalami perubahan di departemen penyutradaraan. Neil Burger tak kembali mengarahkan filmnya, tetapi mengawasi babak kedua dari Divergent. Tongkat kekuasaannya diberikan kepad Robert Schwantke. Di dalam departemen penulisan naskah pun, harusnya Insurgent memiliki sesuatu yang lebih dibandingkan dengan Divergent. Adanya nama seperti Akiva Goldsman yang sudah memiliki jam terbang tinggi meskipun dia bekerja di dalam tim bersama dengan Brian Duffield dan Mark Bomback.

Sayangnya, meskipun ada nama Akiva Goldsman di dalam filmnya, Insurgent memiliki narasi yang sangat terbatas di dalam efek visualnya yang semakin megah. Perjalanan Insurgent dalam bertutur melewati perjalanan panjang yang berbatu. Tak seperti Divergent yang setidaknya menghibur penontonnya dengan jalan cerita dan bertutur yang masih menyenangkan meski di dalam durasi yang lebih panjang ketimbang Insurgent. 120 menit milik Insurgent memiliki ritme yang tak menentu dan adegan yang hambar. 


Insurgent pun menceritakan bagaimana Tris (Shailene Woodley) dan Four (Theo James) yang kabur dari serangan para dauntless. Mereka bersama Caleb (Ansel Elgort) dan Peter (Miles Teller) bersembunyi di markas milik Amity dengan berbagai syarat. Tetapi tak lama, para Dauntless yang sudah bersekongkol dengan Erudite datang dan mencari Tris, Four, dan kawanannya tersebut. Mereka kembali kabur dan bersembunyi di tempat Para Non-Faksi (Factionless)

Di sana mereka mulai mencoba untuk membangun sebuah pasukan besar untuk melawan Erudite, terutama untuk melawan Jeanine (Kate Winslet). Tetapi, Jeanine sedang melakukan pencarian besar-besaran terhadap Divergent yang kuat untuk membuka suatu kotak rahasia yang berisikan sesuatu. Tris berusaha keras agar dapat menghindar atas rencana jahat dari Jeanine. Karena, sesuatu di dalam kotak tersebut akan mengubah sesuatu yang sangat besar. 


Poin pertama yang tetap menjadi luka di dalam seri Divergent adalah bagaimana karakter-karakter di dalam film ini tak memiliki penggalian karakter yang lebih dalam. Semua karakter hadir hanya untuk sekedar formalitas adaptasi dari buku ke sebuah gambar. Hanya sekedar tampil beberapa detik sehingga di dalam beberapa poin penting karakter tersebut tak memiliki relevansi dengan subplot cerita yang seharusnya bisa tampil lebih kuat.

Tak hanya memiliki keterbatasan dalam mengembangkan latar belakang karakternya saja, tetapi bagaimana Robert Schwantke belum bisa menyampaikan cerita di dalam filmnya dengan baik. Beberapa akan terlihat sangat mentah dalam menyajikan setiap konflik yang sebenarnya akan bisa tampil kuat. Sayangnya, emosi yang sepertinya sudah tertuang di dalam screenplay milik Akiva Goldsman bersama dua orang temannya tak dapat tergambarkan ke dalam gambar bergerak. Akhirnya, beberapa poin akan terasa sangat hambar.

Beruntunglah, Insurgent memiliki efek visual yang jauh lebih megah ketimbang seri pertamanya, Divergent. Mungkin karena sudah tahu bahwa Insurgent sudah memiliki crowd yang besar, maka dari itu Summit Entertainment, selaku Production House yang menaungi seri ini, tak segan dalam memberikan dukungan untuk menyokong film ini dalam segi teknis. Hasilnya, beberapa cerita yang menggunakan visual effect, berhasil menangkap momen-momen indahnya. Robert Schwantke tahu benar bagaimana memperlakukan filmnya agar terlihat lebih megah meski haru mengorbankan narasi.


Pun juga dengan Shailene Woodley yang berusaha memberikan performa akting yang totalitas. Tetapi, apa gunanya jika totalitas dalam berlakon itu ternyata hanya diberikan oleh performa Shailene Woodley semata. Ya, dia adalah karakter sentral di film ini, tetapi masih ada Ansel Elgort, Miles Teller, yang tak memiliki kesempatan untuk menunjukkan performa gemilangnya di dalam film ini. Begitu pun dengan Theo James yang juga karakter utama, performanya terasa hampa. Untungnya ada beberapa nama besar seperti Kate Winslet dan Naomi Watts yang mampu menaikkan tensi filmnya.

Maka, Divergent yang sudah membuat penontonnya memberikan patokan tinggi harus siap untuk dikecewakan. Insurgent adalah sebuah penurunan presentasi meskipun tak semua bagiannya tak bisa dinikmati. Insurgent memiliki keterbatasan luar biasa di dalam narasinya yang harusnya dapat memberikan drama thought-provoking dengan balutan aksi dan visual effect yang tampil megah. Tetapi, Robert Schwantke pun tak dapat menyampaikan pesan-pesan yang sepertinya sudah tertulis baik di dalam naskah milik Akiva Goldsman dan timnya. Maka, tak urungkan niat untuk terlalu menantikan seri terakhirnya, Allegiant, yang akan terbagi dua bagian.

Minggu, 22 Maret 2015

THE SPONGEBOB MOVIE : SPONGE OUT OF WATER (2015) REVIEW : Act Dumb, Think Smart [With 3D Review]

Sponge Bob Square Pants, makhluk dari spons yang hidup di Bikini Bottom lebih dulu hadir lewat serial kartunnya dari tahun 1999. Sponge Bob ... thumbnail 1 summary

Sponge Bob Square Pants, makhluk dari spons yang hidup di Bikini Bottom lebih dulu hadir lewat serial kartunnya dari tahun 1999. Sponge Bob pun semakin diidolakan oleh anak-anak pada masa itu dan masih menyapa hingga sekarang di suatu stasiun televisi. Tak salah, jika Sponge Bob menjadi satu ikon anak-anak yang sebenarnya memiliki selera humor yang berbeda dari serial animasi lainnya. Pun pernah hadir dalam format layar lebar di tahun 2004.


The SpongeBob Square Pants Movie, film pertama dari makhluk spons yang humoris ini cukup mendapat sambutan hangat dari para kritkus dan sambutan riuh dari para fans. Maka, selang 11 tahun, SpongeBob kembali hadir menyapa penontonnya lewat film layar lebar terbarunya. The SpongeBob Movie : Sponge Out of Water, fitur film kedua milik makhluk spons dan teman-teman lautnya diarahkan oleh Paul Tibbit yang sering kali mengarahkan episode-episode SpongeBob di Televisi. 


SpongeBob Square Pants memang terkenal dengan jokes-nya yang aneh, hal itu terlihat pula di trailer Sponge Out of Water. Terlihat benar Paul Tibbit mencoba memindahkan segala bentuk canda tawa liar dan imajinasi tingkat tinggi –bahkan sudah hampir gila –ke dalam fitur film keduanya. Pun, formula cerita pun sebenarnya masih memiliki satu poin besar tentang formula krabby patty yang hilang. Dan disinilah tugas SpongeBob (Tom Kenny) untuk menemukan formula krabby patty yang hilang.

Tetapi, ada yang berbeda dengan hilangnya formula krabby patty kali ini. Memang, pada awalnya Plankton (Mr. Lawrence) yang berusaha mencuri dari Mr. Krabs (). Tetapi, tiba-tiba formula itu hilang tanpa sisa. Bikini Bottom pun sangat kacau karena Krabby Patty tak lagi produksi dan para penduduk Bikini Bottom menginginkannya. SpongeBob mencium bau Krabby Patty yang hilang itu, bersama teman-temannya mereka mengemban misi untuk menemukan Krabby Patty. 


Masalah terbesar dari SpongeBob Square Pants, mulai dari serial animasinya hingga fitur film pertamanya, adalah formula Krabby Patty yang entah hilang atau dicuri oleh Plankton. Dan, di film keduanya pun, tetap menggunakan formula cerita yang sama tetapi dengan kemasan yang berbeda. Jokes SpongeBob memang terkesan lebih aneh daripada film-film animasi pada umumnya. Begitupun dengan Sponge Out of Water.

Jelas, film ini tak akan bisa memenangkan perhatian penonton awam yang baru saja mengenal SpongeBob lewat fitur film keduanya. Apalagi, penonton anak-anak yang tiba-tiba akan jatuh cinta dengan karakter SpongeBob. Meskipun ini film animasi, tetapi Sponge Out of Water ini memiliki candaan yang lebih dewasa. Akan banyak beberapa bagian yang sebenarnya tak compatible untuk disaksikan oleh anak di bawah usia 13 tahun.

Sponge Out of Water memang tak seperti The SpongeBob Square Pants Movie yang lebih adventurous dan lebih menyenangkan. Juga, Fitur film pertamanya akan lebih memiliki straight point plot yang lebih jelas ketimbang film fitur keduanya kali ini. Tetapi, Sponge Out of Water ini memiliki treatment yang berbeda dan menjadi salah satu film animasi paling aneh tapi sangat menyenangkan yang pernah kalian rasakan dan pernah kalian tonton. 


Di mana lagi kalian akan menyaksikan petualangan paling liar dan paling aneh di dalam film animasi. Di mana lagi kalian akan melihat para makhluk laut di film ini berada di luar angkasa, bertemu dengan lumba-lumba dengan lambang iluminati di dalam filmnya. Oh, tak perlu diambil serius tentang penggunaan lambang iluminati itu. Tak perlu sangkut pautkan dengan hal-hal lain, jelas Sponge Out of Water menyuruh kita untuk mematikan otak dan lihat saja kelakuan bodoh dan liar dari makhluk spons ini.

Sebenarnya, Sponge Out of Water pun memiliki beberapa referensi pop yang sangat menyenangkan dan membuat tawa renyah. Tetapi, Bagaimana para Glenn Burgers menuliskan naskah yang berasal dari otak Paul Tibbit dan Stephen Hillenburg ini dengan pintar. Sponge Out of Water menyelipkan komedi-komedi sarkastik yang disembunyikan lewat tingkah-tingkah bodoh para karakternya. Tak perlu berlebihan berusaha untuk menjadi pintar, malah film ini berusaha untuk kelihatan bodoh untuk mengejek orang-orang yang terlalu serius mengikuti filmnya. 


Sponge Out of Water memberikan humor tentang orang-orang yang tak tahu ataupun berusaha tak ingin tahu. Semua disampaikan lewat adegan-adegan dan petualangan yang penuh liku-liku dengan simbol-simbol aneh yang tak dapat semua orang nikmati seluruhnya. Bercampur dengan Live-action movie, tetapi sayangnya hal tersebut hanya seperti tempelan untuk memperlihatkan bagaimana Sponge Out of Water bisa memaksimalkan teknologi canggih yang sudah ada. Oh, SpongeBob dan teman-temannya terlihat lebih menggemaskan di sana.

Pada akhirnya, orang yang memutuskan untuk menonton The Spongebob Movie : Sponge Out of Water harus mengambil resiko untuk menikmati setiap keanehannya. Karena begitulah SpongeBob mulai di setiap episode serialnya atau fitur film pertamanya. Meskipun, tingkat keanehan di film Sponge Out of Water mengalami peningkatan dua kali lipat daripada fitur film pertamanya. Tetapi, Sponge Out of Water adalah film animasi yang cerdas tetapi tak perlu sombong memperlihatkan kepintarannya dan terlihat apa adanya. Dan ya, begitulah sifat SpongeBob di setiap animasinya. 


The SpongeBob Movie : Sponge Out of Water pun ikut dirilis dalam format tiga dimensi untuk memaksimalkan animasinya.

DEPTH
Efek Depth yang sangat terasa jelas ketika film ini masih belum memasuki babak live-action movie. Tetapi ke animasinya yang dua dimensi tetapi menyenangkan. Bikini Bottom terasa begitu dekat

POP OUT
Saksikan Spongebob, Patrick, Squidward, Mr. Krabs, dan Sandy di depan matamu. 


Jelas, film The SpongeBob Movie : Sponge Out of Water akan lebih menyenangkan disaksikan dalam format tiga dimensi. Bukan hanya animasi filmnya saja yang ter-upgrade menjadi tiga dimensi. Tetapi, format filmnya juga dimaksimalkan untuk menyapa penontonnya.

Sabtu, 21 Maret 2015

CINDERELLA (2015) REVIEW : Old-Fashioned Fairy Tale Without Lose it Magic

Dongeng sebelum tidur kembali dihadirkan di zaman yang sudah serba modern . Sesuatu hal yang menyenangkan ketika akhirnya anak-anak di era i... thumbnail 1 summary

Dongeng sebelum tidur kembali dihadirkan di zaman yang sudah serba modern. Sesuatu hal yang menyenangkan ketika akhirnya anak-anak di era ini kembali merasakan dan mengetahui cerita indah di negeri dongeng ini. Tetapi, sayangnya, dongeng-dongeng itu mengalami beberapa perubahan agar bisa mendapatkan pasar yang lebih besar dan lebih universal. Cerita-cerita usang itu entah diceritakan dengan adanya pendewasaan karakter, lebih gelap, atau ingin membuat dongeng tersebut memiliki cerita yang lebih multidimensional daripada sebelumnya.

Snow White, Sleeping Beauty, dan Alice in Wonderland sudah pernah mengalami penceritaan kembali dan mengalami ekspansi di film-film mereka. Dan tak sedikit dari film-film tersebut tak bisa mendapatkan daya magisnya layaknya dongeng-dongeng yang mereka jadikan kiblat. Sekarang, giliran dongeng Cinderella yang dijadikan film live-action oleh Disney dan disutradarai oleh Kenneth Branagh. Uniknya, Cinderella versi baru ini tak perlu mengubah cerita dan mencoba untuk tetap setia dengan sumber aslinya. 


Bagi yang sudah mengenal dongeng Cinderella, pasti sudah sangat tahu seperti apa persisnya cerita dari Cinderella ini. Bermula dari Ella (Lily James) yang hidup bahagia dengan kedua orang tuanya. Tetapi, sang Ibu harus meninggalkan Ella karena sakit yang berkepanjangan. Setelah beberapa tahun, sang Ayah bertemu dengan seseorang bernama Lady Tremaine (Cate Blanchett). Wanita yang sedang digila-gilai oleh ayah Ella memiliki dua anak, Drisella (Sophie McShera) dan Anastasia (Holliday Grainger). Mereka pun menikah dan Ella kembali memiliki sosok ibu di dalam hidupnya.

Tetapi, ketika sang Ayah kembali merantau, berita buruk menghampiri Ella. Sang ayah meninggal saat perjalanan kembali ke rumah karena sakit yang tak kunjung sembuh. Ibu Tiri Ella dan kedua kakak tirinya menganggap Ella sebagai seorang pembantu yang harus melayaninya setiap saat. Tetapi ditengah penderitaannya, Ella malah bertemu dengan seorang pangeran tampan bernama Kit (Richard Madden) dan dia jatuh cinta padanya. 


Sebuah langkah yang mengejutkan dari Kenneth Branagh, ketika memutuskan untuk membuat film Cinderella miliknya ini menjadi film yang sangat setia dengan dongengnya. Mungkin akan menjadi sebuah resiko yang cukup besar juga, karena Cinderella tak menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan dongengnya yang sudah sering penontonnya dengar. Sehingga, penonton merasa tak memiliki alasan untuk harus menyaksikannya dalam layar besar.

Tetapi, Disney tahu benar pangsa mereka, Cinderella pun dikemas dalam kemasan yang menarik sehingga penonton akan berbondong-bondong pergi menyaksikan filmnya. Tanpa perlu mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari dongengnya, Cinderella mampu merekap cerita yang sudah usang itu menjadi sajian dengan tutur yang sangat lembut tanpa meninggalkan kemagisan dongeng aslinya. Ya, 100 menit milik Cinderella ini adalah cara instan untuk mendapatkan cita rasa klasik dongengnya.

Tanpa mengemban misi yang berlebihan, Cinderella berhasil menyajikan sesuatu yang sederhana. Malah, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil mengeluarkan daya magisnya dan menciptakan suasana negeri dongeng yang kental. Juga disokong oleh Chris Weitz dalam departemen naskahnya yang mampu bertutur dengan sangat lembut. Juga diwarnai dialog-dialog cerdas tanpa yang masih menunjukkan kemewahan dan sikap anggun seperti karakter-karakternya. 


Memang tak melulu Cinderella milik Kenneth Branagh ini sangat setia dengan sumber aslinya. Lewat naskah milik Chris Weitz juga, Cinderella menjadi lebih kaya cerita dibandingkan dongeng sebelumnya. Terlebih, pengembangan karakternya pun tak menjadi komikal layaknya sumber aslinya. Para karakter –terutama karakter antagonis –menjadi lebih multidimensional dan berhasil memiliki yang sebenarnya bertujuan mengekspansi tetapi dalam batas yang wajar. Bukan serta merta memperluas sudut pandang, tetapi lebih kepada menunjukkan sisi vulnerable dari setiap karakternya.

Cinderella versi Kenneth Branagh ini tak hanya menjual mimpi seorang gadis untuk mendapatkan pria idamannya. Tetapi, ada sisi emosional tentang keluarga, berbuat baik, keberanian, dan cinta yang tak hanya berasal dari pasangan, tetapi dari siapapun itu. Dan sang sutradara berhasil menyampaikan setiap detil pesan dengan sangat baik dan penonton sangat bisa memiliki relasi yang kuat karena bagaimana Kenneth Branagh sangat kuat dalam mengarahkan filmnya.

Tak perlu diragukan masalah production value di dalam film Cinderella. Kostum, setting tempat, dan detil-detil lainnya tentu akan digarap dengan serius. Sehingga, segalanya nampak serasi dan menghibur mata yang memandang layaknya Cinderella yang baru mendapat gaun baru dari sang Ibu Peri. Juga, penataan kamera yang menarik sehingga terlihat memaksimalkan format IMAX yang digunakan di film ini. Tanpa efek tiga dimensi, gambar-gambar di film ini terasa dekat di mata penontonnya. 


Daya magisnya pun dikuatkan oleh performa hebat dari para aktor dan aktrisnya. Lily James sangat berhasil menjadi sosok yang gampang mendapat simpati penonton saat memerankan Cinderella. Begitu pula dengan Cate Blanchett yang tak perlu diragukan lagi memerankan sosok antagonis, Lady Tremaine, tanpa kehilangan keanggunannya. Penampilan singkat tapi memikat dari Helena Bonham Carter sebagai Fairy God Mother juga dapat menarik perhatian penontonnya.

Tanpa perlu memegang ambisi untuk menjadi lebih besar dari sumber dongeng aslinya, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil merangkum dan mencapai segala kemagisan sumber aslinya. Bukan hanya menceritakan kembali, tetapi juga memperkaya cerita dengan menyelipkan pesan-pesan tentang mimpi dan harapan. Maka, Cinderella adalah sebuah bukti bahwa tak perlu berambisi untuk mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari sebuah dongeng. Cukup dengan setia dengan sumber, bertutur dengan lembut dan arahan yang kuat, akan ada sebuah keajaiban datang ke dalamnya.

 

Minggu, 15 Maret 2015

CHAPPIE (2015) REVIEW : Crappie Things with Big Message

Neil Blomkamp sempat membuat karya sensasional untuk debut pengarahannya. District 9, karya pertama miliknya mampu tembus Best Picture pada... thumbnail 1 summary

Neil Blomkamp sempat membuat karya sensasional untuk debut pengarahannya. District 9, karya pertama miliknya mampu tembus Best Picture pada perhelatan penghargaan film terbesar, Academy Awards di tahun 2010. Berselang 4 tahun, Elysium rilis dan mendapatkan mixed reviews dari para kritikus dan juga para penikmat film. Maka, 2015 ini Neil Blomkamp kembali hadir menyapa penonton bioskop dengan film terbarunya.

Neil Blomkamp yang selalu bermain di genre science fiction, kembali menghadirkan genre ini di dalam film terbarunya berjudul Chappie. Chappie dibintangi oleh Hugh Jackman, Dev Patel, dan juga aktris legendaris yang terkenal lewat film Alien, Sigourney Weaver. Dibintangi oleh bintang-bintang besar pun belum tentu menjadi jaminan bahwa Chappie akan berhasil memberikan performan terbaiknya. Chappie memiliki pesan yang sangat indah tetapi presentasinya tak mampu mengangkat pesan yang indah itu.


Di dunia yang sudah teramat canggih, sebuah perusahaan besar membuat sebuah intelegensi buatan untuk membuat dunia aman. Robot-robot diciptakan untuk menjadi pembasmi kejahatan menggantikan tugas polisi. Dan, robot-robot itu dibuat oleh seseorang bernama Deon Wilson (Dev Patel). Robot buatannya berhasil menangkap gembong-gembong mafia besar dan ternyata malah membuat Deon dalam kesulitan yang sangat besar.

Deon yang merasa tidak puas dengan robot buatannya, membuat robot yang memiliki tingkat intelegensi yang sama dengan manusia. Di tengah dia akan membuktikannya, Deon harus berhadapan dengan mafia-mafia besar yang menginginkan robotnya. Alhasil, robot yang baru akan dia uji diberikan kepada gembong mafia tersebut karena banyak sekali ancaman. Robot itu dinamai Chappie (Sharlto Copley), robot yang memulai kehidupannya layaknya seorang bayi yang baru lahir di muka bumi.

Chappie memiliki pesan-pesan indah yang memiliki presentasi berbanding terbalik dengan pesan indah tersebut. Akan banyak sekali simbol-simbol dan lambang yang direpresentasikan ke dalam adegan-adegan film arahan Neil Blomkamp ini yang bisa dikaji secara teoritis tentang seorang pencipta, tuhan, atau pun sekedar pergeseran hirarki antara manusia dan teknologi yang sudah semakin jelas terlihat pada era globalisasi ini. 


Sayangnya, Neil Blomkamp tidak bisa menata rapi isi dari Chappie yang begitu indah. Skrip yang ditulisnya sendiri bersama dengan Terri Tatchell tidak memberikan karakterisasi yang kuat dan bisa relate kepada penontonnya. Alih-alih ingin menceritakan sudut pandang lain dari karakter yang dibuatnya, malah penonton akan merasa sangat kesal dengan bagaimana karakterisasi dangkal dari segala karakter di dalamnya.

Belum lagi diperparah dari bagaimana narasi film ini yang berjalan sangat kacau balau. Akan ada beberapa subplot yang sebenarnya tak terlalu menganggu poin besar dalam film Chappie. Tetapi, bagaimana Neil Blomkamp dan Terri Tatchell memadu dan memadankan subplot-subplot dengan poin besar di dalam filmnya belum begitu rapi. Sehingga, menyia-nyiakan pesan-pesan metaforik yang seharusnya akan lebih mengena kepada penontonnya ketika subplot tersebut berhasil disampaikan dengan cara yang lebih menarik dan halus.

Lupakan bagaimana hebatnya Neil Blomkamp di film lamanya, District 9 yang mampu mempresentasikan film debutnya tanpa perlu visual besar tetapi mengena di hati penontonnya. Maka, Neill Blomkamp ingin sekali mencerminkan kembali kesederhanaan District 9 ini ke dalam film terbarunya, Chappie. Tetapi, sang sutradara tak melupakan bagaimana dia sudah pernah besar lewat film Elysium sebagai film keduanya. Alhasil, Chappie seperti sebuah rangkuman dari kedua film milik Blomkamp yang pernah dia rilis. 


Jika sudah ada yang pernah menonton kedua film tersebut, maka tak usah heran jika akan merasakan sedikit nostalgia dengan beberapa adegan di dalam film Chappie. Terutama ending yang mencomot dari film District 9 untuk menyampaikan pesan indah terselubung di dalam film Chappie. Film terbaru milik sutradara Neill Blomkamp ini ingin sekali menggabungkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam filmnya. Tetapi, kekuatan-kekuatan itu berubah seketika menjadi kelemahan dan masalah yang paling besar di dalam film milik Blomkamp ini.

Jelas, daya tarik Chappie adalah Hugh Jackman dan Sigourney Weaver, untung-untung Dev Patel juga bisa jadi daya tarik. Tetapi, selain dua nama tersebut, Chappie tak memberikan hal baru di dalam filmnya. Chappie akan terlihat sebagai film kelas B dengan pemain-pemain kelas A. Didukung dengan presentasinya yang –entah disengaja atau tidak –berantakan, setting tempat yang kumuh, juga pengembangan karakternya yang tak kuat. 

 
Toh, pada akhirnya Chappie yang ingin sekali menyelipkan kritik-kritik sosial yang tajam soal stereotyping, anomali karakter, pesan tersembunyi tentang seorang pencipta atau tuhan, dan juga pergeseran hirarki manusia terbuang sia-sia. Pesan-pesan besar yang sebenarnya tak disampaikan dengan ambisius akhirnya gagal dengan bagaimana presentasi secara keseluruhan di dalam film terbaru milik Neil Blomkamp. Karakterisasi yang dangkal, subplot yang tak dapat berjalan secara halus, menjadi poin penting bahwa Neil Blomkamp terlalu dini untuk mendapatkan pujian dan spotlight besar di ajang bergengsi layaknya Academy Awards.  

Sabtu, 07 Maret 2015

FOCUS (2015) REVIEW : They Losin’ it Focus.

Melakukan pekerjaan penuh trik atau tipuan akan sangat riskan jika trik tersebut sudah basi. Begitu pun di dalam sebuah film, trik atau tip... thumbnail 1 summary

Melakukan pekerjaan penuh trik atau tipuan akan sangat riskan jika trik tersebut sudah basi. Begitu pun di dalam sebuah film, trik atau tipuan akan menjadi sebuah premis yang menyenangkan dengan dukungan packaging yang baik. Glenn Ficarra dan John Requa mencoba menggunakan trik dan tipuan dalam mencuri sebagai dasar cerita di film terbarunya berjudul, Focus. Dengan Will Smith dan Margot Robbie yang digunakan sebagai pelakon utamanya.

Tak seperti judulnya –Focus –film garapan duo sutradara yang menangani Crazy, Stupid, Love dan I Love You Philip Morris ini pun menjadi sebuah ironi. Film terbarunya ini malah kehilangan satu poin yaitu fokus, fokus dalam menangani plot cerita yang digunakan, plot cerita dasar untuk menggerakkan subplot lainnya. Dan pada akhirnya, Focus ini malah terdistraksi oleh subplot-subplot kecil yang terkesan episodik di setiap babak filmnya.  


Toh, plot dari Focus ini sebenarnya menceritakan bagaimana Jess (Margot Robbie), wanita yang ternyata doyan melakukan pekerjaan kriminal yaitu mencuri. Saat di sebuah bar, dia bertemu dengan Nicky (Will Smith) yang ternyata seorang pencuri yang sudah memiliki kredibilitas yang tinggi. Jess yang tergila-gila dengan uang pun mencoba untuk masuk ke dalam dunia milik Nicky yang penuh trik. Jess pun melakukan segala cara untuk lolos tes yang dilakukan oleh Nicky.

Jess pun berhasil masuk ke dalam dunia milik Nicky dan melakukan banyak sekali misi untuk mencuri beberapa barang dari seseorang. Jess pun semakin mahir dan berkembang sangat banyak karena Nicky dan mengajaknya ke sebuah pertandingan American Football terbesar. Di sana lah, Nicky dan Jess melaksanakan misi besar mereka, mencari mangsa-mangsa baru yang lebih besar dan lebih ber-uang di acara ini. 


Ketika big point itu berlangsung cukup menarik di babak awal film ini, lambat laun film ini semakin melemah. Tak menunjukkan premis menariknya lagi untuk menggerakkan subplot-nya, tetapi malah subplot itu yang menggerakkan cerita secara keseluruhan. Maksud untuk menambah intrik cerita, konflik love interest antara Jess dan Nicky pun menjadi satu kelemahan yang tampil sangat menonjol di dalam film ini.

Focus pun akhirnya banting setir menjadi film romance dengan bumbu kriminal, bukan sebaliknya. Karena subplot love interest itu menjadi sangat mendominasi cerita dan tidak mempedulikan premis utama dari film Focus. Boleh lah ada bumbu romance tapi jangan sampai melupakan kulit utama film yang mau ditampilkan. Film pun terasa terbabak dengan subplot yang berbeda di setiap babaknya. Dan akhirnya semakin menuju akhir, Focus menampilkan performa yang sangat lemah dan berantakan.

Subplot love interest yang masih menjadi borok utama film ini dan tak coba untuk ditutupi, ternyata diperbesar lewat subplot masa lalu Nicky yang bermaksud menambah twist and turn untuk mewakili premis utama yaitu trik atau tipuannya, tetapi malah semuanya terjadi sangat tiba-tiba dan sangat berantakan. Focus benar-benar kehilangan kefokusannya, Glenn Ficarra dan John Requa benar-benar lepas kendali dalam mengolah Focus menjadi sajian yang rumit tapi menyenangkan. 


Beruntunglah, penampilan manis dan menggoda dari Margot Robbie masih bisa membuat penontonnya (khususnya penonton lelaki) senang menonton film ini. Will Smith masih tampil dengan porsinya yang pas, masih memberikan chemistry yang apik dengan lawan mainnya. Meskipun, Will Smith masih kalah scene-stealer dari Adrian Martinez yang berhasil membuat film ini masih memiliki unsur komedi yang bisa dinikmati. 

Maka, Focus adalah sebuah ironi yang tragis dari judul dan tagline filmnya. Film arahan Glenn Ficarra dan John Requa ini malah kehilangan satu poin yaitu fokus dalam menjalankan ceritanya. Subplot-subplot kecil yang mendominasi dan melupakan satu premis utama film ini menjadikan Focus semakin melemah di setiap menitnya. Juga, Focus akan terasa  sangat episodik di setiap babak dengan subplot yang berbeda. But, it has Margot Robbie and Adrian Martinez as a weapon.
 
ads