Sabtu, 25 April 2015

AVENGERS : AGE OF ULTRON (2015) REVIEW : Different Takes for Avengers Sequel

Marvel Cinematic Universe fase kedua sudah mencapai konklusi dari segala bentuk spin-off superhero milik Marvel. Ditutup dengan megah oleh ... thumbnail 1 summary

Marvel Cinematic Universe fase kedua sudah mencapai konklusi dari segala bentuk spin-off superhero milik Marvel. Ditutup dengan megah oleh Guardians of The Galaxy, konklusi dari fase kedua ini pun berada di tangan Joss Whedon. Ya, dia kembali menggarap sekuel di mana segala dari superhero Marvel berkumpul dan menyerang musuh. Avengers : Age of Ultron menjadi sebuah proyek superhero yang sangat diantisipasi oleh semua orang, terutama para pecinta film-film superhero milik Marvel.

Fase kedua dari perjalanan Marvel Cinematic Universe ini memang memiliki perbedaan tone cerita yang kental. Terlihat bagaimana Iron Man 3, Thor : The Dark World, dan Captain America : The Winter Soldier yang sedang dalam posisi yang tersudutkan dibandingkan dengan film-film sebelumnya. Begitu pun dengan Avengers : Age of Ultron yang akan terlihat lebih gelap dibandingkan film sebelumnya. Hal itu terlihat di berbagai trailer-nya yang menunjukkan bahwa para jagoan super ini sedang mengalami krisis yang sulit.


Identitas mereka sebagai superhero sedang dalam posisi yang tidak diharapkan. Setelah berhasil menyerang musuh di mana pun, Iron Man (Robert Downey Jr.), Captain America (Chris Evans), Thor(Chris Hemsworth), Hulk (Mark Ruffalo), Hawkeye (Jeremy Renner), dan Black Widow (Scarlett Johansson), malah menimbulkan kekacauan yang semakin banyak dan banyak yang membencinya. Hal ini mendorong Tony Stark ingin membuat suatu program yang dengan menjunjung misi perdamaian.

Ultron, proyek dicanangkan oleh Tony Stork sebagai program yang akan membuat dunia ini damai. Sayangnya, hal itu malah menyerang Tony Stark dan kawanannya sendiri. Ultron yang belum selesai dalam pembuatannya, tiba-tiba membangunkan diri dan berusaha untuk menghancurkan kawanan Avengers. Ultron melarikan diri dan mencoba untuk menguasai dunia dengan bantuan saudara kembar dengan kekuatan super yaitu Scarlet Witch (Elizabeth Olsen) dan Quicksilver (Aaron-Taylor Johnson).


Mencoba untuk memanusiakan para manusia super ini bukanlah hal baru yang pernah dilakukan di perfilman Hollywood. Avengers : Age of Ultron terlihat akan menggunakan formula yang sama dengan DC Comics Universe yang mencoba untuk memanusiakan dan menggelapkan nada cerita di film terbarunya. Akan ada beberapa cerita yang akan menonjolkan sisi humanis dari para Superhero di sekuel Avengersini, tetapi bukan tujuan seperti itulah yang diinginkan oleh Joss Whedon sebagai sutradara dan tentu saja Kevin Feige sebagai produser Marvel.

Avengers : Age of Ultronbukan mencoba untuk mengubah secara keseluruhan pakemnya menuju sesuatu yang gelap dan humanis layaknya apa yang dicoba oleh Nolan kepada Batman. Tetapi, Joss Whedon memberikan intrik yang lebih dalam Avengers : Age of Ultron ini agar memiliki sesuatu yang lebih dewasa atau tingkatan lebih lanjut di dalam filmnya. Di sinilah, keunggulan dari Avengers : Age of Ultron yang tak dimiliki di film Avengers yang pertama.

Akan ada perbedaan pakem dari seri pertama Avengers dengan seri keduanya. Di seri pertama, akan menitikberatkan pada bagaimana Avengersini menjadi sesuatu yang menyenangkan dengan plot yang lebih ringan. Dan juga digunakan sebagai tempat di mana para manusia super ini berkumpul untuk pertama kalinya. Sehingga apabila pakem tersebut digunakan kembali untuk film yang kedua, Avengers : Age of Ultron tak akan memberikan sesuatu yang berbeda dan terkesan formulaic.


Avengers : Age of Ultronmencoba untuk mencari sesuatu yang berbeda dari film sebelumnya. Dengan adanya kedalaman karakter di dalam filmnya, Avengers : Age of Ultron memiliki interestyang berbeda dibandingkan dengan film sebelumnya. Setiap karakter manusia super yang ada di Avengers : Age of Ultronterasa lebih hidup dan terasa lebih multidimensional dibandingkan dengan film Avengers sebelumnya. Dengan adanya pendalaman karakter ini, akan membuka akses bagi penontonnya untuk terbentuk relevansi dengan para karakter manusia super.

Dengan adanya kedalaman karakter di Avengers : Age of Ultron, setiap karakter superhero di dalam film ini pun memiliki porsi yang seimbang. Tak seperti film pertama di mana porsi besar ditujukan kepada Tony Stark dan Steve Rogers sebagai penggerak cerita. Naskah milik Joss Whedon memiliki pemaknaan yang dalam di setiap dialognya. Bukan hanya sebagai penggerak cerita dan basa-basi belaka, tetapi ada sesuatu yang terselip yang ingin disampaikan oleh Joss Whedon dengan dialog semantiknya yang dinamis dan cerdas.


Avengers tetaplah produk milik Marvelyang harus mengedepankan sesuatu yang menyenangkan sebagai penyeimbang tone cerita yang mulai kelam. Naskah dari Avengers : Age of Ultron masih diselipi jokes yang dengan mudah membuat penontonnya tertawa. Meskipun, kadar jokes itu lebih sedikit dibandingkan dengan filmnya yang pertama. Tetapi, sedikitnya kadar jokes yang ada di dalam film Avengers : Age of Ultron mungkin dibuat agar tidak merusak tensi cerita yang dibangun sangat apik oleh Joss Whedon.

Pun, dengan action sequencesyang jelas mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar dibandingkan dengan film pertamanya. Dengan bertambahnya karakter-karakter baru, film ini akan penuh sesak sehingga dalam eksekusi action sequences harus memiliki treatment yang lebih besar. Dan, Joss Whedon mampu menangkap segala keindahan dan kegilaan action sequences dengan sangat indah, juga diwarnai dengan visual efek yang megah tetapi memiliki emosi yang sangat kuat.


Dan inilah sebuah jawaban bagaimana sebuah sekuel memiliki tingkat kemenarikan yang berbeda dengan film sebelumnya. Avengers : Age of Ultron memiliki sebuah kedewasaan agar sebuah sekuel mencapai kasta yang lebih tinggi dibandingkan dengan film sebelumnya. Avengers : Age of Ultron memiliki tone cerita yang lebih gelap tetapi tak melupakan bagaimana sebuah film manusia super harus bisa mengedepankan unsur menyenangkan agar terasa lebih universal. Dan Joss Whedon tahu benar bagaimana dia menngarahkan Avengers : Age of Ultron agar menjadi paket lengkap itu.

Rabu, 08 April 2015

FILOSOFI KOPI (2014) REVIEW : Refleksi Dalam Secangkir Kopi

Seperti tak akan ada habisnya, adaptasi dari karya legendari milik Dewi Lestari kembali mewarnai perfilman Indonesia. Supernova : Ksatria, ... thumbnail 1 summary

Seperti tak akan ada habisnya, adaptasi dari karya legendari milik Dewi Lestari kembali mewarnai perfilman Indonesia. Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh baru saja menyapa penontonnya di akhir tahun 2014 lalu dengan adaptasi yang masih kacau balau. Maka, kali ini giliran buku kumpulan cerita pendek milik Dewi Lestari, Filosofi Kopi, mendapatkan perhatian dari salah satu sineas Indonesia untuk dijadikan sebagai sebuah gambar bergerak.
 
Proyek ini mendapat antusias tinggi karena berada di tangan yang setidaknya sudah memiliki kredibilitas di bidangnya. Angga Sasongko, sutradara yang menangani Filosofi Kopi ini telah berhasil menelurkan karya-karya yang gemilang. Apalagi, Cahaya Dari Timur : Beta Maluku berhasil memenangkan Piala Citra dalam kategori Film Indonesia Terbaik. Maka, tak salah jika Filosofi Kopi akan dinanti-nantikan oleh para penikmat film Indonesia. 


Filosofi Kopi yang berawal dari sebuah cerita pendek Dewi Lestari ini menceritakan tentang sepasang sahabat bernama Ben (Chicco Jericho) dan Jody (Rio Dewanto). Mereka telah bersahabat sejak mereka masih berumur belia. Hingga suatu hari, mereka memutuskan untuk membuka kedai kopi yang didasari oleh bagaimana Ben menguasai segala jenis kopi. Jody pun hanya menangani bagian finansial dari kedai kopi tersebut yang dinamai Filosofi Kopi.

Tetapi, sebuah tantangan muncul dari seorang pelanggan yang ingin tahu kehebatan dari Ben. Dia memberikan tantangan agar Ben membuat sebuah kopi paling enak yang pernah ada. Tantangan itu disetujui Ben karena imbalan yang diterimanya begitu menggiurkan. Ben menghabiskan berhari-hari untuk meracik kopi terenak yang pernah ia buat. Setelah berhasil membuat kopi terenak versinya, seorang perempuan bernama El (Julie Estelle) mematahkan harapan Ben karena merasa ada yang lebih enak daripada kopi buatannya. 


Kesalahan sebuah film adaptasi adalah selalu memaksakan kehendak untuk setia terhadap sumber aslinya. Dan sekali lagi, medium untuk menyampaikan sebuah pesan lewat tulisan dan gambar jelas sesuatu yang berbeda. Akan ada sedikit perubahan yang dibutuhkan agar apa yang ditampilkan ke dalam sebuah gambar bergerak ini memiliki ruang gerak yang lebih luas tetapi padat dibandingkan sebuah buku atau cerita pendek.

Filosofi Kopi ini seperti tahu benar apa arti kata ‘adaptasi’ yang dimaksudkan untuk filmnya. Bukan hanya serta merta memindahkan setiap paragraf di dalam cerita pendek ke dalam naskah filmnya. Akan ada improvisasi dari Jenny Jusuf, selaku penulis skenario, untuk mengembangkan karakter-karakter yang memiliki cerita terbatas di dalam cerita pendeknya ke dalam naskah miliknya. Hal ini menjadi sangat bagus karena karakter Ben dan Jody menjadi sebuah karakter yang multidimensional.

Tak hanya berhasil membuat karakter-karakter yang akhirnya lebih multidimensional, pun juga memiliki dialog-dialog filosofis yang lebih dinamis. Jenny Jusuf tahu benar bagaimana mengadaptasi sebuah cerita pendek lawas milik Dewi Lestari dengan konflik-konflik yang memiliki relevansi dengan apa yang ada di sekitarnya. Jenny Jusuf dapat mengemas tren atau konflik masa kini tanpa lupa bahwa dia masih didasari dari konflik yang ada di dalam cerita pendek milik Dewi Lestari. 


Bagaimana pun juga, penentu dari segala jenis aspek di dalam film ini adalah Angga Sasongko selaku sutradara. Dan sekali lagi, Angga Sasongko menyanggupi segala ekspektasi dari penontonnya yang mengharapkan sebuah adaptasi yang bagus. Filosofi Kopi tak hanya sekedar membicarakan kedua orang sahabat dengan konflik kedai kopi mereka saja. Tetapi, ada sesuatu yang lebih dalam yang coba ditawarkan oleh Angga Sasongko dengan jalinan emosinya yang begitu kuat.

Angga Sasongko berhasil benar menjadikan Filosofi Kopi ini menjadi sebuah adaptasi yang sangat solid. Dengan konten yang ringan, Filosofi Kopi masih bisa menunjukkan performanya yang sangat prima. Meski ringan, akan ada simbol-simbol yang diselipkan untuk membahas Kopi dengan lebih dalam. Layaknya sebuah kehidupan, Kopi tak selalu terasa manis di lidah tetapi akan ada sisi pahit yang juga harus dirasakan oleh penikmatnya dan itulah hal yang ingin disampaikan Angga Sasongko di film ini. 


Tujuan Jenny Jusuf untuk membuat karakter Ben dan Jody menjadi lebih multidimensional adalah keputusan yang tepat untuk mengibaratkan setiap karakternya dengan Kopi sebagai medium refleksinya. Ben dan Jody pun tak melulu memiliki sifat manis yang gampang untuk dikagumi tetapi akan ada latar belakang yang pahit sebagai sokongannya. Sifat mereka yang saling bertolak belakang pun menjadi salah satu kekuatan film ini.

Ben yang berpegang teguh akan idealismenya, tetapi akan selalu ada Jody yang mencoba membangunkan Ben dengan sifatnya yang realistis. Dan begitulah manusia, bagaimana tetap ingin menjalankan apa yang menurutnya sesuai dengan kemauannya tetapi tetap mempertimbangkan segala aspek yang akan menjadi dampaknya. Tetapi, jika kedua sifat ini saling jalan berdampingan, tentu diri seseorang akan jauh lebih kuat. 

Kekuatan Angga Sasongko dalam mengarahkan film ini memang patut diacungi jempol. Berkatnya, Chemistry antara Chicco Jericho dan Rio Dewanto pun berhasil keluar dengan sangat baik di layar perak. Mereka pun seperti benar-benar sudah berteman sangat lama di kehidupan nyata. Akan terasa bagaimana Rio dan Chicco sangat menikmati bekerja bersama Angga Sasongko dalam satu proyek film. Pun, didukung segi teknis yang menghadirkan panorama-panorama indah juga dilengkapi soundtrack manis yang semakin meyakinkan Filosofi Kopi sebagai sebuah film dengan paket komplit.


Segala manis dan pahit akan selalu hadir di dalam hidup seseorang dan hal itu menjadi tujuan utama dari film Filosofi Kopi. Jenny Jusuf dan Angga Sasongko berhasil berkolaborasi dalam mengadaptasi sebuah karya lawas dari Dewi Lestari dengan berbagai pembaharuan yang akan terasa relevan dengan zaman sekarang. Filosofi Kopi memanfaatkan benar dalam mengartikan arti kata ‘adaptasi’ di dalam filmnya. Filosofi Kopi ini adalah karya Idealis dari Angga Sasongko tetapi dengan kemasan yang realistis, layaknya Ben dan Jody.
 

Minggu, 05 April 2015

FAST & FURIOUS 7 (2015) REVIEW : One Last Ride, For Paul

Sebagai salah satu franchise terbesar di perfilman Hollywood dan sudah mencapai seri ke enam, Fast & Furious tentu memiliki banyak fans... thumbnail 1 summary

Sebagai salah satu franchiseterbesar di perfilman Hollywood dan sudah mencapai seri ke enam, Fast & Furious tentu memiliki banyak fans setia. Meski, pakem cerita dari Fast & Furious pertama hingga seri terakhirnya sudah memiliki banyak perbedaan. Tetapi, Fast & Furious tetap saja menjadi salah satu franchise yang dinantikan kemunculannya bagi semua orang dengan timeline cerita yang mulai menarik. Terlebih, dengan mid-credit scene di seri ke enamnya.
 
Tahun ini, Fast & Furious hadir dengan seri terbarunya untuk melanjutkan timeline cerita dari Fast & Furious 6. Justin Lin, sebagai sutradara, meninggalkan seri ini dan memindah tangankan tempat tertinggi itu ke tangan James Wan. Film ini pun sempat sedikit terhambat karena kabar duka yang menimpa salah satu pemainnya. Paul Walker, salah satu pemeran utama di film ini meninggal akibat kecelakaan mobil di saat proyek film ini sedang berjalan. 


Setelah timeline cerita yang memiliki kesinambungan yang menarik, di Fast & Furious 7 melanjutkan kisah dari seri nomor 6 dan berkesinambungan dengan seri yang ketiga. Di mana, Deckard (Jason Statham) membalaskan dendam adiknya yang sudah di serang oleh Dom (Vin Diesel), Brian (Paul Walker), Hobbs (Dwayne Johnson) serta kawanannya. Hidup mereka pun penuh dengan ancaman yang datang silih berganti yang disebabkan oleh Deckard.

Setelah kejadian na’as yang menimpa Hobbs, Dom dan Brian memutuskan untuk memburu Deckard untuk menangkapnya. Tetapi di tengah misinya untuk memburu Deckard, Dom dan Brian diberi tugas untuk mengambil barang yang sudah meretas sistem keamanan negara. God’s Eye, suatu sistem yang dapat menjadikan apapun menjadi sebuah ‘senjata’ ampuh untuk mengetahui keberadaan musuh. Dom dan Brian tahu hal tersebut berguna untuk memburu Deckard dan mau menerima misi tersebut.


Setelah Fast Five yang telah mencapai titik paling tinggi dari segala aspek filmnya, tentu mustahil ada seri lain dari film ini yang bisa melampaui seri kelima dari Fast & Furious. Benar juga, Fast & Furious 6mengalami sedikit kemunduran jika dibandingkan dengan seri kelimanya. Tangan hangat Justin Lin memang bisa membuat franchiseFast & Furious naik level. Meskipun, para fans akan merasa kecewa karena hilangnya pakem “balapan” yang ditawarkan sejak seri pertama. Tetapi, hal tersebut sudah diperbaiki lewat seri ke enam yang kembali menghadirkan pakem tersebut.

Maka, setelah kepergian Justin Lin dari bangku sutradara, Furious 7 pun berpindah tangan ke James Wan yang biasa menangani film-film horor. Hal ini pun membuat para penonton skeptis bahwa Furious 7 akan bisa tampil prima layaknya kedua seri sebelumnya. Tak di sangka, Furious 7 menjadi salah satu seri terbaik dari aksi Dom dan Brian. Memang tak tampil se-prima Fast Five dalam segi cerita, tetapi Furious 7 memberikan sesuatu yang lebih gila dan berbeda dibandingkan seri lainnya.

Jangan ragukan Fast & Furious dalam memberikan sekuens-sekuens gila menggunakan mobil balap. Akan selalu ada inovasi di setiap serinya saat mengendarai mobil balap. Begitu pun dengan seri terbaru dari franchise ini, James Wan memberikan kegilaan tanpa batas yang memang akan berada di luar logika manusia. Tetapi, inilah tujuan dari franchise ini bukan? Menyajikan kegilaan tanpa batas yang akan membuat penontonnya merasakan sensasi menyenangkan saat menontonnya. 


Akan ada banyak adegan dengan level kegilaan yang sangat besar dan megah. Bagusnya, James Wan pun bisa menghadirkan nyawa ke dalam setiap adegan sehingga rangkaian adegan itu tak hanya menjual kemegahannya tetapi juga ada tensi yang pas di dalamnya. Dan hal ini akan berdampak pada respon penonton yang tak akan berhenti berdecak kagum dan takjub dengan sekuens menyenangkan yang ditawarkan oleh James Wan ke dalam Fast & Furious 7.

Tak hanya decak kagum, tetapi ada sisi emosional yang akan terasa berbeda jika dibandingkan seri-seri sebelumnya. Untuk mengenang Paul Walker, James Wan dan Chris Morgan memberikan adegan penutup yang bisa membuat penontonnya menitihkan air mata. Pintarnya, mereka mengemas adegan perpisahan dengan Paul Walker dengan elegan. Mengemasnya lewat dialog-dialog indah penuh simbol dan makna yang dalam tentang suatu perpisahan dengan seorang sahabat. 


Furious 7 memang tak bisa serapi Fast Five dalam menjalankan setiap ceritanya. Terlalu banyak subplot cerita yang akhirnya membuat Furious 7 pun memiliki masalah dengan lubang-lubang di setiap ceritanya. Akhirnya, beberapa karakter pun memiliki kurang memiliki motivasi kenapa akhirnya dia harus ada di dalam filmnya. Pun, di sekuens paling akhir, akan terasa adanya tarik ulur emosi yang kurang tertangani dengan baik oleh James Wan. Dan hal itu disebabkan karena banyaknya Side Plot yang ditulis oleh Chris Morgan di dalam naskahnya yang tampil kurang rapi.

Naskah milik Chris Morgan pun memang sengaja tampil ringan dan biasa saja dengan penuh konflik klise yang pernah penontonnya lihat di berbagai film serupa. Ayolah, apakah kalian mengharapkan sesuatu penuh twist and turn untuk film Furious 7 agar bisa terlihat bagus? Toh, dengan segala macam plot yang ringan, James Wan masih bisa memberikan segala tensinya yang menyenangkan dan emosional sehingga Furious 7 bisa tampil prima dengan naskah dan plot yang ringan. 


Memang, Furious 7 tak bisa tampil serapi Fast Five yang sudah berada di level yang paling atas dari Franchise ini. Beberapa penuturan kisahnya mungkin akan terkesan masih berantakan sehingga terasa mengendur di adegan final-nya. Tetapi, James Wan berhasil membuat Furious 7 berada sedikit di bawah Fast Five dengan segala sekuens-sekuens gila yang didukung dengan camera work yang mendukung hal gila itu. James Wan berhasil menjadikan Furious 7 lebih terkenang di hati penontonnya and For Paul.
ads