Minggu, 31 Mei 2015

PITCH PERFECT 2 (2015) REVIEW : The Barden Bellas Still On The Right Notes.

Sebuah sekuel memang memiliki tugas yang susah untuk meyakinkan penontonnya. Jelas, para penonton akan membandingkan sekuelnya dengan film ... thumbnail 1 summary

Sebuah sekuel memang memiliki tugas yang susah untuk meyakinkan penontonnya. Jelas, para penonton akan membandingkan sekuelnya dengan film sebelumnya. Maka dari itu, sebuah sekuel seharusnya bisa membuat film yang lebih bagus dari film pertamanya atau setidaknya menyamai kualitas film pertamanya. Dan kali ini, giliran dari sebuah film bertema musikal, Pitch Perfect, yang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan sebuah sekuel.
 
Pitch Perfect sendiri pada awalnya diangkat dari sebuah buku berjudul sama. Film pertamanya pun disutradarai oleh Jason Moore dan mendapat pujian dari para kritikus. Sayangnya, di film kedua, film ini mengalami pergantian Sutradara dari Jason Moore ke Elizabeth Banks. Dan Pitch Perfect 2 adalah karya pertama dari Elizabeth Banks menjadi seorang sutradara. Jelas, hal ini menjadi sebuah kegetiran dari para fans Pitch Perfect yang telah menunggu sekuelnya.

Tetapi, Jason Moore tak melepaskan begitu saja proyek sekuel dari Pitch Perfect. Dia masih bertanggung jawab sebagai seorang produser untuk mengawasi kinerja dari Elizabeth Banks. Kay Cannon pun masih bertanggung jawab untuk menuliskan naskah bagi sekuel Pitch Perfect. Memang, Pitch Perfect 2 tak memiliki performa maksimal atau sesegar film sebelumnya. Tetapi, Pitch Perfect 2 masih tahu irama yang seperti apa untuk menyampaikan ceritanya. 


Pitch Perfect 2 memang masih meneruskan apa yang berhenti dalam film sebelumnya. Empat tahun setelahnya, The Barden Bellas memang menjadi grup acapella terkenal yang pergi tur ke beberapa tempat. Hingga suatu ketika, sebuah insiden terjadi saat The Barden Bellas sedang tampil di hadapan Presiden. Fat Amy (Rebel Wilson) melakukan kesalahan fatal yang membuat The Barden Bellas harus dikecam di beberapa tempat.

The Barden Bellas pun harus diskors oleh komite Acapella dan tidak boleh melakukan tur. Kecuali, dia bisa memenangkan Piala Dunia Acapella. Beca (Anna Kendrick) sebagai pemimpin The Barden Bellas pun harus mencari cara agar bisa membuat The Barden Bellas lepas dari hukuman. Tetapi, Beca pun harus terpecah konsentrasinya karena dia telah diterima magang di sebuah label rekaman besar dan hal ini adalah impian Beca sejak lama. 


Poin penting yang berhasil dipatahkan di sekuel Pitch Perfect 2 adalah pakem cerita yang sama. Di Pitch Perfect 2, pakem cerita yang digunakan memang tak seperti menggunakan template yang sama dengan sekuelnya. Intrik dan konflik yang digunakan pun akan terasa lebih kompleks, karena akan menyerang setiap karakter di dalam The Barden Bellas. Tetapi, kekompleksan cerita itu terasa tersampaikan secara kurang bergairah oleh Elizabeth Banks.

Elizabeth Banks memang terkesan tahu benar potensi Pitch Perfect 2 menjadi pencetak uang di dalam Box Office. Maka dari itu, dia berusaha untuk mengarahkan sekuel ini agar tetap mengundang para penonton untuk menyaksikan filmnya. Hal ini berhasil, karena Pitch Perfect mampu menjadi yang pertama di deretan Box Office. Elizabeth Banks pun tergiur dengan semua hal itu dan tak mendapat gairah untuk mengarahkan Pitch Perfect menjadi sesuatu yang lebih segar dari film pertamanya. 

Terlihat benar bagaimana setiap subplot cerita yang sebenarnya sudah tersusun dengan baik itu kurang tersampaikan dengan baik. Sehingga, di pertengahan filmnya, Pitch Perfect 2 benar-benar kehilangan poin yang bisa mengikat penontonnya agar mengikuti setiap konfliknya hingga akhir film. Pun, beberapa subplot pun ada yang datang sia-sia. Sehingga, hal itu malah terkesan hanya ada untuk menambah durasi dari film tersebut dan malah terasa menarik ulur tensi film ini sendiri.

Beruntung, Pitch Perfect 2 masih tahu ritme seperti apa yang akan mereka gunakan agar tetap menjadi sweetheart bagi setiap orang. Key Cannon masih bisa menyelipkan referensi pop sebagai selingan agar film ini masih bisa membuat penontonnya setidaknya tertawa saat menyaksikannya. Terutama tingkah lucu Fat Amy yang masih bisa menjadi kunci agar Pitch Perfect 2 tidak menjadi sebuah sajian komedi musikal yang mulai kehilangan gairah untuk sekuelnya. 

Selain jokes yang masih bisa membuat penontonnya untuk tertawa, Pitch Perfect 2 pun masih tahu keunggulan dari franchise ini. Apalagi kalau bukan daftar lagu yang di-mash up atau dinyanyikan ulang oleh para deretan ensemble cast di film ini. Ya, Pitch Perfect 2 masih memiliki daftar panjang lagu yang akan segera dicari oleh penontonnya setelah kredit titel film ini bergulir. Tak hanya lagu-lagu yang sudah ada, tetapi ada satu lagu orisinil yang sengaja dibuat di dalam film ini.

Memang, Pitch Perfect 2 tak mampu menyaingi kualitas dari film pertamanya yang sangat segar dalam genre musikal. Tetapi, Pitch Perfect 2 masih memiliki semangat yang sama untuk membangun film ini sebagai feel-good film yang setidaknya mampu tampil menghibur penontonnya. Hal itu dikerahkan penuh lewat jokes yang masih mengundang tawa dan deretan panjang lagu-lagu yang ditampilkan. And it’s still Aca-fun to sing along with The Barden Bellas

Sabtu, 30 Mei 2015

SPY (2015) REVIEW : A Complete-Packaged Spy Movies Spoof

Paul Feig memang perlu mendapat sorotan dalam rekam karirnya beberapa tahun terakhir. Setelah karya debutnya, Bridesmaids berhasil mendapatk... thumbnail 1 summary

Paul Feig memang perlu mendapat sorotan dalam rekam karirnya beberapa tahun terakhir. Setelah karya debutnya, Bridesmaids berhasil mendapatkan pujian oleh para kritikus, Paul Feig selalu mengepakkan sayapnya lebih lebar dalam genre serupa. Komedi, genre satu ini memang akan memikul beban yang lebih berat. Karena sang sutradara harus tahu bagaimana mengemas sebuah komedi yang renyah dan memecahkan tawa penontonnya.

2 tahun lalu, The Heat adalah bukti bahwa Paul Feig masih mampu membuat tawa renyah penontonnya. Maka, tak salah jika kali ini Paul Feig mendapatkan kesempatan lagi untuk membuat film dengan genre yang sama. Spy, menjadi proyek film terbaru dari Paul Feig yang memiliki nama-nama besar dalam jajaran ensemble cast. Jason Statham, Jude Law, Rose Byrne, dan Mellisa McCarthy yang selalu menjadi langganan Paul Feig di setiap film komedinya.

Memiliki tema yang sama dengan The Heat, Spy adalah sebuah film action-comedy yang jauh lebih besar kemasannya daripada film Paul Feig sebelumnya. Maka, tak salah jika para penonton mengharapkan sesuatu yang lebih besar dan lebih menyenangkan ketimbang The Heat. Apalagi, ada nama seperti Jason Statham yang sudah memiliki jam terbang tinggi di genre film aksi. Dan Paul Feig ternyata menyanggupi apa yang sudah diharapkan oleh penontonnya.


Spy adalah sebuah spoof terhadap film-film agen rahasia yang selama ini sedang beredar. Menceritakan tentang Susan Cooper (Melissa McCarthy) yang bekerja di FBI sebagai operator atau analis yang membantu agen rahasia, salah satu agen rahasia yang dia bantu adalah Bradley Fine (Jude Law). Di saat menuntaskan misinya yang paling baru, Agen Fine harus berhadapan langsung dengan musuh utamanya yaitu Rayna Boyanov (Rose Byrne).

Agen Fine pun diserang oleh Rayna Boyanov dan hilang jejak. Susan merasa dia harus menyelamatkan dan mencari agen Fine dalam keadaan apapun. Karena Susan memendam rasa yang berbeda terhadap agen Fine, dia pun menawarkan diri menjadi seorang agen yang akan menyelesaikan misi yang diberikan kepada agen Fine. Setelah melewati beberapa uji coba, Susan pun mendapatkan identitas baru yang dapat dia gunakan untuk menjalankan misinya. 


Kekuatan di setiap komedi milik Paul Feig adalah bagaimana Feig berhasil mengemas dialog-dialog yang witty di setiap filmnya. Dan hal itu pun terulang kembali di dalam film terbaru milik Paul Feig. Meski, Spy tetap mengemas dirinya sebagai film aksi, tapi bagaimana Paul Feig mengemas komedi di dalamnya pun tetap mengejutkan penontonnya. Sehingga penonton akan dengan mudah tertawa dengan komedi-komedi yang disebar oleh Paul Feig bak ranjau.

Jika anda telah menonton trailernya terlebih dahulu, maka tak perlu khawatir segala gong komedinya sudah dikeluarkan. Karena ada banyak sekali jokes yang disimpan oleh Paul Feig yang digunakan sebagai senjata ampuh pendorong penonton untuk menyumbangkan tawanya saat menyaksikan film ini. Tiada henti, Paul Feig mengganjar penontonnya dengan dialog-dialog cerdas pengundang tawa serta guyonan slapstick beberapa kali agar penontonnya merasakan kesenangan dalam level tertinggi di dalam filmnya.

Film ini jelas menyindir segala macam film agen rahasia, semacam James Bond, yang selalu memasang agen rahasia pria sebagai penuntas misinya. Belum lagi representasi wanita-wanita seksi yang lincah bermain senjata di setiap film agen rahasia yang mampu dipatahkan oleh Paul Feig di dalam film Spy lewat karakter Susan Cooper. Pematahan stereotyping yang terjadi di dalam film agen rahasia berhasil disampaikan lewat beberapa dialog dan representasi karakternya dengan baik. Juga, spoof dalam opening credit sequences yang menyerang habis-habisan film Skyfall milik James Bond. 


Tak melulu tentang komedi, Paul Feig pun berhasil memberikan intrik menarik di dalam filmnya. Memberikan sedikit bumbu twist and turn yang setidaknya membuat film Spy ini tak melulu berada dalam jalan cerita yang klise. Pun, dengan kemasan sekuens aksi yang juga tak main-main. Ledakan, tembakan, car-chase yang tetap membuat film ini benar-benar memiliki definisi sebenarnya tentang sebuah film musim panas yang menyenangkan.

Segala komedi yang diarahkan dan dituliskan oleh Paul Feig pun tak ada artinya jika tak ada aktris kesayangannya, Melissa McCarthy. Kali ini, dia bermain dalam porsi yang pas sehingga tak terlalu menganggu seperti di The Heat. Melissa McCarthy pun berhasil menyampaikan pesan komedi itu lewat aktingnya yang pintar. Dan yang perlu digaris bawahi dalam film ini adalah lakon Jason Statham yang akhirnya keluar dari zona amannya.

Jason Statham memang masih menjadi sosok agen yang garang seperti biasanya dalam film-film sebelumnya. Hanya saja, karakter yang dia mainkan di dalam film ini cukup berbeda dan berhasil menjadi sosok yang jenaka jika dibandingkan dengan citra dirinya selama ini. Jason Statham tak terlihat malu atau pun canggung memerankan karakternya yang sering dikerjai habis-habisan oleh Paul Feig dalam naskahnya. 


Jelas, Spy akan dengan mudah merebut perhatian penontonnya karena film yang diarahkan oleh Paul Feig ini adalah paket lengkap bagi penonton yang sedang butuh hiburan. Karena Paul Feig tak hanya menyenangkan penontonnya lewat sekuens aksi penuh ledakan, tetapi juga dikemas dengan dialog-dialog cerdas yang mampu mengundang tawa penontonnya. Dan film ini adalah bukti bahwa Paul Feig menjadi salah satu sutradara yang mampu diperhitungkan dalam genre ini.

Sabtu, 23 Mei 2015

TOMORROWLAND (2015) REVIEW : Theme Park In Screen Medium

  Disney kembali mengangkat salah satu wahana dari Disneyland mereka ke dalam sebuah motion picture . Lupakan The Haunted Mansion yang sang... thumbnail 1 summary
 

Disney kembali mengangkat salah satu wahana dari Disneyland mereka ke dalam sebuah motion picture. Lupakan The Haunted Mansion yang sangat berantakan, karena ada wahana dari Disneyland yang masih saja bertahan dan mengeruk keuntungan lewat sebuah film yaitu Pirates of the Carribean. Dengan kesuksesan dari Pirates of the Carribean, jelas ini akan menarik gairah dari para petinggi Disney untuk mencari keuntungan dalam medium film tentang wahana populernya. 
 
Kali ini, wahana yang sangat digandrungi di Disneyland kembali diangkat menjadi sebuah film. Wahana populer lain bernama Tomorrowland, digarap oleh Brad Bird yang telah berkolaborasi dengan Disney Pixar lewat beberapa film animasinya yang cemerlang. Tomorrowland disokong oleh naskah yang ditulis oleh Damon Lindelof dan juga sang sutradara. Juga dibintangi oleh George Clooney dan Britt Robertson di deretan pemain utama untuk film ini. Tomorrowland milik Brad Bird ini menawarkan petualangan futuristik dengan makna yang dalam. 


Tomorrowland akan menawarkan sesuatu yang sudah dirindukan oleh para penontonnya terlebih yang rindu akan film keluarga yang penuh petualangan. Disney kembali menggunakan formula lama dari studio tersebut akan  terasa hadir kembali lewat film Tomorrowland. Layaknya sebuah wahana permainan, film Tomorrowland digadang bisa menjadi sebuah medium piknik bagi para keluarga. Hanya Saja, Tomorrowland ini memang tak sepenuhnya orisinil ataupun segar di dalam genre film serupa.

Pun akan terasa generik dengan beberapa film science fiction serupa. Tomorrowland memang tak memiliki premis cerita yang segar. Tak ada orisinilitas yang digunakan oleh Tomorrowland sebagai landasan untuk penontonnya agar menonton film ini. Tetapi, ada konsep cerita yang besar dari Tomorrowland sehingga film science fiction ini memiliki sesuatu yang lebih thoughtful, terlebih didukung oleh Damon Lindeloff yang menyelipkan cerita pendamping dari legenda kaum Indian Cherokee. 


Tomorrowland menggambarkan dunia masa depan yang terpengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh manusia pada zaman sekarang. Para pemimpi layaknya Frank Walker (George Clooney) dan Casey Newton (Britt Roberson) sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran. Mereka pun terpilih menjadi orang-orang yang dianggap bisa untuk memperbaiki keseimbangan masa depan lewat imajinasi mereka yang liar.

Athena (Raffey Cassidy), sang android yang bertugas untuk mengumpulkan para pemimpi tersebut. Casey adalah pemegang pin terakhir yang mendapatkan pandangan tentang dunia masa depan. Athena menyuruh Casey untuk menemui Frank agar bisa menuju ke dunia masa depan tersebut. Karena dunia masa depan yang dia lihat lewat pin yang diberi oleh Athena membutuhkan bantuannya agar kembali hidup seimbang seperti semula. 


Dengan konsep cerita yang begitu besar, Tomorrowland memang tak bisa memiliki presentasi yang sempurna. Brad Bird terlihat mencoba menjadikan Tomorrowland menjadi sebuah film sesuai dengan wahana dari taman bermain milik Disney sehingga akan terkesan diperuntukkan untuk segala usia. Tetapi, Tomorrowland memiliki genre futuristik yang memiliki metafora lebih tentang kehidupan sehingga konsep besarnya sendiri sudah bukan lagi diperuntukkan bagi para keluarga yang mencari hiburan semata.

Damon Lindeloff sebagai penulis naskah dari Tomorrowland ini pun memiliki naskah yang pretensius. Beberapa dialog dengan berbagai perumpamaan tentang kehidupan manusia yang tak mudah untuk dicerna oleh berbagai usia dimasukkan ke dalam film ini. Alhasil, Brad Bird terlihat bingung bagaimana untuk mengarahkan Tomorrowland menjadi sajian film keluarga yang menyenangkan. Pertengahan film Tomorrowland akan terasa tersendat-sendat dalam menyampaikan pesannya.

Pengenalan para karakter yang digali cukup dalam membuat film ini tak menyentuh konflik utama dari Tomorrowland dengan baik. Paruh pertama dari Tomorrowland hanya berisikan introducing panjang tentang para karakter di dalam filmnya. Meski dalam durasinya sekitar 130 menit, Tomorrowland masih terasa terlalu panjang tetapi tak sampai menyentuh akar permasalahan dari filmnya. Sehingga tak pelak bahwa Tomorrowland akan terasa sangat terburu-buru di paruh akhir dari filmnya. 


Ya, Tomorrowland akan memanjakan mata penontonnya lewat visualisasi indah tentang dunia masa depan miliknya. Penonton akan diajak berpetualang menuju dunia masa depan yang indah. Tetapi, sekuens aksi yang dibangun oleh Tomorrowland tak akan sebanyak film-film Brad Bird sebelumnya.  Meski begitu, film arahan Brad Bird ini menggunakan dialog-dialog dari setiap karakternya untuk mengatur emosi filmnya sehingga penonton akan dengan mudah terkoneksi dengan suasana film ini.

Tetap, Brad Bird pun tahu bagaimana Tomorrowland yang highly concept ini bisa digunakan sebagai medium piknik bagi para keluarga. Tomorrowland memang harus mengorbankan konsepnya yang besar demi membuat Tomorrowland menjadi sajian yang tetap menyenangkan untuk diikuti. Tomorrowland yang mengemban misi untuk menyampaikan pesan tentang kehidupan manusia pun dikemas begitu menyenangkan dan ringan untuk penontonnya. 


Mungkin dengan minimnya orisinilitas dan konsep yang terlalu besar, Tomorrowland memang terlihat bukan menjadi sesuatu presentasi yang sempurna. Tetapi, ada cita rasa lama yang kembali dihadirkan oleh Brad Bird lewat film science fiction terbarunya. Brad Bird menjadikan Tomorrowland yang diadaptasi dari wahana permainan dari taman bermain milik Disney ini menjadi sebuah medium piknik baru untuk keluarga. Karena Tomorrowland masih mampu menghadirkan 130 menit penuh petualangan dengan visual mewah meski harus tersendat dalam perjalanannya.

Jumat, 22 Mei 2015

MAD MAX : FURY ROAD (2015) REVIEW : What A Lovely Movie To Ride

Menjadi salah satu film aksi legendaris di tahun 80an, Mad Max kembali hadir untuk mencari fans-fans baru yang akan menyukai seri film aksi ... thumbnail 1 summary

Menjadi salah satu film aksi legendaris di tahun 80an, Mad Max kembali hadir untuk mencari fans-fans baru yang akan menyukai seri film aksi satu ini. Mad Max sudah memiliki tiga seri yang menjadi sebuah pion film aksi yang berbeda. George Miller, dalang di balik seri-seri Mad Max kembali mengarahkan seri terbaru dari seri ini. Mad Max : Fury Road, diisi oleh bintang-bintang ternama dan Tom Hardy memiliki kesempatan untuk menggantikan Mel Gibson di deretan aktor utama.
 
George Miller memutuskan Mad Max : Fury Road menjadi sebuah sekuel dari seri Mad Max sebelumnya. Dengan selang waktu yang lama dari seri ketiga ke seri terbarunya, Mad Max : Fury Road akan mengemban tugas yang sangat sulit untuk mencuri perhatian penontonnya. Terutama, untuk penonton baru yang tidak pernah tahu siapa itu George Miller dan Mad Max-nya. Lantas, dengan adanya tugas yang sulit itu, George Miller menjanjikan sebuah film aksi yang tak akan pernah penonton lihat sebelumnya. 

Kesulitan penonton baru dalam mengonsumsi Mad Max sebagai sebuah film utuh adalah bagaimana karakter Max yang tak memiliki pembangunan karakter yang konkrit. Hal ini disebabkan oleh Mad Max : Fury Road yang dijadikan sebuah sekuel langsung dari seri ketiga. Penonton akan merasa kehilangan jejak atas motivasi yang dilakukan oleh Max untuk menjalankan plot ceritanya. Tetapi, George Miller tak akan memberikan plot berbelit sehingga penonton akan tetap menyukai film ini. 


Max (Tom Hardy) ditahan oleh suku-suku baru yang tak dia kenal. Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne) adalah kepala suku yang membuat Max menjadi mangsanya. Darah adrenalin miliknya menjadi konsumsi salah satu War Boys (Nicholas Hoult) untuk bertahan hidup. Sayangnya, Max harus ikut dalam masalah yang ada di kota milik Immortan Joe. Ada seseorang yang dipercaya oleh Immortan Joe yang malah membelot dari Immortan Joe.

Sang pembelot itu bernama Furiosa (Charlize Theron) yang membawa kabur para istri dari Immortan Joe untuk mendapatkan tempat yang lebih baik. Immortan Joe pun menyuruh para War Boys untuk mencari dan menyerang Furiosa sebelum perang antar suku terjadi. Max yang menjadi infus adrenalin bagi salah satu War Boys pun secara tak langsung terjun dalam perjalanan panjang penuh tekanan dalam mencari Furiosa. Dan menurutnya, ini adalah kesempatan yang baik untuk melarikan diri. 


Dalam perjalanan panjang yang dilalui oleh Max, penonton akan diberikan sajian menarik oleh George Miller. Bukan plot, tapi ada tensi yang akan terjaga sehingga penonton tak diberi sedikit pun ruang untuk bernafas lega. Dalam 120 menitnya, Mad Max : Fury Road memiliki banyak sekali sekuens aksi yang tak pernah penonton rasakan sebelumnya. Berbagai macam mobil berbentuk aneh yang disebut War Rig hingga tata rias yang nyentrik dari para karakternya jelas memiliki poin tambah dari film arahan George Miller ini.

Berbagai macam cara mengemas sebuah sekuens aksi oleh George Miller diterapkan di film terbarunya. Mulai dari senjata, cara menyerang, dan berbagai hal yang akan membuat penontonnya pun terasa dipacu adrenalinnya. Meski sang sutradara sudah berumur 70 tahun, tetapi George Miller mampu memberikan visi baru di dalam filmnya sehingga apa yang disajikan akan dengan mudah disukai oleh penonton yang membutuhkan hal tersebut.

Plot cerita pun akan terasa sederhana tetapi ada pemahaman lain yang ingin disampaikan oleh film ini. Mungkin akan ada kebiasan karakter di film ini yang membuat penontonnya akan menanyakan beberapa hal. Max memang hanya menjadi sesuatu yang bias meskipun judul film ini menggunakan namanya. Dan, sorotan yang lebih besar itu akan jatuh kepada karakter Furiosa yang mengantarkan konflik penting dari film ini. 


Dengan adanya sorotan yang lebih kepada Furiosa, hal ini menonjolkan beberapa pemahaman yang sudah ingin dianggap sejajar. Pun, begitu dengan karakter-karakter wanita lain yang memang akan berpengaruh besar terhadap keseluruhan pergerakkan narasinya. Sehingga, George Miller ingin menggambarkan pemberontakan yang dilakukan oleh para wanita agar ingin terlihat sama dan tidak terlihat lemah di mata para kaum lelaki. Meski begitu, film ini pun tak serta merta menggambarkan hal itu secara gamblang, hanya saja dipindahkan mediumnya lewat naskah.

Percayalah dengan euforia di sosial media atau internet yang mengatakan bahwa Mad Max : Fury Road adalah film aksi terbaik tahun ini. Dengan adanya visi baru dari George Miller di usianya yang tak lagi muda, Mad Max : Fury Road akan mengantarkan penontonnya untuk merasakan sensasi yang menyenangkan dalam pengalaman sinematik mereka. Penonton baru mungkin akan terlihat kebingungan dengan penggalian karakter Max yang tak terlalu dalam, tetapi George Miller akan menumpulkan pertanyaan itu dengan segala sekuens aksi yang membuat mata tercengang.
 
ads