Senin, 15 Juni 2015

JURASSIC WORLD (2015) REVIEW : Welcome Back to Isla Nublar [With 3D Review]

Kedatangan makhluk hidup purbakala ini memang sudah sangat lama tidak diusik. Setelah Steven Spielberg mampu menyajikan sebuah taman bermai... thumbnail 1 summary

Kedatangan makhluk hidup purbakala ini memang sudah sangat lama tidak diusik. Setelah Steven Spielberg mampu menyajikan sebuah taman bermain untuk mereka di tahun 1993, para dinosaurus ini tak memiliki kesempatan yang layak untuk tampil di sebuah gambar bergerak. Meski telah ada beberapa sekuel dari film legendaris milik Steven Spielberg, Jurassic Park,  pada selang tahun yang cukup lama. Tetapi, tak ada satu pun yang berhasil menangkap kemagisan selaras dengan Jurassic Park.
 
Untuk menghadirkan kembali suasana magis serta nostalgia itu, Universal Pictures akhirnya merilis ulang Jurassic Park dalam format tiga dimensi. Di mana film re-release tersebut menjadi sebuah euphoria baru untuk menyambut film terbarunya di tahun 2015. Jurassic World, judul dari sekuel Jurassic Park yang ditangani oleh Colin Treverrow. Mempunyai misi untuk menghadirkan kembali kemagisan taman bermain dinosaurus milik Steven Spielberg.

Colin Treverrow pun seperti memiliki misi agar Jurassic World miliknya bisa menjadi taman bermain yang menyenangkan bagi penontonnya. Pun, Jurassic World bisa menjadi medium bagi penonton yang ingin merasakan kembali pengalaman menonton yang luar biasa dan penuh kemagisan layaknya Steven Spielberg berikan di dalam Jurassic Park. Tanpa perlu sebuah cerita original dan pendalaman karakter yang berlebihan, Jurassic World mampu menangkap segala kemagisan itu di dalam filmnya.


Begitulah film-film dengan tema ini, Jurassic World tak memiliki satu karakter tetap sebagai pegangan dalam menjalankan ceritanya. Jurassic World pun di mulai dari satu keluarga yang sedang memiliki sebuah masalah. Dua anak dari keluarga tersebut mendapatkan tiket liburan dari adik ibunya, Claire (Bryce Dallas Howard) untuk jalan-jalan ke Isla Nublar, tempat Jurassic World di dirikan. Gray (Ty Simpkins) dan Zach (Nick Robinson) pun pergi ke Isla Nublar menikmati apa yang mereka dapatkan.

Sayangnya, ketika di tengah tur mereka mengelilingi Jurassic World, seekor dinosaurus rekayasa lepas dari kandangnya. Indominus Rex kabur dan berhasil membuat Jurassic World porak poranda dalam sekejap. Zach dan Gray yang berada dalam tengah-tengah tur mereka harus dihadang oleh Indominus Rex yang sedang kabur tersebut. Claire meminta bantuan dari pawang Raptor, Owen (Chris Pratt) untuk mencari ponakannya, Zach dan Gray. 


Ingatkah dengan Godzilla yang mampu memberikan karakterisasi yang hebat tetapi kurang mampu menciptakan porsi yang tepat untuk makhluk gigantisnya? Hal tersebut tentu menjadi ketakutan terbesar dalam membuat film bertema ini. Bagaimana karakter manusia di dalam film ini mampu memikat penontonnya untuk menjalankan setiap cabang cerita tanpa perlu harus merasa terpisah-pisah dengan plot utamanya Karena di dalam film dengan tema ini, makhluk hidup lainnya menjadi daya pikat utama yang lebih besar.

Perlu adanya point of interest lebih agar para karakter manusia di dalam film ini setidaknya mampu mengantarkan cerita tentang makhluk hidup lain di dalamnya. Hal itu dicoba Colin Treverrow terapkan di dalam Jurassic World. Treverrow memasang beberapa karakter manusia seperti Claire, Owen, Gray, dan Zach agar penonton dapat memiliki koneksi dengan Jurassic World. Treverrow memang tak terlalu mengulik satu persatu karakter di dalam filmnya karena Trevorrow lebih mementingkan bagaimana plot utama agar tingkat kesenangan di dalamnya mampu menjadi perhatian penontonnya. 


Treverrow seperti tetap menggunakan pakem yang sama dengan Jurassic Park agar Jurassic World bisa menyamai kemagisan dari film Steven Spielberg tersebut. Jurassic World mengusung plot cerita yang sederhana tanpa ada cerita original yang segar untuk disajikan kepada penontonnya. Bahkan, Jurassic World cenderung menggunakan template cerita yang sama dengan Jurassic Park. Tetapi, template cerita yang cenderung sama itu tak menjadi senjata makan tuan bagi Jurassic World.

Beruntung, Jurassic World berada di tangan sutradara yang tepat dan mampu mendaur ulang segala cerita yang sudah usang itu. Colin Treverrow berhasil mengarahkan Jurassic World menjadi sebuah pengalaman sinematik yang luar biasa bagi penontonnya. Arahan milik Treverrow berhasil menangkap segala bentuk keindahan dan berbagai macam alasan kenapa Jurassic Park menjadi salah satu film legendaris yang harus ditonton sebelum kita menutup usia.

Colin Treverrow berhasil membangun atmosfir dan tensi ketegangan luar biasa dalam 120 menit film ini. Terlihat tak mau terburu-buru membangun itu semua di dalam film terbarunya, dia menggunakan strategi dengan membangun pelan-pelan tensi film yang sangat terasa di paruh awal film ini. Membangun atmosfir yang seram dan menegangkan yang bahkan film horor yang baru rilis minggu lalu pun tak mempunyai itu. Hingga pada waktu yang tepat, Jurassic World menunjukkan taringnya untuk mengeluarkan segala bentuk tensi dan atmosfir yang kuat untuk dirasakan oleh penontonnya. 


Pun, akan terasa banyak sekali tribute dan homage yang Colin Treverrow lakukan di dalam film Jurassic World. Sepertinya Colin Treverrow tak ingin benar-benar melepaskan identitas Jurassic Park ke dalam proyek sekuelnya ini. Akan ada banyak sekali adegan-adegan yang memang disengaja untuk tetap sama agar bisa menimbulkan nuansa nostalgia bagi penonton yang telah tumbuh dan berkembang dengan Isla Nublar dan para penghuninya.

Tak bisa dipungkiri, visualisasi Jurassic World memang akan terasa jauh lebih besar ketimbang Jurassic Park. Terlebih, Jurassic World telah dibuat di era yang sudah semakin canggih. Isla Nublar benar-benar sudah bertransformasi menjadi sebuah taman bermain millenium. Pun, Colin Treverrow mampu memvisualisasikan Jurassic World menjadi sebuah taman bermain yang megah. Juga, Colin Treverrow masih menyelipkan music scoring original dari Jurassic Park ke dalam film terbarunya.


Jelas, Jurassic World akan menjadi sebuah film musim panas lainnya yang memiliki performa luar biasa dari segala jenis aspek. Dalam 120 menit, Jurassic World berhasil menangkap dan menghadirkan berbagai alasan kenapa Jurassic Park menjadi salah satu film legendaris. Colin Treverrow yang masih setia dengan sumbernya dengan memberikan beberapa tribute dan homage terhadap Jurassic Park sehingga Jurassic World terasa sangat kental akan nuansa nostalgia. Dengan formula yang usang, Treverrow berhasil mengubahnya menjadi sajian yang sangat luar biasa menyenangkan. And this theme park already Re-opened.
 
Meski di-shoot dengan kamera IMAX 70 mm, film ini tetap dikonversi ke dalam format tiga dimensi. Berikut adalah rangkuman format tiga dimensi dari Jurassic World.

DEPTH
Ya, meski dalam versi konversi, Jurassic World mampu memberikan kedalaman yang sangat luar biasa. Sehingga, kita seperti berada langsung di dalam Isla Nublar.

POP OUT
Meski tak terlalu banyak, tetapi beberapa bagian akan terasa menusuk mata penontonnya. Terlebih, ketika Jurassic World sudah mulai porak poranda. Beberapa cakar dan gigi Dinosaurus akan hadir di depan mata.
 
Ya, Jurassic World benar-benar disarankan ditonton dalam format tiga dimensi. Kapan lagi kita menonton Isla Nublar seperti berada di dekat kita. Jika dikota anda ada layar IMAX, sangat disarankan ditonton dalam format tersebut. 

Minggu, 07 Juni 2015

INSIDIOUS CHAPTER 3 (2015) REVIEW : The Laziest Chapter Begins

Setelah berhasil mengeruk keuntungan dan mencari penggemar setia dari sebuah film, jelas seorang sutradara atau produser tak mau kehilangan ... thumbnail 1 summary

Setelah berhasil mengeruk keuntungan dan mencari penggemar setia dari sebuah film, jelas seorang sutradara atau produser tak mau kehilangan mata pencaharian mereka. Salah satunya adalah franchise film horor, Insidious. Kedua filmnya sukses mendapatkan keuntungan berkali lipat dari budget yang sudah dipakai. Sayangnya, jilid kedua dari Insidious tak bisa menuai kritik positif dari para pecinta film atau kritikus film. Tak berhenti karena kritik negatif, Insidious tetap melanjutkan serinya.
 
James Wan yang dalam dua filmnya bertindak sebagai sutradara akhirnya harus menyerahkan bangku sutradaranya kepada sang penulis naskah dari kedua film Insidious. Leigh Whannel, menjadi komandan tertinggi yang mendapatkan amanah dari James Wan untuk mengarahkan seri terbaru dari franchise film horor satu ini. Insidious Chapter 3 adalah debut penyutradaraan dari Leigh Whannel yang tentu mendapatkan beban berat karena Insidious adalah sebuah proyek yang besar dan ditunggu oleh para penggemar film horor.

Karena dengan hasil yang kurang memuaskan dari Insidious Chapter 2, maka beberapa orang jelas akan menurunkan ekspektasinya dengan Insidious Chapter 3. Meski masih ada orang yang sudah berkecimpung lama dalam proyek Insidious ini, tetapi Insidious Chapter 3 tetap mendapatkan tatapan sinis bagi pecinta film, khususnya film pecinta film horor. Lantas benar, Leigh Whannel tak mampu menyamai kengerian dua predesesornya dalam jilid ketiganya. 


Menyisakan cerita yang masih tertinggal di Chapter 2, Jilid ketiga ini memulai cerita lewat karakter utama yang berbeda dari dua film sebelumnya. Tidak ada lagi Dalton dan keluarganya, kali ini giliran sang cenayang yang mendapat bagian. Elise (Lin Shaye) ingin menyudahi profesinya sebagai seorang cenayang. Hingga seseorang bernama Quinn Brenner (Stefanie Scott) datang kepadanya untuk meminta bantuan agar bertemu dengan ibunya yang telah meninggal.

Ketika dia sedang berusaha untuk memanggil kembali arwah dari Ibu dari Quinn, Elise malah bertemu dengan sosok arwah yang berusaha untuk membunuhnya yaitu Black Bride. Bukan hanya Elise yang harus bertahan hidup dari serangan arwah-arwah gentayangan, tetapi Quinn pun harus bisa menahan dirinya agar tetap hidup dari serangan sosok jahat yang menghantuinya. Di dalam apartemen tempat Quinn dan keluarganya tinggal, Quinn dikejar oleh sosok jahat yang menginginkan dirinya untuk mati. 


Insidious Chapter 3 memang keluar dari pakem kedua jilid dari Insidious sebelumnya. Sayangnya, dengan berhasil keluar dari pakem yang sama sebelumnya, jilid ketiga yang digarap oleh Leigh Whannel ini malah tak berhasil menyampaikan bagaimana film horor itu seharusnya. Jika para penggemar film horor atau penggemar seri ini mengharapkan sesuatu yang menyeramkan layaknya kedua jilid sebelumnya, maka mereka berhak untuk kecewa.

Segala hal yang ada di dalam Insidious Chapter 3 ini benar-benar keluar dari film horor yang seharusnya. Jilid ketiga ini hanyalah drama keluarga dengan tema supernatural dengan sedikit selipan jump scares. Pun, selipan Jump Scares itu absen dalam membuat penontonnya merasakan sensasi yang biasanya hadir saat menyaksikan seri Insidious. Maka, hindari saja kedua traileryang dirilis oleh pihak Sony Pictures, karena segala bentuk Jump Scares andalan sudah mereka hadirkan lewat trailer yang mereka rilis.

Pun, tak ada i’tikad baik dari Leigh Whannel untuk membangun kehadiran cerita yang mampu memikat penontonnya. Insidious Chapter 3 sangat terbata-bata dalam menyampaikan setiap detil plot cerita yang seharusnya menjadi poin penting dalam kelangsungan sebuah film. Leigh Whannel ini tak memiliki usaha keras untuk menyampaikan sebuah cerita prekuel yang seharusnya bisa tersampaikan menjadi sesuatu yang lebih dari apa yang sudah dipresentasikan olehnya. 


Dalam 97 menit, Insidious Chapter 3 benar-benar terbelah menjadi dua poin cerita utama yang keduanya pun tak memiliki presentasi yang dominan. Leigh Whannel pun terasa bingung untuk memilih siapa yang mendapat treatment lebih untuk menjadi plot utama dari jilid ketiga seri Insidious ini. Ketika masalah utama ada pada karakter Quinn, Leigh Whannel seperti sayang untuk menghapuskan masalah dari karakter Elise. Alhasil, Leigh Whannel harus mengorbankan keseluruhan presentasi cerita yang setidaknya bisa memikat penontonnya.

Tidak ada atmosfir horor yang bisa dibangun oleh Leigh Whannel untuk menutupi kekurangan dari jilid ketiga seri Insidious yang dia tangani. Insidious Chapter 3 pun mendapatkan jatah dominan dalam cerita human drama yang sebenarnya salah tempat ketika dihadirkan dalam film horor. Juga, dengan jokes yang juga akan terasa dominan di dalam filmnya. Insidious Chapter 3 pun tertatih, tak ada sama sekali satu poin yang membuat Insidious Chapter 3 memiliki alasan agar ditonton selain dua seri sebelumnya yang menjanjikan. 


Maka, 97 menit di dalam Insidious Chapter 3 akan terasa sia-sia dalam membangun narasinya. Satu jam pertama, penonton akan merasakan absennya kekuatan cerita dalam filmnya. Dan 30 menit akhir dari Insidious Chapter 3 ini benar-benar tak berhasil menyampaikan suasana horornya yang seharusnya menjadi senjata utama dari film ini. Segalanya terasa tak memiliki tensi ketika jilid ketiga ini akan memulai untuk meyakinkan penontonnya.

Seri ketiga yang seharusnya menjadi poin penting dari sebuah franchise, malah tak memiliki arti apapun untuk seri ini.  Untuk tetap memperluas franchise Insidious ini, Jilid ketiganya tetap memberikan cliffhanger ending yang menjadi alasan dari sutradara maupun rumah produksinya untuk tetap menghadirkan Jilid keempat dari seri ini. Tetapi, kehadiran Insidious Chapter 3 malah menjadi alasan bahwa franchise ini harus berhenti memberikan sebuah sekuel. Dan Insidious Chapter 3 tak memberikan alasan bagi penontonnya untuk tetap setia menantikan jilid selanjutnya. 


Maka, dengan absennya James Wan dalam menangani Insidious Chapter 3, seri ini pun absen dalam memberikan kekuatan dan daya tarik untuk penontonnya. Leigh Whannel pun tak berhasil untuk setidaknya menyamai kualitas jilid ketiga dari Insidious ini dengan dua seri sebelumnya. Segala hal terasa tak berada pada tempatnya ketika sebenarnya Insidious Chapter 3 tak terasa menyalin template dari dua seri sebelumnya. Tapi sayangnya, Leigh Whannel benar-benar gagal dalam mengarahkan Insidious Chapter 3 lebih baik secara naratif maupun atmosfir horornya.

Selasa, 02 Juni 2015

SAN ANDREAS (2015) REVIEW : Big Disaster, Big Holes Inside [With 3D Review]

Sudah banyak memang yang mencoba untuk mengangkat film-film bertema bencana alam. Roland Emmerich contohnya, sutradara satu ini sering seka... thumbnail 1 summary

Sudah banyak memang yang mencoba untuk mengangkat film-film bertema bencana alam. Roland Emmerich contohnya, sutradara satu ini sering sekali membuat film-film bertema serupa. Dan karyanya yang paling fenomenal adalah 2012, yang diangkat berdasarkan ramalan tentang kiamat di tahun 2012. Filmnya memang tak berhasil menuai pujian dari para kritikus, tetapi film ini berhasil menarik minat penonton sehingga menimbulkan antrian panjang di mana-mana.

Di tahun ini, film tentang bencana alam kembali hadir tetapi bukan dari sutradara yang sama. Brad Peyton, sutradara dari Journey 2 : Mysterious Island dan Cats & Dogs 2 ini mencoba hal baru dalam rekam jejak filmnya. San Andreas, judul film terbaru dari Brad Peyton yang mengangkat bencana alam gempa bumi sebagai landasan ceritanya. San Andreas pun mempunyai nama-nama besar seperti Dwayne Johnson dan Alexandra Daddario di deretan pemainnya.

Memiliki nama-nama besar seperti Dwayne Johnson, Carla Gugino, bahkan Alexandra Daddario. Juga, memiliki visual efek yang megah seperti apa yang ditunjukkan lewat trailernya, tak lantas membuat film terbaru dari Brad Peyton ini memiliki sesuatu yang segar di dalamnya. San Andreas hanyalah sebuah film bertema bencana alam yang generik dan masih menawarkan sesuatu yang sama dengan film-film bertema sama sebelumnya. 


San Andreas memang tak punya plot yang spesial, segalanya hanyalah kumpulan dari segala macam unsur klise dalam film bertema sama dan bergabung menjadi satu. Ray (Dwayne Johnson) seorang penyelamat yang hidup penuh tantangan memiliki keluarga yang sudah berantakan. Ray mendapat gugatan cerai dari sang Istri, Emma (Carla Gugino) yang akan berpindah tempat tinggal di rumah sang pacar baru, Daniel (Ioan Gruffudd).

Bersama dengan Emma, Ray memiliki anak bernama Blake (Alexandra Daddario) dan seorang lagi yang sudah meninggal. Dengan adanya kejadian tersebut di dalam keluarganya, Ray berusaha untuk tetap mencintai keluarganya. Tetapi, ketika Blake akan pergi bersama dengan Daniel, gempa bumi besar datang menyerang kota California. Ray dan Emma berusaha menemukan dan menyelamatkan Blake yang terjebak karena gempa bumi yang meluluh lantakkan seluruh kota. 


Dengan cerita yang sesederhana itu, San Andreas memiliki durasi sepanjang 112 menit untuk menjalankan segala konflik ceritanya. Tak pelak, San Andreas pun terasa terlalu panjang dengan konflik yang sebenarnya tak punya sesuatu yang istimewa. Carlton Cuse selaku penulis naskah pun seperti mencoba menyelipkan berbagai macam intrik untuk mengulur durasi dari San Andreas. Sehingga, Brad Peyton bisa memamerkan kemegahan visual efek bencana alam sebagai sajian utama film San Andreas.

Memang, rasanya terlalu naif ketika mengharapkan sesuatu yang segar dalam plot cerita untuk film sejenis San Andreas. Film garapan Brad Peyton ini pun seperti sebuah omnibus yang tak dapat bersatu di setiap pengembangan karakternya. Sehingga, akan terasa adanya beberapa segmen yang berdiri sendiri dengan performa yang berbeda-beda. Tetap, San Andreas memiliki sajian yang klise dan luar biasa tak masuk akal untuk menyampaikan ceritanya.

Penonton pun akan dengan mudah terakses dengan cerita di dalam film ini. Saking mudahnya akses tersebut, penonton pun akan tahu seperti apa film ini akan berakhir dan berhasil menebak adegan seperti apa selanjutnya. Hal ini karena Carlton Cuse mengambil template yang sama dari beberapa film dengan tema serupa dan digabungkan ke dalam naskah film San Andreas. Sehingga, segala bentuk konflik atau adegan klise di film ini pun terangkum di dalamnya. 


Layaknya film-film Roland Emmerich, sepertinya San Andreas garapan Brad Peyton ini pun terpengaruh dengan bagaimana Roland Emmerich memberikan intrik yang luar biasa tidak masuk akal bagi penontonnya. Kesampingkan bagaimana proses gempa bumi di dalam film ini yang mungkin masih menjelaskan hal tersebut dengan berbagai penuturan ilmiah yang terasa meyakinkan. Tetapi, bagaimana para karakter melewati bencana alam yang sangat ilmiah tersebut terasa konyol untuk disaksikan.

Ada beberapa adegan yang akan terasa memudahkan bagaimana seseorang menghadapi sebuah bencana yang sangat besar. Sehingga, bencana alam tersebut akan terasa tidak nyata bagi penontonnya. Dengan adanya adegan-adegan seperti itu, hal ini menegaskan bahwa San Andreas hanyalah sebuah medium untuk memamerkan visual efek yang besar dan mengedepankan sekuens-sekuens aksi yang maunya ingin memberikan tensi untuk ceritanya. Sayangnya, tensi itu terasa mengapung tetapi ada beberapa poin yang masih membuat San Andreas menyenangkan untuk diikuti. 


San Andreas masih memiliki kekuatan dalam jajaran pemainnya. Terlebih adegan final di film ini yang menguatkan sisi humanis dalam porsi drama keluarganya. Dibandingkan dengan beberapa poin yang menjadi kekurangan film ini, jajaran pemain dan paruh akhir film ini masih memberikan satu tensi yang kuat sehingga film ini tidak lemah seutuhnya. Drama keluarga yang kuat dengan beberapa jokes –di luar adegan yang tidak masuk akal –di dalam filmnya masih bisa membuat penontonnya terhibur.

Maka, film garapan Brad Peyton ini memang hanyalah sebuah medium untuknya dalam memamerkan segala visual efek yang megah untuk adegan-adegan bencana alamnya. Tetapi, San Andreas memiliki keterbatasan dalam menyampaikan setiap intrik ceritanya sehingga tensi tersebut akan terasa tertarik ulur karena durasi yang terlalu panjang untuk plot yang setipis kertas. Tetapi, di paruh akhir, San Andreas tahu apa yang membuat film ini masih layak untuk disaksikan oleh penontonnya. 


Dengan visual efek yang megah, tentu Brad Peyton menginginkan filmnya disaksikan dalam format tiga dimensi. Berikut review keseluruhan tentang format tiga dimensi dalam film San Andreas

POP OUT
Tak terlalu banyak adegan Pop-Out untuk film San Andreas dalam format tiga dimensi. Hanya beberapa percikan air dan debu yang bisa menyapa penontonnya. Sayang, film ini seharusnya direkam lewat native 3D bukan converter.

DEPTH
Masih ada beberapa adegan di dalam film San Andreas yang menonjolkan kedalaman sehingga apa yang kita lihat tampak nyata. Tapi, hal itu pun tidak terlalu kuat. 


Dengan beberapa poin dalam format tiga dimensi yang terlalu lemah, San Andreas mungkin akan lebih menyenangkan disaksikan hanya dalam format dua dimensi. Tak seperti film Brad Peyton terdahulu, Journey 2 : Mysterious Island, yang tahu dalam memanfaatkan format tiga dimensi, San Andreas merupakan penurunan dalam format tiga dimensinya.
ads