Kamis, 30 Juli 2015

SURGA YANG TAK DIRINDUKAN (2015) REVIEW : Dongeng Islami Yang Naif

Bertepatan dengan Lebaran, rumah produksi di Indonesia berlomba-lomba untuk menyajikan film-film terbaru mereka. Dengan catatan, di dalam mu... thumbnail 1 summary

Bertepatan dengan Lebaran, rumah produksi di Indonesia berlomba-lomba untuk menyajikan film-film terbaru mereka. Dengan catatan, di dalam musim libur lebaran, mereka dapat mendapatkan jumlah penonton yang fantastis. Banyaknya rumah produksi yang merilis film mereka di musim lebaran membuat penonton lokal memiliki alternatif tontonan yang beragam untuk disantap saat musim libur lebaran tiba.
 
Dengan tahu adanya peluang untuk mendapat keuntungan, rumah-rumah produksi tersebut merilis filmnya dengan genre yang bervariasi. Dan salah satu tema yang selalu ada di film-film libur lebaran adalah film bertema religi. Dan kali ini, giliran MD Pictures untuk merilis sebuah film religi yang diarahkan oleh Kuntz Agus. Diadaptasi dari salah satu buku dari penulis terkenal, Asma Nadia, Surga Yang Tak Dirindukan menjanjikan sesuatu yang haru biru.

Dibintangi oleh Fedi Nuril, Laudya Cynthia Bella, dan Raline Shah menjadi faktor utama bahwa film ini setidaknya menjanjikan aktor aktris yang memanjakan penontonnya lewat paras mereka. Surga Yang Tak Dirindukan pun diharapkan dapat menarik penonton –khususnya wanita paruh baya berhijab –agar menyaksikan drama cinta dilematis dengan sokongan ayat-ayat suci di dalam presentasinya. Mengangkat sebuah kisah cinta yang terlalu bermimpi, setidaknya Kuntz Agus masih tahu mengarahkan filmnya agar tak terlalu basi. 


Kembali lagi, sebuah kisah cinta poligami yang dibintangi oleh Fedi Nuril. Pras (Fedi Nuril), lelaki yang sedang menyelesaikan sebuah tugas akhir ini tiba-tiba jatuh cinta terhadap sosok gadis lugu berhijab bernama Arini (Laudya Cynthia Bella). Arini adalah seorang wanita yang senang mendongeng di sebuah surau di Jogja. Berawal dari saling tukar nomer telepon, mereka saling kontak satu sama lain. Sehingga, mereka berdua merasa cocok dan akhirnya memutuskan untuk menikah.

Pernikahan Pras dan Arini pun membuahkan seorang putri bernama Nadia. Kehidupan pernikahan Arini dan Pras sangat bahagia layaknya sebuah dongeng yang diidamkan oleh Arini. Hingga suatu ketika, kehidupan pernikahan mereka berubah. Pras menemukan seseorang bernama Meirose (Raline Shah) yang sedang putus asa dan ingin bunuh diri karena gagal menikah dengan kekasihnya. Upayanya dicegah oleh Pras dengan janji akan menikahi Meirose yang bermaksud beritikad baik. Pras menyembunyikan pernikahannya dengan Meirose dan suatu ketika Arini mengetahui hal tersebut. 


Surga Yang Tak Dirindukan jelas tak bisa jauh dalam mengeksploitasi tangis haru biru agar mampu menguras air mata penontonnya, khususnya penonton wanita. Dan juga, eksploitasi pernikahan poligami dengan sokongan hadits-hadits dan juga ayat suci Al-Qur’an supaya konflik tersebut masih memiliki pondasi ajaran islam sehingga tak melenceng. Hanya saja, dengan adanya dasar dari ajaran suatu kepercayaan tak lantas membuat film ini jauh dari kesan naif.

Tak ada yang salah dengan hasil kerja dari Kuntz Agus dalam mengadaptasi novel dari Asma Nadia. Dengan jalan cerita yang terlalu naif dan bahkan cenderung memiliki masalah yang klasik, Surga Yang Tak Dirindukan masih memiliki pengarahan yang baik dari Kuntz Agus. Sehingga, problematika rumah tangga milik Pras dan Arini masih memiliki irama yang tepat di dalam presentasi. Penonton akan masih mudah menikmati hasil arahan dari Kuntz Agus.

Hanya saja, mungkin ada kesalahan dari sumber yang diadaptasi dari Kuntz Agus. Sumber asli yang ditulis langsung oleh Asma Nadia di dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan. Konflik-konflik yang dihadirkan tak ingin mencari penggambaran yang berbeda tentang konflik rumah tangga beristri tiga. Penggambaran karakter lelaki yang sholeh dan –tak tahu disengaja atau tidak –kembali diperankan oleh Fedi Nuril ini pun masih terkesan stereotip. Mengatasnamakan kelemahan wanita untuk sekali lagi merajut hubungan sah dengan wanita tersebut pun terkesan tak wajar. Apa lagi alasan yang terkesan mengada-ada membuat konflik Surga Yang Tak Dirindukan menjadi nyeleneh. 


Entah, apakah konflik-konflik seperti ini yang diidam-idamkan oleh para penonton, terutama wanita paruh baya berhijab, sebagai target pangsa pasar mereka. Menyaksikan sebuah film sebagai medium hiburan, tentu perlu memiliki referensi dan pengalaman yang sama agar penonton bisa memiliki keterikatan dengan karakternya. Pun rasanya terasa tak relevan, jika sang pangsa utama film ini memiliki keterikatan yang sama dengan konfliknya. Hanya saja, ada atribut ‘hijab’ yang dipasang dan simbol tersebut setidaknya memiliki relevansi yang sama dengan penontonnya.

Surga Yang Tak Dirindukan memang mampu menghadirkan suasana-suasana haru biru yang mampu menjadi bahan penguras air mata. Didukung dengan scoring yang grande meski (selalu) overused, hal ini diharapkan mampu mengoyak suasana hati penontonnya. Kuntz Agus masih mencari cara bagaimana mengemas sumbernya yang klise ini menjadi suatu tontonan yang berbeda. Meski tetap saja, Surga Yang Tak Dirindukan tak bisa jauh-jauh dari kesan tersebut. 


Tak ada yang menonjol, dari departemen aktingnya. Fedi Nuril tetaplah menjadi Fedi Nuril yang selalu memerankan karakter yang sama di setiap filmnya. Raline Shah sedikit berkembang dan Laudya Cynthia Bella mampu memberikan performanya yang bak di atas panggung dongengnya. Surga Yang Tak Dirindukan bisa jadi adalah sebuah kisah dongeng. Penuh dengan berbagai macam hal yang menerbangkan harapan para wanita berhijab yang memimpikan seorang imam yang menuntunnya menuju surga.

Meski tak ada yang salah dengan arahan dari Kuntz Agus, Surga Yang Tak Dirindukan tetap tak memiliki sesuatu yang mencoba berbeda dalam konflik dan penggambaran karakternya. Kenaifan tersebut menjadi kendala dari film ini untuk mampu tampil menjadi sajian haru biru yang sebenarnya enak untuk diikuti. Dan seperti karakter Arini, wanita dengan atribut hijab yang sama dengan Arini akan menjadikan Surga Yang Tak Dirindukan sebagai sebuah dongeng yang menjadi harapan mereka.
 

Kamis, 23 Juli 2015

ANT-MAN (2015) REVIEW : Small Size, Big Things

Setelah menuju akhir fase keduanya lewat Avengers : Age of Ultron, Marvel tak henti-hentinya untuk membuat dunia sinematik yang lebih besar... thumbnail 1 summary

Setelah menuju akhir fase keduanya lewat Avengers : Age of Ultron, Marvel tak henti-hentinya untuk membuat dunia sinematik yang lebih besar lewat fase ketiga. Setelah menambah karakter superhero di fase kedua lewat Guardians of The Galaxy, fase ketiga akan menambah beberapa barisan karakter superhero baru yang akan ikut serta membasmi kejahatan di kubu Avengers. Dan salah satu karakter manusia super pertama yang dikenalkan oleh Marvel adalah Ant-Man.

Karakter manusia super baru ini jelas akan terasa asing di mata penontonnya, layaknya film Guardian of The Galaxy kala itu. Ditambah lagi, akan terdengar menggelikan ketika tahu ada manusia super yang berubah ukuran sekecil ukuran semut. Tetapi kembali lagi, ketika ini adalah produk milik Marvel yang diproduseri oleh Kevin Feige, maka tak ada yang tidak mungkin menarik minat penonton untuk menyaksikan filmnya.

Film manusia super terbaru ini diarahkan oleh Peyton Reed yang menggantikan Edgar Wright yang seharusnya berada di posisi sutradara. Hanya saja, Edgar Wright tak serta merta meninggalkan proyek Ant-Man ini, bersama Joe Cornish dia tetap mendapat kesempatan sebagai penulis naskah untuk kisah manusia semut satu ini. Dengan premis yang terlihat nyeleneh ini, rasanya tepat untuk memberikan porsi bagi Edgar Wright dan Joe Cornish sebagai penulis naskah yang kiranya dapat menyokong keanehan manusia super satu ini. Tetapi, tetap bercitarasa Marvel lewat arahan Peyton Reed.


Hank Pym (Michael Douglas) menciptakan sebuah formula dan perlengkapan terobosan baru. Hal tersebut dapat membuat manusia berubah menjadi seukuran semut tetapi dengan kekuatan yang sangat besar. Hanya saja, proyek milik Hank Pym ini tersendat oleh beberapa kasus. Sehingga beberapa puluh tahun kemudian, Pym Tech –perusahaan milik Hank Pym –mendapatkan pimpinan baru yaitu Darren Cross (Corey Stoll) yang ingin membuat proyek mirip dengan milik Hank Pym.

Pym yang sudah lama mencari seseorang yang pantas membawa tanggung jawab atas perlengkapan supernya, menemukan seseorang dengan catatan kriminal papan atas, Scott Lang (Paul Rudd). Terkenal lewas kasusnya yang meretas Vista Corporation yang memiliki tingkat keamanannya yang tinggi. Dia kembali merampok demi memenuhi kebutuhan anaknya dengan mantan istrinya. Dan secara tak sadar, itu adalah tes untuk menjadi seorang Ant-Man yang dilakukan oleh Hank Pym dan anaknya, Hope (Evangeline Lilly).


Menjadi salah satu produk Marvel yang beresiko, jelas tak mudah untuk memperkenalkan Ant-Man kepada khalayak umum. Guardians of The Galaxy pun memang terdengar asing, tetapi premis dari filmnya masih bisa kita temui lewat Star Trek atau pun Star Wars. Berbeda dengan Ant-Man yang memiliki dasar yang lebih unik dan akan terlihat kesusahan untuk menemukan pasarnya. Tetapi, apa yang tidak mungkin jika proyek ini adalah proyek milik Marvel untuk memperluas dunia sinematik di fase terbarunya.

Ant-Man berhasil melampaui ekspektasi dan kekhawatiran dari para penikmat film yang takut tak akan bisa untuk bernegosiasi dengan premis unik milik Ant-Man. Film ini memang memiliki konflik yang terlihat lebih personal dibandingkan dengan film-film manusia super lain milik Marvel. Ant-Man memiliki konflik dengan skala yang lebih kecil layaknya seekor semut. Apa yang memengaruhi plot cerita hanya seputar konflik keluarga dan rekan bisnisnya tanpa ada impact dari villain untuk menguasai dunia.

Meski Ant-Man akan terlihat menjadi manusia super berukuran kecil, tetapi filmnya memiliki banyak sekali poin yang terasa sangat besar. Dengan konflik yang lebih sempit dan premis yang lebih unik, kedua hal ini lah yang ternyata yang menjadi kelebihan dari Ant-Man. Film arahan Peyton Reed ini bisa menggabungkan sebuah Heist movie dengan tema manusia super dan juga tak lupa konflik keluarga dengan takaran yang pas. Sehingga, Ant-Man memiliki kuantitas hati yang terasa lebih besar ketimbang film-film Marvel lainnya.


Edgar Wright dan Joe Cornish pun memiliki naskah yang mampu menggelitik penontonnya tanpa perlu kehilangan identitas mereka di dalam film-film sebelumnya. Hanya saja, tentu Edgar Wright dan Joe Cornish tidak bisa tampil se-eksperimental mungkin seperti film yang mereka garap sendiri. Jelas, ini karena Marvel membutuhkan sesuatu yang lebih terasa universal terlebih untuk karakter manusia super baru yang belum memiliki pangsa pasar yang jelas.

Naskah milik Edgar Wright dan Joe Cornish selalu bisa menghadirkan humor-humor pintar dan padat tanpa perlu terasa memaksa. Guyonan sarkastik menjadi andalan bagi Edgar Wright tetapi sangat berhasil membuat penonton sangat terhibur saat menonton Ant-Man. Juga, berbagai tata adegan yang mampu bergerak sangat dinamis dengan berbagai tempelan subplot cerita yang malah tak membuat Ant-Man menjadi sajian yang tersendat-sendat.
Dan Peyton Reed hadir untuk mengarahkan film Ant-Man menjadi sajian yang sangat menyenangkan. Menawarkan sesuatu yang malah terlihat segar dengan film yang menggunakan template yang sudah terasa familiar bagi penontonnya. Ant-Man memiliki sekuens aksi yang berbeda, meski terlihat besar, tetapi dipresentasikan dengan skala ukuran yang kecil. Dan hal tersebut pun, tak lantas menjadi suatu kelemahan bagi Ant-Man untuk menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuk diikuti.


Dengan Paul Rudd sebagai aktor utama, Ant-Man sangat terasa pas dengannya. Dia berhasil menghadirkan suasana komedi tanpa perlu berusaha keras menjadi seseorang yang konyol. Meski begitu kharismanya sebagai manusia super tetap ada di dalamnya. Dan Michael Pena yang juga berhasil menjadi pemeran pendukung yang mencuri perhatian penontonnya. Lewat karakternya, dia menjadikan Ant-Man menjadi sesuatu yang mengocok perut penontonnya.

Meski memiliki ukuran mikro seperti seekor semut, Ant-Man memiliki sesuatu yang sangat besar di dalamnya. Hadir lewat premisnya yang unik, naskah yang dinamis, dengan arahan yang tepat sehingga Ant-Man menjadi salah satu film Marvel yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Pun, Ant-Man memiliki kuantitas hati yang akan terasa lebih besar daripada film Marvel lainnya. Dengan konfliknya yang personal dan lebih sempit, tak menjadikan Ant-Man tak bisa sebesar film-film Marvel sebelumnya. Dan ini adalah Penutup yang bagus bagi Marvel Cinematic Universe Phase 2.

COMIC 8 : CASINO KINGS PART 1 (2014) : Kepingan Teka-teki Bagian Pertama

Setelah menjadi yang terlaris di tahun 2014, Comic 8 jelas akan menjadi sebuah film aksi komedi yang banyak diperbincangkan banyak orang. M... thumbnail 1 summary

Setelah menjadi yang terlaris di tahun 2014, Comic 8 jelas akan menjadi sebuah film aksi komedi yang banyak diperbincangkan banyak orang. Meski pun, kehadirannya menimbulkan dua kubu yang berbeda tetapi tak disangsikan lagi bahwa Comic 8 menjadi salah satu film blockbustermilik Indonesia yang akan ditunggu penontonnya. Terlebih, film ini sudah di-set memiliki sekuel yang telah di-tease pada akhir film pertama.

Kesuksesan seri pertama jelas membuat Falcon Pictures selaku rumah produksi memberikan lampu hijau kepada proyek sekuelnya kali ini. Anggy Umbara kembali memberikan komandonya terhadap film yang mengumpulkan 8 komika –sebutan untuk pelakon stand up comedy –dalam sebuah misi terbaru dalam sekuelnya. Dibantu oleh sang adik, Fajar Umbara, misi tersebut dituliskan lewat naskah dan mendapat bala bantuan dari Anggy Umbara.

Sekuel Comic 8 ini mendapatkan judul Casino Kings yang dibagi menjadi dua jilid yang dirilis pada tahun yang berbeda. Juli 2015 untuk seri pertama dan seri kedua pada bulan Februari 2016. Merilis seri pertama pada bulan Lebaran adalah keputusan yang tepat untuk mengulang kesuksesan seri pertamanya. Kekhawatiran jelas ada untuk Comic 8 : Casino Kings Part 1, membelah filmnya menjadi dua bagian yang berdiri sendiri tentu tak mudah. Meskipun, bagaimana Anggy Umbara menyampaikan ceritanya sedikit lebih baik. 


Terdampar di sebuah pulau antah berantah, Kali ini tim komika Fico, Babe, Bintang, Ernest, Kemal, Arie, Mongol, dan Ge sedang dalam masalah yang amat besar. Pulau tersebut penuh dengan buaya yang siap memakan mereka hidup-hidup bersama dengan para komika lain yang tak sengaja terseret dalam misi ini. 8 komika utama tak mengingat apapun yang sedang terjadi sebelum mereka berada di pulau antah berantah tersebut.

Mereka berdelapan seharusnya mendapatkan misi dari atasannya, Indro Warkop, untuk menangkap Casino Kings. Dia adalah raja judi termahsyur yang sedang melakukan bisnis perjudian paling besar untuk dilakukan sesegera mungkin. Sayangnya, mereka menemukan banyak sekali kesulitan dalam menjalankan misinya. Terlebih, mereka harus berpura-pura menjadi seorang komika yang melakukan tur untuk menutupi identitas aslinya. 


Kesan pretensius memang tak bisa lepas dari Comic 8, bagaimana Anggy Umbara dan Fajar Umbara menuliskan berbagai macam plot yang dianggapnya menarik ke dalam satu film berdurasi 100 menit. Comic 8 seri pertama memang tak mampu menunjukkan performa maksimalnya lewat komedi yang asyik atau pun penceritaan yang baik. Anggy Umbara memiliki problem untuk tak bisa menahan emosinya yang meledak-ledak ketika menyampaikan sebuah cerita di dalam filmnya.

Dan di dalam Comic 8 : Casino Kings Part 1 ini, kerumitan dan ide cerita yang besar menjadi masalah yang akan terasa signifikan. Dibagi menjadi dua bagian yang berdiri sendiri tentu bukan menjadi kabar baik bagi seri ini. Ya, bagian pertama ini penuh dengan berbagai macam konflik yang disesalkan ke dalamnya. Bahkan, bagian pertama ini akan terasa sangat mengulur waktu dengan berbagai stok subplot yang sebenarnya bisa dipangkas untuk memenuhi kriteria menjadi satu film utuh.

Cerita milik Casino Kings ini memang  terasa lebih rumit ketimbang seri pertamanya. Tetapi, meski Anggy Umbara dan Fajar Umbara memiliki kerumitan itu hanya saja ada yang berbeda dengan bagaimana Anggy bertutur di dalam Casino Kings Part 1 ini. Anggy bisa menahan dan menggoda penontonnya agar tetap betah dan ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam film ini. Kepingan demi kepingan cerita disebar dan hanya tinggal tunggu waktu kapan kepingan teka-teki tersebut tergabung menjadi sebuah gambar utuh. 


Comic 8 : Casino Kings Part 1 memiliki hal itu untuk menjadi kekuatan filmnya. Anggy tahu bagaimana untuk menyampaikan setiap kepingan tersebut agar menjadi tontonan yang seru dan membuat penontonnya penasaran akan apa yang terjadi oleh mereka. Menggunakan alur maju mundur yang terasa sangat tepat untuk menggoda penontonnya agar ikut masuk dalam menerka-nerka apa yang terjadi di dalam plot ceritanya.

Kepingan tersebut memang tetap menjadi sesuatu yang episodik seperti film sebelumnya. Seperti dalam sebuah buku, film ini memiliki bab-bab untuk menceritakan karakter-karakter dan benang merah apa yang menjadi fokus utama film ini. Hal tersebut membuat bagaimana Comic 8 kurang memiliki cara bertutur yang halus dan Anggy Umbara seperti membiarkan hal itu menjadi identitas bagi film-film Comic 8.

Pun, Anggy Umbara terlihat bingung dengan bagaimana menyampaikan cerita dari naskah miliknya dan Fajar Umbara di pertengahan filmnya. Tak hanya terlihat bingung, tetapi ritme film ini pun seperti sedang berjalan ditempat, tak tahu mau ke mana tempat agar bagian pertama dari Casino Kings ini berhenti bercerita. Ada beberapa adegan yang seharusnya bisa dipangkas agar Anggy Umbara tak tersendat dalam bertutur. 


Adegan-adegan yang ditambahi itu pun hanyalah sebuah adegan ekstra untuk menambah unsur komedi yang menjadi jualan utama film ini. Meski komedinya tetap menjadi sesuatu yang hit and miss, adanya pengulangan, dan membahas sensualitas, tetapi ada selipan komedi satir yang cukup menyenangkan untuk membuat tawa bagi penontonnya. Meski begitu, komedi di dalam film ini masih cukup bisa diterima oleh berbagai kalangan karena tak melulu soal slapstick.

Termaafkan lagi dengan bagaimana Comic 8 : Casino Kings Part 1 tahu benar mengartikan kata ‘blockbuster’. Casino Kings Part 1 ini membungkus filmnya menjadi sebuah film Indonesia yang mewah, megah, dengan berbagai visual efek dan cameo ternama di dalamnya. Ketika penonton mulai jengah dengan cerita yang mulai terengah-engah dan ledekan yang tak penuh tawa, Comic 8 : Casino Kings Part 1 masih akan memanjakan penontonnya lewat kemasan yang mewah, adegan aksi yang dibalut dengan slow motion yang cukup menarik. 


Bertepatan dengan hari Lebaran, hari di mana film Indonesia mencari penontonnya, Comic 8 : Casino Kings Part 1 hadir untuk meramaikan hari besar tersebut dengan kemasan filmnya yang megah dan mewah, juga melibatkan nama-nama besar dalam jajaran pemeran pendukung dan tamu spesialnya. Dengan konsep dan ide cerita yang lebih besar dan rumit, Comic 8 : Casino Kings Part 1 masih memiliki kelemahan untuk menuturkan itu semua dan menjadi kerikil yang menghalanginya. Tetapi, Anggy Umbara masih bisa membuat plot cerita miliknya menyenangkan dan penasaran untuk diikuti. Februari 2016 akan menjadi jawabannya. 

Rabu, 08 Juli 2015

TERMINATOR GENISYS (2015) REVIEW : They Are (Better) Not Totally Back

Di tahun 2015 ini, banyak sekali para sineas yang kembali menghadirkan film-film lama untuk mengusik memori penontonnya untuk sekedar bernos... thumbnail 1 summary

Di tahun 2015 ini, banyak sekali para sineas yang kembali menghadirkan film-film lama untuk mengusik memori penontonnya untuk sekedar bernostalgia. Pun, juga menjadi ajang mengenalkan kembali beberapa film yang pernah mashyur di zamannya kepada penonton-penonton baru. Film-film legendaris kembali hadir dengan beberapa upgrade agar bisa bersaing mengikuti perkembangan zaman yang sudah moderen ini.
 
Film legendaris milik Steven Spielberg,  lewat Jurassic World contohnya, film ini pun kembali menjadi sebuah film musim panas yang sensasional untuk pendapatannya. Star Wars yang juga mendapatkan episode terbaru untuk serinya yang akan rilis pada akhir tahun ini. Juga yang paling baru ini adalah seri dari film science fiction milik James Cameron, Terminator, yang mendapatkan babak baru. Meski James Cameron sudah absen semenjak seri ketiganya, Terminator tetap mendapat treatment dari sineas-sineas yang ingin mengolahnya kembali.

Semenjak episodenya di Rise of The Machine, seri Terminator ini sedikit mengalami penurunan respon positif dari para penontonnya dan kritikus. Hal itu semakin diperparah lewat episode Salvation yang disutradarai oleh McG. Setelah mendapat cercaan, Terminator tiba-tiba kembali hadir di seri kelimanya dengan Alan Taylor sebagai sutradaranya. Genisys, adalah judul dari seri kelima film Terminator yang ternyata tak memiliki i’tikad baik untuk mengembalikan lagi pamor dari dwilogi Terminator milik James Cameron ini. 


Terminator Genisys ini bukan lagi fokus ke karakter Sarah Connor, tetapi Kyle Russell (Jai Courtney) lah yang menjadi poin utama dari Terminator Genisys ini. Formula yang dilakukan oleh Terminator Genisys tetap sama, yaitu perjalanan lintas waktu yang dilakukan oleh Kyle Russell untuk mengubah masa lalu dari Sarah Connor (Emilia Clarke) yang ternyata berpengaruh terhadap masa depan. Misi tersebut sebenarnya adalah perintah dari John Connor (Jason Clarke), pemimpin perlawanan yang juga anak dari Sarah Connor.

Ketika Kyle Russell kembali di tahun di mana Sarah Connor masih hidup, Sarah Connor tahu apa yang sedang terjadi. Sarah ditemani oleh Terminator (Arnold Schwarzenegger) yang juga dikirim dari masa depan kepadanya yang diutus untuk melindunginya. Kyle yang baru saja tiba di tahun tersebut merasa bingung dengan keadaan Sarah yang sudah tahu akan hal tersebut. Maka, Kyle, Sarah, dan sang Terminator berusaha untuk menyelamatkan masa depan dengan menyerang Skynet yang ada di masa lalu agar tak berpengaruh terhadap kehidupan masa depan. 


Ketika sudah terjatuh lewat Salvation, adalah sesuatu yang mengejutkan ketika Terminator masih harus kembali bangkit untuk mendapatkan perhatian penontonnya. Sayangnya, Terminator Genisys memiliki kesalahan yang fatal dalam membangun sebuah film legendaris milik James Cameron. Terminator Genisys memiliki kesalahan dalam membangun karakter-karakternya yang sudah menjadi identitas dari seri-seri Terminator sebelumnya.

Terminator Genisys jelas-jelas merusak segala linimasa cerita yang sudah dibangun susah payah oleh James Cameron. Skrip yang ditulis oleh Laeta Karogridis dan Patrick Lussier, Termiator Genisys sangat tertatih menjelaskan ulang linimasa Terminator yang diporak porandakan olehnya. Potensi ingin mengubah citra film-film Terminator sebelumnya pun diubahnya menjadi sebuah bencana besar yang tentu saja akan menjadi bumerang terhadap performa Genisys di sekian banyak seri dari Terminator.

Terlihat benar, bagaimana Terminator Genisys ini memedulikan benar apa arti kata Blockbuster di dalam filmnya. Dengan budget yang besar, Terminator Genisys memang akan memesona penontonnya dengan berbagai sekuens aksi dengan visual yang besar. Tetapi, Alan Taylor melupakan bagaimana dia harus menyampaikan setiap cerita tentang paradoks lintas waktu yang seharusnya membutuhkan penjelasan dan jawaban yang lebih. Tetapi, hal tersebut benar-benar hilang dari 126 menit milik Terminator Genisys. 


Alih-alih menjadi sebuah sajian film blockbuster yang menyenangkan lewat sekuens aksinya yang besar, Terminator Genisys tak ubah adalah sebuah film dengan visual hebat yang melelahkan. Terlebih, karakterisasi yang terlihat benar-benar salah untuk film yang sudah menjadi salah satu film legendaris dan klasik. Bagaimana karakter John, Sarah, dan Kyle yang menjadi poin utama di seri-seri Terminator benar-benar menjadi sebuah karakter baru yang tak pernah penonton lihat sebelumnya.

Bisa jadi, karakterisasi yang berubah dalam Terminator Genisys ini adalah sebuah strategi bagi Alan Taylor agar bisa menjangkau penonton baru yang tak pernah mengikuti seri ini. Sayangnya, strategi Alan Taylor itu benar-benar gagal karena bagaimana sang sutradara tak benar-benar mampu menyampaikan skrip milik Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier yang berusaha untuk tampil pintar. Sayangnya, Terminator Genisys malah terpuruk karena skrip garapan mereka yang terlihat merumitkan diri tanpa tahu bagaimana menyelesaikan kerumitan itu.

Bukan hanya gagal menyampaikan alur cerita paradoks-paradoks lintas waktu dengan baik, tetapi Alan Taylor pun gagal menyelipkan emosi ke dalam Terminator Genisys. Tak ubahnya, Genisys menjadi sangat dingin layaknya robot-robot yang ada di dalam film ini. Bahkan, adegan aksinya yang sangat besar itu pun tak bisa memiliki tensi yang kuat dan malah berubah menjadi sebuah parade visual yang menjemukan. Begitu pula para departemen akting, Jai Courtney dan Emilia Clarke tak bisa tampil maksimal. Meski Arnold Schwarzenegger tetap berusaha untuk membuat Genisys tak kehilangan nyawa. 


Dan para penonton hanya akan berharap dari paruh pertama yang menyelipkan adegan-adegan identitas milik dwilogi Terminator. Alan Taylor mengadegankan lagi beberapa adegan ikonik yang akan dengan mudah menghadirkan nuansa nostalagia bagi penonton yang telah mengikuti seri terminator sebelumnya. Tetapi, tak serta merta adegan-adegan itu bisa menjadi penawar dari berbagai kekacauan yang telah dihadirkan oleh Alan Taylor di dalam Terminator Genisys ini.

Lain hal dengan Jurassic Worldyang mampu me-reka ulang kemagisan Jurassic Park milik Steven Spielberg. Terminator Genisys arahan dari Alan Taylor malah dengan gampangnya merusak segala linimasa dari dwilogi Terminator milik James Cameron dan menjadikannya sebagai sebuah film sekuel yang sia-sia. Meski dibalut dengan visual megah dalam adegan aksinya, tetapi ada kesalahan dalam karakter di dalam Terminator yang sudah melegenda dan skrip yang berusaha rumit tetapi malah salah interpretasi. Terminator Genisys tak memperbaiki apa jejak rekam buruknya sejak Salvation.

 

Senin, 06 Juli 2015

MINIONS (2015) REVIEW : Over Spotlight for A Cameo

Menjadi sebuah peran kecil di suatu film layar lebar lantas tak membuat beberapa karakter ini menjadi tak memiliki sorotan. Scrat di Ice Ag... thumbnail 1 summary

Menjadi sebuah peran kecil di suatu film layar lebar lantas tak membuat beberapa karakter ini menjadi tak memiliki sorotan. Scrat di Ice Age, Aliens di Toy Story, dan Minions di Despicable Me adalah karakter sampingan yang secara tak sengaja memiliki sorotan lebih dari penonton. Dan dewi fortuna berpihak kepada Minionsyang pada akhirnya menjadi karakter yang disayangi oleh penontonnya karena tingkah lakunya yang menggemaskan. Dan juga, bahasa yang mereka gunakan dalam melakukan percakapan sehari-hari.

Karena ingin tak hanya dijadikan sebuah gimmick dalam film Despicable Me, Pierre Coffin memiliki berbagai juta alasan untuk menghadirkan Minions dalam sebuah satu film dengan durasi penuh 90 menit. Dalam Despicable Me seri kedua, Minions memang benar-benar mengambil alih screening time karakter-karakter utamanya. Dan hal tersebut mengakibatkan kacaunya plot utama yang harus berkorban demi karakter sampingan tersebut. Dan Pierre Coffin mempersembahkan sebuah cerita orisinil dari makhluk kuning yang mendukung kegiatan kejahatan Gru ini.

Sebuah spin-off yang ditujukan kepada para makhluk kuning menggemaskan ini tetap disutradarai oleh sang sutradara dari Despicable Me, Pierre Coffin. Film stand alone dari makhluk kuning ini pun berjudul sama dengan nama makhluk tersebut, Minions. Tentu, film Minions hadir sebagai sebuah kesempatan besar bagi makhluk kuning itu mendapatkan sorotan penuh. Hanya saja, Minions belum bisa menjadi sebuah hidangan utama yang lezat. Tak sama seperti saat mereka menjadi sebuah hidangan pendamping. 


Minions menceritakan sebuah cerita orisinil tentang para makhluk kuning itu. Mereka adalah asisten dari para penjahat yang ada di dunia. Mereka berpindah dari satu majikan ke majikan yang lain karena kecerobohan mereka yang selalu membuat nyawa majikan mereka terancam. Para Minions pun diburu dan tidak diinginkan lagi keberadaannya. Mereka pun tak memiliki majikan yang menyebabkan mereka tak memiliki semangat hidup lagi.

Dan Kevin, Stuart, dan juga Bob berusaha untuk menjadi Minions yang berani lagi mencari majikan yang pas bagi mereka. Mereka berpetualang untuk mencari majikan yang pas bagi mereka. Hingga suatu saat, mereka berada di sebuah pameran untuk orang-orang jahat dan bertemu dengan penjahat terkenal, Scarlett Overkill (Sandra Bullock). Kevin, Stuart, dan Bob menjadi asisten bagi Scarlett Overkill dan misi pertama mereka adalah mencuri mahkota ratu Inggris. 


Minions bisa dibilang adalah spin-off dan sekaligus menjadi sebuah prekuel bagi kehidupan kejahatan Gru dalam film Despicable Me. Minions mengambil setting waktu beberapa tahun sebelum dia bertemu dengan Gru. Sebagai sebuah prekuel, Minions memiliki beberapa poin menarik yang menjadi trivia bagi para fans seri Despicable Me. Mereka jadi tahu seperti apa dan bagaimana awal mula Gru memiliki Minions sebagai asisten mereka dalam melakukan tindakan kejahatan.

Sayangnya, sebagai sebuah Spin-Off, Minions gagal menjadi sebuah tontonan yang mengesankan penontonnya. Dengan adanya Minions, hal ini membuat Despicable Me seri pertama menjadi sebuah keberuntungan pemula dari sang sutradara. Minions pun seperti sebuah film yang seharusnya bisa berhenti dalam durasi paling maksimal 60 menit. Tetapi, durasi minions yang hanya 82 Menit terasa banyak sekali plot yang terlalu panjang dan beberapa adegan hadir untuk memenuhi durasi.

Kehadiran Minions dalam Despicable Me menjadi salah satu adegan yang akan dinantikan oleh penontonnya. Tetapi, berbeda ketika para makhluk kuning itu selalu hadir di sepanjang durasinya, mereka benar-benar tidak memiliki daya tarik lebih ketika memiliki origin story-nya sendiri. Hanya dengan bermodalkan beberapa dialog abstrak yang diadaptasi dari berbagai bahasa di dunia juga pengantar narasinya, Minions akan dengan mudah membuat penontonnya kelelahan untuk berusaha mengerti apa yang disampaikan oleh Minions. 


Kurang adanya relevansi bahasa atau pun sikap yang dilakukan oleh Minions terhadap penontonnya, membuat penonton tak memiliki rasa simpati lebih terhadap karakter Kevin, Stuart, atau pun Bob. Bahkan, karakter layaknya Scarlett Overkill tak bisa membuat plot utama dari film ini bergerak dengan lancar. Ada yang hilang dari karakter-karakter di dalamnya, tak ada nyawa yang bisa menggerakkan koneksi penonton dengan filmnya.

Layaknya para penjahat di dalam filmnya, film Minions memiliki suasana hati yang dingin. Pierre Coffin tak memikirkan sedikitpun keikutsertaan suasana hati penontonnya agar bisa menjaga relevansi di sepanjang 89 menit durasinya. Bahkan, tingkah laku menggemaskan para Minions pun telah dirilis lewat trailer-nya. Maka, hasilnya, tak ada sama sekali kejutan-kejutan manis yang berhasil membuat penontonnya pun tertawa. Hanya beberapa bagian yang akan membuat senyum simpul, bahkan untuk anak-anak.

Maka, bersyukurlah Minions masih memiliki kualitas animasi yang sangat mengagumkan. Detil-detil setiap gambar di dalam adegan film Minions mampu membuat penonton betah untuk melihatnya. Dan kekuatan dari Minions adalah desain karakter Minions yang unik dan juga menggemaskan, meski tak bisa diaplikasikan ke dalam tingkah lakunya di dalam film. Pun ada satu momen untuk penonton Indonesia di mana Minions mengucapkan beberapa bahasa Indonesia di dalam filmnya. Setidaknya Minions memiliki suatu Intermezzo untuk dibicarakan. 


Dan benar, karakter Minions sebagai seorang pendamping atau bahkan bisa dibilang Cameo di dalam film Despicable Me, tak bisa memiliki sinar yang sama ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk bermain di dalam filmnya sendiri. Film Minions tak ubahnya menjadi sebuah film animasi yang ada hanya untuk memuaskan para fans dari Minions. Nyatanya, keberadaan Minions yang selalu muncul di sepanjang durasi malah membuat penontonnya tak memiliki relevansi dengan mereka. Maka, Minions hanya tepat disajikan sebagai makanan pendamping dalam Despicable Me
ads