Sabtu, 29 Agustus 2015

F.A.Q - Arul’s Movie Review Blog’s Writer

Ketika membaca blog ini, mungkin orang-orang akan bertanya “Who is the writer?” (atau mungkin saya yang kepedean). Maka, di fitur pos kali... thumbnail 1 summary

Ketika membaca blog ini, mungkin orang-orang akan bertanya “Who is the writer?” (atau mungkin saya yang kepedean). Maka, di fitur pos kali ini, saya akan menggunakannya sebagai i’tikad baik untuk mengenalkan diri saya kepada pembaca. Ya, mungkin tak terlalu banyak, setidaknya agar blog ini tak terkesan sebagai sebuah sistem yang hanya berkomunikasi satu arah dan saya –sebagai penulis –tak menjadi seorang yang terkesan satu dimensi.  
 
Pos kali ini mungkin akan lebih seperti sebuah tanya jawab dari saya sendiri untuk dijawab sendiri. Pertanyaan tersebut berdasarkan dari beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan oleh teman, beberapa followers di social media, atau pun para pembaca blog ini.

Q : Halo, Arul’s Movie Review Blog boleh kenal sama adminnya? Ada berapa orang ya?
A : Halo, boleh kok.  Kebetulan ini adalah blog pribadi, jadi cuma diurus sama satu orang saja.

Q : Boleh kenal lebih lagi gak?
A : Boleh, perkenalkan saya Muhammad Qodarul Fittron. Panggil saja Arulatau Arul Fittron, nama setiap sosial media saya kebanyakan sama sih, boleh lah follow twitter atau instagram milik saya juga. Saya mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya angkatan 2013. Jadi, saya masih Semester 5 di perguruan tinggi tersebut tidak setua yang kalian bayangkan. Asli Gresik, jadi merantau hanya untuk menuntut ilmu dan menonton film. (Gresik gak ada bioskop, jadi terpaksa ke Surabaya juga kalo nonton). Suka koleksi Bluray dan DVD juga, koleksi buku, dan juga CD musik yang sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang sangat membutuhkan uang dan maintenance yang susah.

Q : Udah punya pacar belum, kak?
A : Sudah, akhirnya. Setelah beberapa tahun tidak memiliki pasangan, akhirnya ketemu juga yang cocok. Namanya Talin Vania Salim, beruntung juga dia bisa saya andalkan dan mendukung saya dalam hal yang saya sukai. What kind of dreamy Girlfriend, right? Don’t be jelly at me. Haha.

Q : Udah berapa lama nge-blog dan menulis review kayak gini, kak?
A : Udah semenjak kelas 2 SMA, tahun 2012 lebih tepatnya. Jadi, sudah 3 tahun ini saya menulis review di blog saya.

Q : Bagaimana awalnya kok bisa nulis Review kayak gini?
A : Iseng sih awalnya. Dulu suka baca beberapa review di situs luar kayak rogerebert.com atau yang lain. Terus baca blog punya orang sini juga, kayak punyanya om Daniel Dokter yang terkenal itu, haha. Lama-lama saya pun mencoba untuk menulis review film. Pun itu pada awalnya karena beberapa teman yang selalu menanyakan film ini bagus apa tidak kepada saya. Jadi, saya bertekad untuk mencoba menulis di blog pribadi saya.

Q : Gitu itu belajar nulis review dari mana? Kok bisa pro gitu?
A : Tidak ada belajar dari mana-mana, sebenernya. Tulisan-tulisan di blog saya pun hanya sekedar corat coret ataupun keluh kesah saya ketika menonton sebuah film. Semua itu berdasarkan sudut pandang subjektif saya dalam menonton sebuah film. Tentu dengan memperhatikan pengalaman menonton saya, dan juga referensi-referensi dari satu film ke film lainnya untuk memberikan sebuah parameter mana film yang bisa dikatakan bagus dan mana yang tidak. Dan semua hal itu saya tuliskan ke review saya di blog ini. Pada awalnya, toh ya tulisan saya tak jauh seperti tulisan-tulisan pemula dengan diksi (pemilihan kata) yang juga terbatas. Lambat laun, karena terbiasa menulis, tulisan saya pun sepertinya ikut berkembang. Yang dulu hanya menulis review sekitar 2 sampe 3 paragraf, ya sekarang bisa sekitar 10-12 paragraf, kira2 700-800 kata per review.

Q : Pernah bikin film emang? Kenapa kok bisa komentarin film?
A : Belum pernah, cuma kalo misal kudu nonton film dulu terus bisa komentar sama film? Mana yang bisa dibilang kebebasan berpendapat. Masa ya kudu jadi Presiden dulu, baru bisa komentarin kinerja pemerintah? Iya, kadang orang-orang itu punya standar ganda.

Q : Pernah dapet aja kak saat nulis review di blog?
A : Lumayan banyak. Ini kan blog pribadi, seenggaknya dapet feedback dari pembaca dan respon positif dari mereka ya lumayan menghibur saya. Mungkin pernah dapat beberapa hadiah dari lomba-lomba review online yang diadakan oleh beberapa pihak. Juga pernah masuk nominasi di ajang apresiasi film Indonesia yang juga menawarkan ajang penulisan kritik film di Piala Maya 2014, meskipun belum pernah menang juga sih. Moviebloggers–sebutan para penulis review film di blog –sudah mulai diperhitungkan juga di sini. Banyak sekali rumah produksi atau distributor yang mengajak kerjasama lewat screening film atau pemutaran film mereka. Tetapi, karena letak geografis yang tidak mendukung karena biasanya pemutaran itu diadakan di Jakarta, jadi saya cukup gigit jari saja. Kadang juga pernah ada yang mengirimkan saya tiket gratis menonton film tertentu untuk mendapatkan respon dari saya.

Q : Gak capek gitu nulis terus di blog ?
A : ya capek sih kadang. Makanya ada beberapa film tertentu yang gak saya tulis reviewnya di blog. Biasanya mungkin karena film tersebut merupakan film gudang di bioskop atau sedang saya tonton via laptop atau dvd. Biasanya mungkin ada short review yang akan saya tulis di social media saya seperti Twitter atau Path.

Q : Semua film bioskop kamu tonton ya?
A : gak semua film juga sih, kalo ada film-film kelas B, apalagi yang mendapat respon negatif ya sebisanya akan saya hindari. Begitu pun dengan Film Indonesia, saya akan lebih jeli melihat siapa yang membintangi dan siapa sutradaranya.

Q : Blognya bisa jadi penghasilan buat penulisnya juga dong?
A : Untuk sampai saat ini sih, belum. Karena ini adalah hal yang saya suka, menulis dan menonton film. Jadi, setidaknya blog ini bisa digunakan sebagai blog review film yang informatif bagi pembacanya pun saya sudah senang.

Q : Jadi, uang nontonnya dari uang pribadi ya?
A : Untuk sampai saat ini, iya. Pun, saya juga berharap blog ini bisa menjadi sesuatu yang besar bagi saya.
Q : Boleh minta kontaknya, gak ? siapa tahu perlu untuk memberikan invitation event atau screening film?
A : Boleh, via email ya arulfittron@gmail.com

Sekian, Frequently Asked Question tentang penulis dari blog ini. Jika ada yang mau ditanyakan lagi, tak menutup kemungkinan akan ada fitur pos Frequently Asked Question yang kedua. Jadi, bisa lah siapkan pertanyaan di kolom komentar pos ini.

Sabtu, 22 Agustus 2015

THEATRICAL GUIDE 2.0 - Favorite Place to Watch A Movie in Surabaya

  Its been 3 years ago, i wrote about what’s my favourite place to watch a movie and I think it is a potential posts to give information for... thumbnail 1 summary
 
Its been 3 years ago, i wrote about what’s my favourite place to watch a movie and I think it is a potential posts to give information for my blog’s readers. So, in this posts, I would like to upgrade the information about all the theatres in Surabaya. And of course I would like to choose where is my favourite place to watch a movies.

But first, I would love to write to In Bahasa. Because, you guys know, my skill in English was bad, so bad. There you go, the next sentence would be write in Bahasa.

Setelah selama 2 tahun merantau di kota Surabaya untuk mencari Ilmu, (Iya, saya hanya orang Gresik yang di kotanya tak ada bioskop), saya sudah bisa menjamahi beberapa bioskop yang 3 tahun lalu belum pernah saya datangi. Pos kali ini akan menjadi sebuah panduan lengkap untuk merasakan sebuah kenikmatan juga kenyamanan menonton yang akan kalian rasakan di beberapa bioskop di Surabaya.

Surabaya hanya memiliki bioskop milik jaringan 21/XXI. Sehingga, tak adalah itu Blitzmegaplex yang bahkan sekarang sudah berubah nama menjadi CGVBlitz, Cinemaxx atau pun Platinum Cineplex. Maka, mungkin beberapa orang akan mengira mereka akan mendapatkan pengalaman menonton yang sama dari satu bioskop ke bioskop lainnya. Nyatanya tidak, akan ada sesuatu yang berbeda yang akan dirasakan penontonnya. Maka, berikut saya berikan daftar bioskop yang ada di Surabaya.

Mulai dari bioskop bertuliskan 21 berwarna merah dan biru.

Delta 21



Iya, bioskop ini memang paling tak nyaman di semua tempat yang ada. Ada bau yang tak sedap di dalam studionya, penonton yang berisik, dan sistem suara yang ala kadarnya. Hanya saja, bioskop ini menawarkan harga tiket yang murah. Juga, bioskop ini menayangkan film-film Indonesia terbaru yang baru rilis jika tak mendapatkan jatah layar di bioskop lain.

HTM :
Weekdays           : Rp. 25.000
Friday                 : RP. 30.000        
Weekend            : Rp. 35.000

Tunjungan 21

Sama dengan Delta 21, Tunjungan 21 akan jauh lebih bagus dan masih memiliki treatment yang bagus dari pemiliknya. Kualitas suara, tempat yang nyaman, masih menjadi keunggulan di Tunjungan 21 yang dulu pernah menjadi bioskop kualitas nomor wahid di Surabaya. Pun begitu, Tunjungan 21 akan menjadi tempat untuk mengapresiasi film Indonesia meskipun kadang ada film Box Office yang mampir ketika Tunjungan XXI tak bisa menampung penontonnya.

HTM :
Weekdays           : Rp. 25.000
Friday                 : Rp. 30.000
Weekend            : Rp. 40.000

Masih ada 2 lagi bioskop dengan logo 21 berwarna merah dan biru. Hanya saja, dua bioskop itu belum pernah saya datangi. Jadi, mari kita menuju ke Bioskop berlogo angka romawi, XXI.

Tunjungan XXI


Di dalam satu mal, ada dua bioskop meski memiliki perbedaan dalam segi interior. Tunjungan XXI memiliki 4 studio dengan Dolby 7.1 sebagai pelengkap. Hanya saja, studio besar di bioskop ini hanya di studio 1. Sisanya, memiliki layar kecil dengan kapasitas yang juga kecil. Menonton di Tunjungan XXI pun mungkin akan menyiksa. Kebiasaan penonton yang suka membawa makanan dari luar membuat bioskop ini akan sedikit bau. Pun juga, kebiasaan penonton yang suka membuka HP saat menonton mungkin akan lebih sering terlihat di bioskop ini. Juga, tata suara yang tak akan terasa maksimal di bioskop membuat Tunjungan XXI menjadi pilihan terakhir ketika akan menonton bioskop.

HTM (2D & 3D) :
Weekdays           : Rp. 40.000
Friday                 : Rp. 50.000
Saturday             : Rp. 75.000 (Supported promo by BCA Credit Card)
Sunday               : Rp. 60.000

Equipped in 3D is in Studio 2

Galaxy XXI 


Galaxy XXI ini mungkin hanya mengupgrade interiornya yang sebelumnya berlogo angka 21. Sehingga, tak ada perubahan siginifikan dalam bioskopnya itu sendiri. Dilengkapi dengan 5 studio, Galaxy XXI memiliki 2 Studio besar bertata suara THX dan juga 3 studio kecil. Galaxy XXI pun tak terlalu memiliki performa yang bagus untuk bioskopnya. Meski memiliki 2 studio besar, layar di dalam teaternya tak cukup besar untuk memanjakan mata penontonnya. Apalagi jarak antar kursi atas dan bawahnya yang agak terlalu sempit.

HTM (2D & 3D) :
Weekdays           : Rp. 40.000
Friday                    : Rp. 50.000
Weekend            : Rp. 60.000

-Equipped in 3D is in Studio 1 and Studio 5
-No Promo Allowed.
-Only Paid in cash

Supermall XXI


Sama dengan Galaxy XXI, Supermall XXI hanya meng-upgrade dirinya dengan interior yang lebih bagus. Supermall XXI memiliki 5 Studio, 2 Studio besar, 1 Studio medium, dan 2 Studio kecil. Supermall XXI mungkin sama dengan Galaxy XXI ketika merasakan pengalaman menonton. Hanya saja, studio di Supermall XXI akan terasa lebih landai dan memiliki layar yang cekung. Sehingga sedikit lebih nyaman ketika menonton di sini.

HTM (2D & 3D) :
Weekdays           : Rp. 35.000
Friday                    : Rp. 40.000
Weekend            : Rp. 50.000

Equipped in 3D is ini Studio 2

Lenmarc XXI 


Inilah bioskop dengan HTM paling murah di Surabaya. Meski begitu, Lenmarc XXI masih memiliki bioskop yang layak untuk dijadikan tempat menonton. Hanya saja, mal tempat bioskop ini didirikan mungkin akan terlalu sepi. Dilengkapi dengan 4 Studio, 1 Studio Deluxe, 1 Studio Medium, dan 2 Studio kecil. Sayangnya, bioskop ini tak dilengkapi dengan format 3D dan juga service yang kurang menyenangkan. Apa lagi, ketika ada penonton yang masih tinggal di tempat untuk menyaksikan after credit scene yang biasanya ada di beberapa film. Dengan sangat tak hormat, mereka akan mematikan proyektornya.

HTM (In 2D) :
Weekdays           : Rp. 30.000
Friday                 : Rp. 40.000
Weekend            : Rp. 50.000

Sutos XXI 


Inilah bangunan XXI pertama yang ada di Surabaya. Pun juga, menjadi XXI pertama di Surabaya yang memiliki studio dengan format tiga dimensi. Cukup nyaman untuk menonton sebuah film di bioskop ini. Sutos XXI memiliki 6 Studio, 2 Studio Deluxe, 2 Studio Medium, dan 2 Studio Kecil. Tetapi, bioskop ini akan sangat ramai di hari Jumat malam dan Sabtu Malam. Jadi, ya, siap-siap saja.

HTM (2D & 3D) :
Weekdays           : Rp. 35.000
Friday                    : Rp. 40.000
Weekend            : Rp. 50.000

-Equipped in 3D is in Studio 3 & Studio 6
-Promo Allowed :  Simpati Friday Movie Mania

Pakuwon City XXI 


Dulu, bioskop ini menjadi bioskop kambing hitam. Karena letaknya yang ada di sebuah kompleks perumahan, bioskop ini jarang dijamah oleh penonton. Semakin lama, bioskop ini ramai penonton karena dekat dengan sebuah Institusi teknik dengan harga tiket yang cukup murah dibanding yang lain. Tetapi siap-siap saja, Pakuwon City tak didukung sistem M-Tix jadi harus antri. Pakuwon City XXI memiliki 4 studio, 2 Studio Besar, dan 2 Studio Kecil. Pakuwon City XXI pun tak memiliki studio berformat tiga dimensi.

HTM (In 2D) :
Weekdays           : Rp. 35.000
Friday                    : Rp. 40.000
Weekend            : Rp. 50.000

Grand City XXI


Grand City XXI pernah menjadi bioskop favorit saya 3 tahun lalu. Tempatnya yang nyaman, mal yang ada ditengah kota dan memiliki tata suara yang bagus. Hanya saja, Grand City XXI tak memiliki maintenance yang baik. Studio yang biasa untuk memutar format tiga dimensi pun terkadang sering mengalami gangguan teknis. Hanya saja, Grand City XXI masih menjadi tempat alternatif untuk merasakan pengalaman menonton yang sangat baik. Memiliki 6 Studio, 2 Studio Deluxe, 2 Studio Besar, dan 2 Studio Medium.

HTM (2D & 3D) :
Weekdays           : Rp. 40.000
Friday                    : Rp. 50.000
Weekend            : Rp. 60.000

Equipped in 3D is in Studio 3

Ciputra World XXI 


There you go, bioskop favorit saya selama beberapa tahun terakhir ini. Ciputra World XXI memiliki bioskop dengan performa yang luar biasa. Jelas, akan menambah pengalaman menonton yang luar biasa. Tata suara Dolby 7.1 yang akan terasa sangat maksimal di setiap studionya. Pun juga, telah diperbarui dengan tata suara Dolby Atmos yang semakin luar biasa. Ciputra World XXI dilengkapi 8 Studio, 2 Studio Deluxe, 4 Studio Besar, dan 2 Studio Medium.

HTM (2D & 3D) :
Weekdays           : Rp. 40.000
Friday                    : Rp. 50.000
Weekend            : Rp. 60.000

-Equipped in 3D is in studio 3
-Equipped Dolby Atmos is in Studio 1
-Promo allowed : T-cash on Monday by Simpati

Setelah menjelajah bioskop dengan logo XXI, ada lagi bioskop dengan tulisan The Premiere. Bukan, ini bukan tempat menonton film jika pertama kali rilis. Hanya saja, bioskop dengan tulisan ini akan lebih eksklusif dengan tempat duduk yang nyaman. Dilengkapi dengan Sofa dan selimut agar penonton lebih nyaman.



Lenmarc Premiere
Di sini, mungkin sama saja dengan studio kecil yang dirubah tempat duduknya menyesuaikan agar bisa disebut sebagai studio Premiere. Layarnya pun kecil, tak sebanding dengan layar Deluxe atau studio besar di Lenmarc.

HTM (in 2D) :
Weekdays           : Rp. 60.000
Friday                    : Rp. 75.000
Weekend            : Rp. 100.000

Ciputra World Premiere
Memiliki dua studio premiere yang memiliki layar yang sama dengan studio besar miliknya. Dengan tata suara yang menyenangkan, jelas Ciputra World Premiere mungkin menjadi tempat yang nyaman jika ingin menonton dengan cara yang lebih eksklusif.

HTM (In 2D) :
Weekdays           : Rp. 75.000
Friday                    : Rp. 100.000
Weekend            : Rp. 150.000

Grand City Premiere.
Untuk urusan studio Premiere, Grand City tetap yang paling menyenangkan di antara yang lain. Studionya memiliki kapasitas lebih besar, layar di Premiere Grand City pun memiliki layar cekung yang menyenangkan dan juga lebih besar. Tata suara Dolby 7.1 yang juga menyenangkan. Grand City Premiere pun menjadi studio Premiere yang paling nyaman.

HTM (In 2D) :
Weekdays           : Rp. 75.000
Friday                    : Rp. 100.000
Weekend            : Rp. 150.000

At the end of the post, ini hanyalah pengalaman subjektif yang saya rasakan sebagai penikmat film untuk merasakan pengalaman menonton yang lebih nyaman dan menyenangkan. Semua itu tergantung pada kalian, mau menonton di mana dan hari apa. Jika kalian tahu promo-promo dan ingin share pengalaman kalian di bioskop-bioskop tersebut, bisa tuliskan di kolom komentar. Jadi, sudah menentukan mau nonton di mana? 

INSIDE OUT (2015) REVIEW : Another Pixar’s Best Animated (e)Motion Picture

  Pixar memang memiliki masalah untuk bangkit lagi ketika Cars 2 merusak segala kedigdayaannya dalam sebuah film animasi. Tahun 2012 dan 2... thumbnail 1 summary
 
Pixar memang memiliki masalah untuk bangkit lagi ketika Cars 2 merusak segala kedigdayaannya dalam sebuah film animasi. Tahun 2012 dan 2013, Pixarsusah untuk mengembalikan lagi kepercayaan penonton terhadap animasi buatannya. Meskipun, Brave, animasi miliki Pixar di tahun 2012 mendapatkan penghargaan Best Animated Picture di ajang Academy Awards tahun 2013. Tahun 2014, Pixar mengambil hiatus untuk merilis film animasi agar bisa berkonsentrasi untuk menghasilkan film animasi terbaiknya.
 
2015 menjadi tahun di mana Pixarakan membalaskan dendam. 2 film animasi Pixardirilis hanya dalam selang beberapa bulan. Inside Out dan The Good Dinosaur menjadi 2 film animasi Pixar yang akan turun ke medan perang, bersaing dengan film-film animasi lainnya. Inside Out, muncul berada di barisan terdepan film animasi rilisan Pixar dan digadang menjadi sebuah film animasi dengan cerita orisinil dan akan mengembalikan kepercayaan penonton dalam rekam jejak karya milik Pixar.

Pete Docter, sutradara yang berdedikasi penuh di animasi Pixar lewat Up dan Monsters Inc., kembali menghasilkan animasi indah yang akan membuat penonton terpukau. Inside Out, jelas menjadi salah satu film animasi terbaik yang pernah dibuat oleh Pixar yang mampu mengembalikan kedigdayaan Pixar sebagai salah satu tempat film-film animasi terbaik dibuat. Inside Out memiliki performa luar biasa indah dan membuat hati terpanah oleh kisahnya. 


Riley (Kaitlyn Dias), bocah perempuan berusia 11 tahun yang selalu mengalami keceriaan di dalam hari-harinya. Dia memiliki keluarga yang bahagia, teman-teman yang selalu mendukungnya, hobinya dalam Hockey yang berprestasi, dan juga tempat tinggal yang nyaman di Minnesota. Hingga suatu ketika, sang Ayah memutuskan untuk pindah ke San Fransisco untuk urusan bisnisnya. Kehidupan Riley yang lama pun satu persatu hilang dan harus menjalani kehidupannya yang baru.

Hanya saja, cerita sebenarnya bukan berada di kehidupan Riley, melainkan ada di kepala Riley. Bertemulah dengan Joy (Amy Poehler), Sadness (Phyllis Smith), Fear (Bill Hader), Disgust (Mindy Kailing), dan Anger (Lewis Black). Mereka adalah penyeimbang emosi Riley dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Dan saat kehidupan Riley mulai berantakan, Sadness membuat ulah. Ingatan Inti milik Riley harus terserap dan hilang di tempat Ingatan Jangka Panjang bersama Joy juga Sadness. Mereka berdua harus memiliki cara untuk kembali ke tempat mereka agar kehidupan Riley tetap bahagia. 


Setiap manusia memang menghasilkan berbagai macam emosi untuk menghadapi hari-hari mereka. Hanya saja, akan ada satu emosi dominan yang bekerja untuk menjadikan satu orang tersebut menjadi unik. Fenomena itu lah yang coba diangkat oleh Inside Outuntuk dijadikan sebuah full-length animated motion picture. Inside Out menjadi sebuah pengalaman menonton yang bisa merasakan kelima emosi utama yang ada dalam pikiran Riley.

Inside Out memang akan terlihat rumit untuk sebuah film animasi yang sebenarnya lebih dikonsumsi oleh anak-anak. Dengan konsep lima emosi yang ada di pikiran Riley dan menggerakkan karakter Riley setiap harinya, bukanlah menjadi pilihan tepat untuk anak-anak bersenang-senang. Hanya saja di luar konsepnya itu, Pete Docter mencoba menjadikan Inside Out menjadi sebuah perjalanan berpetualang ke dalam lautan ingatan manusia yang menyenangkan dengan warna-warna yang cerah.

Inside Out adalah sebuah film yang bisa dikatakan sebagai coming-of-age. Perubahan sikap dan pergolakan psikis luar biasa yang dialami oleh Riley untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya berhasil membuat penontonnya bersimpati dengan karakternya. Pete Docter berhasil merekam itu semua lewat film animasinya yang indah. Dilema yang dialami Riley pun dibuat oleh Pete Docter dengan menyenangkan. Pun, dengan membuat 5 emosi utama dengan karakterisasi yang masing-masing unik dan menggemaskan. 


Naskah yang ditulis oleh Pete Docter dan juga dibantu oleh Josh Cooley dan Meg LeFauve berhasil memberikan sebuah perjalanan emosi yang luar biasa. Mengenalkan karakter Joy dan antitesisnya yaitu Sadness sebagai dua emosi utama yang mendominasi kehidupan manusia. Joy dan Sadness adalah dua emosi yang berlawanan hanya saja emosi tersebut terlihat bias. Lihat saja, bagaimana Joy yang memiliki warna kuning masih memiliki atribut berwarna biru di rambutnya yang seharusnya warna tersebut mewakili karakter Sadness.

Pete Docter dan kawan-kawannya pun menyelipkan berbagai macam metafora menyenangkan lewat dialog ataupun pengadeganan di dalam film Inside Out ini. Akan ada banyak petualangan seru yang dialami oleh Joy dan Sadness tetapi tak hanya sekedar seru. Tetapi, memiliki sebuah nilai lain yang bisa ditelaah setelahnya. Terlepas dari itu, Inside Out pun bisa menjadi sebuah media bagi orang tua dalam menghadapi anaknya yang sedang menjalani perubahan dalam fase hidupnya. 


Hal yang dialami oleh Riley jelas akan terasa sangat relevan dengan para penonton yang pernah mengalami hal itu. Ikatan emosi yang dialami penonton dengan film Inside Out pun akan menjadi-jadi. Jika, Toy Story 3berhasil membuat mata basah di akhir filmnya, maka Inside Out pun juga memiliki potensi tear-jerker yang sama. Pete Docter berhasil mengarahkan emosi di dalam filmnya begitu kuat. Bukan hanya di akhir, Inside Out menyebar momen-momen tear-jerkeritu dengan porsi seimbang di sepanjang 94 menit durasinya.

Pun jelas, jangan lupakan scoring yang digarap begitu indah oleh Michael Giacchino. Inside Out jelas memiliki salah satu scoring indah yang tak bisa dilupakan begitu cepat oleh penontonnya. Dentingan piano indah yang berhasil membuat semua adegan di Inside Out memiliki nyawa yang luar biasa. Dengan scoring ini pun, segala pesan emosional yang disampaikan oleh Pete Docter di dalam filmnya pun berhasil tersampaikan kepada penontonnya. 


Maka tak salah, jika Inside Outakan merebut hati para juri Academy Awards lagi di tahun depan. Atau bahkan, mungkin saja Inside Out bisa menjadi kambing hitam untuk menjadi nominasi-nominasi lainnya bersaing dengan film-film kontender Academy Awards lainnya. Bisa lewat Best Picture, Best Original Screenplay, dan juga Best Original Score. Meskipun hanya sebagai nominator, setidaknya Inside Out bisa bersaing di nominasi-nominasi tersebut.


Dengan performa luar biasa yang dihasilkan oleh Pete Docter lewat Inside Out, jelas akan membuat para penggemar dan kritikus kembali memercayai Pixarsebagai salah satu kontender berat dalam menggarap film-film animasi. Inside Out jelas tak hanya menceritakan emosi-emosi yang ada di dalam kepala Riley, tetapi juga menjadi sebuah film animasi yang akan membuat penontonnya merasakan emosi yang ada di dalam kepala mereka juga. Definitely be the one of the best animated movie ever made by Pixar –or maybe in this world.

PS : Dont be late, there will be short animation movie titled ‘Lava’ and it will cheer you up.

 

Sabtu, 15 Agustus 2015

FANTASTIC FOUR (2015) REVIEW : Superhero Movie’s Catastrophe

Sedang mengalami tren, film-film superhero menguatkan diri mereka untuk membangun dunia sinematik yang semakin luas. Marvel , di bawah naun... thumbnail 1 summary

Sedang mengalami tren, film-film superheromenguatkan diri mereka untuk membangun dunia sinematik yang semakin luas. Marvel, di bawah naungan Disney semakin memperluas dunia mereka dan sudah berjalan ke fase ketiga. DC, di bawah Warner Bros pun ikut melebarkan dunia mereka diawali oleh Man of Steel dan Batman V Superman di tahun 2016. Marvel, di bawah naungan 20th Century Fox pun ingin melebarkan dunia sinematiknya.
 
Hak cipta Marvel di berbagai rumah produksi memang bisa dibilang rumit. Ada 3 rumah produksi besar yaitu Disney, 20th Century Fox, dan Sonyyang memiliki hak cipta atas komik marvel. 20th Century Fox memegang hak cipta untuk X-Men dan Fantastic Four untuk filmnya. Dunia X-Men yang sudah semakin besar jelas menguntungkan pihak 20th Century Fox. Dan, Fantastic Four yang sebelumnya sudah pernah ada pun dibuat ulang dengan harapan bisa memperluas dunia sinematik para mutan. Dan Josh Trank memiliki pengaruh besar untuk hasil akhir filmnya.

Fantastic Four garapan Josh Trank ini ingin menawarkan sesuatu yang berbeda dengan film sebelumnya. Dengan harapan menjadi sesuatu yang  berbeda, ternyata Josh Trank terlalu ambisius sehingga adanya kekacauan besar dalam penggarapan filmnya. Tak hanya dari segi cast, terutama pemilihan Michael B. Jordan sebagai Human Torch, tetapi juga adanya cekcok yang terjadi antara Josh Trank dan rumah produksinya. Dan hal tersebut ternyata benar-benar memengaruhi bagaimana performa Fantastic Foursecara keseluruhan. 


Bagaimana Richard Reed (Miles Teller) ingin mewujudkan impiannya membuat teleporter di masa depan memang memiliki banyak rintangan. Banyak orang yang mencemooh apa yang dia pikirkan karena dianggapnya tak masuk akal. Hanya Ben Grimm (Jamie Bell) satu-satunya orang yang secara tak sengaja menjadi orang kepercayaan Richard untuk mengembangkan mesin teleporter miliknya. Hingga suatu ketika, di pesta sains sekolahnya, Dr. Franklin Storm (Reg E. Cathey) dan Sue Storm (Kate Mara) mendatanginya dan memberikan Richard beasiswa penuh atas karyanya.

Richard pun mengembangkan alat teleporter miliknya atas kemauan Dr. Franklin. Juga, dia mendapatkan rekomendasi untuk dibantu oleh Victor (Toby Kebbell) yang pernah dipercayai oleh Dr. Franklin dalam proyek yang sama. Pun, dibantu oleh Sue dan Johnny (Michael B. Jordan). Setelah berhasil, mereka tak dibolehi untuk pergi menggunakan teleporter untuk mendatangi planet yang dia temukan. Secara diam-diam, mereka bertiga –Richard, Johnny dan Victor –bersama Ben pergi ke sana dan mendapatkan bencana yang ternyata membuat mereka mempunyai kemampuan lain. 


Sebenarnya tak ada yang salah dengan apa yang diangkat oleh Josh Trank sebagai jalan cerita dari Fantastic Four. Pun, tak ada yang salah dengan membuat ulang film Fantastic Four yang telah lama usang dengan para pemain yang sudah memiliki jalannya masing-masing. Toh, dua seri Fantastic Four yang diarahkan oleh Tim Hughes pun tak mendapatkan respon yang memuaskan dari para kritikus film. Meskipun, beberapa penonton masih menikmati apa yang ditawarkan oleh Tim Hughes dalam filmnya.

Pun, dengan penuh percaya diri, 20th Century Fox menceritakan ulang Fantastic Four dengan beberapa tambahan yang membuat film ini terlihat lebih menarik. Dengan menunjuk Josh Trank sebagai sutradara, sebenarnya bukan sesuatu yang salah. Chronicle, film debut miliknya, mendapatkan respon yang sangat positif dari para kritikus. Sehingga tak salah bila 20th Century Fox mempercayakan proyek ini kepada Josh Trank.

Tak disangka, pertengkaran dan kekacauan Josh Trank di lokasi syuting Fantastic Four menyebabkan kehancuran luar biasa terhadap presentasi filmnya. Reboot Fantastic Four miliknya menjadi sebuah catastrophe dalam catatan film-film manusia berkekuatan super. Awal mula bagaimana Fantastic Four menjadi sebuah film manusia super dengan dasar scientific untuk meyakinkan cerita dasar memang terlihat sangat menarik. Hanya saja, apa yang telah dijelaskan oleh film ini yang kelewat rumit dan asyik sendiri ini pun terasa sia-sia. Karena paruh kedua film ini benar-benar hancur tak bersisa. 


Ada yang tak terkontrol ketika Fantastic Four berusaha untuk mengenalkan setiap karakter di dalam filmnya. Fantastic Four secara perlahan membangun tensi untuk filmnya. Terlalu banyak ide yang dituangkan ke dalam naskah yang ditulis ramai-ramai oleh Jeremy Slater, Josh Trank, dan Simon Kinberg. Dengan cerita yang berjalan perlahan, harusnya Josh Trank tahu untuk menyampaikan ceritanya secara terstruktur. Sayangnya, karena terlalu banyak atas apa yang akan diceritakan, Fantastic Fourjatuh ke fase yang benar-benar membuat filmnya berada di titik yang sangat jenuh.

Meski adanya dasar scientific untuk lebih meyakinkan penontonnya, pun dengan durasi paruh awal yang terlalu lama tak lantas membuat karakter di dalamnya kuat. Karakter-karakter manusia super di dalamnya sangat terasa satu dimensi yang seharusnya menjadi kekuatan filmnya sendiri. Paruh kedua pun tak ada i’tikad baik untuk memperbaiki apa yang menjadi noda di dalam filmnya. Bencana besar datang untuk menghancurkan segala upaya Josh Trank mengarahkan film Fantastic Four menjadi sajian yang berada di atas film sebelumnya. 


Seperti sebuah home videoberformat VCD yang dibagi menjadi 3 bagian, Fantastic Four seperti menonton dari disc nomor pertama dan langsung menikmati ending-nya di kepingan ketiga. Fantastic Fourbenar-benar berantakan dan apa yang sudah disajikan di paruh pertama benar-benar telah diabaikan oleh Josh Trank. Segala plot yang diceritakan panjang lebar pun tak terasa sia-sia. Masalah utama di Fantastic Four pun benar-benar kabur.

Segalanya dipaksa hadir di sisa 30 menit filmnya. Masalah baru hadir dan pergi dengan sekejap dan hal itu semakin membuat parah keseluruhan presentasi dari Fantastic Four. Pun ekspektasi penonton yang mengharapkan pameran visual effect untuk film ini pun siap-siap kecewa. Tak ada sama sekali adegan-adegan battle yang dapat membuat penonton yang haus akan hal itu terpenuhi rasa dahaganya. Dan ya, hal itu mengurangi lagi poin untuk Fantastic Four yang sudah sangat rendah. 


Perlunya sebuah reboot untuk memperbaiki film pendahulunya yang mendapat respon tak terlalu baik dari kritikus film pun tak dipenuhi oleh Josh Trank. Proyek reboot empat kawanan berkekuatan super ini malah jatuh menjadi sebuah bencana besar yang tak ada di sejarah film-film manusia kekuatan super. Paruh awal yang berjalan sangat lambat dan tak bisa mengembangkan apapun, paruh kedua yang sangat jatuh dan berantakan, benar-benar membuat Fantastic Four jatuh menuju lubang hitam yang mereka ciptakan sendiri. Believe the bad hype, Fantastic Four is that bad, very bad
 

Kamis, 13 Agustus 2015

MISSION: IMPOSSIBLE - ROGUE NATION (2015) REVIEW : Best Mission In Ethan Hunt’s Career

Banyak sekali jatuh bangun yang dialami oleh Ethan Hunt dan sekutunya di IMF untuk melanjutkan seri-serinya. Film yang diadaptasi dari seri... thumbnail 1 summary

Banyak sekali jatuh bangun yang dialami oleh Ethan Hunt dan sekutunya di IMF untuk melanjutkan seri-serinya. Film yang diadaptasi dari serial televisi dengan judul yang sama, Mission Impossible ini pun mengalami naik turun karena pergantian arahan dari orang yang berbeda di setiap serinya. Dari Brian De Palma hingga Brad Bird, pernah menjadi sutradara untuk menuntaskan misi yang dilakukan oleh Ethan dan Hunt dan sekutunya.

Meski tetap tertatih, Mission: Impossible tetap melanjutkan jejaknya hingga seri kelima. Dan ya, kali ini, Brad Bird tak lagi mengarahkan seri kelimanya dan digantikan oleh Christopher McQuarrie. Rogue Nation diambil sebagai sub judul dari Mission: Impossibleseri terbaru ini. Ini bukan pertama kalinya Christopher McQuarrie berkolaborasi dengan Tom Cruise. Sudah ada Jack Reacher dan Edge of Tomorrow yang mempertemukan mereka.

Kebangkitan seri Mission: Impossible memang ditandai lewat seri keempatnya, Ghost Protocol. Maka, dengan hengkangnya Brad Bird untuk menyutradarai seri kelimanya kali ini, cukup membuat khawatir akan presentasi akhir dari Rogue Nation. Ghost Protocol berhasil membungkus film Mission: Impossible menjadi sebuah film spionase dengan action sequences yang dapat menghela nafas penontonnya. Tetapi, Rogue Nation dengan mudah menyaingi bahkan melewati ekspektasi yang dipatok oleh Ghost Protocol


Kali ini, Ethan Hunt (Tom Cruise) harus terancam akan pekerjaannya sebagai mata-mata. IMF tempatnya bernaung sebagai mata-mata harus ditutup oleh pemerintah. Dengan adanya problematika itu, Ethan Hunt dan kawan-kawannya Benji (Simon Pegg) dan William Brandt (Jeremy Renner) berusaha mencari siapa yang ingin menghancurkan IMF. Di tengah dia mengusut hal tersebut, Ethan malah harus terjebak dalam bahaya.

The Syndicate, organisasi anti IMF yang berusaha untuk menjatuhkan Ethan Hunt dan kawan-kawannya. Saat Ethan harus ditangkap oleh The Syndicate, dia bertemu dengan Ilsa Faust (Rebecca Ferguson) yang beranomali dengan mendukung Syndicate tetapi juga membantu Ethan Hunt untuk melarikan diri. Kebaikan Ilsa saat menolong Ethan tak lantas membuatnya percaya begitu saja. Ethan mencari tau siapa Ilsa dan apa hubungannya dengan The Syndicate


Patokan terhadap seri Mission: Impossible sudah didapatkan oleh Ghost Protocol. Sehingga, rasanya mustahil ketika seri terbaru dari Mission: Impossible berhasil melewati apa yang sudah dicapai oleh Brad Bird lewat Ghost Protocol. Maka, Christopher McQuarrie justru memiliki tekanan yang sangat besar untuk membawa Rogue Nationmenjadi presentasi yang setidaknya bisa berdiri sejajar dengan Mission: Impossible Ghost Protocol.

Memang tak ada yang bisa menandingi kegilaan yang dihadirkan oleh Brad Bird di Ghost Protocol lewat action sequences yang dia berikan. Sehingga, Rogue Nation memang tak dapat menandingi kegilaan itu. Tetapi, apa yang dihadirkan oleh Christopher McQuarrie Di Rogue Nation memiliki cita rasa sendiri. Action sequencesyang ada di Rogue Nation memiliki cita rasa klasik film spionase-spionase dahulu yang juga menjadi poin plus-nya.

Action Sequences yang tak terlalu besar tak lantas membuat Rogue Nation kehilangan tensinya. Christopher McQuarrie masih bisa memacu adrenalin penontonnya dengan action sequences kecil yang diganjar terus menerus. Karena tahu ketidakmampuan McQuarrie untuk memberikan action sequences yang luar biasa, maka dari itu dia mencari hal lain yang bisa membuat Rogue Nation memiliki sesuatu yang lebih. Ya, lewat plotnya yang lebih kompleks. 


Kompleksitas plot yang dihadirkan oleh Christopher McQuarrie menjadikan Rogue Nation sangat menarik untuk diikuti. Apa yang diperlihatkan lewat trailernya ternyata sama sekali tidak serta merta membuat penontonnya tahu secara menyeluruh tentang plot milik Rogue Nation. Penonton akan sangat terkecoh dengan tampilan trailernya yang setidaknya memberikan sekelumit adegan yang ada di Rogue Nation. Sehingga, kompleksitas plot di Rogue Nation sama sekali tak bisa ditebak selain dengan menonton filmnya.

Kompleksitas yang dihadirkan oleh Christopher McQuarrie setidaknya tidak menjadi bumerang sendiri bagi Rogue Nation. Arahan dari McQuarrie berhasil membuat plotnya rapi dan semua berjalan sangat efektif. Begitupun dengan karakterisasi setiap karakter di dalam film Mission: Impossible Rogue Nation ini. Karakter-karakter itu menjalankan setiap karakternya secara efektif dan sesuai porsi masing-masing. Bukan malah menjadi penyesak layar yang membuat Rogue Nation terasa gegap gempita.

Dengan pengarahan yang begitu rapi lewat kompleksitas plot untuk menggerakkan durasinya selama 131 menit, Rogue Nation akan diselipi rasa sangat puas dengan adegan penutup di film ini. Penonton akan merasakan sesuatu yang melegakan setelah apa yang dilakukan oleh Ethan Hunt dan kawanannya berhasil menelusuri siapa musuh mereka sebenarnya. Dengan adanya intrik yang menarik tersebut, Rogue Nation yang memiliki durasi panjang tersebut benar-benar terasa sangat cepat. 


Dengan kompleksitas plot dan pengarahan yang rapi dari Christopher McQuarrie, Mission: Impossible Rogue Nation menghadirkan sesuatu yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Lewat penampilan yang gemilang dari Tom Cruise dan Rebecca Ferguson, action sequences dengan tensi yang sangat di luar batas meski tak bisa sebesar Ghost Protocol, juga cerita penuh teka-teki yang akan membuat penontonnya menerka-nerka, Rogue Nation berhasil menyampingkan kekhawatiran fans seri ini karena kehilangan Brad Bird di posisi Sutradara. And here we go, Mission: Impossible Rogue Nation is the best from Ethan Hunt’s Mission.

Senin, 10 Agustus 2015

PIXELS (2015) REVIEW : Wasted 80’s Arcade Games Excitement

Banyak orang bilang, tahun 80an adalah sebuah era emas di mana banyak sekali sesuatu yang ikonik yang berasal dari era tersebut. Pun, pengar... thumbnail 1 summary

Banyak orang bilang, tahun 80an adalah sebuah era emas di mana banyak sekali sesuatu yang ikonik yang berasal dari era tersebut. Pun, pengaruh-pengaruh tata busana, musik, dan hal lain di era 80 itu diadaptasi lagi di era moderen ini. Dan, salah satu yang menjadi sebuah ikon dari tahun 80 adalah permainan analog. Permainan sangat terkenal di era tersebut dan melahirkan beberapa nama-nama permainan terkenal seperti Pac-Man, Donkey Kong, ataupun Space Invaders.

Dengan adanya dasar dari permainan analog yang biasa dikenal dengan Arcade ini, Patrick Jean mencari sudut pandang lain tentang permainan-permainan ini dalam sebuah film pendek. Chris Columbus yang merasakan adanya potensi dari film pendek milik Patrick Jean, ingin menjadikannya menjadi sebuah film utuh untuk layar lebar. Dengan judul yang sama –Pixels–Chris Columbus sendiri yang akan menangani film ini.


Menjadikan Pixels sebagai sebuah film aksi komedi, Chris Columbus mengajak Adam Sandler sebagai pemain utama di dalam film terbarunya. Adam Sandler dan film komedi lambat laun semakin menunjukkan kemundurannya. Beberapa filmnya tak memberikan performa menyenangkan yang dapat membuat penontonnya terhibur. Dan hal itu kembali terulang di dalam film milik Chris Columbus yang paling baru ini.

Di dalam Pixels, menceritakan tentang Brenner (Adam Sandler) yang pernah menjadi orang yang paling hebat di sebuah permainan analog saat masih belia. Brenner mengikuti sebuah kompetisi permainan analog untuk menunjukkan bahwa dia yang paling hebat. Di tempat kompetisi tersebut akan merekam permainan mereka ke dalam sebuah kapsul dan ditunjukkan ke satelit mereka dan ditujukan kepada planet baru di luar sana. 

Sayangnya, Brenner tak bisa mengalahkan Eddie (Peter Dinklage) di permainan Donkey Kong dan gagal menjadi yang terbaik. Setelah beranjak dewasa, Brenner menjadi teknisi alat elektronik dan melupakan kemahirannya dalam permainan analog tersebut. Tetapi, ada satu hal yang membuat keahlian Brenner kembali digunakan. Kapsul yang merekam permainan analog di luar angkasa tersebut disalahartikan oleh makhluk luar angkasa sebagai sebuah deklarasi perang. Alien tersebut membentuk diri sebagai sebuah permainan 8-bit dan menyerang bumi. 


Memiliki sebuah excitementyang menarik, tak lantas membuat Pixelsmilik Chris Columbus ini akan sama menariknya dengan excitement yang ditawarkan. Konflik yang ditawarkan di dalam Pixels memang tak memiliki sesuatu yang besar dan itu sebenarnya bukan menjadi masalah. Hanya saja, menjadikannya sebuah film komedi, Chris Columbus harusnya memiliki visi untuk menjadikan komedinya menjadi sesuatu yang universal bagi penontonnya.

Tim Herlihy selaku penulis naskah dari Pixels, melulu menyelipkan sebuah slapstik komedi yang semakin lama semakin basi. Menunjukkan tingkah laku yang sangat tak sopan dari karakter-karakternya tak lantas membuat filmnya menjadi sebuah film yang akan membuat penonton tertawa. Pun, Chris Columbus sangat gagal membuat penontonnya tertawa, meskipun dia tahu mana momen yang diharapkan oleh Chris Columbus menjadi momen untuk mengocok perut penontonnya.

Pun, komedi yang diangkat masih tak jauh-jauh dari sensualitas yang cenderung mendiskriminasi dan membuat penontonnya menggelengkan kepala. Pun hal tersebut menjadi sebuah minus besar, terlebih Pixels ditujukan sebagai sebuah film musim panas untuk keluarga. Dialog-dialog kasar dan disampaikan dengan nada tinggi oleh karakternya yang digunakan sebagai momen komedik di film ini malah terasa sangat menganggu penontonnya.


Performa tak menyenangkan Pixelstak berhenti dari bagaimana lelucon di dalam setiap momen film ini yang gagal disampaikan dengan baik. Pun, Chris Columbus masih kebingungan untuk mengarahkan konflik dari film Pixelsini. Alih-alih untuk mengisi durasi agar memenuhi syarat sebagai sebuah film lebar, beberapa adegan di film ini pun malah terasa terlalu panjang. Salahnya, hal tersebut tak memberikan sesuatu yang efektif dengan bagaimana cerita di dalam Pixels ini disampaikan.

Pixels akan terasa tertatih untuk menceritakan bagaimana konflik di dalamnya berlangsung. Bukan terbata-bata, tetapi penyampaian cerita yang sangat terasa cepat dengan durasinya yang mencapai 100 menit. Segala bentuk konflik akan terasa loncat tak beraturan dan tak bisa membentuknya menjadi sebuah linimasa cerita yang baik. Pixels pun seperti kehilangan beberapa keping adegan yang tentu membuat penontonnya terasa bingung.

Chris Columbus sepertinya terlalu sibuk untuk mengatur excitement terhadap permainan analog di tahun 80an ini ke dalam filmnya. Sehingga, cerita yang tak beraturan di setiap menitnya ini adalah resiko yang diambil oleh Pixels sebagai pengorbanan dalam memberikan excitement terhadap ikon permainan analog yang menimbulkan efek nostalgia bagi penontonnya. Dan hal itu menjadi sesuatu yang setidaknya menjadi nilai plus dari Pixels yang sudah gagal dari berbagai poin. 


Ingin menjadikannya sebagai sebuah sajian film musim panas keluarga yang menghibur, Pixels masih belum bisa mencapai tujuan tersebut. Dengan pengarahan, naskah, dan momen komedi yang terasa masih di bawah batas yang diinginkan, Pixels tak bisa menjadikan poin excitementdari permainan analog di tahun 80 ini menjadi kuat lewat presentasinya. Dan Pixels tak bisa menjadi sebuah medium nostalgia yang menyenangkan meskipun Chris Columbus masih memberikan excitement terhadap permainan analog ikonik di era emas tersebut.
ads