Rabu, 30 September 2015

SOUTHPAW (2015) REVIEW : Stellar Performance Inside The Mediocrity

Film bertema olahraga dengan nilai-nilai kemanusiaan, mungkin menjadi salah satu film yang berpotensi ikut dalam ajang penghargaan bergeng... thumbnail 1 summary

Film bertema olahraga dengan nilai-nilai kemanusiaan, mungkin menjadi salah satu film yang berpotensi ikut dalam ajang penghargaan bergengsi. Apalagi di akhir-akhir tahun seperti ini, adalah waktu yang tepat untuk merilis film-film dengan tema seperti ini. Southpaw adalah salah satu proyek yang mungkin memiliki materi itu untuk bisa mendapatkan perhatian di ajang-ajang penghargaan bergengsi. Apalagi, film ini disutradarai oleh Antoine Fuqua yang pernah berhasil mendapatkan perhatian para juri ajang penghargaan lewat Training Day.

Southpawdibintangi oleh Jake Gyllenhaal, Rachel McAdams, dan banyak bintang lainnya yang juga memiliki reputasi yang sangat baik di dalam filmnya. Jelas, Antoine Fuqua berharap banyak dengan apa yang dia arahkan di proyek film terbarunya. Pun juga, dengan materi film Southpawmemiliki banyak sekali potensi untuk menjadikannya sebuah film yang mumpuni untuk disaingkan dengan film-film lainnya yang disiapkan sebagai film-film awards nods.

Memang, film arahan Antoine Fuqua ini tak bisa dipungkiri memiliki materi awards yang bisa diandalkan sebagai poin utama dari film ini. Southpaw memang berhasil menyajikan jajaran pemain dengan performa yang kuat. Sayangnya, unsur klise dan beberapa arahan Antoine Fuqua yang terkesan minimalis membuat Southpaw tak bisa memaksimalkan potensi dan materi yang ada di dalamnya. Bisa jadi, Southpawtak bisa mencapai tujuan utama untuk mendapatkan perhatian di ajang penghargaan bergengsi tahun depan.


Billy Hope (Jake Gyllenhaal) seorang petinju ternama yang mendapatkan gelar juara di mana-mana. Ketangguhannya di atas ring, memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Betapa tangguhnya dia, tetap tak bisa dipungkiri bahwa dia adalah seorang ayah dari satu orang anak hasil pernikahannya dengan Maureen (Rachel McAdams). Sang istri setia menemani Billy menyelesaikan pertandingannya. Dan suatu ketika nyawa istrinya direnggut oleh musuhnya di atas Ring ketika mendatangi jamuan makan malam.

Kehidupan Billy Hope pun menjadi kacau balau. Dia sangat emosional dan hubungannya dengan sang anak, Leila (Oona Laurence) pun renggang. Hingga suatu ketika, Leila dan Billy harus hidup terpisah karena Billy dianggap tidak bisa mendidik anak dengan baik. Hal ini semakin menghancurkan kehidupan Billy. Dia pun berusaha bangkit lewat dengan bakat yang dia punya yaitu dunia tinjunya. Dia ingin membuktikan bahwa dia sedang baik-baik saja kepada dunia dan juga anaknya. 


Ketika foto teaser dari Jake Gyllenhaal dirilis di media sosial atau pun portal berita film, banyak sekali respon dari orang yang mengatakan bahwa film ini bisa mendapatkan perhatian di ajang bergengsi. Terlebih, performa Jake Gyllenhaal di setiap film memang tak main-main. Pun benar, Jake Gyllenhaal bermain kelewat apik di dalam film terbaru arahan dari Antoine Fuqua ini. Dia terlihat totalitas menjadi seorang yang badung tetapi memiliki bagian sentimentil tersendiri di dalam dirinya.

Performa Gyllenhaal di dalam film Southpaw memang memiliki performa yang luar biasa. Hanya saja, apa yang diperankan oleh Gyllenhaal ini bukan berarti akan mudah mendapatkan perhatian dari para juri di ajang penghargaan. Bukan berarti itu buruk, pun performa miliknya bisa mengangkat presentasi keseluruhan dari Southpaw yang malah cenderung monoton. Performanya dan juga chemistryGyllenhaal dengan pemainnya adalah penyelamat dari presentasi keseluruhan dari Southpaw arahan Antoine Fuqua.

Southpawmemang akan cenderung memiliki formula-formula yang sudah pernah ada sebelumnya. Cerita seseorang from zero to hero sebagai momok utama di dalam filmnya. Dengan formula yang sudah pernah dipakai sebelumnya, jelas tak bisa dipungkiri bahwa Southpaw memiliki cerita-cerita perjuangan yang klise di beberapa adegan. Hanya saja dibumbui dengan human drama menarik antar ayah-anak yang bisa memberikan konflik di tengah perjuangan Billy Hope. 


Arahan milik Antoine Fuqua pun makin menguatkan kesan mediocre yang ditambatkan ke dalam filmnya. Southpaw pun terkesan episodik di setiap babak penceritaannya. Pun dengan pengarahan yang tak konsisten dari Antoine Fuqua. Plot sampingan di dalam film Southpawpun terlalu banyak. Hasilnya, di paruh kedua filmnya, film ini mengalami penurunan tensi dan tone cerita terkesan berubah. Dan adegan-adegan klise sedikit demi sedikit mulai bermunculan.

Paruh kedua film ini pun mulai tersendat-sendat. Kebangkitan karakter Billy Hope sebenarnya menjadi poin penting dari filmnya. Hanya saja, poin tersebut terkesan hanya sebagai tempelan untuk menambah kerumitan plot utuh dari film Southpaw. Penurunan performa di bagian tengah film ini pun ditambahi dengan pemilihan Forest Whitaker sebagai karakter pendukung yang malah terkesan tak bersemangat. Karakternya sebagai penyulut api semangat dan mendominasi karakter Billy Hope, malah menjauh dari kesan yang harusnya hendak disampaikan oleh Antoine Fuqua.

Presentasi secara keseluruhan di dalam film Southpaw memang tak memiliki sesuatu yang mewah selain dari jajaran nama aktor-aktris dan performa dari mereka. Sehingga, Southpaw tak punya cukup tenaga untuk mendapatkan perhatian untuk bisa bersaing di ajang penghargaan. Tetapi, Southpaw cukup berhasil memberikan performa yang membekas di hati penontonnya, terlebih yang ingin menonton sajian alternatif di tengah film-film yang penuh dengan visual efek. 


Ingin filmnya menjadi salah satu film yang akan mendapatkan perhatian di ajang-ajang bergengsi ternyata malah menyerang balik Antoine Fuqua selaku sutradara. Southpaw tak memiliki presentasi yang sempurna dan cenderung biasa namun dibekali dengan performa luar biasa dari jajaran aktor dan aktrisnya. Apalagi performa Gyllenhaal lah yang menyelamatkan dan menghidupkan film arahan dari Antoine Fuqua ini. Meski tak dapat perhatian dari para juri ajang penghargaan, setidaknya Southpaw bisa mendapatkan hati penontonnya. Dan juga bisa digunakan sebagai alternatif tontonan bagi penonton yang sudah bosan dijejali film penuh visual efek yang bombastis.

Senin, 21 September 2015

EVEREST (2015) REVIEW : Not Really Hike to Top of the Mountain

Film-film dengan berbujet besar dan penuh ledakan yang diedarkan selama musim panas pun akhirnya berakhir. Di kuartal akhir tahun, slot-slot... thumbnail 1 summary

Film-film dengan berbujet besar dan penuh ledakan yang diedarkan selama musim panas pun akhirnya berakhir. Di kuartal akhir tahun, slot-slot besar itu diperuntukkan bagi film-film yang sudah siap bersaing di ajang-ajang bergengsi seperti Golden Globe Awards atau pun Academy Awards. Akan banyak sutradara yang bersaing untuk mendapatkan lini terdepan sebagai jagoan untuk memenangkan beragam penghargaan di dalam ajang bergengsi tersebut.

Salah satu film yang memiliki konten tersebut adalah Everest, arahan dari Baltazar Kormakur. Film ini pun terlihat memiliki konten yang setidaknya bisa diperhitungkan di dalam ajang-ajang bergengsi. Diadaptasi dari sebuah buku berjudul Into Thin Air, Baltazar Kormakur mengarahkan sebuah film yang didasari oleh kejadian nyata tentang para pendaki yang kesulitan untuk mencapai puncak gunung tertinggi dunia. Beberapa nama besar pun ikut andil di dalam film ini seperti Jason Clarke, Josh Brolin, Keira Knightley, dan Jake Gyllenhaal.

Terlalu memiliki ambisi untuk menjadikan film arahannya agar mendapatkan sebuah pengakuan di ajang bergengsi pun malah menyerang balik dirinya. Everest adalah sebuah film drama berdasarkan kisah nyata yang memang memiliki konten yang berpotensi untuk dapat bersaing di sebuah ajang penghargaan. Hanya saja, Baltazar Kormakur memiliki pengarahan yang sangat hati-hati dan malah cenderung bermain aman. Hasilnya, Everest pun tak dapat memberikan performa yang sesuai dengan ekspektasi penontonnya. 


Rob Hall (Jason Clarke), seorang pendaki yang ingin mencapai puncak tertinggi di dunia yaitu gunung Everest. Dia pun mengajak teman-temannya seperti Beck (Josh Brolin), Doug (John Hawkes), dan masih banyak lagi untuk melakukan ekspedisi terakhir tersebut. Setibanya di sana, dia bertemu dengan Jon (Michael Kelly) dan Helen (Emily Watson) untuk melakukan rencana perjalanan agar ekspedisi yang mereka lakukan berhasil. 

Ketika semua sudah dipersiapkan, mulai dari kesehatan, jalanan di sana, dan banyak hal lainnya, mereka memulai perjalanan ekspedisi mereka. Tetapi, mereka harus tiba di sana tepat waktu agar tak terkena badai salju besar yang bisa menewaskan mereka. Sayangnya, perjalanan mereka di sana tak terlalu lancar. Mereka harus dihadapkan oleh beberapa masalah kecil yang tak membuat mereka terhambat. Mereka berhasil menuju puncak, tetapi ketika mereka melakukan perjalanan kembali ke dataran rendah, badai salju besar tersebut menerpa mereka.


Badai salju tak hanya datang menerpa para karakter yang ada di dalam film Everest, tetapi badai itu pun menyerang keseluruhan presentasi yang diarahkan oleh Kormakur. Baltazar Kormakur tak berusaha untuk menjadikan Everest memiliki performa yang sama tingginya dengan latar tempat utama mereka. Banyak sekali beberapa poin yang hilang ketika menyaksikan Everest secara utuh dengan durasi mencapai 121 menit.

Baltazar Kormakur ingin menjadikan Everest sebagai film yang memiliki kekuatan emosional. Dengan banyaknya nama terkenal di dalam lini pemainnya, Everest pun tak bisa memaksimalkan salah satu poin penting di dalam sebuah film. Everest ingin membuat filmnya menjadi sebuah film slow-burn drama dengan pengaruh yang besar bagi penontonnya. Sayangnya, Baltazar Kormakur belum mempunyai kompetensi untuk mengangkat semua cerita yang ada di dalamnya. 


Jalan terjal film Everest pun terlalu banyak. Tak seperti karakternya yang berhasil menuju puncak gunung tertinggi tersebut, Everest tak berhasil mencapai puncak emosi yang seharusnya menjadi senjata utama bagi Everest. Permainan emosi yang dihadirkan oleh Baltazar Kormakur tetap hadir, hanya saja di beberapa bagian tertentu. Sehingga, tujuan utama Everest untuk menghadirkan pengaruh yang besar bagi penontonnya pun tak bisa tercapai maksimal.  

Memiliki banyak karakter yang ikut andil ke dalam filmnya pun membuat Baltazar Kormakur kebingungan untuk memberikan spotlight kepada siapa di filmnya. Ketika seharusnya spotlight besar ditujukan kepada Jason Clarke, jatuhnya semua karakter memiliki porsi yang sama dan ini bukanlah sesuatu yang baik. Hal tersebut lah yang memengaruhi bagaimana performa Everest yang menyebar segala tensinya ke setiap karakternya dengan merata. Sehingga, tak ada adegan yang membuat siginifikansi emosi bagi penontonnya.

Dengan durasi mencapai 120 menit, beberapa bagian di film arahan Baltazar Kormakur ini pun terasa hambar. Penonton akan kebingungan dan terus mencari mana yang menjadi sebuah titik puncak dari Everest yang seharusnya memiliki dasar konten yang kuat. Di dalam presentasi secara keseluruhan, Baltazar Kormakur lupa dengan tujuan dan konten yang bisa menjadikan film Everest bisa tampil jauh lebih baik dari apa yang sudah dikemas sekarang.


Beruntung adalah bagaimana Everest mampu menampikan visual-visual menarik. Hal tersebut setidaknya membuat penonton bisa merasakan perjalanan ekspedisi menuju salah satu gunung tertinggi di dunia. Dengan berbagai cara pengambilan gambar yang menarik, setidaknya Everest memiliki sisi positif di bagian teknisnya. Pun, cara pengambilan gambar yang menarik itu berhasil mendukung format tiga dimensi sebagai salah satu alternatif cara untuk menonton film ini. 

Memiliki konten yang bisa masuk menjadi salah satu daftar film yang dapat bersaing di ajang bergengsi, nyatanya Everest tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Everest seharusnya mampu untuk tampil lebih maksimal dari pada yang hasil akhir yang diarahkan oleh Baltazar Kormakur. Arahan darinya tak bisa menangkap emosi yang secara konstan hadir di dalam 120 menit durasinya. Pun, dengan jajaran aktor-aktris dengan nama yang besar, Everest pun tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Beberapa bagian film ini pun terasa hambar dan tak semenarik dari seharusnya.
Film Everest pun tak lupa untuk dirilis dalam format tiga dimensi dan salah satunya dirilis dalam format IMAX 3D. Berikut rekapan format tiga dimensi IMAX.

DEPTH
 

Kemegahan luar biasa ditampilkan oleh film Everest lewat teknik pengambilan gambar. Dan dengan format tiga dimensi, kedalaman gambar pun tampak nyata

POP OUT 
Meski tak berapa banyak, efek ini di dalam format tiga dimensinya menyokong suasana dingin filmnya lewat butiran-butiran salju yang berhasil keluar dari layar.
Format tiga dimensi dari Everest sangat layak untuk disaksikan. Terlebih, ketika kalian menyaksikannya dalam format IMAX yang berhasil menangkap kemegahan Everest.

Sabtu, 19 September 2015

MAZE RUNNER : THE SCORCH TRIALS (2015) REVIEW : Another Victim of Sequel Disease

Buku-buku Young Adult dengan tema paska kehancuran banyak sekali diproduksi dan diminati oleh beberapa penulis. Pun, hal tersebut digunakan ... thumbnail 1 summary

Buku-buku Young Adult dengan tema paska kehancuran banyak sekali diproduksi dan diminati oleh beberapa penulis. Pun, hal tersebut digunakan oleh beberapa rumah produksi untuk mengeruk keuntungan dengan membeli lisensi dari buku tersebut. Ada The Hunger Games dan Divergent yang sudah mendapatkan hati di penontonnya dan rumah produksi. 20th Century Fox pun tak mau ketinggalan dengan rumah produksi yang lain untuk membeli lisensi dari buku Young-Adult terlaris.

Dan 20th Century Fox memutuskan untuk mendapatkan lisensi dari buku karangan James Dashner, The Maze Runner. Buku miliknya adalah sebuah trilogi yang ketiganya mendapatkan plakat terlaris di beberapa majalah. Film pertama dari seri ini telah dibuat filmnya di tahun 2014 dan memiliki performa yang cukup menyenangkan untuk diikuti. Dengan respon yang baik dari penonton, kritikus, dan pendapatan, lampu hijau untuk memproduksi sekuel dari The Maze Runner pun diberikan oleh 20th Century Fox kepada Wes Ball, sang sutradara.

The Maze Runner berhasil menyajikan konflik-konflik penuh misteri yang membuat penontonnya akan terus menanyakan apa yang ada selanjutnya. Dengan performan yang tak disangka cukup baik, sekuel The Maze Runner pun mendapat antisipasi yang cukup tinggi dari penontonnya. Maze Runner :  The Scorch Trials –judul dari sekuelnya –memiliki penurunan performa dan tak dapat membuat penontonnya bertahan menyaksikan apa yang coba dipresentasikan oleh sang sutradara. Meskipun, petualangan dari Scorch Trials lebih banyak daripada The Maze Runner. 


Setelah berhasil lolos dari Maze, para penghuni Glade diusung ke sebuah tempat pertahanan orang-orang yang juga berhasil lolos dari Maze yang dibuat oleh WCKD. Dengan berhasilnya lolos dari Maze tersebut, Thomas (Dylan O’ Brien) merasa bahwa dirinya dan teman-temannya sedang dalam kondisi yang aman. Ternyata, suasana yang tenang di tempat mereka bukanlah sesuatu yang baik artinya. Thomas dan teman-temannya ternyata sedang terperangkap oleh rencana jahat dari WCKD.

Mereka yang sudah berhasil ternyata sedang dijadikan sebuah kelinci percobaan untuk menemukan obat penawar dari wabah Flare yang telah menghancurkan kota mereka. Thomas yang merasa dirinya sedang terancam bahaya mengajak Minho (Ki Hong Lee), Newt (Thomas Brodie-Sangster), dan teman-teman Glade lainnya untuk keluar dari tempat tersebut dan mencari Right Arm untuk menemukan penawar wabah tersebut. Dibantu oleh Aris (Jacob Lofland), mereka melakukan pelarian untuk menemukan Right Arm. 


Ada poin yang berbeda dari The Maze Runner dan The Scorch Trials. Di dalam The Maze Runner, penonton akan diajak untuk menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam ceritanya. Sehingga, semua petunjuk akan disimpan erat-erat oleh sang sutradara agar dapat memberikan respon yang lain di akhir filmnya. Dan Scorch Trials, memiliki jalan cerita yang melulu straight-forward dan bisa membuat jengah penontonnya meskipun seharusnya memiliki kompleksitas cerita yang lebih.

Wes Ball pun lupa untuk menjadikan The Scorch Trials sebagai sajian yang bisa menahan penontonnya untuk tetap memandang layar. The Scorch Trials sepertinya memiliki misi untuk bisa mengolah lebih konflik yang diadaptasi dari buku James Dashner ini dengan lebih baik. Hal tersebut pun berpengaruh kepada durasi yang dimiliki oleh Maze Runner : The Scorch Trials ini. Dengan durasi 131 menit, seharusnya bisa digunakan dengan maksimal oleh Wes Ball untuk menjadikannya padat dan memiliki kompleksitas yang ia harapkan.

Tetapi, hal tersebut disia-siakan oleh Wes Ball untuk mengolah The Scorch Trials menjadi sajian yang setidaknya memiliki unsur misteri yang kental seperti film sebelumnya. 131 Menit milik The Scorch Trials pun penuh dengan cara bertutur Wes Ball yang bertele-tele untuk menyampaikan konflik utama dari filmnya sendiri. Banyak sekali adegan-adegan yang dipanjang-panjangkan dan tak diperhatikan. Hasilnya, Wes Ball pun terlihat kuwalahan untuk menyampaikan konflik cerita The Scorch Trials. 


Pengarahan yang kurang kuat dari Wes Ball ini pun berpengaruh dengan bagaimana performa filmnya. Di paruh keduanya, ritme The Scorch Trials pun terlihat melambat dan berjalan di tempat. Banyak hal yang perlu diceritakan di dalam naskah yang ditulis oleh T.S. Nowlin tetapi malah Wes Ball seperti pusing sendiri untuk mencari jalan bagi The Scorch Trials. Dan di paruh akhir, Wes Ball terlihat sangat berusaha untuk mengembalikan ritme The Scorch Trials. Hanya saja, usaha tersebut memiliki sisa kekuatan yang tak banyak.

Beruntungnya, The Scorch Trials memiliki semangat petualangan yang cukup baik. Wes Ball tetap bisa memberikan beberapa adegan yang membuat penontonnya merasakan ketegangan di setiap petualangan Thomas dan kawan-kawan Glade-nya. Beberapa jump scares dan thrill di beberapa adegan masih memiliki performa yang cukup baik. Dan hal-hal itu menjadi senjata utama dari The Scorch Trials yang memiliki kelemahan dalam hal pengarahan filmnya. 


Dengan perubahan pola dari The Maze Runner ke The Scorch Trials, hal tersebut bukanlah jimat yang baik untuk performa dari film sekuelnya. Terlihat kebingungan untuk mengarahkan konflik yang lebih berkembang, Wes Ball pun menjadikan Maze Runner : The Scorch Trials menjadi sajian yang cukup melelahkan untuk diterima oleh beberapa penonton. Meskipun, suasana yang thrilling dan tensi yang kuat di beberapa bagian cukup membuat Maze Runner : The Scorch Trials bisa dinikmati, tetapi keseluruhan presentasinya jelas masih di bawah film predesesornya.

Jumat, 18 September 2015

TED 2 (2015) REVIEW : Ted Is Back, The Jokes Is Not

Setelah secara tak terduga menjadi sebuah film ikonik dengan pendapatan dan respon yang baik dari kritikus, Seth MacFarlane memberikan perse... thumbnail 1 summary

Setelah secara tak terduga menjadi sebuah film ikonik dengan pendapatan dan respon yang baik dari kritikus, Seth MacFarlane memberikan persepsi lain kepada sebuah boneka Teddy Bear. Secara Ajaib, Ted menjadi sebuah film yang menghibur meskipun dengan guyonan yang penuh dengan sensualitas yang kadang membuat orang jengah. Tetapi, hal itu tetap menjadi senjata andalan untuk Ted menggerakkan cerita dan juga leluconnya yang jenaka.

Dengan respon yang baik dan pendapatan di Box Office yang juga sangat tidak mengecewakan, ini jelas digunakan oleh Seth MacFarlane untuk membuat sekuel dari boneka beruang tak bermoral ini. Ted 2 pun siap diarahkan dan dimainkan kembali oleh Seth MacFarlane melanjutkan sisa-sisa cerita yang ada di film sebelumnya. Tetap menggunakan Mark Wahlberg sebagai pemeran utama dengan absennya Mila Kunis, pemeran wanita diisi oleh Amanda Seyfried.

Ted 2 pun tak cenderung formulaic dan menggunakan template dari film prekuelnya. Hanya saja, ekspektasi penonton ketika menonton Ted 2 jelas masih terbayang-bayang betapa senonohnya guyonan di dalam filmnya akan tetapi mudah mengundang tawa penonton. Dan hal berbalik di Ted 2, guyonan yang diusung oleh Seth MacFarlane di dalam naskah Ted 2 berubah menjadi segmented jokes yang hanya dipahami oleh para pecinta kultur pop.


Konflik Ted 2 kali ini berfokus pada Ted (Seth MacFarlane) yang menikahi kekasihnya Tami-Lynn (Jessica Barth). Kehidupan pernikahan mereka setelah satu tahun cukup susah. Mereka pun tak saling sapa meskipun berada di satu tempat kerja. Hal tersebut membuat Ted mencari cara agar hubungan pernikahan mereka baik-baik saja. Dan, cara yang mereka tempuh adalah dengan mempunyai anak. Ted pun mencoba untuk mencari anak lewat berbagai macam hal. Dibantu oleh John (Mark Wahlberg), temannya, Ted berusaha untuk mencari donatur sperma dan sayangnya tak berhasil.

Tami-Lynn terdiagnosa memiliki kandungan yang tak sehat. Dia dan Tami-Lynn pun berinisiatif untuk mengadopsi anak dari sebuah panti asuhan. Tetapi, permintaan Ted untuk mengadopsi anak tak dipenuhi oleh pihak panti asuhan. Karena, negara menganggap Ted sebagai sebuah properti bukan sebagai warga sipil. Mulai kejadian itu, Ted semakin terpuruk karena statusnya. Dan dengan bantuan Samantha (Amanda Seyfried), sang pengacara, Ted menuntut keadilan sebagai warga sipil.


Cerita sekuel dari film yang berubah fokus dari karakter John ke karakter Ted mungkin memiliki perspektif baru untuk menggerakkan plotnya. Terlebih, di sekuelnya kali ini, keberadaan Ted sebagai manusia seutuhnya akan diulik lebih dalam. Inilah yang membuat sekuel dari film boneka beruang ini bisa memiliki konflik yang berbeda untuk menggerakkan plotnya. Sayangnya, konflik yang diusung oleh Seth MacFarlane di Ted 2 ini malah menjadi bumerang bagi keseluruhan presentasi sekuelnya.

Karena terlalu fokus pada konflik cerita yang semakin rumit, Seth MacFarlane lupa dengan misinya membuat sekuel dari Ted yang mengocok perut penontonnya. Ted 2 pun kehilangan semangat untuk ditertawakan oleh penontonnya. Seth MacFarlane terlalu sibuk untuk mengatur cerita dan memasukkan subplot untuk menambah konflik di dalamnya. Sehingga, Seth MacFarlane lupa untuk menyebar jokes segar dengan signature sensualitas yang khas di dalam naskahnya.

Meski tak sepenuhnya lupa akan misi itu, Seth MacFarlane tetap memenuhi adegan di dalam Ted 2 yang bisa ditertawakan. Hanya saja, kuantitas yang ada di dalam film sekuelnya itu tak terlalu banyak seperti di dalam film predesesornya. Masalah pun tak berhenti sampai bagaimana Seth MacFarlane terlalu loyo untuk memberikan jokes ke dalam filmnya. Pun juga, ketika Seth MacFarlane ternyata memiliki kesalahan segmentasi terhadap jokes yang diselipkan.


Kesalahan berikutnya di dalam film Ted 2 adalah bagaimana Seth MacFarlane menyelipkan guyonan dengan referensi pop konteks tinggi. Hal ini lah yang malah membuat presentasi secara keseluruhan di dalam Ted 2 tak bisa maksimal. Ted 2 pun hanya cocok diperuntukkan kepada para penggemar pop kultur dengan banyak referensi. Hal tersebut berdampak pada bagaimana penonton awam yang tak tahu menahu tentang referensi yang dimasukkan oleh Seth MacFarlane ke dalam filmnya tak bisa menangkap hal yang harusnya bisa jadi bahan tertawaan.

Seth MacFarlane memasukkan referensi-referensi pop-culture tentang Jurassic Park, Star Wars, Star Trek, Lord of The Rings dan beberapa referensi lainnya. Referensi itu jelas bukan sesuatu yang dapat semua orang terima sebagai penonton Ted 2 secara umum. Seth MacFarlane pun terlihat terlalu asyik untuk merangkum semua referensi itu ke dalam 115 menit filmnya. Hal itu seharusnya menjadi suatu keunggulan di dalam produk yang dihasilkan oleh Seth MacFarlane. Hanya saja, hal tersebut malah menyerang balik Ted 2 secara keseluruhan presentasinya.


Berusaha mencoba menjadi presentasi yang berbeda jelas menjadi suatu keharusan bagi sebuah sekuel agar tak terkesan meniru ulang template film pertamanya. Ted 2 pun memiliki hal tersebut dan menjanjikan memberikan plot yang berbeda dan lebih kompleks ketimbang film pertamanya. Hanya saja, Seth MacFarlane terlalu serius untuk menggerakkan plot di dalam Ted 2 sehingga lupa semangat untuk membuat bahan tertawaan yang mengocok perut penontonnya. Referensi kultur pop yang berlebihan di dalam Ted 2 pun menjadi kendala yang berarti bagi presentasinya.

Senin, 14 September 2015

SINISTER 2 (2015) REVIEW : Another Inferior Horror’s Sequel

Ketika sebuah film dianggap berhasil, tentu rumah produksi itu tak akan mensia-siakan potensi yang ada di dalam film tersebut. Salah satunya... thumbnail 1 summary

Ketika sebuah film dianggap berhasil, tentu rumah produksi itu tak akan mensia-siakan potensi yang ada di dalam film tersebut. Salah satunya adalah dengan membuat sebuah sekuel terhadap film tersebut. Entah, film itu penting untuk dibuatkan sebuah sekuel atau tidak, yang jelas film ini akan menghasilkan banyak sekali uang terhadap sebuah rumah produksi karena mereka tak perlu susah-susah membangun hype dari awal. Meskipun, tak semua sekuel akan bisa benasib sama dengan film orisinilnya entah dari respon penonton atau pun pendapatan.

Tahun ini cukup banyak film-film sekuel yang bertebaran. Salah satunya adalah film horor arahan Scott Derrickson, Sinister. Di tahun ini, Sinister kembali hadir menyapa penontonnya –khususnya untuk para pecinta film horor –agar mereka merasa ditakut-takuti. Sayangnya, Scott Derrickson tak lagi kembali menangani film horor yang sebelumnya adalah miliknya. Ciaran Foy lah yang mengarahkan seri terbaru dari Sinister 2 kali ini.

Sinister 2 memang masih menggunakan benang merah yang menjadi film horor satu ini menjadi ikonik. Beberapa elemen supranatural dan sekte pemuja setan yang semakin lama semakin banyak digunakan di berbagai film horor mana pun masih juga dipakai oleh Sinister 2. Tetapi, Sinister 2 memiliki penurunan performa yang sangat drastis jika dibandingkan dengan prekuelnya. Ciaran Foy tak mampu mengarahkan Sinister 2 menjadi sajian yang mengerikan seperti apa yang ditawarkan oleh Scott Derrickson di film pertamanya. 


Seperti layaknya film-film horor lainnya, Sinister 2 pun memulai ceritanya lewat sebuah keluarga yang memiliki anak. Courtney (Shannyn Sossamon) pindah ke sebuah rumah bekas gereja karena baru saja bercerai dan menghindari suaminya yang tempramental. Dia pindah dengan kedua anak mereka Dylan (Robert Daniel Sloan) dan Zach (Dartanian Sloan). Mereka berdua merasakan ada yang aneh di dalam rumah yang mereka huni saat ini.

Dylan terbangun di tengah malam karena ulah sosok arwah anak kecil yang gentayangan di sekitar rumah mereka. Dylan pun bisa berinteraksi dengan arwah tersebut dan arwah itu menyuruh Dylan untuk menonton sebuah video pembalasan dendam untuk dia terapkan ke keluarga mereka. Semakin lama, Dylan merasa gusar dan merasa video yang dia tonton bukanlah sesuatu yang pantas untuk diserap oleh otaknya. Tetapi, arwah-arwah itu semakin menghantui dia dan bahkan keluarganya. 


Performa Sinister 2 yang turun drastis itu disebabkan oleh bagaimana premis cerita sekuel ini dibuat. Mungkin, film ini terlalu gamblang untuk menyampaikan apa yang hendak dimaksud oleh sang pembuat cerita kepada penontonnya. Pun dengan apa yang dirasa gamblang oleh penontonnya, Sang sutradara tak memiliki rasa untuk menutupi plot ceritanya. Tak ada rasa penasaran atas apa yang terjadi di rumah itu, yang membuat penonton merasa apa yang dia lihat tak lagi sesegar apa yang dia lihat di film pertamanya.

Jelas, hal ini akan mengurangi bagaimana Sinister 2 mencoba untuk bermain dengan ceritanya. Sang sutradara pun mengolah apa yang ada di naskah yang ditulis oleh Scott Derrickson dan C. Robert Cargill secara mentah-mentah. Pengarahan milik Ciaran Foy jelas apa adanya asal apa yang dia kerjakan selesai dan siap untuk disebarluaskan ke pasar. Banyak sekali elemen-elemen horor yang absen di dalam film Sinister 2.

Sinister yang lebih kental akan atmosfir horornya yang menyeramkan, tak lagi ada di dalam film keduanya. Sinister 2 berisikan banyak sekali jump scares murahan yang bahkan penonton akan dengan mudah menebak setiap adegannya. Hal itu semakin menambah minus di dalam presentasi di dalam film sekuel ini. Sinister 2 pun kekurangan ide-ide segar untuk membuat filmnya menjadi sebuah film yang menyamai presentasi di dalam filmnya. 


Sebenarnya, Sinister 2 pun tak menggunakan cara instan untuk menyalin template cerita yang ada di film sebelumnya. Dan hal itu seharusnya bisa menjadi potensi agar Sinister 2 bisa menampilkan sajian segar di dalam genre ini. Tetapi, tak serta merta membuat Sinister 2 kehilangan signature dari film orisinilnya. Di film ini pun masih memberikan beberapa template dari film sebelumnya dengan tetap ada video-video pembunuhan yang menjadi kekuatan di dalam film sebelumnya.

Pun, juga masih ada benang merah yang coba disambungkan oleh Ciaran Foy dari film pertamanya sebagai penjalan konflik di proyek sekuelnya. Meskipun, hal itu tak menjadi poin yang sangat signifikan untuk diceritakan di dalam sekuelnya. Dan video-video yang ditampilkan di dalam Sinister 2 tak bisa menghadirkan atmosfir mengerikan yang juga menjadi signature dari film Sinister yang pertama. Signature yang setia Ciaran Foy selipkan di dalam film sekuelnya, ternyata tak bisa menyelamatkan betapa minimalisnya sekuel dari film horor yang sangat menyeramkan di seri sebelumnya. 


Sama dengan penyakit-penyakit film horor yang dibuat sekuelnya, Sinister 2 tak menjanjikan presentasi akhir yang sama kuatnya dengan film sebelumnya. Pergantian arahan dari Derrickson ke Foy membuat Sinister 2 memiliki performa yang turun sangat drastis dan membuat Sinister 2 hanyalah sebuah film horor sekuel dengan tampilan murahan. Meski memiliki beberapa signature yang diselipkan ke dalam filmnya, tak lantas membuat Sinister 2 bisa memberikan atmosfir horor yang kuat. Malah, Sinister 2 jatuh menjadi sebuah film penuh Jump Scares yang gampang ditebak dan tidak menyeramkan. 

Sabtu, 12 September 2015

PAPER TOWNS (2015) REVIEW : Another Fresh Air From John Green’s Adaptation

Setelah sukses luar biasa dari  The Fault In Our Stars , buku-buku milik John Green sudah mulai dilirik oleh rumah produksi untuk diangkat m... thumbnail 1 summary
Setelah sukses luar biasa dari The Fault In Our Stars, buku-buku milik John Green sudah mulai dilirik oleh rumah produksi untuk diangkat menjadi sebuah film. Kesuksesan The Fault in Our Stars tak hanya dalam segi Box Office saja, melainkan juga dari respon para kritikus film. Jelas, hal tersebut akan terlihat menggiurkan bagi para rumah produksi. Beberapa daftar dari buku milik John Green pun satu persatu masuk ke dalam daftar film yang akan rilis di tahun-tahun berikutnya

Di tahun 2015, Paper Towns, buku kedua milik John Green ini mendapatkan kesempatan untuk diadaptasi menjadi 100 menit gambar bergerak. Ditangani oleh sutradara berbeda, tetapi Paper Towns kembali diadaptasi ke dalam naskah yang ditulis oleh Michel H. Weber dan Scott Neutstadter. Jake Schreier menjadi atasan dari proyek adaptasi buku milik John Green ini.

Bukanlah hal mudah bagi Jake Schreier untuk mengadaptasi Paper Towns menjadi sebuah pengalaman menonton yang menyenangkan dalam 100 menit durasinya. Karena tak dapat dipungkiri, presentasi akhir dari Paper Towns akan disandingkan langsung dengan The Fault In Our Stars yang sudah mematok hasil akhir yang luar biasa tinggi. Paper Towns bukan tak memiliki hasil akhir yang menarik, hanya saja Paper Towns tak akan bisa menyaingi The Fault In Our Stars sebagai presentasi sempurna. 


Margo Roth Spiegelmen (Cara DeLevigne), gadis sebelah rumah yang sangat dikagumi oleh Quentin (Nat Wolff). Margo sangat menyukai teka-teki, saat mereka masih anak-anak Quentin dan Margo sering bermain bersama-sama. Hingga semakin lama, intensitas bertemu mereka pun semakin jarang. Apalagi, ketika keduanya masuk dalam masa remaja sekolah lanjut tingkat akhir. Meski begitu, Margo tetap menjadi gadis sebelah rumah Quentin yang ia kagumi.

Hingga suatu ketika, Margo mendatangi kamar Quentin untuk melaksanakan 9 misi balas dendamnya. Quentin pun dengan sigap melakukan semua yang direncanakan oleh Margo. Hal tersebut membuat Quentin merasa dirinya penting bagi Margo. Hingga keesokan harinya, Margo tak kunjung datang ke sekolah mereka. Beberapa hari berjalan, Margo pun tetap tak kunjung datang. Quentin pun dapat kabar bahwa Margo telah hilang. Tetapi, Margo meninggalkan jejak bagi Quentin untuk ditemukan. 


Sebagai sebuah film drama romance yang ditujukan kepada para remaja sebagai target pasar mereka, Paper Towns bisa dianggap sebagai sebuah angin segar di dalam genre ini. Paper Towns menawarkan tak hanya drama romance kental, melainkan ada drama persahabatan yang juga cukup kental di dalam filmnya. Pun, Paper Towns memiliki premis cerita yang akan terkesan tak biasa di dalam genre ini. Mengombinasikan dua genre berbeda yaitu romance dan mystery.

Kombinasi dari dua genre itu pun akan sangat bisa menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Meski tak secara keseluruhan gagal menyampaikan ceritanya, Paper Towns pun akan terasa begitu membingungkan bagi penonton yang tak membaca bukunya. Naskah milik Weber dan Neutstadter pun seharusnya sudah dapat mengadaptasi dengan baik buku dari John Green. Hanya saja, Jake Schreier tak begitu kuat mengarahkan Paper Towns. Alhasil, akan banyak sekali plot holeyang tersebar dalam elemen misterinya.

Elemen-elemen yang terlalu banyak di Paper Towns ini lah yang membuat filmnya tak terlalu fokus terhadap poin utamanya. Yang seharusnya film ini kuat dalam elemen misteri di mana Margo pun akan terasa semakin blur di setiap durasinya. Teka-teki yang sudah disebar di sepanjang durasi pun seperti tak berpengaruh penting bagi sisa akhir ceritanya. Tetapi, bagaimana Jake Schreier mengelola Paper Towns dengan caranya sendiri membuat film ini masih menyenangkan untuk diikuti. 


Oleh tangan Jake Schreier diubahnya menjadi sebuah drama coming of age yang lebih kepada persahabatan dan romancesebagai sampingannya. Perkembangan karakter-karakter yang ada di Paper Towns pun berubah menjadi poin utama yang menyenangkan di dalam filmnya. Sehingga, Paper Towns pun akan terasa menyenangkan bagi para penonton dewasa yang ingin merasakan kembali suasana-suasana sekolah tingkat akhir di masa remaja mereka.

Pun, para remaja bukan berarti tak dapat menikmati keseluruhan film ini. Mereka pun akan tetap mendapatkan film yang penuh dengan semangat remaja ceria yang menyenangkan. Akan tetapi, penonton yang mengharapkan film romance luar biasa akan merasakan kekecewaan. Karena Paper Towns tak hanya sekedar film coming of age dengan romansa yang kental, tetapi ada elemen lain yang hadir untuk melengkapi film ini.

Tak hanya menyenangkan, Paper Towns memiliki gambar-gambar cantik yang jelas menguatkan segala kesenangan dan keceriaan nada cerita film ini. Juga, jangan lupakan lagu-lagu pengiring yang manis di dalam film ini yang juga menjadi kekuatan di setiap film-film adaptasi buku John Green. Sayangnya, penempatan lagu pengiring di film Paper Towns tak bisa semegah dan tepat The Fault In Our Stars. Sehingga, beberapa lagu tak mendapat highlight sempurna. 


Dibandingkan dengan film adaptasi buku John Green sebelumnya –The Fault In Our Stars –adaptasi Paper Towns tak bisa tampil se-prima itu. Tetapi, Paper Towns menyajikan sesuatu yang cukup menyenangkan untuk diikuti dan menyelipkan sesuatu yang segar di dalam genre ini. Meski terlalu banyaknya elemen di dalam ceritanya membuat fokus utamanya kabur, Paper Towns tetaplah sajian drama Coming of age yang layak untuk ditonton sebagai pengenang masa remaja yang indah. 

THE MAN FROM U.N.C.L.E (2015) REVIEW : Stylish Espionage But Losing Something

Film-film spionase dan agen rahasia akhir-akhir dalam beberapa tahun terakhir ini banyak dihidupkan kembali. Pun, beberapa adaptasi dari beb... thumbnail 1 summary

Film-film spionase dan agen rahasia akhir-akhir dalam beberapa tahun terakhir ini banyak dihidupkan kembali. Pun, beberapa adaptasi dari beberapa ikon-ikon spionase lama pun dikenalkan kembali kepada penonton-penonton abad 21 ini. Dianggapnya berhasil mengundang penonton, pun para sineas Hollywood mencari ikon mana yang akan digarap ulang menjadi sebuah film berdurasi penuh untuk film layar lebar.

Tahun ini salah satunya adalah The Man From U.N.C.L.E yang diadaptasi dari serial televisi dengan judul yang sama dan sukses di tahun 1960-an. Proyek ini pun ditangani oleh Guy Ritchie yang sebelumnya pernah berhasil lewat Dwilogi Sherlock Holmes dan sebagai pemanasan sebelum seri ketiga, dia menangani proyek film ini. The Man From U.N.C.L.E dibintangi oleh Henry Cavill dan Armie Hammer sebagai pemeran utamanya.

Memiliki premis yang serupa dengan berbagai film-film bertema sama, tentu menjadi kendala bagi The Man From U.N.C.L.E untuk menjadi yang berbeda. Tetapi di tangan Guy Ritchie, The Man From U.N.C.L.E memiliki signature khas miliknya yang berbeda. Signature milik Guy Ritchie yang memiliki banyak gaya yang asyik dalam mengadegankan cerita membuat The Man From U.N.C.L.E setidaknya menarik untuk disimak. Hanya saja, Guy Ritchie kehilangan emosi yang membuat The Man From U.N.C.L.E tak tampil begitu luar biasa. 


Dua negara yang sedang berseteru, Amerika dan Rusia, memiliki dua agen mata-mata yang awalnya saling mengejar satu sama lain. Dua mata-mata itu adalah Napoleon Solo (Henry Cavill) dan Ilya Kuryakin (Armie Hammer). Setelah beberapa kali berseteru, mereka pun dipaksa bekerjasama dalam satu misi yang ditugaskan langsung oleh kedua petinggi mereka. Mereka harus melacak sebuah organisasi kejahatan yang dibuat oleh Nazi untuk mengembangkan senjata Nuklir.

Solo dan Kuryakin yang memiliki latar belakang yang berbeda, jelas merasa kesusahan untuk bekerjasama dengan baik satu sama lain. Mereka pun bersaing untuk menjadi yang terbaik meski ada dalam satu misi. Ada Gaby (Alicia Vikander) yang harus mereka libatkan karena ayahnya adalah salah satu orang yang ada di dalam organisasi tersebut. Napoleon dan Kuryakin menyamar sebagai orang yang ada di dalam kehidupan Gaby agar bisa masuk ke dalam organisasi tersebut. 


Premis-premis cerita seperti ini memang sudah terlalu sering ditemui di beberapa film bertema serupa. Jelas, hadirnya The Man From U.N.C.L.E bukan untuk menjadi sesuatu yang berbeda, tetapi untuk menjadikannya sebuah popcorn movie di waktu senggang. Tujuan The Man From U.N.C.L.E untuk menjadi film seperti itu memang tercapai dengan sangat baik. Hanya saja, setelah film berakhir dan penonton keluar dari teater mereka akan lupa beberapa detil cerita dari film The Man From U.N.C.L.E.

The Man From U.N.C.L.E bukanlah presentasi yang sempurna meskipun tetap menjadi sajian yang menyenangkan. Beberapa adegan aksinya pun digarap semenarik mungkin agar penonton tetap betah dengan 115 menit film ini. Tetapi Guy Ritchie kehilangan satu poin penting agar bisa menarik perhatian penonton hingga merasa simpati dengan karakter maupun konflik di dalam filmnya. Emosi, Guy Ritchie kehilangan itu di dalam presentasi The Man From U.N.C.L.E di sepanjang durasinya.

Setiap adegan aksinya tak memiliki kekuatan untuk memikat penontonnya. Semua terjadi begitu saja dan Guy Ritchie terlihat pasrah dalam mengarahkan The Man From U.N.C.L.E. Adegan aksinya pun tak ada yang megah dan bahkan tak se-stylish film-film Guy Ritchie sebelumnya. Fireshot, Car-chase, and fighting scene tak ada yang mampu mencapai rasa klimaks yang pas di dalam setiap adegannya. Sehingga, The Man From U.N.C.L.E tak membekas begitu lama di benak penontonnya. 


Bagaimana Guy Ritchie menyampaikan plot cerita yang penuh intrik itu pun tak sekuat Sherlock Holmes. The Man From U.N.C.L.E pun memiliki beberapa plot twist yang diselipkan di beberapa adegan filmnya. Sayangnya, Guy Ritchie tak mengolah dan menyampaikan cerita-cerita itu dengan penuh kekuatan dan hasilnya cerita-cerita turning point itu pun melempem. Mungkin penonton hanya bergumam “oh” ketika cerita itu berusaha disampaikan di tengah filmnya.

Pun, dengan durasi yang mencapai 2 jam, konflik The Man From U.N.C.L.E pun terasa diulur-ulur. Paruh tengah film The Man From U.N.C.L.E terihat bagaimana Guy Ritchie terlihat kebingungan mau diisi apa lagi agar film ini memiliki rasa yang menyenangkan, meskipun hal tersebut gagal dicapai olehnya. Beruntungnya, The Man From U.N.C.L.E memiliki beberapa komedi-komedi segar yang membuat filmnya tak melulu membuat cemberut para penontonnya.

Guy Ritchie terlihat membuat The Man From U.N.C.L.E bermain di comfort zone agar tak terlalu membuat film ini jatuh pamornya. Meski begitu, The Man From U.N.C.L.E akan berhasil bagi beberapa penonton yang ingin melepaskan sejenak pikirannya. Formula-formula usang yang ada di dalam film The Man From U.N.C.L.E setidaknya berhasil menjadikannya sebagai Popcorn movie untuk rehat sejenak dari beberapa beban pikiran penonntonnya. 


Tak mempunyai ambisi untuk menjadi yang berbeda membuat The Man From U.N.C.L.E garapa Guy Ritchie ini pun tampil tak maksimal. Segala upaya Guy Ritchie untuk membuat adegan di dalam The Man From U.N.C.L.E se-asyik mungkin tak sepenuh dicapai. Ada beberapa poin yang kehilangan kekuatan untuk menjadikan The Man From U.N.C.L.E sajian yang tampil prima. Sayangnya, Guy Ritchie lupa menghadirkan emosi di setiap durasinya agar The Man From U.N.C.L.E berhasil memikat penontonnya di dalam durasinya yang cukup panjang.

ads