Minggu, 01 November 2015

GOOSEBUMPS (2015) REVIEW : New Takes From R.L. Stine Books

Menjadi salah satu penulis termahsur di eranya, R.L. Stine menuliskan cerita misteri pengantar tidur untuk anak-anak, Goosebumps . Karya mi... thumbnail 1 summary

Menjadi salah satu penulis termahsur di eranya, R.L. Stine menuliskan cerita misteri pengantar tidur untuk anak-anak, Goosebumps. Karya milik R.L. Stine ini memiliki beberapa seri yang berbeda di setiap bukunya. Pun, buku milik R.L. Stine ini pernah diangkat menjadi sebuah serial televisi di tahun 1995. Karyanya yang tak pernah lekang oleh waktu ini dimanfaatkan oleh Sony Pictures untuk diangkat menjadi sebuah film layar lebar di tahun 2015 ini. 

Goosebumps diangkat menjadi sebuah gambar bergerak dengan durasi 100 menit dan diarahkan oleh Rob Letterman. Dibintangi oleh Jack Black, film Goosebumpspun menjadi sebuah film adaptasi yang berbeda. Goosebumps tak didasari atas cerita dari salah satu buku yang ditulis oleh R.L. Stine. Rob Letterman memutuskan untuk membuat Goosebumps sebagai sebuah tribut untuk karya R.L. Stine yang sudah menemani generasi 90an dan diperkenalkan kembali kepada generasi millenium.

Membuat cerita sendiri di atas buku-buku R.L. Stine bukan berarti malah membuat Goosebumps kehilangan charm-nya menjadi sebuah film yang menarik. Tak perlu terlalu ambisius untuk mengadaptasi salah satu cerita dari bukunya, bersama Darren Lenke sebagai penulis naskah, Goosebumps berubah dari cerita misteri menjadi sebuah cerita fantasi. Film arahan Rob Letterman ini pun tak disangka menjadi sebuah film  yang sangat menyenangkan untuk diikuti. 


Zach (Dylan Minnette) dan ibunya, Gale (Amy Ryan) baru saja pindah dari New York ke sebuah kota kecil. Dia masih berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, apalagi ketika kepindahannya tersebut dikarenakan sang Ayah yang meninggal dan Ibunya harus terus menjalani kehidupan agar bisa bertahan hidup. Di lingkungan rumahnya, dia bertemu dengan gadis bernama Hannah (Odeya Rush). Seorang gadis menyenangkan yang hidup terkekang karena ayahnya yang protektif. Hingga pada suatu malam, Zach mendengar suara teriakan minta tolong dari Hannah.

Zach langsung menelepon polisi untuk mendatangi rumah tetangga barunya itu. Polisi tak menemukan apapun dari apa yang dilaporkan oleh Zach. Merasa tak puas, Zach menyelinap sendiri ke rumah Hannah. Di sana, dia bertemu dengan Hannah dan menemukan tumpukan buku yang terkunci. Tak sengaja, Zach menjatuhkan buku tersebut dan ternyata sesosok monster keluar dari buku tersebut. Ternyata, buku tersebut adalah buku tulisan milik R.L. Stine (Jack Black), ayah Hannah. 


Keputusan yang menarik dilakukan oleh Rob Letterman untuk tidak berusaha mengadaptasi salah satu cerita dari buku Goosebumps. Memiliki resiko besar dengan bagaimana mengolah cerita di dalam film Goosebumps ini agar bisa menghadirkan sesuatu yang tak asal dan sama menariknya dengan karya-karya legendaris dari R.L. Stine. Memutuskan untuk menjadikan film Goosebumps menjadi sebuah film penuh dengan tribut dan nostalgia ini memang bisa menjadi senjata ampuh atau malah menjadi bumerang dari filmnya.

Nyatanya, film Goosebumps menjadi sebuah film fantasi keluarga yang bisa merangkul segala jenis usia yang ingin mendapatkan sensasi menonton yang menyenangkan. Goosebumpsmenyajikan cerita-cerita misteri dan makhluk-makhluk menyeramkan yang dibuat oleh R.L. Stine dengan pendekatan yang lebih kid-friendly. Sehingga, makhluk-makhluk menyeramkan tersebut bisa dikenalkan kembali kepada anak-anak di era millenium agar Goosebumps bisa menjadi sebuah kapsul waktu di berbagai zaman. 


Rob Letterman kali ini berhasil berkolaborasi dengan Jack Black. Setelah sebelumnya sempat gagal lewat Gullivers Travels, Goosebumps ini berhasil menjadi titik balik dari rekam jejak Rob Letterman sebagai sutradara. Rob Letterman berhasil menyajikan sebuah film fantasi petualangan yang mengasyikkan. Meskipun belum dalam taraf luar biasa, setidaknya Goosebumpsberhasil menjadi sebuah karya yang menonjol dan bisa menghibur penontonnya.

Komedi dan suasana kekeluargaan yang diusung di dalam film Goosebumps ini memang bisa menjadi kekuatan di dalam filmnya. Komedi yang tak terlalu slapstick, membuat Goosebumps bisa menjadi sajian yang menghibur. Meski ada beberapa formula bahan tawa yang usang di dalam filmnya yang beberapa kali tak tampil menghibur, tetapi naskah Darren Lenke tak terlalu banyak memberikan sorotan. Dia menyelipkan beberapa referensi bahan guyonan lewat beberapa kultur pop dan referensi horor ke dalam film arahan Rob Letterman. Sehingga, banyak sekali poin yang mengundang tawa penontonnya. 


Pun, suasana film Goosebumps yang berhasil menghadirkan nuansa gaya lama ala serial televisinya. Nuansa misteri tetapi tetap dikemas secara menyenangkan yang tampil begitu kental di dalam filmnya. Juga, Rob Letterman tak melupakan bagaimana tujuan dari karya R.L. Stine sebagai karya yang legendaris dan hal tersebut mampu tampil di dalam film arahannya. Sehingga, penonton yang pernah ada di era itu bisa merasakan kembali apa yang mereka rindukan.

Jelas, Goosebumps adalah sebuah kuda hitam dari beberapa pihak yang merasa pernah menyudutkan bahkan memandang sebelah mata film adaptasi ini. Film arahan dari Rob Letterman ini berhasil menyajikan kembali suasana nostalgia dan tribut terhadap karya dari R.L. Stine yang legendaris ini. Meskipun tanpa mengadaptasi salah satu cerita dari bukunya sebagai sumber. Goosebumps adalah sebuah film fantasi petualangan keluarga yang menyenangkan dan dapat merangkul segala jenis usia. Baik yang pernah tumbuh dengan R.L. Stine, maupun yang tidak. 

CRIMSON PEAK (2015) REVIEW : Enchanting Yet Powerful Gothic Romance

Menghadirkan sebuah film mencekam dengan mempedulikan detil-detil artistik adalah keahlian dari sutradara, Guillermo Del Toro. Dengan anugra... thumbnail 1 summary

Menghadirkan sebuah film mencekam dengan mempedulikan detil-detil artistik adalah keahlian dari sutradara, Guillermo Del Toro. Dengan anugrahnya tersebut, Guillermo Del Toro bisa menjadikan sebuah film horor naik satu tingkat dibanding dengan film-film horor lainnya. Tak hanya dalam film-film horor, tetapi Guillermo Del Toro tetap bisa mengarahkan film-film fantasi lainnya dengan kekhasan gaya penyutradaraan darinya. 


Poin yang membuat Guillermo Del Toro menjadi salah satu sutradara yang menjanjikan adalah kinerjanya dalam film Pan’s Labyrinth. Dia berhasil menjadikan sebuah film yang penuh dengan makhluk-makhluk yang berdampak mimpi buruk ini menjadi sajian yang cantik. Sehingga, banyak penonton yang menantikan karya-karya dari sutradara asal Meksiko ini. Di tahun 2015 ini, Guillermo Del Toro menghasilkan karya terbarunya yang menggabungkan sebuah film romance dengan gaya gothic yang sangat khas dengannya.

Crimson Peak, proyek terbaru dari Guillermo Del Toro ini mengalami pengunduran jadwal rilis dari Juni ke Oktober. Dibintangi dari Mia Wasikowska, Tom Hiddleston, dan Jessica Chastain, Crimson Peak menjadi sebuah film romance dengan level yang baru lewat pengarahan luar biasa dari Guillermo Del Toro. Crimson Peak menyajikan sebuah film horor artistik yang memiliki kekuatan luar biasa dari pembangunan cerita, karakter, dan atmosfir yang mengagumkan. 


Edith Cushing (Mia Wasikowska), anak dari Carter Cushing (Jim Beaver) memercayai tentang keberadaan sosok hantu. Sosok tersebut berusaha dia tuangkan ke dalam cerita-cerita yang dia tulis. Meskipun, karya-karyanya ditolak di berbagai penerbit, dia tetap tak patah semangat untuk menuliskan ceritanya. Hingga pada suatu saat, Thomas Sharpe (Tom Hiddleston) datang kepada Carter untuk meminta bantuan donasi terhadap proyek mesin yang sedang dia buat. Tak sengaja, Edith menaruh hati terhadap Thomas karena kepintaran dan kharisma darinya.

Hubungan tersebut tak mendapat restu dari Carter dan Edith pun dilema antara Thomas atau teman masa kecilnya, Alan McMichael (Charlie Hunnam). Musibah datang pada Edith, Carter dibunuh oleh seseorang yang tak tahu siapa. Edith melarikan diri dari musibah tersebut dan memutuskan untuk menikah dengan Thomas Sharpe. Edith pindah ke kastil tua milik Thomas yang dijadikannya sebagai tempat tinggal. Di sana, dia tinggal bersama dengan kakak Thomas, Lucille Sharpe (Jessica Chastain). Di sana, Edith merasa ada yang menerornya, sosok hantu yang ada di dalam kastil tua ini. 


Menjadikan film dengan poster, trailer  dan setting mencekam menjadi sebuah film drama romance memang bukan sesuatu yang lumrah. Tetapi, Guillermo Del Toro membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan mungkin untuk dibuat. Crimson Peak adalah pembuktian bahwa dengan premis cerita seaneh apapun Guillermo Del Toro berhasil membuktikan bahwa dia adalah sutradara yang menjanjikan di industri perfilman Hollywood.

Tak ada cerita terobosan baru dari Crimson Peak sebagai film bertema gothic. Drama tahun 80an dengan misteri yang kental tetapi memasukkan unsur supranatural di dalam filmnya. Crimson Peak memiliki cerita yang sangat intens di 119 menit filmnya. Naskah yang juga ditulis oleh Guillermo Del Toro ini berhasil memikat penontonnya untuk mengikuti setiap menit dari Crimson Peak. Cerita yang dibangun oleh Guillermo Del Toro ini memiliki kekuatan untuk menghipnotis penontonnya lewat gambar bergerak.

Tempo bertutur milik Crimson Peak memang bisa dibilang lambat. Paruh awal film Crimson Peak dipenuhi dengan pembangunan masing-masing karakter yang begitu kuat. Sehingga, penonton bisa menaruh simpati kepada karakter-karakter yang ada di dalam film Crimson Peak ini. Hingga semakin bertambahnya durasi, Crimson Peakmenambahkan unsur-unsur misteri yang membuat penonton bertanya-tanya akan apa yang terjadi di dalam konflik ceritanya. 


Misteri yang disebar di dalam Crimson Peakini tak terlalu terburu-buru. Sedikit demi sedikiit, Guillermo Del Toro menaruh setiap keping teka-teki di dalam filmnya. Perlahan, Guillermo Del Toro membanguh misteri yang kuat di dalam ceritanya. Bertambahnya durasi di dalam Crimson Peak, tensi cerita pun semakin naik. Bukan hanya dari aspek kepingan teka-teki yang disebar saja, tetapi dari pembangunan cerita dari Del Toro yang semakin kokoh hingga paruh akhir filmnya.

Ketika waktu yang tepat datang, barulah Crimson Peak berada dalam puncak emosi di dalam filmnya. Final showdown di dalam film Crimson Peak memiliki kekuatan luar biasa. Menggabungkan setiap tensi cerita bercampur misteri yang sudah terjawab yang bisa membuat penonton ikut serta merasakan atmosfir di dalam filmnya. Kejutan-kejutan yang ada di dalam akhir film akan dengan mudah membuat penontonnya merasa kaget dan hal itu tersimpan rapi berkat pengarahan dari Guillermo Del Toro.

Seperti Edith Cushing yang menganggap hantu di dalam cerita-ceritanya adalah sebuah metafora dalam kehidupan, Guillermo Del Toro pun juga menjadikan hantu-hantu itu sebagai metafora pertarungan psikis dari karakter Edith Cushing. Dan bisa dibilang, Crimson Peak bukan hanya menggabungkan romance dan gothic, tetapi juga thriller psychological yang juga menjadi poin penting di dalam film ini. Sehingga, dengan adanya poin itu Crimson Peak menambah kekuatannya. 


Detil artistik di dalam film Crimson Peakpun menjadi poin penting yang sangat diperhatikan oleh Del Toro. Hal tersebut menjadi satu poin wajib di setiap film milik Del Toro. Crimson Peak berhasil memanjakan mata penontonnya lewat detil-detil menarik, tata busana nomor wahid, serta permainan warna merah dengan hitam dan putih yang juga tampil sangat cantik. Dengan beberapa aspek itu, Del Toro berhasil membangun suasana mencekam meskipun penampakan makhluk supranatural tersebut tak terlalu memiliki poin besar bagi kelangsungan film ini.

Dengan segala pengarahan Guillermo Del Toro yang sangat visioner di dalam genre ini, Crimson Peak menjadi sebuah pengalaman menonton yang sangat indah. Penggabungan beberapa isu atau tema di dalam film ini menjadikan Crimson Peak tak kehilangan arah, malah menjadi sebuah kekuatan di dalam filmnya. Guillermo Del Toro berhasil membangun cerita dan karakter yang kuat di dalam film Crimson Peak. Dan hal ini berdampak bagi ketenangan psikis penontonnya, mereka seperti dihantui dan diusik lewat film horornya yang indah dan luar biasa kuat.

ads