Jumat, 28 Juni 2013

REVIEW - White House Down

Roland Emmerich , Sutradara satu ini sering membawakan film tentang apocalypse . Contohnya Independence Day, The Day After Tomorrow , ataupu... thumbnail 1 summary
Roland Emmerich, Sutradara satu ini sering membawakan film tentang apocalypse. Contohnya Independence Day, The Day After Tomorrow, ataupun 2012. Toh tak ada satupun dari film-film yang saya sebutkan tadi menuai banyak pujian dari kritikus. 2012 pun hanya menopang popularitas dari sebuah rumor yang beredar bahwa kiamat akan jatuh di tahun itu. Kali ini, Emmerich mencoba untuk membuat film dengan genre action yaitu White House Down.


John Cale (Channing Tatum), seorang mantan marinir yang pernah tugas ke Afganistan. Dia sekarang menjadi seorang polisi dan mencoba melamar untuk menjadi seorang agen di Dinas Rahasia kepresidenan.  Dia pun bercerai dengan istrinya dan memiliki seorang anak bernama Emily (Joey King). Saat itu, John mencoba untuk mengajak Emily tour ke Istana Presiden Amerika atau White House. 

Saat melakukan tour, terdapat sebuah kejadian tak terduga. White House diledakkan dan diserang oleh sekelompok orang yang akan balas dendam terhadap sang Presiden, James W. Sawyer (Jamie Foxx). Orang yang balas dendam itu adalah seorang pengawal presiden yang akan purna tugas bernama Walker (John Woods)

Another version of Olympus Has Fallen. Long duration for this simple script totally not works well.
Sekali lagi monumen berharga milik Amerika dihancurkan oleh sineas hollywood lewat film-filmnya. Roland Emmerich sepertinya juga sering bisa dibilang doyan menghancurkan monumen-monumen penting milik amerika lewat film-filmnya. Ingat patung Liberty yang di hancurkan lewat film 2012 atau The Day After Tomorrow? Atau White House di film Independence Day. Kali ini pun sepertinya White House sekali lagi di eksploitasi melalui berbagai ledakan di film White House Down yang di sutradarai juga oleh Roland Emmerich

Track record Roland Emmerich selaku sutradara ini dibilang tak memiliki karya yang signifikan. Hasil film-filmnya pun tak memiliki sebuah kualitas yang diatas rata-rata. Kebanyakan malah gagal di unsur plot cerita. Sebut saja film yang katanya mengusung tema apocalypse 2012. Tak memiliki cerita yang bagus. Isinya hanya sebuah surviving konyol yang jatuhnya malah mirip sebuah film berjudul Poseidon. The Day After Tomorrow pun juga kurang tersaji dengan bagus. Apalagi 10.000 B.C. yang lambatnya setengah mati dan tak bisa dinikmati. 

Jadi, saya pun tak sebegitu ceria jika melihat Emmerich mencoba untuk membuat sebuah film aksi dengan memporakporandakan tempat tinggal presiden ini. Terlebih lagi, baru saja kita di sapa oleh Antoine Fuqua lewat film Olympus Has Fallen yang juga memiliki plot cerita yang sama dengan apa yang diusung oleh White House Down kali ini. Inilah yang menarik bagi saya. Mencoba untuk membandingkan White House Down dengan Olympus Has Fallen meskipun menggunakan Presiden dengan kulit yang berbeda. 


White House Down hanyalah kamuflase dari Olympus Has Fallen. Yap. Semua ceritanya hampir sama. Beberapa hal mungkin akan berbeda. Tapi, maksud dan beberapa intriknya jelas hampir keseluruhan sama. Tapi tak apa lah, film aksi lainnya juga banyak mengusung cerita yang sama dengan dua film ini. Tapi hanya saja rilisnya tak bersamaan seperti ini. Tapi, saya pribadi lebih menyukai Olympus Has Fallen ketimbang White House Down. 

Untuk cerita se-simple ini, rasanya White House Down terlalu bertele-tele dalam penyampaiannya. Durasinya terlalu panjang untuk sebuah misi menyelamatkan presiden dari serangan di White House. Akhirnya beberapa cerita pun membuat saya jenuh untuk menyaksikan film ini. Sebenarnya cerita yang membuat jenuh malah bukan terletak pada human drama-nya. Cerita yang melelahkan itu pun terletak pada ganjaran aksinya yang terlalu banyak dan malah terkesan ditambah-tambahi untuk menambahkan durasi. 

 Blame the Script. Much stupidity inside it. 
Entah, banyak hal yang setidaknya menganggu saya untuk setidaknya diam dan menikmati apa yang tersaji di layar saat menyaksikan White House Down. Tak ada yang salah saat Emmerich mencoba meng-interpretasikan naskah yang ditulis oleh James Vanderbilt di film White House Down. Malah, boleh di bilang kita harus menyalahkan naskah yang dibuat. Banyak sekali hal-hal yang sangat menganggu saya di film ini. 

Jika bisa dibilang mungkin akan sedikit melecehkan berbagai karakter di film ini. Oke. Saya mengingkan film Aksi. Mungkin dengan beberapa joke yang setidaknya untuk membuat saraf kita mengendur karena ketegangan yang tersaji di film aksi. Tapi, film White House Down pun jatuhnya malah menjadi sebuah film komedi yang menganggu berbagai keseriusan film ini. Bisa kan, kita membedakan mana film Aksi dan Aksi Komedi. 


Film ini pun jatuhnya malah seperti film Buddy-cop dengan unsur komedi. Mengingatkan saya pada film 21 Jump Street atau Hot Fuzz ataupun film aksi dengan bumbu komedi lainnya. Well, Jelas ini sedikit keterlaluan. Mengingat film ini pun bergenre Action. Pure Action. Joke-nya pun berlebihan. Mungkin bisa dibilang agak dibuat-buat. Bahkan karakterisasi di film ini rasanya komikal. Semuanya terasa aneh. Saya tidak berharap sebuah drama aksi yang mengusung beberapa unsur politik yang serius. Tidak sama sekali. 

Saya pun juga ingin menikmati sebuah sajian film action yang sekedar turn-off your brain and enjoy. Tanpa terganggu dengan bayang-bayang sebuah kekonyolan yang malah terkesan menganggu dan malah membangunkan macan dari tidurnya. Olympus Has Fallen toh akhirnya bisa melaksanakan tugasnya itu untuk saya. Sajian aksi yang tanpa perlu berpikir panjang dan tanpa unsur politik di dalamnya. Saya pun dibuat enjoy oleh beberapa adegan aksi yang menegangkan miliknya. Saya terhibur. 


Berbeda dengan White House Down yang malah membangunkan kinerja otak saya dan sempat menggumam "Apa-apaan ini?" saat film ini berlangsung. Berbagai karakterisasi konyol terutama kepada sesosok Presiden. Tak ada wibawanya sama sekali. Bahkan karakter villainnya pun terlihat konyol dan bodoh. Mereka pun terlihat sekali hanya sebuah bawahan yang menurut saja apa kata atasannya tanpa alasan apapun. Jika itu terjadi disebuh film Komedi Aksi, Saya jelas tidak akan mempermasalahkannya. Tapi ini terjadi di sebuah film aksi murni. Jelas bermasalah.

Beruntunglah. Emmerich setidaknya tetap menyajikan sebuah film aksi yang non-stop. Totalitas sekali dalam mengerjakan adegan aksi meskipun tetap beberapa terasa konyol terutama adegan kejar-kejaran di dalam Istana Presiden dengan mobil itu. Full CGI, ledakan, dan apapun itu yang sangat tipikal dan khas blockbuster movies. Yap. Inilah kekuatan Emmerich dari dulu. Penggunaaan Visual Effect yang tak main-main kalau boleh saya bilang. Meskipun White House tak seberapa dihancurkan seperti Olympus Has Fallen. Dan sekali lagi penggunaan Rating PG-13 yang jelas membuat film ini minim darah. Meskipun adegan tembak-tembakan banyak digunakan di film ini. 


Dari segi cast, Channing Tatum mampu menggunakan starlight-nya untuk menjadi sesosok Ayah yang heroik. Tatum sekali lagi mencuri perhatian penontonnya disini terutama para wanita yang sudah excited terlebih dahulu. Jamie Foxx? Meh. Saya tidak suka perannya disini. Tak ada kesan wibawa sama sekali saat dia menjadi sesosok Presiden Berkulit Hitam. Ah. Dia terlihat bodoh. Tidak intelek. Konyol. Menggelikan. Dan apapun itu. Maggie Gyllenhaal ini yang malah terlihat wibawa. Dia mampu menjadi sesosok Wanita yang tangguh di film ini. Joey King juga selalu jadi sweetheart di film-filmnya. Tak terkecuali di film ini.


Overall, Beside it stupidity and ridiculous script. White House Down still a blockbuster movies which 'boom boom bang' elements still exist in this movie. Another version of Olympus Has Fallen. But, I like Olympus Has Fallen then this one. Turn off your brain into the lowest level. This one gonna be all peoples favorite. Its fun ride this roller coaster. But, I still feel ridiculous.

Rabu, 26 Juni 2013

REVIEW + 3D REVIEW - Monsters University

Monsters Inc. adalah sebuah film animasi garapan Pixar yang sudah di rilis di 12 tahun lalu yang jelas sudah melegenda. Di tahun 2013 ini,... thumbnail 1 summary
Monsters Inc. adalah sebuah film animasi garapan Pixar yang sudah di rilis di 12 tahun lalu yang jelas sudah melegenda. Di tahun 2013 ini, film para Monsters ini pun dibuatkan sebuah prekuel dari film Monsters Inc. dengan judul Monsters University. Di Film ini, Pixar memberikan tongkat kepercayaannya kepada Dan Scanlon yang sebelumnya juga pernah bekerja sama dengan Pixar dalam membuat film Animasi berjudul Cars


Mike Wazowski (Billy Crystal) sudah sangat menginginkan menjadi Scarer sejak dia masih kecil. Dia pun terobsesi untuk masuk ke Monsters University. Saat hari pertamanya masuk kuliah, dia satu teman kamar dengan Randy Boggs (Steve Buscemi). Randy adalah monster yang paling gampang nervous jika bertemu dengan orang baru. Di Hari pertama Mike di kelas, dia pun bertemu dengan James Sullivan (John Goodman). Mereka pun saling bermusuhan awalnya. Hingga akhirnya permusuhan mereka berbuah bencana.

Tanpa sengaja karena ulah Mike, James Sullivan menyenggol tube berisi jeritan anak kecil yang melegenda milik Dean Hardscrabble (Helen Mirren). Mereka berdua pun dikeluarkan dari Monsters University. Akhirnya dalam sebuah Scarer Contest, Mike bertaruh dengan Dean agar dia bisa kembali ke Universitas nya dan membuktikan bahwa dia adalah monster yang menakutkan. Bersama dengan team mereka, Oozma Kappa. Mereka pun berjuang untuk mendapatkan sebuah kemenangan. 

Comes into Monsters's college world. Fun, Heartwarming, not meaningless but not good at tearjerker.
Pixar dan Disney adalah sebuah kerjasama yang jelas-jelas nyata. Kerjasama mereka mampu menghasilkan sebuah film animasi yang begitu indah dan menyenangkan. Sudah berapa banyak film animasi garapan Pixar yang mampu menyabet Best Animation Picture di ajang Academy Awards. Sebut saja Toy Story Trilogy, Up, dan masih banyak lagi. Ini jelas membuat para pecinta dan penikmat film akan selalu menanti-nantikan sebuah karya yang lebih mengagumkan dari Pixar. 

Sayangnya, 2 tahun lalu. Sebuah track record buruk menjadi catatan tersendiri bagi Pixar. Cars 2 yang tak disangka-sangka menjadi sebuah presentasi yang sangat mengecewakan di kalangan kritikus dan pecinta film-film Pixar. Kepercayaan yang diberikan oleh kritikus dan pecinta Pixar pun berkurang. Hingga akhirnya mereka pun enggan untuk berekspektasi lebih kepada film-film animasi garapan Pixar. Dan pada tahun 2012 kemarin, Pixar pun sedikit membayar kekecewaan para penonton dengan film Brave

Tetapi, Brave tetap tidak memenuhi kriteria yang diinginkan oleh penikmat film Pixar meskipun saya tetap jatuh cinta pada film itu. Sangat menyukainya malah. Tahun ini, Monsters University jelas membuat para pecinta dan kritikus mengharapkan sisi magical dari Pixar akan kembali. Meskipun saya sudah menaruh ekspektasi rendah dan mengira bahwa Monsters University hanya akan menyajikan sebuah prekuel yang biasa saja dan terkesan memaksa.

 
 
Setelah saya menonton film ini. Saya disuguhi sebuah presentasi yang cukup bagus. Pixar sedang berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan penontonnya terhadap film-film buatannya. Tak disangka-sangka, Monsters University jelas memberikan sebuah sajian yang menyenangkan. Dari segi visual maupun cerita. Pixar still has their own class. Yap. Pixar tetap menyajikan film animasi yang tetap indah seperti biasanya. Mereka masih punya beberapa sisi magicalnya sendiri. Meskipun tak sepenuhnya kembali utuh seperti dulu. 

Bagi yang mengatakan bahwa Monsters University adalah sebuah sajian dengan penuh senang-senang dengan jalinan cerita yang biasa saja. Well, saya tidak setuju. Monsters University tetap memberikan cerita yang heartwarming. Tetap memberikan sisi sentimentil yang momennya akan mengetuk hati para penontonnya. Meskipun tak akan bisa sekuat Toy Story 3 yang berhasil membuat saya menangis serta Up yang sangat romantic itu. Monsters University pun masih memiliki daya magic nya. Meski belum bisa menjadi tearjerker animation movie lainnya milik Pixar. 

I Still Believe in Pixar when they made an Animation Movies.
Jika di Monsters Inc. cerita lebih terpusat kepada sosok James dan konfliknya. Di Monsters University ini pun cerita lebih dibangun dan ditujukan kepada Mike Wazowski. Cerita lebih ke arah bagaimana Mike berusaha sekuat tenaga untuk menjadi seorang The Scariest Scarer in the monster's world. Cerita yang diusung mengambil tema pencarian jati diri seorang Mike. Dengan berbagai scene tentang persahabatan antara Mike dan James yang juga cukup indah dan terkoneksi dengan baik. 

Beruntungnya, meskipun Monsters University masih terkesan bersenang-senang. Tak lantas membuat jalinan ceritanya akan menyajikan sebuah cerita dengan unsur senang-senang. Tidak. Ceritanya bisa dinikmati oleh semua kalangan. Tak hanya anak-anak yang sedang menghabiskan masa liburannya dengan menonton film ini. Melainkan juga bagi para kakak, orang tua, atau siapapun yang sedang menemani para adik-adik atau anak-anaknya menyaksikan film ini. 


Karena masih banyak momennya yang lucu dan tak menjadi annoying jika dinikmati oleh kalangan dewasa. Meskipun masih ada beberapa yang memiliki elemen anak-anak dan cheesy. Tapi jelas lah, anak-anak inginkan sebuah sajian zero to hero yang predictable. Sebuah pelajaran bagi anak-anak agar selalu menggapai semua impiannya dan pasti akan terwujud. Meski begitu saya masih mempunyai kepercayaan bahwa lambat laun Pixar akan mengembalikan sisi magis nya di film animasi berikutnya.

Berbagai jalinan cerita penuh makna. Sebuah cerita pencarian jati diri yang penuh dengan nilai moral yang selalu sukses dibawakan dengan baik oleh Pixar. Monsters University menurut saya sedikit berada di atas ketimbang Brave. Don Scanlon sebagai sutradara setidaknya berhasil membawa Monsters University menjadi sebuah Animasi keluarga yang jauh dari kesan kekanak-kanakan. Semua jalinan cerita sentimentil nan emosional itu pun mampu dibawakan dengan baik. Tak seperti Brave yang terlihat kewalahan saat menyajikan sebuah klimaksnya. 


Pengisi suara film ini pun masih menggunakan bintang-bintang lama milik Monster Inc. Billy Crystal dan John Goodman masih bisa memberikan chemistry yang baik untuk Mike Wazowski dan James Sullivan. Mereka mampu menyatukan dan menghidupkan karakter-karakter di film ini. Begitu pula dengan yang lain. Meskipun tak ada satupun nama terkenal yang memberikan sumbangsih nya kepada film ini. 

Technically, Visual milik Pixar juga masih lebih colorful dan elegant ketimbang Dreamworks ataupun Bluesky. Karena warna colorful milik pixar tak pernah terlihat murahan ketimbang Production House animasi lainnya. Semua warna-warna indah itu pun di padu-padankan dengan begitu indah. Dunia monster pun memiliki warna yang menyenangkan bagi siapapun. Bahkan tak ada gimmicks murahan yang mungkin akan memaksimalkan efek 3D di film ini. Terutama efek Pop Out


Yang paling menarik di film ini adalah paruh akhir film ini. Adegan-adegan perlombaan yang cukup seru dan menyenangkan. Serta berbagai benang merah yang sangat terkoneksi dengan baik dengan film Monster Inc. Salah satu contohnya yaitu awal mula betapa Randy atau Randall bencinya dengan James P. Sullivan. Serta masih banyak lagi yang jika anda ingat betul dengan Monster Inc. maka anda akan merasakan hal yang sama dengan saya. Sebuah nostalgia yang indah dengan para karakter-karakter film di Monsters University yang akan terhubung dengan Monster Inc. Oh ya, si agen CDA yang menyamar di Monster Inc. pun menjadi cameo di Monsters University.

Perihal scoring. Saya masih lebih suka Scoring Randal Newman di film Monsters Inc. ketimbang Monsters University. Karena scoring Monsters Inc. lebih terasa klasik ketimbang yang ini. Meskipun tetap bagus. Dan masih menyisakan beberapa tune yang mirip dengan Monsters Inc. Satu hal lagi yang perlu saya ingatkan jika menonton film ini. Jangan telat masuk studio. Karena seperti biasa, Pixar selalu menyelipkan Short Animation Movie sebelum film intinya dimulai. The Blue Umbrella. Adalah sebuah film pendek yang menjadi pembuka film ini. Ceritanya sweet, unique, and romantic. 


Overall, Monsters University is a one level better than Brave. It's Fun and has A heartwarming story. Not meaningless. Just not good enough to be a tearjerker movie as Toy Story 3 or Up. I Still believe in Pixar when they made an animation movies. Well, Pixar still has their own class. Beautiful, elegant, and smart. Kids and Adults will love it.

PS : Don't walked out from theater after all the credit title was done.
Film animasi rasanya kurang jika tidak di rilis dalam format 3D. Kali ini, Monsters University pun di rilis dalam format 3D. Meskipun dalam distribusinya, di kota saya format 3D nya telat masuk. Baiklah, saya akan mengulas format 3D film ini. 

BRIGHTNESS
Kualitas kecerahan film ini pun bagus. Meskipun setting waktu pada malam hari, kecerahan film ini jika disaksikan dalam format 3D masih bagus. 

DEPTH 
 
Efek Depth-nya Megah. Semua setting di film ini disajikan dengan kualitas kedalaman yang begitu bagus. Serasa ikut masuk ke dalamnya. 

POP OUT 
Bagi orang awam, Efek ini lah yang akan ditunggu-tunggu. Tapi, Pixar tidak memaksimalkan efek ini. Bisa dibilang jarang sekali efek ini. Sekali ada, mungkin efektif. Tapi, tak terlalu banyak. Mungkin beberapa orang akan kecewa dengan 3D-nya.

Jika melihat dari efek Depth-nya yang megah. Jelas ini adalah sebuah sajian 3D yang elegan dan bagus. Tapi, efek Pop Out yang tak begitu banyak pun akan mengecewakan sebagian penonton awam yang akan menyaksikan film ini dalam format 3D. Kalau saya, Its worth it. Depth-nya mewah. Meskipun Pop Out masih kurang. Dan tiket 3D yang sekarang dipatok sama. Jadi, decide it by yourself

Minggu, 23 Juni 2013

REVIEW - Refrain

Diangkat dari sebuah novel karangan Winna Efendi , Refrain. Digawangi oleh Sutradara yang telah menyapa kita lewat film terbarunya Cinta Bro... thumbnail 1 summary
Diangkat dari sebuah novel karangan Winna Efendi, Refrain. Digawangi oleh Sutradara yang telah menyapa kita lewat film terbarunya Cinta Brontosaurus, Fajar Nugros. Novelnya yang bestseller ini pun diangkat ke sebuah film layar lebar. Dengan pemain-pemain yang jelas akan jadi idola para Remaja Indonesia, Maudy Ayunda dan penyanyi terkenal Afgansyah Reza. 


Nata (Afgansyah Reza) dan Niki (Maudy Ayunda) sudah bersahabat sejak kecil. Mereka pun selalu bersama. Satu sekolah dan berangkat ke sekolah pun bersama-sama. Di Sekolah, mereka mempunyai teman baru yaitu Anna (Chelsea Islan). Anna adalah anak pindahan. Mereka bertiga pun berteman. Hingga suatu saat, Nata menyimpan rasa kepada Niki. Dia mencoba mengatakan semuanya kepada Niki tetapi dia tidak berani.

Niki pun akhirnya berpacaran dengan Oliver (Maxime Bouttier). Nata jelas terpukul dengan berita itu. Anna ternyata diam-diam menyukai Nata. Persahabatan mereka pun rusak. Setelah Lulus SMA, Nata pun melanjutkan studi-nya ke Austria dan meninggalkan Niki. 
 
Cheesy love triangle which totally teenagers will love the most.
Bicara tentang Drama Teen-flick romance. Rasanya, sineas Indonesia belum pernah memberikan sebuah sajian romance remaja yang sekiranya akan se-hits dan se-epic Ada Apa Dengan Cinta. Di tahun lalu, ada Dwilogi Perahu Kertas yang nyatanya masih bisa dibilang melempem di beberapa bagian terutama bagian kedua dari film itu. Nyatanya masih jarang drama remaja yang bakal memuaskan. 

Kali ini, Fajar Nugros yang telah menyapa kita beberapa bulan lalu lewat film Cinta Brontosaurus. Pun mengangkat sebuah cerita cinta remaja dari sebuah novel Best-seller yang sudah menggema di kalangan remaja saat ini. Refrain. yap, sebuah judul yang mudah diingat dengan tagline "Ketika Cinta Selalu Pulang" di cover depan novelnya. Jelas ini akan menjadi sebuah film yang akan dinanti-nantikan oleh para remaja. 

If you want to expect more from this movie? Totally dont. Refrain jelas hanya mengangkat sebuah cerita cinta sederhana. Cenderung cheesy malah. Sebuah cerita cinta segitiga yang memang sangat tidak fresh dan pernah dibawakan oleh beberapa film remaja lainnya. Terlihat sekali, sebuah cerita yang predictable yang notabene akan disukai oleh para remaja. Bidikan pasar yang memang untuk remaja akan sangat berhasil. Yap. Cerita cinta menye-menye meskipun tak ada salah satu dari karakternya yang akan mati karena sakit. 

 

Awal film ini pun dibawakan dengan cukup bagus. Karakter-karakternya juga di perkenalkan dengan berbagai pendekatan yang mungkin thought-provoking. Paruh awal film ini sukses mengantarkan saya menikmati benar apa yang tersaji di hadapan layar. Hingga akhirnya sebuah penyakit yang di idap oleh film drama cinta remaja pun terselip ditengah-tengah saya saat sedang asyik menikmati indahnya cinta remaja SMA Nata dan Niki. 

Yap. Apalagi kalau bukan dialog cheesy yang penuh dengan gombalan-gombalan yang failed. Terkesan agak disgusting dan yah, not smart at all. Dialog-dialog cinta yang sepertinya dibawakan dengan begitu canggung oleh para pemainnya mungkin. Hasilnya, beberapa moment yang maunya dibikin sweet akhirnya terkesan failed. Dialog-dialog sok puitis itu pun gagal. Hingga akhirnya saya cuma bisa mengangguk dan mengingat "Ini adalah film drama remaja dengan cerita predictable. Jangan berharap lebih." 

 If you dare to love, go tell her. 
Cerita yang juga harusnya sudah lumayan bagus dibangun diawal pun. Di paruh akhir filmnya, film sedikit melambat hanya untuk dipaksakan untuk menambah durasi. Istilahnya, kita sudah cukup kenyang dengan sebuah makanan tetapi kita disuruh makan lagi. Ceritanya jadi begitu bertele-tele. Menjemukan malah. Saya pun sudah mulai kualahan dengan cerita yang sedikit disesal-sesalkan untuk menambahi durasi film ini. 

Karakter-karakter di film ini pun terasa komikal. Nata, Niki, Anna, Oliver, ataupun 3 gadis cheerleader yang jahat itu. Yap. Semuanya terasa pernah kita temui di beberapa film remaja lainnya. Terutama karakter Oliver yang sepertinya digambarkan atau mungkin diperankan terlalu ke kanak-kanakan dan terlihat asyik sendiri di film ini. 

Dan entah kenapa, saya bisa merasakan momen-momen yang akan terjadi selanjutnya di film ini dan memang terjadi di filmnya. Momen-momennya cliche. Sering di usung di FTV yang sering ditayangkan di stasiun televisi swasta dengan adegan klimaks yang juga kurang dibawakan dengan baik. Kurang bertenaga. 


"Kalau berani sayang, berani bilang. Kalau Cinta itu jangan setengah setengah"
Setelah memaksa agar menghiraukan berbagai dialognya yang kelewat cheesy ini. Setidaknya saya menikmati apa yang sudah tersaji oleh film ini selama 90 menit durasinya. Meskipun beberapa moment di film ini tetap saja terlalu manis hingga akhirnya failed. Saya masih remaja, jadi tak ada salahnya kan bisa menikmati film ini. Dan film ini pun adalah bentuk curahan hati dari kisah cinta remaja di dunia nyata. 

Jelas ini akan menjadi favorit para remaja. Cerita cinta yang belum diungkapkan. Cinta diam-diam yang juga sering dialami oleh remaja manapun. Akan menjadi sebuah tamparan besar bagi kalian para remaja yang pernah mengalami hal yang sama dengan film ini. Mencintai sahabat sendiri mungkin. Atau suka sama seseorang tapi tidak berani untuk mengatakan. Jangan salahkan bagi kalian yang pernah merasakan hal seperti ini. Ini akan menjadi sebuah cerminan sekaligus tamparan bagi kalian bahwa "Kalau Cinta Jangan Setengah Setengah" sesuai dengan tagline dari poster film ini. 

Beberapa hal masih disayangkan di bagian teknis film ini. Saya cukup terganggu dengan ratio 1:85:1 yang masih di bikin widescreen. Hingga akhirnya ukuran layar jadi semakin kecil. Padahal, beberapa tempat sudah di shoot dengan sinematografi yang cukup bagus. Beberapa scene-nya masih indah. Tetapi, ketika setting tempat berubah ke Austria. Pengambilan gambar dengan kamera yang kurang cocok. Hingga akhirnya gambar video menjadi pixelate dan tidak jernih. Sayang sekali, keindahan kota Vienna, Austria pun tak terambil dengan bagus. Padahal seharusnya berbagai sudutnya cukup indah. Entah kamera apa yang digunakan saya belum cukup paham. 


Tetapi, berbagai scoring film ini cukup mengasyikkan untuk didengarkan. Meskipun beberapa masih musiknya juga masih overused di beberapa bagian. Begitu pula dengan soundtracks yang beberapa di ambil dari lagu milik Afgan seperti Pesan Cinta dan Sabar. Dan ada pula lagu baru yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda yaitu Cinta Datang Terlambat yang juga dipasangkan pas dengan momennya di film ini. 

Cast film ini pun sepertinya beberapa masih menggunakan nama baru dalam dunia akting. Seperti Chelsea Islan yang berperan sebagai Anna yang cukup manis dan berperan sesuai karakternya. Pendiam dan tenang. Maudy Ayunda sebagai Niki seperti biasa tampil cukup menawan. Parasnya cantiknya cukup membuat saya betah di tempat duduk. Afgan pun masih berperan cukup kaku. Dia masih berusaha berperan sebagai Nata yang cuek dan jutek. Tapi, beberapa gimmick akting Afgan masih kaku.


Overall, Refrain is just a movie about cheesy love triangle. Every moment, every part, still has a cliche like TV Movie did. But, what you expect from this movie? of course this movie will gonna be teenagers sweetheart movie. This movie will express teenagers feeling about "On My Own Love". Dare to love someone? Go Tell and Show it. Before you gonna hurt the most.

Kamis, 20 Juni 2013

REVIEW + 3D REVIEW - World War Z

World War Z adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah novel yang ditulis oleh Max Brooks berjudul World War Z : An Oral History of Zombi... thumbnail 1 summary
World War Z adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah novel yang ditulis oleh Max Brooks berjudul World War Z : An Oral History of Zombie War. World War Z  dinanti-nantikan oleh para pecinta film Zombie. World War Z pun ditangani oleh sutradara dari film peraih nominasi Academy Awards, Marc Foster. Serta kekuatan bintang dari Brad Pitt di film ini. 


Gerry (Brad Pitt) adalah mantan penyidik PBB yang sudah purna tugas. Dia hidup bahagia dengan Istrinya yaitu Karin (Mireille Enos) serta kedua anaknya Connie (Sterling Jennis) dan Rachel (Abigail Hargrove). Pada suatu hari, virus rabies dengan spesifikasi baru menyebar luas dan menyerang manusia. Virus itu pun membuat manusia berubah menjadi sesosok mayat hidup atau Zombie. Gerry dan keluarga pun sanggup melarikan diri dengan dibantu oleh Thierry (Fana Mokena), temannya saat di PBB dulu.

Gerry pun mencoba untuk mencari tahu dan menuntaskan wabah yang menyerang manusia ini. Dia pun pergi ke Korea lalu ke Yerusalem untuk menuntaskan wabah tersebut. Puncaknya, dia pergi ke WHO untuk bekerja sama membuat sebuah imun agar menuntaskan wabah tersebut. 

Surprisingly an intense zombies movie even a little bit messy in the beginning.
Zombie. Jika menelisik Hollywood dalam mengeksplorasi sesosok mayat hidup ini. Mungkin kita akan menemukan berbagai macam judul yang menggunakan Zombie sebagai villain-nya. Dawn Of The Dead atau 28 Days Later dwilogy menjadi film Zombie yang memiliki tingkat ketegangan yang luar biasa. Banyak juga sineas Hollywood yang sekiranya membuat sebuah film Zombie dengan berbagai sentuhan komedi di dalamnya. Shaun Of The Dead atau Zombieland yang jelas memiliki kualitas yang bagus. Yang paling terbaru adalah Warm Bodies yang juga tampil mengejutkan menjadi film yang bagus. 

Marc Foster, sutradara dari film Monster Ball, Finding Neverland, dan James Bond's Quantum of Solace ini pun dipercayai oleh Paramount Pictures untuk mendalangi film zombie terbaru. Diangkat dari sebuah karya dari Max Brooks dengan judul sama dengan filmnya. Proses yang lumayan alot di alami oleh Paramount Pictures untuk mendapatkan hak cipta dari novelnya. Butuh waktu 2 tahun untuk bisa mendapatkan copyright dari novel ini. Setelah dianggap mampu, akhirnya film ini menjalani proses produksi dengan pemilihan aktor yang terkenal yaitu Brad Pitt

Trailer yang dirilis oleh film ini pun tak seberapa memberikan daya tariknya. Hanya saja, dalam trailernya diperlihatkan berbagai serangan luar biasa dari Zombie dengan berbagai macam ledakan sana-sini. Yap. Tipikal blockbuster movies yang mungkin akan memberikan sebuah sajian pure hiburan tanpa memberikan sebuah sajian alternatif di dalamnya. Saat film rilis pun, hype masyarakat yang masih cukup rendah dengan film ini. Masih kalah dengan manusia baja yang sudah rilis satu minggu sebelumnya itu. 


Saat memasuki sebuah studio, saya pun tak memasang patokan yang akan membuat saya kecewa (seperti Man of Steel). Kali ini saya berusaha netral meskipun berbagai review positif banyak sekali diberikan kepada film ini. Sepertinya, lebih baik tidak memasang ekspektasi yang begitu besar daripada nanti sakit hati lagi. It works well. Surprisingly, film ini ternyata memberikan sebuah cerita zombies invasion yang cukup intens. 

Film ini tak perlu banyak basa basi. Tak perlu menjelaskan lebih detail lagi siapa itu Gerry Lane. Marc Foster pun langsung menghajar habis dengan adegan demi adegan invasi dari sesosok zombie yang sudah mulai menyerang kota. World War Z pun jelas menjadi sebuah film pertarungan manusia-zombie dengan tensi ketegangan yang begitu bagus. Meskipun berbagai naskah ceritanya yang cukup goyah di awal-awal membuat film ini sedikit berkurang gregetnya.

Penggalian karakter yang tidak dilakukan secara dalam pun cukup berpengaruh. Tanda tanya besar siapa itu Gerry pun dijelaskan dengan sedikit demi sedikit di film ini. Meskipun tak semua terjabarkan dengan baik. Pace cerita melambat saat awal film ini berlangsung. Belum ada intensitas cerita yang padat dan terfokus yang membuat saya menikmati film ini. Ketika misi selanjutnya ditujukan pada Gerry. Well, let the movie begin. Semua pertunjukkan cerita yang begitu intens pun mengasyikkan untuk diikuti hingga akhir film ini. 

Zombies Invasion goes to earth with the big scale 
Film ini pun mampu memberikan efek tegang yang cukup besar. Dengan berbagai shocking scene yang jelas efektif dan tak disangka-sangka. Marc Foster mampu menggunakan scene-scene tersebut untuk sekedar menakut-nakuti penontonnya. Sebuah terapi shock yang jelas mengasyikkan. Film ini pun menguji adrenaline kita. Berbagai scene hening atau tanpa suara itu pun menambah berbagai ketegangan yang jelas sudah terjalin rapi dari awal film ini. Semua tetap terjaga hingga adegan puncak film ini. 

Terkadang film ini ingin memberikan sebuah touchy moment. Memperlihatkan kehangatan suatu keluarga yang tak ingin pisah satu sama lain. Beberapa bagian mungkin cukup berhasil. Tetapi, beberapa juga masih terkesan kurang bertenaga. Terkadang tak terlihat koneksi yang cukup antara Brad Pitt dengan Mireille Enos. Tetapi, terkadang juga bisa memberikan emosinya dengan cukup bagus. Dark comedy film ini pun bisa dikatakan beberapa masih failed. Hanya beberapa joke nya yang mampu membuat penontonnya tersenyum.


Bisa dibilang, zombie di film ini adalah zombie yang galak. Para zombie di film ini mampu berlari kencang untuk menyerang manusia. Bisa dibilang zombie di film ini lebih anarkis ketimbang beberapa film dengan zombie lainnya. Dan lebih hebatnya lagi, zombie di film ini mempunyai skala yang lebih besar. Mereka sangat banyak. Benar-benar sebuah film yang bertemakan zombies invasion. Serangan demi serangan zombie dengan skala lebih besar yang menarik untuk diikuti. Adegan di Israel jelas menjadi adegan yang gila-gilaan. Mengingatkan saya dengan akhir film Resident Evil Retribution. Andai saja Resident Evil mempunyai kualitas sama dengan film ini.

Lemahnya, World War Z menggunakan metode shaky cam yang cukup banyak. Tahu sendiri, namanya juga sedang surviving dari kejaran zombie. Jelas penggunaan shaky cam cukup banyak digunakan di film ini. Sedikit pusing memang dengan metode shaky cam di film ini. Belum lagi setting dengan tempat yang cukup gelap dengan brightness 3D yang juga membuatnya lebih gelap. Serta editing yang kurang rapi juga semakin membuat saya sedikit pusing melihat film ini.

Bagi Pecinta film zombie dengan adegan berdarah sana-sini. Bersiaplah kecewa. Rating PG-13 yang di nobatkan kepada film ini pun membuat jarang sekali adegan berdarah di film ini. Tapi itu tetap tak mengurangi berbagai ketegangan yang jelas berhasil dibangun oleh Marc Foster di film terbarunya ini.


Film ini pun mempunyai cast yang kurang mempunyai nama. Jelas sekali film ini hanya menggunakan nama Brad Pitt sebagai daya tarik. terlihat dari poster film yang hanya menampilkan namanya saja dengan ukuran besar. Tapi memang,  screening time Brad Pitt mendominasi layar. Brad Pitt terlihat masih kurang. Jadi, dia tidak begitu iconic dengan karakter Gerry film ini. Well, dia kurang terkesan bad-ass di film nya kali ini. Mungkin gara-gara rambutnya yang sering berkibar. Pemain-pemain lainnya pun cukup lah untuk memerankan karakter mereka masing-masing. 


Overall, World War Z is a quite intense zombies invasion movie. Thrilling in every scene in this movie. Even a little bit messy in the beginning. A craziness zombies invasion with the big scale truly makes me excited. A little bit annoyed with the shaky cam method . Well, this is another bang boom for blockbuster movie but its pretty well. 


World War Z pun menjadi salah satu film blockbuster movies lainnya yang juga dirilis dalam format 3D. Sekali lagi, 3D di film ini adalah hasil konversi. Saya rangkumkan efek 3D nya bagi kalian. 

BRIGHTNESS

Kecerahan film ini jelas menjadi buruk. Apalagi setting film ini yang masih dominan berada di tempat gelap. Jelas akan mempengaruhi kenyamanan kita saat menyaksikan film ini dalam format 3D. 

DEPTH
Kedalaman dalam film ini pun cukup bagus. Beberapa adegan out door yang juga semakin diperkuat dengan efek kedalaman film ini yang cukup menawan.

POP OUT 
Tak cukup banyak juga efek pop out film ini. Beberapa mungkin cukup bagus dan berinteraksi dengan penontonnya. Tapi tak begitu banyak. Meskipun jelas lebih bagus ketimbang Pop Out di film Man of Steel atau Iron Man 3. 

 

Tak begitu masalah jika kalian menonton film World War Z dalam format 2D. Karena efek 3D yang tak seberapa menawan itu. Tetapi, 3D nya pun tak begitu mengecewakan. Masih bisa untuk buat asyik-asyikan saat menonton film ini. Dan mengingat harga tiket 2D dan 3D yang sama. Tak ada salahnya mencoba dalam format 3D. Well, decide it by yourself.

Selasa, 18 Juni 2013

REVIEW - Cinta Dalam Kardus

Tahun ini, Raditya Dika terlihat sangat produktif. Cinta Brontosaurus pun berhasil meraup 800 ribu penonton Indonesia. Hype film ini pun s... thumbnail 1 summary
Tahun ini, Raditya Dika terlihat sangat produktif. Cinta Brontosaurus pun berhasil meraup 800 ribu penonton Indonesia. Hype film ini pun sangat besar. Cinta Brontosaurus sukses secara finansial meskipun cerita masih kurang sana-sini. Tetapi di tahun ini, Raditya Dika pun merilis film keduanya yaitu Cinta Dalam Kardus yang mengambil tokoh dengan benang merah di Tv Seri nya yaitu Malam Minggu Miko. Cinta Dalam Kardus pun katanya akan digarap lebih eksperimental ketimbang film terdahulunya bersama dengan Salman Aristo sebagai Sutradara. 


Miko (Raditya Dika) sedang dalam fase paling tidak nyaman dengan pacarnya yaitu Putri (Anissa Bella). Dia yang tinggal serumah dengan Rian (Ryan Adriandhy) dan pembantunya Anca (Hadian Saputra). Miko pun mempunyai pikiran untuk melakukan Open Mic di sebuah Cafe dengan menceritakan Kardusnya yang berisi tentang 21 Barang milik mantan gebetannya. 

Saat melakukan Open mic di atas panggung. Miko pun berinteraksi dengan berbagai pengunjung yang saat itu mencoba memberikan argumentasi tentang semua gebetan Miko yang menurutnya membuat dirinya terkena syndrome BTB (Berubah Tidak Baik). 

 Surprisingly its beyond my expectation. A Well-made comedy movie of the year so far.
Sekali lagi, jika kita berbicara tentang Raditya Dika. Well, dia mungkin salah satu komedian paling absurd yang pernah saya tahu. Malam Minggu Miko yang awal mula adalah sebuah web series dan memiliki penonton banyak inipun akhirnya memiliki kontrak kerjasama dengan Kompas TV. Malam Minggu Miko pun terbang menjadi sebuah TV series yang dinanti-nantikan oleh semua orang khususnya para remaja. Malam Minggu Miko pun mencoba konsep layaknya Reality Show tentang pencarian pacar untuk Miko yang berulang-ulang kali gagal. 

24 Episode milik Malam Minggu Miko ini pun menjadi tontonan komedi segar di Kompas TV. Guyonan-guyonannya yang absurd pun memecah tawa meskipun terkadang juga kurang. Tetapi, tetap saja Malam Minggu Miko dinanti-nantikan oleh para fans-nya terutama Fans Raditya Dika yang mempunyai massanya sendiri. Cinta Dalam Kardus ini pun mempunyai benang merah dengan Malam Minggu Miko. Karakter-karakternya pun masih sama dengan TV series satu itu. 

Setelah Cinta Brontosaurus yang gagal memberikan tontonan komedi segar. Well, Cinta Dalam Kardus ini pun sangat berhasil membawakan berbagai komedi segar. Temanya tetap sama dengan Cinta Brontosaurus. Cinta. Yap, remaja mana yang tak pernah jatuh cinta bukan? kegagalan cinta juga sering sekali terjadi di dalam kehidupan cinta remaja. Semuanya dikemas unik dan jelas diatas ekspektasi saya yang sudah mulai khawatir dengan kualitas film komedi ini yang mungkin hanya mengeksplor nama beken milik Raditya Dika. 


Sebuah film komedi segar yang dibawakan dengan template yang berbeda. Setting cerita film ini pun 80 % hanya terjadi di sebuah Cafe dimana Miko melakukan Open mic. Film ini pun mengusung Drama monolog yang katanya terinspirasi oleh sebuah film yang disutradarai oleh Woody Allen. Karena Raditya Dika dan Salman Aristo ini ceritanya adalah fans berat dari Woody Allen. Jadi jelas, separuh lebih durasi dari film ini akan berada dalam satu tempat. Seperti layaknya kita sedang menonton sebuah acara Stand Up Comedy

Dengan konsep drama monolog seperti itu apakah akan membuat penontonnya bosan? For me, its not. Malah ini adalah sebuah drama komedi indonesia paling segar sampai saat ini. Memorable. Tak perlu banyak karakter yang berlalu-lalang di film ini. Adegan pun fokus kepada karakter Miko yang diperankan oleh Raditya Dika. Dengan berbagai ocehan konyolnya dalam Stand Up Comedy nya. Belum lagi interaksi nya dengan para pengunjung cafe di film itu yang jelas membuat tawa. 

Stand Up Comedy Show in the big screen. Talk about Love which makes us change into a different person.
Cinta Dalam Kardus ini pun bisa di bilang isi curahan hati para remaja tentang cinta. Well, berbagai celotehan-celotehan berisi Cinta yang menyiksa seorang Remaja yang akan berubah menjadi seseorang yang bukan diri kita sendiri. Mencari sebuah arti cinta yang 'love just the way you are'  kata Miko. Bukan malah membuat diri kita Berubah Tidak Baik. Berbagai monolog tentang cinta yang saling menampar para remaja yang rela melakukan apapun buat pasangannya meskipun itu tidak baik bagi dirinya sendiri. 

Drama monolog yang jelas quotable dengan berbagai intrik yang jelas masih menyinggung kehidupan remaja di dalamnya. Seperti pengaruh sosial media, panggilan sayang antara pasangan, dan juga menyindir sebuah acara Reality Show Cinta. Cerita di film ini sebenernya lebih menceritakan kegalauan ketimbang sisi komedinya. Tone cerita yang dibuat galau ini lah yang jadi kekuatan sendiri bagi film ini. Well, semua itu dirangkum apik dan diarahkan dengan sebaik-baiknya oleh Salman Aristo. Sehingga membuat siapapun khusunya saya tidak bisa menolak keindahan-keindahan yang terjadi di Cinta Dalam Kardus. Saya jatuh cinta dengan film ini. 


Menariknya lagi, meskipun ini settingnya 80 % berada di dalam cafe. Tetapi, alur flashback dalam hal mengingat-ingat 21 barang dari mantan gebetannya. Semua tersajikan begitu unik dan segar. Menyesuaikan dengan judulnya Cinta Dalam Kardus. Semua memori indah dengan mantan gebetan Miko ini pun menggunakan design production dengan bahan kardus yang diubah menjadi berbagai barang-barang yang menceritakan tentang masa lalu Miko dengan mantan gebetannya. Sebuah production value yang begitu simple tetapi sangat indah dan unik. 

Dengan cast yang lebih sedikit, tetapi Raditya Dika kali ini jelas berperan penting demi kelangsungan cerita yang memang terus terfokus kepadanya. Raditya Dika kali ini bersinar. Aktingnya pun mengalami kemajuan. Sepertinya dalam hal Stand Up Comedy dia jelas mempunyai sinarnya sendiri. Setidaknya sinar itu bisa dia manfaatkan saat menjadi Miko disini. Dengan cast-cast pembantu lain seperti Fauzan Nasrul & Dahlia Poland sebagai Kipli & Caca pasangan remaja yang berinteraksi dengannya di cafe. Yang juga sebuah bentuk sindiran terhadap pasangan jaman sekarang kalau menurut saya.  Serta Anissa Bella sebagai Putri yang juga sweet. Dan cast pembantu lainnya yang makin memeriahkan film ini. 


Tak susah untuk jatuh cinta dengan film ini bagi saya. Jelas ini akan menjadi sebuah film komedi Indonesia paling segar tahun ini. semoga sineas lain tak berusaha mencoba melakukan drama komedi dengan template seperti ini juga. Sebuah drama komedi yang eksperimental kata Raditya Dika dan Salman Aristo. Well, mereka sukses. Sebuah cerita tentang cinta yang disampaikan dengan simple, smart, quotable, sweet and charming.


Overall, Cinta Dalam Kardus is a movie about love. Talk about nowadays teenagers love. Unique concept that makes me fall in love with this movie. A Monologue Drama comedy which totally makes a thought-provoking movies. Told with simple, quotable, and sweet with great product value. Makes love not change our self. Find a guys/girls who love the way we are.

ads