Minggu, 28 Juli 2013

REVIEW - THE CONJURING

James Wan yang namanya mulai melejit lewat karya film horror-nya yang fenomenal yaitu SAW mulai melebarkan sayapnya lebih lebar lagi di dal... thumbnail 1 summary
James Wan yang namanya mulai melejit lewat karya film horror-nya yang fenomenal yaitu SAW mulai melebarkan sayapnya lebih lebar lagi di dalam menghasilkan sebuah film horor. Di tahun 2011, Insidious pun menjadi sebuah film horor klasik milik James Wan yang berhasil menakut-nakuti penontonnya. Di tahun ini pun, James Wan mengeluarkan film horor terbarunya berjudul The Conjuring yang diambil dari kisah nyata. 


Ed Warren (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) adalah sepasang suami-istri yang biasa menghadapi masalah-masalah dengan makhluk halus. Mereka sering menangani kasus-kasus seperti itu. Bahkan barang-barang yang berhubungan dengan makhluk halus yang mereka hadapi di dalam kasus-kasusnya pun disimpan rapi di dalam rumahnya. Hingga suatu ketika dia harus menangani kasus yang paling membuat mereka kewalahan. 

Hiduplah seorang keluarga dari pasangan suami istri bernama Roger Perron (Ron Livingston) dan Carolyn Perron (Lili Taylor). Mereka memiliki 5 orang anak perempuan yaitu Andrea (Shanley Caswell), Nancy (Hayley McFarland), Christine (Joey King), Cindy (Mackenzie Foy), dan April (Kyla Deaver). Mereka pindah ke rumah yang ternyata berhantu. Semakin lama, gangguan hantu-hatu itu semakin kuat. Roger dan Carolyn meminta bantuan The Warrens untuk menyelesaikannya. 

The Hype was too high. Isn't that scary but depressing from the beginning.
James Wan, seorang sineas film horor yang sudah mempunyai jam terbang tinggi. Karya-karyanya mampu membuat penontonnya untuk berteriak dan ketakutan saat menyaksikan film garapannya. Teringat jelas karya miliknya berjudul Insidious. Berhasil menghasilkan satu kesatuan cerita yang padat dan enak untuk diikuti. Dan beberapa adegan penampakan yang dilaksanakan begitu efektif guna membuat penontonnya berteriak ketakutan atau sekedar menutup matanya. 

Jelas dengan adanya track record yang gemilang di film lamanya. Inilah yang membuat film-film horor milik James Wan sangat menarik untuk ditunggu. Menunggu kejutan apalagi yang akan diberikan oleh James Wan. Tahun ini, 2 film karya James Wan pun di rilis. The Conjuring dan Insidious : Chapter 2. The Conjuring pun di rilis. Digarap berdasarkan sebuah kasus nyata milik The Warrens ini pun sangat dinanti-nantikan banyak orang. Dengan trailer yang katanya, karena saya tak melihatnya sangat menakutkan. Maka berbagai persepsi orang-orang pun muncul. Hype yang dibangun oleh film ini pun sangat tinggi. Yang lantas akan membuat semua orang akan semakin penasaran dengan karya James Wan ini. 


The Conjuring pun mempunyai hype yang sangat tinggi. Which means that The Conjuring was absolutely a great horror movie. Tapi, saya tak bisa menyalahkan hype yang tinggi itu. Toh nyatanya, The Conjuring memang sebuah film horor yang mempunyai jalinan cerita yang begitu solid dari awal film hingga akhir filmnya. Tetapi dengan hype yang begitu gila-gilaan, apalagi setelah screening film ini di Indonesia, banyak orang memberikan statement mereka bahwa The Conjuring adalah The best horor movie that they've ever seen. Inilah yang membuat saya mengharapkan sesuatu yang lebih dari film ini. 

Belum lagi dengan keluarnya sebuah warning yang membuat film ini semakin mempunyai hype yang tinggi. The Conjuring mengeluarkan sebuah warning bagi penontonnya agar berhati-hati saat menonton film ini. Tetapi sebuah peringatan itu tak berpengaruh bagi saya. Mungkin bagi sebagian orang iya. Saya pun akan berpikir demikian. Tapi, karena Hype yang begitu tinggi itulah sebuah peringatan itu tak begitu berpengaruh bagi saya. Karena  taste The Conjuring masih berada sedikit di bawah Hype yang tinggi itu.


Saya mengharapkan sesuatu yang lebih haunting dengan teror yang cukup meyakinkan lebih lagi saat menyaksikan film ini. Meskipun The Conjuring sudah memberikan tone yang haunting sejak film ini muncul. Tetapi dengan hype yang tinggi itu, rasa haunting yang diberikan oleh The Conjuring memang masih dibilang biasa. Saya kira akan meneror saya sampai akhirnya saya tidak akan bisa tidur semalaman. But hey, I still can sleep tightly after I watch this movie. Even my friends and they are boys told me that this movie very scary

The Conjuring bukan menyajikan sebuah sajian film horor yang akan mengagetkan penontonnya dengan banyak penampakan hantu. Insidious malah masih lebih total dalam hal itu. Tetapi, The Conjuring lebih memilih untuk membuat filmnya meneror penontonnya satu persatu. Dengan tensi ketegangan yang semakin bertambah seiring bertambahnya durasi. Tekanan-tekanan konflik di film ini pun semakin solid dan bertambah. Bahkan dari awal film ini dimulai, rasa depressing sudah muncul ketimbang memunculkan adegan penampakan hantu yang mungkin terkesan narsis dan malah tak efektif.


The Conjuring pun lebih ingin membuat penonton-penontonnya lebih dekat dengan cerita filmnya. Teror satu persatu dengan durasi 110 Menit yang akan membuat penontonnya akan sangat menanti-nantikan credit title bergulir secepat mungkin. Efek depressing itulah yang malah membuat saya menyukai film ini. Tak ada hal yang baru memang dengan film The Conjuring. Jalinan ceritanya juga cliche. Tak ada yang spesial memang dari screenplay yang ditulis oleh Chad Hayes dan Carey Hayes. Tapi, formula itu dengan baik diarahkan oleh James Wan dan membuat filmnya semakin haunting bagi penontonnya.

Cara menampakkan sesosok makhluk halus di film ini bisa dibilang cukup cliche. Tetapi, dengan berbagai efek depressing-nya itulah yang malah membuat film ini semakin berujung pedih, terutama bagi yang tak suka film horor. Beberapa adegan Jump-Scared yang cukup efektif membuat penontonnya sesekali menutup mata, berteriak, ataupun mencengkram bangku bioskop mereka. Dengan rasa yang begitu klasik dengan set dekor yang tak main-main. James Wan menata semua production value dengan bagus. Semua rasa classic ala tahun 1970-an seperti setting waktu film ini. 

Insidious signature in another James Wan's horror movie. 
James Wan rasanya masih belum bisa move on dari film terdahulunya. Atau bisa di bilang itu adalah identity James Wan dalam menggarap sebuah film horor yang mungkin bisa membuat dirinya diingat oleh penikmat film. Hanya dengan menontonnya filmnya kita bisa bilang "Oh, pasti ini filmnya James Wan". Karena di dalam film The Conjuring masih banyak rasa de javu yang membuat saya teringat dengan film James Wan terdahulu yaitu Insidious. 

Masih banyak signatures yang masih ditinggalkan oleh James Wan di film terbarunya kali ini. Metode-metode paranormal yang digunakan untuk merekam aktivitas sosok makhluk halus dengan kamera, sinar ultraviolet, lalu dua karakter asisten paranormal yang juga menjadi sosok karakter yang memberikan beberapa unsur dark comedy di dalamnya. Dan masih banyak lagi signatures lain dari film Insidious yang masih ditinggalkan oleh James Wan di film The Conjuring kali ini. 


James Wan memang bisa dikatakan berhasil dalam mengarahkan film horornya. Semua rasa pressure, depressing, dan jump-scared bisa disuasanakan dengan baik. Atmosfir-atmosfir itu dikondisikan dengan solid dan terjaga dari awal hingga akhir. Belum lagi pergerakan kamera yang cukup dinamis yang digunakan di film ini. Dengan adanya mockumentary tentang kasus The Warrens. Serta perubahan metode penggunaan kamera ke dalam hidden camera juga coba digunakan untuk menambah esensi horor di dalam filmnya.  Dan juga scoring serta opening yang klasik tetap menghantui setiap scene-nya.


Kekuatan cast yang begitu bagus juga semakin membuat esensi horor film ini. Vera Farmiga mampu memberikan performa yang begitu maksimal di film ini. Terlihat sosok Lorraine yang memiliki kekuatan supranatural dan merasakan teror yang mencekam dari Rumah milik keluarga Roger dan Carolyn. Begitupun dengan Lili Taylor yang merasakan teror yang sama saat menjadi Carolyn. Dengan dukungan-dukungan departemen akting lain milik Patrick Wilson, Ron Livingston. Serta penampilan kuat dari Joey King, Mackenzie Foy, Kyla Deaver. Seriously, horror movies with kids has their own strongness. 


Overall, The Conjuring is The Classic horror movie that makes us depressed and feel the pressure from the beginning til end. But, with the high hype I expect something more than that. But, it's a solid horror movie which very worth to watch. James Wan still use his Insidious signatures in this movie. With a powerful cast and another powerful aspect. Lets enjoy play hide and seek with this horror movie. Do you wanna play seek and hide? *CLAP CLAP*

Ps : watch the mid credit title and you will know that this story is based from true story and enjoy your sleep.  
 

Sabtu, 27 Juli 2013

REVIEW + 3D REVIEW - THE WOLVERINE

X-Men universe memang sedang berada pada masa hype yang lumayan tinggi. Setelah kesuksesan prekuel X-Men yaitu X-Men First Class . Kali in... thumbnail 1 summary
X-Men universe memang sedang berada pada masa hype yang lumayan tinggi. Setelah kesuksesan prekuel X-Men yaitu X-Men First Class. Kali ini, giliran cerita milik Wolverine yang pernah dibuat film rip-off nya yaitu X-Men Origins : Wolverine dibuatkan rip-off keduanya. Dengan judul The Wolverine, film ini pun digawangi oleh James Mangold. 
 

Logan aka The Wolverine (Hugh Jackman) sedang menyendiri di sebuah hutan. Kehidupannya berjalan biasa saja hingga suatu ketika dia bertemu dengan Yukio (Rila Fukushima) yang membawa Logan bertemu dengan seseorang di masa lalunya yaitu Yashida (Hal Yamanouchi). Mereka bertemu pada peristiwa Bom Nagasaki kala itu. Yashida pun sedang dalam keadaan sekarat dan berkata bahwa ini adalah sebuah perpisahan dengan Logan.

Saat pemakaman, Mariko (Tao Okamoto) cucu Yashida pun ternyata dalam keadaan yang berbahaya. Dia pun diburu oleh seorang bernama Viper (Svetlana Kodchenkova) yang ternyata berkonspirasi dengan anggota-anggota keluarga Yashida. 

Less mutant, More Drama. Which for me it doesn't work.
X-Men Universe memang bisa dibilang mempunyai banyak komponen film didalamnya. X-Men Trilogy, X-Men Origins, serta X-Men First Class dan yang akan muncul X-Men Days Future of Past. Mereka mempunyai cerita acak dan seperti masih bingung untuk saling berkoneksi dengan baik antara cerita X-Men satu dengan yang lainnya. Begitu pula dalam segi kualitas, tak semua memiliki kualitas yang cemerlang. X-Men The Last Stand dan X-Men Origins : Wolverine pun mempunyai sebuah kualitas yang kurang. 

X-Men Origins : Wolverine sendiri terjebak dalam kualitas yang kurang. Apalagi film ini pun mengalami berbagai masalah. Terutama pada saat itu, Hasil mentah film ini pun leaked di internet. Sehingga film ini pun cukup menurun dari segi hype dan apapun. X-Men Origins : Wolverine sendiri nampaknya membuat X-Men Universe semakin membingungkan. Karena seri tersebut seperti menjadi sebuah spin off dengan cerita yang berjalan Stand Alone yang cukup tak berkoneksi.

The Wolverine ini pun sepertinya juga memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa memperdulikan cerita dari X-Men Origins : Wolverine. Tetapi bukan berarti The Wolverine jelas berdiri sendiri, Dia masih terkoneksi benang merahnya dengan X-Men The Last Stand (sedikit). James Mangold pun mencoba untuk mengarahkan mutant paling menonjol di X-Men Universe ini. Tetapi jelas The Wolverine pun sekali lagi belum bisa mengalami kenaikan kualitas yang bisa menyamai X-Men Trilogy ataupun X-Men First Class.


Apa yang dilakukan oleh James Mangold dalam film ini bisa dibilang tak bisa memperbaiki reputasi Wolverine dari pendahulunya yaitu X-Men Origins : Wolverine. Well, X-Men Origins : Wolverine jelas bercerita dengan gaya yang cheesy dan cukup messy di beberapa bagian. Cerita yang diusung lebih ke arah pop yang bisa membuat kebanyakan orang akan suka. Dan Saya pun tak menyukainya. The Wolverine pun diarahkan ke dalam sebuah cerita yang lebih gloomy dengan lebih banyak menitikberatkan kedalam unsur drama tentang Wolverine dengan aksi yang lebih menonjol dalam sosok Yakuza bukan para mutant. Mutant di film ini pun bisa dibilang sedikit. Hanya Wolverine, Viper, serta Yukio (entah itu bisa disebut mutant atau tidak)

Alih-alih The Wolverine ingin mencoba memisahkan diri dari Universe-nya. But In Another side, Wolverine tetap harus memiliki benang merah dengan X-Men Universe. Dan akhirnya datanglah karakter Jean yang selalu membayangi kehidupan Logan. Inilah yang membuat The Wolverine masih terombang-ambing dan tidak total. Bahkan karakter Jean pun terkesan distracting dan beberapa masih menganggu cara penuturan film The Wolverine ini sendiri. 

Sepertinya, The Wolverine ini pun berkurang dari segi cerita para mutant dan aksi heroiknya. Tapi dari segi bertutur kata, film ini bisa dibilang lebih menonjol dalam dramanya. Tetapi dengan unsur seperti itu tak sepenuhnya berhasil. Ini malah mengubah film The Wolverine lebih condong ke arah cerita bodyguard yang melindungi seorang gadis ketimbang ke arah film superhero. Dengan berbagai adegan aksi yang begitu kurang di film ini. 

The Wolverine like using B-Class Movie treatment. 
Muatan drama di film The Wolverine yang terlalu banyak itu akan membuat penontonnya lelah mengikutinya. Saya terlalu lelah dalam mengikuti film ini. Jika film mengalir lambat di awal film untuk menceritakan back story dengan penuturan yang baik mungkin masih bisa dimaklumi. Tetapi sayang, tempo penceritaan yang mengalir sangat tenang pun terjadi di film ini. Sama sekali tak ada sebuah adegan klimaks yang mampu membuat saya duduk tenang dan menikmati apa yang ada di layar. 

Sedikitnya adegan aksi dari The Wolverine ini sendiri yang mungkin mengecewakan berbagai pihak. Jika X-Men Origins : Wolverine masih memiliki adegan dengan mengekspos adegan aksi yang melibatkan kekuatan unik milik mutant. Di filmnya kali ini, adegan aksi pun tampil sangat minimalis. Dengan sentuhan-sentuhan yang kurang dan malah membuat film ini mempunyai taste layaknya film aksi kelas B dengan menampilkan banyak ninja dan yakuza. 


Adegan aksinya sudah kurang dan dengan sentuhan yang kurang berkelas. Meskipun masih ada beberapa scene yang setidaknya masih membuat film ini cukup dinikmati. Adegan fighting di rooftop train yang cukup bagus. Yap, cukup satu yang mengasyikkan dan tak ada lagi. Sepanjang durasi sekitar 125 menit ini tetap dihajar habis dengan drama panjang yang cukup melelahkan bagi saya. Alih-alih lebih mengusung backside story yang mungkin akan kuat. But for me, totally doesn't work. 

James Mangold memang sepertinya mengarahkan The Wolverine ke dalam bentuk pendekatan yang seperti itu. Dengan gaya cerita yang lebih bertele-tele dengan pendekatan yang sekali lagi mencoba manusiawi dengan sosok superhero. Tone cerita memang dibuat lebih gloomy dengan sedikit unsur romance yang mungkin tetap tak membantu keseluruhan presentasi film ini. Tempo juga tak terjaga, semakin bertambahnya durasi film maka tempo juga semakin ikut melambat dalam menuturkan semua kisah Logan. 


Sekali lagi, treatment Plot Twist juga masih diselipkan di film Superhero satu ini. Entah, apalah itu saya sedikit was was dengan pendekatan Plot Twist di film superhero. Beberapa mungkin berhasil seperti The Dark Knight Rises atau bakal ridiculous layaknya Iron Man 3. The Wolverine pun untungnya tak bakal jatuh ke formula milik Iron Man 3. But it just me or the plot twist is quite predictable. Atau mungkin efek saya kelelahan dalam mengikuti film ini yang memiliki penuturan yang berusaha menyajikan kisah yang kompleks tetapi sangat lambat dengan durasi yang panjang. sehingga twist seperti itu rasanya biasa saja. 

But in cast, Hugh Jackman still into Logan aka The Wolverine. But now, Wolverine terlihat lebih cengeng dan lemah. Tak seberingas film-film terdahulunya. Ketika Hugh Jackman memakai baju compang camping dengan penuh jenggot sangat mengingatkan saya saat dirinya memerankan Jean Valjean di film Les Miserables. Tao Okamoto dan Svetlana Kodchenkova cukup membuat film ini setidaknya manis dengan paras cantik mereka. But, Mereka tak sampai kelewat bad-ass layaknya Rinko Kikuchi di film Pacific Rim kala memerankan Mako Mori. Rila Fukushima pun masih terbilang kurang. 


Technically, The Wolverine patut bersyukur dengan adanya Amir Mokri sebagai Director of Photography yang berhasil membingkai indah kota Jepang. Pemandangan-pemandangan serta sudut-sudut kota yang indah di negara Jepang pun mampu di shoot dengan baik. Sehingga saya cukup menyukai setting-setting tempat di film ini. Layaknya melakukan sebuah tour singkat di kota Jepang. Meskipun sayangnya Sinematografi indah itu kurang di manfaatkan dalam memberikan konversi 3D yang bagus pula dalam segi Depth. 

So, There it goes. A Mid Credit Scene which totally makes me more excited than the entire movie. Saya pun lebih menyukai 3 Menit adegan Mid Credit Scene yang shocking ketimbang 125 Menit slow-paced milik The Wolverine ini. Semua adegan Mid Credit Scene cukup memberikan banyak Easter Egg untuk melanjutkan X-Men Universe di filmnya X-Men Days Future of Past di tahun 2014. Yah, setidaknya 3 menit akhir itu cukup membayar kekecewaan yang terjalin di 125 Menit di film The Wolverine sendiri. 


Overall, The Wolverine was going too much drama. Less Mutant, Less action which totally makes this movie not going well. James Mangold makes different way to retell the back story of Wolverine. Even I know, James Mangold try harder to makes this story more complex than other. But, he cant keep the rhythm of story. It's a 125 minutes long and slow-paced movie without any climax feeling. 


Sekali lagi, Marvel pun mengkonversi film-film superhero-nya dalam format 3D. The Wolverine pun juga di rilis dalam format 3D. 

BRIGHTNESS

 
Hasil Konversi film ini dalam format 3D pun cukup memengaruhi brightness film ini. The Wolverine pun sedikit lebih gelap jika kita saksikan dalam format 3D. 

DEPTH

Seperti Iron Man 3, Film ini pun tak memberikan sebuah efek depth yang bagus. Berbagai scene yang men-shoot kemegahan kota jepang pun tak di dukung dengan efek depth 3D yang menawan. 

POP OUT
 
Seperti tidak ada yang terjadi. Pop Out film ini pun tak memberikan interaksi yang baik dengan penontonnya. Bahkan salju-saljuan yang harusnya masih bisa ter-pop out dengan baik pun tak ada gunanya. Benar-benar palsu.

 

The Wolverine bisa dibilang tak memberikan experience apapun dalam format 3D-nya. Bila dibandingkan dengan Pacific Rim yang juga sama-sama hasil konversi. The Wolverine masih jauh dari segi kualitas 3D. Well, simpan mata anda untuk menyaksikan film ini dalam format 3D. Apalagi yang tak seberapa suka format 3D. Well, 2D is enough.

Kamis, 25 Juli 2013

REVIEW - MIRACLE IN CELL NO. 7

Industri perfilman korea rasanya memang sangat kreatif. Nyatanya, banyak sekali film-film korea yang mempunyai jalinan cerita drama yang kua... thumbnail 1 summary
Industri perfilman korea rasanya memang sangat kreatif. Nyatanya, banyak sekali film-film korea yang mempunyai jalinan cerita drama yang kuat. Miracle In Cell No. 7 adalah sebuah drama korea yang menjadi box office di negaranya sendiri. Maka, Indonesia pun ikut meng-impor film ini dan akhirnya merilisnya baru-baru ini.


Di tahun 1997, Ye Sung (Kai So Won) hidup dengan ayahnya bernama Lee Yong-Goo (Ryoo Seung-Ryong). Ayahnya menderita keterbelakangan mental. Setiap hari mereka menatap sebuah toko yang memajang sebuah Tas Sailor Moon. Ye Sung sangat menginginkan tas itu. Hingga suatu hari, Tas tersebut di beli oleh anak dari Komisaris Polisi. Suatu hari saat bekerja, anak yang membeli tas tersebut pun memberi tahu tempat yang menjual Tas Sailor Moon yang persis sama dengannya. Tetapi di perjalanan, anak tersebut mengalami kecelakaan yang membuat anak tersebut meregangkan nyawanya.

Yong-Goo pun dituduh melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak tersebut. Dia pun masuk penjara. Disana dia bertemu dengan banyak orang baru. Para narapidana di sana membantu Yong-Goo untuk bertemu dengan anaknya. Setelah beberapa tahun, Ye Sung dewasa (Park Shin-Hye) membantu menyelesaikan kasus milik ayahnya ini. 

A Powerful tearjerker K-Drama Movies.
Drama korea memang sedang digandrungi banyak orang. Seri-seri korea pun laku di pasaran. Dengan cerita yang fresh, kreatif, dan unik antara satu dengan lainnya.  Sayangnya, saya tak pernah tertarik dengan drama korea yang berseri-seri itu. Cukup menikmati sebuah film lepas milik negara ginseng itu dengan durasi maksimal 120 hingga 150 menit. Tak banyak film-film korea yang pernah saya tonton. Mungkin beberapa layaknya Oldeuboi (Old Boy) yang akan rilis remake versi hollywood-nya, Pieta, Hello Ghost dan beberapa film lainnya. 

Mungkin hanya beberapa diantara film Korea yang pernah saya lihat mempunyai genre Drama. Kebanyakan lebih ke Horror thriller, atau horror psycho. Hello Ghost contoh salah satu film drama milik korea yang saya tonton. Saya tak seberapa menyukai filmnya. Hanya efek twist endingnya yang mungkin membuat saya suka. Kali ini pun, saya mencicipi Miracle In Cell No. 7. Melihat film ini pun sedang ramai dibicarakan orang karena mempunyai sebuah cerita yang bagus. 

Setelah 120 menit saya mengikuti film Miracle In Cell No. 7 saya pun paham kenapa orang-orang sedang membicarakan film ini. Ini adalah sebuah film drama keluarga yang jelas akan membuat kita dengan gampang menitihkan air mata. Sebuah jalinan cerita tentang hubungan ayah-anak yang begitu erat yang mungkin akan sangat menyentuh sisi sentimentil penontonnya. Sebuah kisah drama yang begitu kuat dengan ritme yang begitu terjaga dari awal film hingga akhir. 


Tak seperti Hello Ghost yang mungkin hanya memberikan cerita mengharukan itu di akhir film dan diawal di tutupi dengan berbagai kekonyolannya meskipun tergolong weird. Miracle In Cell no. 7 ini pun sudah memberikan cerita yang mengharukan sejak 30 menit film ini berlangsung. Adegan demi adegan yang bisa mengoyakkan hati penontonnya pun disajikan dengan begitu kuat dengan penuturan yang apa adanya. Natural dan tidak berlebihan. 

Tetapi, masih terlihat jelas bahwa Lee Hwan-Kyung selaku Sutradara yang juga sekaligus screenwriter masih keteteran dalam menuturkan apa yang terjadi di film ini. Penyampaian yang masih terlihat acak dan kurang terjabarkan dengan baik juga bakal membuat penontonnya sedikit bertanya-tanya. Seperti berusaha menyampaikan semuanya tetapi Lee Hwan-Kyung terlihat kelabakan dengan penyampaiannya. Hasilnya, beberapa background karakter di film ini pun tak terceritakan dengan baik. Tetapi beruntung, Lee Hwan-Kyung masih memberikan cerita drama yang begitu kuat di film ini. 

Prepare a bunch of tissues when you watch this movie.
Yang membuat film ini sangat menarik untuk diikuti adalah bagaimana Lee Hwan-Kyung, Kim Hwang-Sung, Kim Young-Suk  yang beramai-ramai menulis screenplay film ini menuturkan kisah film ini. Sangat tepat jika penggunaan alur maju mundur untuk menyajikan film ini. Scene flashback untuk menceritakan Ye Sung kecil sebagai saksi kasus ayahnya ini dan alur maju untuk menceritakan perjuangan Ye Sung dewasa untuk memenangkan kasus ayahnya ini.

Just for your information readers, saya bukanlah orang yang mudah terharu saat menyaksikan sebuah film drama. Karena kebanyakan film Drama mengekseskusi filmnya menjadi sebuah drama dengan adegan-adegan yang harusnya bisa menyentuh penontonnya tetapi disajikan berlebihan. Seingat saya, hanya 3 film yang membuat saya pernah menitihkan air mata saat menyaksikan sebuah film. Toy Story 3 milik Pixar, 9 Summers 10 Autums film Indonesia, dan film ini. Miracle In Cell No. 7


Miracle In Cell No. 7 berhasil membuat saya menangis layaknya gadis kecil. . Lee Hwan-Kyung pun berhasil mengarahkan filmnya menjadi sebuah film drama dengan cerita yang akan menyentuh penontonnya. Siapapun yang tidak menangis saat menyaksikan film ini mungkin seorang yang hatinya keras, sekeras batu. Yah, saya pun secara tidak sadar sudah banyak menitihkan air mata ketika menyaksikan film ini.

Film ini mampu memberikan nyawa serta atmosfir yang begitu kuat kepada penontonnya. Apalagi dengan iringan scoring yang semakin membuat film ini bernyawa. Yah, Scoringnya menyayat hati penontonnya. Semakin bisa mengacak-acak hati penontonnya yang tak pelak akan membuat kita secara tak sadar akan menitihkan air mata. Jadi bagi para penonton, bersedialah satu wadah penuh tissue sebagai teman anda saat menyaksikan film ini. Pria ataupun Wanita kebanyakan menitihkan airmata nya saat menyaksikan film ini. 


Tapi tenang, tak selamanya film ini menyajikan kisah mengharu biru yang mungkin akan membuat ritme sedihnya terkesan berlebihan. Toh Lee Hwan-Kyung dan teman-temannya masih memberikan tempat kosong untuk menyelipkan banyak unsur komedi di film ini. Semua adegan-adegan konyol cukup membuat kita tertawa. Guyonannya masih bagus. Tak terkesan slapstick layaknya Hello Ghost yang malah membuat saya tidak tertawa. 

Lee Hwan-Kyung dan teman-teman pun masih menyelipkan beberapa twist yang semakin membuat kita akan bersedih ria lagi saat menyaksikan film ini. Semua twist itu cukup ditutup rapat. Dibuat sebegitu meyakinkan akan adanya sebuah harapan di filmnya. Tapi semua berubah terbalik. Meskipun masih terlihat predictable tapi setidaknya memberikan efek sedih yang semakin kuat yang akan mengikuti sepanjang film ini. 

Belum lagi cast-cast film ini yang bermain begitu kuat. Ryoo Seung-Ryong bermain sebagai seorang ayah yang mempunyai keterbatasan. Dia berakting dengan begitu baik dan sangat natural. Ber-chemistry apik dengan Kai So Won sebagai Ye Sung kecil. Chemistry yang dibangun sangat kuat. Inilah faktor yang membuat film ini semakin kuat dari segi dramanya. Adegan-adegan mengharukan pun datang dari chemistry yang kuat dari mereka berdua. Hubungan ayah-anak yang sangat erat pun diperankan oleh mereka dengan begitu baik. 


Overall, Miracle In Cell No. 7 is a powerful drama which makes my tears drops through my face. A beautiful acts from Ryoo Seung-Ryong and Kai So-Won makes a maximum vulnerable moments for this movie. Even a little bit messy in the storytelling aspect but it doesn't makes the powerful story decrease. Prepare a bunch of tissues when you watch this movie. Trust me, boys or girls, you need it. 

Selasa, 23 Juli 2013

REVIEW + 3D REVIEW - TURBO

Dreamworks Animation Pictures sudah menambatkan dirinya sebagai Animation movie maker dengan jam terbang tinggi. Tak salah, dia pun bisa ja... thumbnail 1 summary
Dreamworks Animation Picturessudah menambatkan dirinya sebagai Animation movie maker dengan jam terbang tinggi. Tak salah, dia pun bisa jadi saingan terberat bagi studio animasi yang sudah berkali-kali memenangkan piala Academy Awards yaitu Pixar. Di tahun ini pun, Dreamworks Animation sudah mengeluarkan film animasinya dengan kualitas yang bagus yaitu The Croods. Dan filmnya yang kedua yaitu Turbo pun dirilis. 

 
Menceritakan tentang seekor siput bernama Theo (Ryan Reynolds) yang berusaha untuk menjadi siput yang cepat. Dia sangat terobsesi dengan balapan dan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia juga mempunyai seorang Idola Pembalap bernama Guy  Gagne (Bill Hader).  Dan Akhirnya suatu ketika kejadian menimpa dirinya. Dia pun terkena Radiasi NOS yang ternyata merubah hidupnya. 

Dia berubah menjadi seekor siput dengan kecepatan tinggi. Tanpa sengaja, seorang menjual Taco bernama Tito (Michael Pena) menangkap Theo dan Kakaknya bernama Chet (Paul Giamatti). Ternyata Tito mengetahui keanehan yang terjadi pada Theo dan dia pun diikutkan Lomba Balap di Indiana Polis 500. Tempat yang diidam-idamkan oleh Theo. 
 
Original premise but isn't executed well. 
Dreamworks Animation pictures menjadi sebuah animation studio yang cukup produktif. Film-film animasinya pun pasti akan meramaikan tiap tahunnya. Dengan tema cerita yang cukup inovatif dan imajinasi-nya yang luar biasa tinggi. Jadi mungkin film-film animasinya akan dibuat dengan warna-warna yang bertabrakan satu sama lain dan menarik. Meski terkadang terlihat norak tapi tak salah jika metode itu di lakukan pada film animasi yang notabene ditujukan kepada anak-anak. 

Tahun ini, The Croods tak disangka menjadi sebuah surprise di awal tahun yang cukup gemilang. Jalinan kisah animasi yang cukup kuat dengan design character yang menggemaskan. Maka, Dreamwoks pun telah menyiapkan sebuah film animasi yang siap bersaing di musim panas kali ini melawan film-film musim panas lain. Turbo. Sebuah film tentang siput yang mempunyai imajinasi yang cukup tinggi dan dengan taste kekanak-kanakan menurut saya. 

Tak masalah bagi Dreamworks dengan ide gilanya itu. Turbo jelas sebuah premis original yang gila dan menggelikan. Tapi premis-premis seperti itulah yang harus digunakan untuk dapat bersaing di Hollywood dan tangga Box Office. Jadi tak ada yang menggelikan di dunia perfilman asal sang sutradara tahu bagaimana mengeksekusi dan bertanggung jawab atas kualitas seperti apa yang diberikan saat ide gilanya itu sudah dibuat. Turbo pun digawangi oleh David Sorren yang baru pertama kali mengarahkan sebuah film layar lebar. 


Sayang, Turbo bukan sebuah film dengan eksekusi baik dari sebuah Ide Gila milik David Sorren itu. Dengan ide original yang kuat tak lantas membuat film ini jadi baik dan segila konsepnya. Beberapa kesamaan plot yang mungkin akan mengingatkan kita pada film milik Pixar bernama Ratatouille. Hanya saja kali ini yang berusaha untuk merealisasikan impiannya bukanlah Tikus melainkan seekor siput. Formula yang cukup mirip memang. Tapi pembawaan mereka pun jelas berbeda. Turbo bisa dianggap gagal memberikan menyajikan film animasi yang bagus. 

Saya sudah berharap mungkin Turbo bisa jadi sebuah Surprise layaknya The Croods di awal tahun. Dreamworks Animation pun tak seberapa mempunyai track record bagus untuk film animasinya. Tak ada kualitas yang begitu signifikan. Mungkin How To Train Your Dragon serta Shrek (itupun hanya bertahan pada seri keduanya saja) yang mempunyai kualitas yang sangat bagus untuk production House ini. Tapi, Turbo malah berubah menjadi sebuah film animasi yang tak berkualitas. Sangat kekanak-kanakan dan tak melesat cepat layaknya Theo yang terkena NOS di film ini.

 
Flat, Boring, and much failed jokes for we as teenagers. 
Bagi sebagian orang terutama para Remaja dan Orang dewasa. Menonton film animasi atau kartun adalah hal yang paling kekanak-kanakan yang pernah dilakukan. Well, I don’t believe it. Karena masih banyak film-film animasi yang bisa disaksikan universal bagi segala usia. Tapi masih banyak juga yang akhirnya tetap menjadi sebuah film animasi yang target pasarnya adalah khusus anak-anak dengan berbagai guyonan slapstick nya. 

Hal seperti itulah yang terjadi di film Turbo. Berbeda dengan The Croods yang mampu tampil seimbang antara jokes slapstick bagi anak-anak dan beberapa jokes dewasa yang diusung dengan smart. Turbo hanyalah sebuah film animasi dengan komedi slapstick yang memang ditujukan bagi anak-anak. Well, bagi saya jokes-nya bisa dihitung jari yang bisa membuat saya tertawa. Karena adegan-adegan humornya tersaji kering tak bertenaga. 


Bahkan terkesan menggelikan dan tak membuat saya tertawa. Komedi slapstick ini pun diperparah dengan pengulangan yang begitu banyak sehingga jelas malah menganggu saya. Tak malah membuat saya tertawa jatuhnya pun seperti distracting jokes film ini yang jelas sudah tak memberikan daya tawa bagi saya.  

Dengan durasi 90 menit. Turbo berjalan dengan sangat lambat. Alur cerita film ini pun berjalan lambat layaknya Siput-siput kebun di film ini. Ceritanya memang sejenis dan cliche. Tapi toh masih banyak kan film animasi dengan formula seperti ini yang nyatanya masih bisa dieksekusi dengan begitu baik. Turbo ternyata gagal mengeksekusi formula usang yang sering dipakai oleh film-film animasi lainnya. RasanyaDarren Lemke selaku Screenwriter masih kurang bisa mengolah tema-tema ini dengan baik. 

Film dengan tema cerita Zero To Hero or People who want to make their dreams come true. Semua cerita yang penuh pesan moral dan inspiratif ini pun gagal dan tanpa tenaga. Begitu pula dengan beberapa scene yang berusaha untuk memberikan sisi sentimentil bagi penontonnya. But Sorry, it doesn’t work. Eksekusinya pun tak diperhatikan. Sehingga jalinan cerita Turbo pun terasa sangat lama. Semua jalinan ceritanya terasa datar. 


Sungguh disayangkan memang. Turbo yang mempunyai sebuah ide gila ini tak tereksekusi dengan baik. Sehingga membuat saya cukup tak nyaman dengan hasil yang disajikan di depan mata saya. Ketika saya berfikir, mungkin saya menganggapnya terlalu serius. Toh nyatanya saya memang kurang begitu menyukai Turbo. Ini seperti Ratatouille meets Carstapi dengan kualitas yang masih jauh dibawah kedua film tersebut. Beberapa scene-nya terkesan magical khas anak-anak tapi cukup menggelikan. Dengan berbagai cerita yang predictable

Dari segi teknis pun, rasanya design character di film ini masih cukup adorable di film ini. Permainan warna khas Dreamworks. Sangat mencolok mata dan sedikit efek-efek yang pop out yang norak juga masih menjadi hook Dreamworks di film ini. Tapi entah, saya masih menemukan gimmick-gimmick yang terlihat begitu kaku dan tak sehalus Dreamworks biasanya ataupun Pixar. Atau mungkin gimmick tersebut hanya karena karakterisasi yang tak menyatu dengan voice over nya? 


Well, pengisi suara di film ini memiliki nama-nama yang cukup terkenal. Sebut saya Ryan Reynolds sebagai Theo. Ryan Reynolds pun mengisi sosok Theo dengan penghayatan yang kurang. Sehingga terkadang masih ada hal yang tak terkoneksi baik antara mimik wajah sang siput dengan suara milik Ryan Reynolds. Malah Paul Giamatti sebagai Chet lah yang berkontribusi cukup baik disini. Serta karakter Whiplash yang diisi oleh Samuel L. Jackson yang cukup menghibur di film ini.

Dari segi soundtrack pun lebih banyak memberikan lagu-lagu lawas yang cukup masuk di film ini. Contohnya We Are The Champion milik band legendaris Queen. Sisanya berisi lagu dengan genre musik Hip Hop dan Rap yang menghiasi sepanjang film ini. Karena salah satu pengisi suara di film ini adalah Snopp Dogg yang adalah seorang rapper terkenal di US. 
 
 
Overall, Turbo is just a crazy and original idea which not executed well. Much jokes in this movie which not makes me laugh. Story about zero to hero theme with flat and boring execution. Sorry, Doesn’t mean I’m too take it seriously but it very doesn’t work for me. Well, Dreamworks at it worst is goes to Turbo. No powerful story. No mo..



Seperti biasa, Dreamworks pun selalu mengeluarkan film-film animasinya dengan format 3D. Turbo pun dirilis dalam format 3D. Saya akan memberikan review nya bagi kalian. 

BRIGHTNESS

Kecerahan film ini jika disaksikan dalam format 3D masih cerah. Tak membuatnya sedikit gelap ketimbang versi 2D nya. 
 
DEPTH

 
Tak ada yang spesial dari segi Depth film Turbo. Rasanya biasa saja. Tak seperti film-film Dreamworks Animation biasanya.

POP OUT

Ini yang mungkin dinanti-nantikan. Efek Pop out. Biasanya Dreamworks mempunyai efek Pop out yang cukup banyak. But hey, There’s no special Pop Out effect in Turbo 3D. Pop out nya pun tak banyak dan tak ada yang istimewa.


Well, terserah bagi kalian ingin menyaksikan film ini dalam format 3D ataupun 2D. Toh tak ada hal yang begitu signifikan yang terjadi saat kita menyaksikan film ini dalam format 3D. Tapi mengingat harga tiket 2D dan 3D yang sama mungkin tak ada salahnya mencoba film ini dalam format 3D. Tapi, itu tergantung kalian as an audience. Decide it by yourself.

Senin, 22 Juli 2013

REVIEW - RED 2

RED adalah sebuah film adaptasi komik milik DC Universe yang diangkat ke layar lebar. RED seri pertama pun sukses meraih Box Office dengan m... thumbnail 1 summary
RED adalah sebuah film adaptasi komik milik DC Universe yang diangkat ke layar lebar. RED seri pertama pun sukses meraih Box Office dengan memberikan kualitas yang surprisingly menghibur. Jadi tidak salah jika Summit Entertainment yang menaungi adaptasi komik satu ini untuk memberikan lampu hijau bagi film ini untuk dibuatkan sekuelnya.


Mantan agen CIA, Frank Moses (Bruce Willis) ingin sekali pensiun dari kerjaannya dan hidup bahagia dengan istrinya Sarah Ross (Mary-Louise Parker). Namun sekali lagi Marvin (John Malkovich) mengajaknya lagi untuk menyelesaikan sebuah misi dengannya. Frank pun pada awalnya menolaknya hingga suatu saat dia harus ditangkap dan di interogasi oleh seorang Polisi tentang senjata bernama Nightshade. 

Akhirnya, Frank pun sudah terlanjur basah dengan masalah ini berusaha menyelesaikan masalah ini dan ingin bertemu dengan Dr. Bailey (Anthony Hopkins) si pembuat senjata tersebut. Frank pun tetap meminta pertolongan teman-temannya seperti Victoria (Helen Mirren). Di sisi lain, Frank pun dikejar oleh pembunuh bayaran yang disewa polisi bernama Han Cho Bai (Byung-Hun Lee).

 
A stereotype(s) summer blockbuster movies. 
RED pertama awalnya terlihat mengekor pada kesuksesan film dengan penuh aktor legenda film aksi yang berkumpul di film The Expendables. Terlihat pada jajaran nama aktor-aktris yang sudah melegenda di film ini. Bruce Willis, John Malkovich ataupun Morgan Freeman (yang hanya ada di film pertamanya) ikut berpartisipasi dengan porsi banyak di film pertamanya. Tetapi, RED surprisingly memberikan sajian film aksi yang thought-provoking and fun. 

Jadi tak begitu kaget jika RED pun hadir kembali menyapa para penontonnya di film kedua. Meskipun mengalami pergantian Sutradara dari Robert Schwanke ke Dean Parisot. Tapi tetap dengan jajaran cast yang sama dari film pertamanya. Bruce Willis pun tetap hadir dan jelas menjadi sebuah bold promo sendiri bagi film ini yang sepertinya kurang terlihat gaungnya karena tertutupi berbagai hype film-film blockbuster lainnya. 

Dengan pergantian sutradara itu apakah RED 2 mampu tampil dengan performa yang begitu baik? Menurut saya, RED 2 tetap mampu memberikan sebuah sajian film aksi yang Fun khas film RED terdahulu. Tetapi tak ada yang hal baru yang coba ditawarkan oleh RED 2 dalam filmnya kali ini. Karena RED 2 pun tetap terjebak pada identity-nya sebagai film summer blockbuster movies yang penuh dengan ledakan dan aksi. Tak ada yang salah dengan summer blockbuster memang. Banyaknya adegan ledakan dan penuh senang-senang adalah identity bagi film-film di musim ini.


Performa bisa dibilang menurun ketimbang film pertamanya. Tapi tak seberapa begitu signifikan dari film pertamanya. Karena untungnya naskah yang tetap ditulis oleh Erich Hoeber dengan bantuan Jon Hoeber ini pun masih bisa menyajikan berbagai spy adventure yang cukup mengasyikkan. Hanya saja tak semenarik film pertamanya. Porsi spy adventure-nya lebih sedikit karena tertutupi oleh masalah-masalah lain yang membuat Spy adventure menjadi sedikit blur. Tak seperti film pertamanya yang masih memberikan banyak spy adventure dengan performa baik dan mengasyikkan untuk diikuti. 

RED 2 pun memberikan adegan-adegan yang mengundang tawa penontonnya yang ternyata jauh lebih banyak ketimbang film pertamanya. Sehingga mungkin inilah yang membuat film ini pun kefokusan sedikit berantakan ketimbang film pertamanya. Tetapi, beberapa komedi film ini tetap dibawakan dengan smart tanpa perlu khawatir akan jatuh berlebihan dan terkesan bodoh layaknya White House Down itu. Setidaknya tak membuat saya berperasaan aneh ketika menyaksikan film ini.

Old formula will works but there's no something new. 
Satu hal lagi yang mungkin akan membuat film ini sedikit menurun performanya ketimbang film pertamanya.  Kesamaan formula yang diusung antara film keduanya dengan film pertamanya. Hal seperti ini adalah penyakit bagi beberapa film yang sepertinya sengaja dibuat sekuelnya untuk mendapatkan untung sehingga sineas pun tetap bermain aman dan mengusung formula film pertamanya dan mengulangnya kembali di film keduanya. Hal seperti itu sempat gagal diusung oleh film kedua dari seri The Hangover. 

Jika old template itu bisa dikembangkan lagi dengan berbagai ide-ide kreatif yang lebih lagi tak masalah. Tapi, RED 2 pun tak bisa memberikan terobosan baru bagi filmnya. Semua template nya pun sama persis dengan film pertamanya. Mungkin ada beberapa karakter-karakter baru yang terselip di film ini. Tapi, tetap tak memberikan apapun yang mungkin akan membuat sekuelnya kali ini berbeda dengan predecessor-nya. 


Hanya ganjaran beberapa aksi yang cukup banyak dan joke-joke yang mengundang tawa yang menyelamatkan film ini. But I don't know. Is it just my feeling atau memang adegan aksi di film ini tak seheboh film pertamanya. Bisa dibilang adegan aksi di film ini pun tak seberapa bernyawa. Berbeda dengan film pertamanya yang aksinya begitu seru, mengasyikkan, dan menegangkan sehingga saya begitu menikmati apa yang disajikan saat itu.

Naskah yang ditulis oleh Erich Hoeber dengan bantuan Jon Hoeber ini pun seperti kehilangan ritme-nya kala bertutur di tengah filmnya. Sedikit melambat memang tetapi kembali tampil dengan baik lagi. Dengan beberapa bumbu-bumbu twist story yang tak memberikan efek shocking begitu banyak. Karena sekali lagi tipe twist seperti itu sudah cukup banyak diusung oleh film-film sejenis. Tetapi setidaknya ini memberikan rasa tersendiri terhadap naskah yang mereka tulis. Sehingga setidaknya ada beberapa konflik cerita yang berbeda dari film pertamanya. 


Berbeda sutradara pun berbeda pula identity-nya. Jika Robert Schwanke lebih membuat film RED tak terlihat seperti sebuah adaptasi komik. Maka, Dean Parisot pun tak ingin membuat RED 2 terlihat kehilangan identitasnya sebagai adaptasi sebuah komik milik DC. Template-template ala komik yang sangat begitu terlihat di film ini. Mulai dari gaya narasi serta berbagai macam tulisan yang digunakan untuk film RED 2. Cukup menarik untuk dilihat meskipun tak unik. 


Bruce Willis, John Malkovich, serta Mary-Louise Parker yang mempunyai screening time lebih banyak pun memberikan performa cukup bagus. Mereka mampu memberikan chemsitry yang cukup bagus di film ini. Jika di film pertamanya Mary-Louise masih terlihat fragile dan lebih kalem. Di film keduanya pun dieksplor lebih lagi oleh Dean Parisot. Dan tetap Helen Mirren lah yang saya nanti-nantikan kemunculannya di film ini. Begitu pula Anthony Hopkins yang tampil meyakinkan sebagai Villain di film ini. 

Catherine Zeta-Jones pun begitu tampil seksi dan baik di film ini meskipun screening time begitu terbatas.Lalu penampilan Byung-Hun Lee yang cukup berbeda ketimbang perannya di film G.I.Joe. Tapi, mood saya langsung turun ketika menyaksikan dirinya di film ini. Saya langsung teringat dengan G.I.Joe Retaliation yang buruk itu. Apalagi G.I.Joe juga dibintangi oleh Bruce Willis bukan?


Overall, RED 2 isn't better than its predecessor. RED 2 still use their old template story without any something new. The Action scene isn't crazy as its Predecessor did. Just a simply stereotype summer blockbuster movies with 'bang' and 'boom' scene inside this movie. But its still fun ride. There's a lot of jokes and little bit lower action which we can enjoyed. 
ads