Soraya Intercine Films memang ditahun ini sedang dalam masa produktivitas yang cukup tinggi. Mungkin karena kesuksesan yang pernah diraih oleh film fenomenalnya yaitu 5 Cm. Meskipun hype yang dibangun cukup tinggi tetapi kualitas pun masih berada dibawah. Maka tahun ini, 2 Film Soraya Intercine Films memberikan sumbangsih untuk perfilman nasional. Salah satunya adalah Moga Bunda Disayang Allah yang diangkat dari novel milik Tere Liye yang menyadur kisah populer Helen Keller.
Karang (Fedi Nuril) adalah seorang pemuda yang mencintai anak-anak. Tapi semua itu berubah ketika sebuah kecelakaan kapal laut terjadi dan Karang tidak dapat menyelamatkan anak-anak yang bersamanya. Karang merasa trauma dan dihantui rasa bersalah. Ia menjauh dari anak-anak dan memutuskan hubungannya dengan Kinarsih (Shandy Aulia) karena merasa dirinya tidak pantas untuknya. Ia pun mengasingkan diri di sebuah pulau yang jauh dari ibu kota dan menjadi seorang pemabuk
Kehidupannya berubah ketika Bunda HK (Alya Rohali), istri dari Tuan HK (Donny Damara) yang kaya raya dan dihormati di daerah itu datang memintanya untuk menjadi guru untuk Melati (Chantika Zahra). Melati adalah anak perempuan mereka yang buta, tuli dan juga bisu. Melati tidak bisa berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Karena sering mabuk, cara mengajar Karang menjadi sangat kasar dengan meneriaki dan memperlakukan Melati dengan semena-mena sehingga membuat semuanya bingung dan takut. Tapi perlahan Karang dan Melati makin saling butuh.
Kehidupannya berubah ketika Bunda HK (Alya Rohali), istri dari Tuan HK (Donny Damara) yang kaya raya dan dihormati di daerah itu datang memintanya untuk menjadi guru untuk Melati (Chantika Zahra). Melati adalah anak perempuan mereka yang buta, tuli dan juga bisu. Melati tidak bisa berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Karena sering mabuk, cara mengajar Karang menjadi sangat kasar dengan meneriaki dan memperlakukan Melati dengan semena-mena sehingga membuat semuanya bingung dan takut. Tapi perlahan Karang dan Melati makin saling butuh.
Film yang berbicara tentang hati tetapi tidak dibuat dengan hati.
Lebaran adalah sebuah momen yang kerap dijadikan sebuah aji mumpung bagi berbagai production house yang ingin mendapatkan jumlah penonton yang fantastis. Alhasil, slot tanggal rilis pada hari dekat-dekat lebaran menjadi sangat diminati oleh production house dan menjadi rebutan. Tak lantas, film-filmnya pun terkadang film yang rilis pada momen seperti ini pun masih mempunyai sebuah esensi cerita religi yang cukup. Mungkin karena masih membekas nuansa-nuansa ramadhan yang penuh dengan unsur-unsur religi yang kuat.
Untuk tahun ini, 3 Lebaran Blockbuster movies pun dirilis oleh production house yang berbeda. Kali ini, Soraya Intercine Films merilis sebuah film lebaran dengan tema yang religi dengan judul Moga Bunda Disayang Allah. Soraya Films memang kerap mendapatkan slot film di hari lebaran. Sebut saja Chika dan Apa Artinya Cinta. Meskipun tema mereka lebih ke sebuah cerita cinta cheesy dan cliche. Tapi kali ini, tema religi pun diusung dan dikendalikan oleh sutradara yang cukup terkenal yaitu Jose Poernomo yang biasa dikenal mengarahkan sebuah film horor.
Kesalahan besar yang pernah terjadi di film Indonesia saat mengekspos tema religi adalah banyaknya membicarakan filmnya tentang sebuah hati nurani tetapi mereka malah membuatnya tanpa hati. Dan problem kali ini pun terjadi di film terbaru Jose Poernomo, Moga Bunda Disayang Allah. Apa yang salah? Banyak. Film ini jelas tak dibuat dengan sepenuh hati oleh Jose Poernomo. Dikira film ini akan menjadi sebuah film pengeruk uang yang akan menggugah minat penonton film Indonesia. Tapi hasilnya film ini gagal. Terlihat dari beberapa Studio bioskop yang memindahkannya di studio yang berukuran lebih kecil.
Maka saya perkenalkan Moga Bunda Disayang Allah, sebagai experience paling buruk saat saya menonton sebuah bioskop. Alih-alih ingin memberikan sebuah cerita dengan cerita haru biru dan akan menggugah hati penontonnya, alhasil semua usaha itu benar-benar gagal total. Satu jam awal penuh cerita yang begitu datar dengan berbagai ceritanya yang begitu kacau. Arah kemana cerita film ini pun masih mengambang. Adegan yang dimaksud ingin memberikan sebuah adegan mengetuk pintu hati toh juga gagal di arahkan oleh Jose Poernomo.
Sebuah 120 Menit yang sangat melelahkan dan menyiksa. Durasinya kelewat panjang dengan banyaknya adegan yang dibuat hanya untuk menyesaki durasi film ini. Kelewat bertele-tele dan tak ada sama sekali nyawa di setiap adegannya. Toh di setengah jam awalnya pun film ini sukses membuat saya sangat tidak betah di kursi bioskop. Berpikiran untuk walk out dari sebuah bioskop. Memang ini sebuah keputusan yang salah jika saya atau kalian ingin menonton film ini. Dengan poster yang cukup bagus, toh isi film ini pun kosong. Moga Bunda Disayang Allah menjadi sebuah pengalaman pahit di bioskop di catatan saya saat menyaksikan sebuah film Indonesia yang kelihatan berkualitas tapi nyatanya tidak.
Beruntung sekali tatanan sinematografi yang juga diarahkan langsung oleh Sutradaranya ini pun masih bisa membuat saya menikmati setiap adegan film yang di shoot dengan bagus. Dengan memperhatikan berbagai angle yang di shoot di dalam filmnya. Tapi, itu hanya beberapa adegan saja. Terkadang penggunaan Sinematografi indah itu tak tahu tempat. Dan akhirnya malah membuat mata tidak menangkap keindahan yang mereka maksudkan. Tapi akhirnya saya menikmati berbagai pergerakan kamera yang cukup dinamis di film ini. Maka sayang sekali, Sinematografi indah ini harus dibuang-buang di dalam film yang nyatanya tak mempunyai kualitas sama sekali. Lalu, Buat apa?
Penceritaan film ini pun terkesan jumpy dan juga kelewat lambat. Subplot-subplot kecil yang harusnya menjadi sebuah sampingan malah menjadi penganggu yang cukup signifikan bagi main plot film ini sendiri. Akhirnya main plot-nya sendiri pun diperhatikan hanya di 50 Menit terakhir film ini sendiri. Dan film ini kelihatan kualahan saat bertutur di setiap menitnya saat film ini mulai menuju menit-menit terakhirnya.
Dengan adegan opening yang cukup tak menggugah selera sama sekali. Tak ada cerita yang begitu jelas di awal film. Hanya adegan di laut dengan CGI ala kadarnya yang mungkin akan mengingatkan kita dengan Life Of Pi. Tetapi, adegan tersebut hanyalah adegan Life of Pi KW 3 yang bahkan tak bisa memberikan nyawanya. Kita tak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh pemainnya. Semuanya serba datar tanpa ada penanganan khusus yang coba diberikan oleh Jose Poernomo agar filmnya bisa dinikmati. Benar-benar tidak ada usaha.
Stiff act from the cast which totally makes this movie worse.
Rasanya bila diibaratkan pepatah, film ini bisa dibilang 'Sudah Jatuh Tertimpa Tangga pula'. Dengan kualitas cerita yang ala kadarnya dan juga pengarahan oleh Jose Poernomo yang begitu minimalis. Faktor yang lain yang akhirnya membuat film ini melaju lebih buruk lagi adalah jajaran cast yang sepertinya kurang begitu kompeten untuk memerankan setiap karakter di film ini. Salah satu hal yang paling krusial di sebuah film memang kekuatan akting pemain. Toh meskipun dengan cerita ala kadarnya jika ditambahi kekuatan cast yang bagus setidaknya film tersebut akan sedikit membaik.
Maka, jajaran cast Moga Bunda Disayang Allah ini malah memperburuk keadaan film yang sudah tidak bisa diselamatkan dari segi pengarahannya. Firstly I wanna say, Fedi Nuril get lost. Kamu harus mengembangkan kualitas akting kamu. Di film Ayat-ayat Cinta terlihat sekali akting Fedi Nuril yang masih begitu kaku. Dan itu terus berlanjut hingga Get Married 3, 5 Cm, hingga film terbarunya ini. Kualitas aktingnya dari satu film ke film berikutnya pun sama. Tak ada perkembangan dengan aktingnya yang begitu kaku. Karakternya pun begitu komikal. Dia gagal menghidupkan karakter karang yang harusnya digambarkan begitu desperate di filmnya. Tapi, muka datar Fedi Nuril yang malah merusak karakter utama film ini sendiri. Belum lagi Wig dan Jenggot palsunya yang juga tak kalah menggelikan.
Shandy Aulia pun hanya sebagai pemanis. Kualitas aktingnya juga masih biasa di setiap filmnya. Kualitas aktingnya masih memberikan rasa sinetron. Begitu pula dengan Alya Rohali, masih terlihat memaksakan dirinya agar bisa membawakan suasana haru biru saat memerankan karakter Bunda HK. Donny Damara pun malah terkesan menganggu di dalam pelafalan dialognya. Suaranya terdengar begitu aneh dan dibuat-buat.
Lalu? Siapa yang menyelamatkan jajaran cast film ini? Si kecil Chantika Zahra sebagai Melati dengan berbagai keterbatasannya lah yang paling total di film ini. Mereka semua begitu kaku dan tidak luwes dalam membawakan karakter mereka. Mungkin juga faktor dialog-dialognya yang kelewat formal hingga akhirnya mereka membawakannya begitu kaku. Dengan berbagai kata-kata penuh sajak yang dibawakan dengan begitu canggung oleh setiap cast di film ini.
Editing yang juga masih menganggu dan terkesan begitu kasar di filmnya. Dengan penggunaan scoring dan soundtrack yang overused di film ini. Di 30 menit awal film ini, ganjaran scoring beruntun yang malah distracting di setiap scene-nya. Di Hampir setiap scene film ini pun diselipi scoring dari Anto Hoed dan Melly Goeslow. Penempatannya pun salah. Alhasil, malah merusak suasana haru di film itu sendiri bukan malah menguatkan. Dan juga ada beberapa scoring yang malah terdengar seperti sebuah scoring sinetron yang norak itu.
Overall, Moga Bunda Disayang Allah adalah sebuah film yang inginnya memberikan sajian film haru biru yang menyentuh hati tetapi tak dibuat dengan sepenuh hati. Pengarahan film oleh Jose Poernomo yang begitu minimalis serta kualitas akting dari jajaran castnya yang begitu kaku pun memperparah film ini. Jadi jelas, simpan uang anda untuk tidak menyaksikan film ini. Lebih baik menabung untuk film lain ketimbang untuk menyaksikan film ini. Moga kalian yang tidak menyaksikan film ini lebih disayang Allah. SKIP!
Tidak ada komentar
Posting Komentar