Rabu, 27 November 2013

SOKOLA RIMBA (2013) : VERY GOOD WRAP EDUCATION-DEDICATED MOVIE

Mira Lesmana dan Riri Riza kembali meramaikan perfilman Indonesia tahun ini. Setelah tahun lalu merilis film berjudul Atambua 39 Derajat Ce... thumbnail 1 summary
Mira Lesmana dan Riri Riza kembali meramaikan perfilman Indonesia tahun ini. Setelah tahun lalu merilis film berjudul Atambua 39 Derajat Celcius. Kali ini, mereka membuat lagi film bertema anak-anak dan pendidikan dengan judul Sokola Rimba yang terinspirasi oleh buku dan perjuangan hidup milik Butet Manurung.


Butet Manurung (Prisia Nasution) adalah seorang wanita yang mendedikasikan dirinya dengan pendidikan. Dia tergabung dengan sebuah LSM dimana dia mendapat kesempatan untuk mengajarkan baca, tulis, serta menghitung kepada anak-anak rimba di Hulu sungai Makekal. Hingga suatu hari, dia diselamatkan oleh seorang anak bernama Bungo yang sedang menemukan butet terkapar dipinggir sungai.

Butet pun mencoba untuk mendekati Bungo. Bungo adalah seorang anak makekal hilir yang ingin belajar baca tulis. Tetapi, banyak sekali rintangan yang dihadapi oleh Butet. Salah satunya adalah kepercayaan orang makekal hilir yang mengatakan bahwa pendidikan akan mendatangkan penyakit. Tetapi, Bungo juga masih bersikeras untuk belajar karena sebuah dia ingin menyelamatkan kampungnya dari perjanjian dengan orang luar yang dia tidak bisa baca. 

A very good packaging education-dedicated movie
Miles Films, sering menghasilkan film-film yang bagus. Riri Riza dan Mira Lesmana adalah dynamic duo yang bisa memajukan perfilman Indonesia dengan film-filmnya yang memiliki isi berkualitas. Film bertemakan anak-anak banyak dihasilkan oleh mereka. Petualangan Sherina, yang juga membangkitkan perfilman Indonesia. Film anak-anak yang sangat fenomenal pada tahun itu. Begitu pun dengan Laskar Pelangi. Filmnya yang Box Office dan menarik banyak penonton Indonesia. Tak hanya memiliki penonton yang meledak-ledak tapi juga dengan isi ceritanya yang mumpuni.

Meskipun Sang Pemimpi sekuel milik Laskar Pelangi bisa dibilang gagal tapi, kepercayaan masih ada pada dynamic duo ini. Maka, ketika sebuah film bertema anak-anak lainnya yang coba dibuat oleh Miles Films rasanya sudah tidak bisa diragukan lagi. Sokola Rimba ini berdasarkan pada kisah nyata milik wanita tangguh asal Jambi yang mengajarkan baca-tulis kepada anak-anak rimba yaitu Butet Manurung. Bukan hanya kisah nyata saja, tapi juga diangkat dari buku yang juga ditulis oleh Butet Manurung itu sendiri yang menceritakan perjuangannya mengajarkan anak-anak Rimba di Jambi baca-tulis.

Riri Riza selaku sutradara film ini berhasil mengarahkan film Sokola Rimba ini. Sebuah film Indonesia bertema anak-anak lainnya yang juga menjadi film Indonesia terbaik yang pernah saya tonton tahun ini. Sokola Rimba adalah film tentang dedikasi kepada dunia pendidikan yang memiliki cerita yang sangat menghangatkan hati. Terlihat jelas jika film ini memang dibuat dengan hati. Maka, banyak sekali totalitas yang saya temui di film ini. 


Mungkin beberapa cerita yang ada di film ini masih terlihat jumpy. Ceritanya seperti sedikit berlarian kesana kemari sehingga membuat penontonnya bingung. Apalagi ketika awal film ini, beberapa masih menjadi sebuah pertanyaan hingga akhirnya penonton harus mengolahnya sedikit demi sedikit untuk memahami film tersebut. Mungkin juga pengaruh editing yang rasanya masih kasar dan terkesan tidak rapi, sehingga banyak cerita filmnya yang tersampaikan sedikit meleset di dalam filmnya.

Ceritanya sangat engaging, mengikat kita untuk merasakan atmosfir yang disajikan di dalam filmnya. Cerita sederhana tentang pendidikan yang memiliki berbagai sentilan-sentilan tajam bagi diri kita. Cerita yang juga mengaduk-aduk emosi penontonnya. Banyak sekali adegan-adegan di dalam film ini yang rasanya membuat penontonnya tersentuh. Riri Riza mampu mengantarkan suasana-suasana haru itu dengan bagus. Menimbulkan atmosfir hangat yang akan membuat kita merinding sekaligus terharu dengan adegan-adegan yang ada di dalam film Sokola Rimba ini. Mungkin beberapa unsurnya akan mengingatkan kita dengan karya Riri Riza sebelumnya yaitu Laskar Pelangi. 

Much moral value without trying to be preachy
Bagi orang-orang yang ingin mendapatkan sebuah film yang penuh pesan moral. Sokola Rimba cocok bagi kalian yang menikmatinya. Banyak sekali pesan moral yang akan kita dapat saat menyaksikan Sokola Rimba. Bagusnya lagi, dialog-dialognya yang pintar dan bagaimana cara sang sutradara membungkus film penuh dengan pesan moral tanpa terlalu menceramahi penontonnya. Penonton pun akan lebih meresapi apa sajian moral yang dipresentasikan di layar bioskop. Penyampaiannya juga tidak kaku, diselipi dengan animasi yang cukup komunikatif di dalam filmnya.

Belum lagi, kita akan mengetahui banyaknya adat-adat di suku pedalaman Indonesia yang memang masih ada. Bagaimana salah satu suku di Makekal Hilir yang menganggap bahwa dengan belajar akan membawa petaka. Serta berbagai pesan moral seperti Kita tidak perlu terlalu simpati dengan suku-suku pedalaman, karena mereka memiliki caranya masing-masing untuk belajar dengan sesuatu karena mereka bisa selangkah lebih maju ketimbang manusia Modern. Mereka lebih bisa peka dengan alam dimana alam berpengaruh penting terhadap tempat kita tinggal. Juga pelajaran dari sesosok Butet Manurung, dimana kita mendedikasikan diri kita harus tanpa pamrih.

Banyak sekali pelajaran berharga di film ini. Menampilkan banyak sekali unsur kekeluargaan, meskipun tidak secara harfiah unsur keluarga itu ditampilkan oleh film ini. Ini adalah sebuah film Indonesia dengan presentasi yang sangat mengagumkan dari segi kualitas tahun ini. Dengan cerita yang pop dan sederhana yang bisa dinikmati oleh semua kalangan serta semua umur. Sebuah pilihan tepat untuk sarana hiburan kita bersama keluarga. Ajak semua sanak saudara menyaksikan film ini dan pasti akan terhibur. 


Kelebihan lainnya berada pada bagaimana hampir separuh dari film ini akan dibumbui dengan dialog-dialog dengan bahasa Jambi. Ini adalah kelebihan yang bagus sekali. Kita sebagai penonton akan seperti berada dalam suasana daerah Jambi. Pemilihan yang tepat bagi film ini karena juga akan mengekspos kultur-kultur yang ada di Indonesia. Dimana Indonesia kaya akan bahasa daerah dan harus dilestarikan. Ini bisa menjadi pelajaran bagi perfilman Indonesia yang mengekspos sisi kultur dalam sebuah film. Saya sangat kagum.

Untuk jajaran aktor-aktrisnya, mungkin bisa dibilang Prisia Nasution adalah satu-satunya pemeran utama disini. Dia berhasil menjadi sosok Butet Manurung yang inspiring tanpa terkesan heroik. Inilah kekuatan dalam film ini. Prisia Nasution berhasil menghidupkan karakter Butet Manurung. Dengan segala kemahirannya, dia menghidupkan karakter itu dan berhasil dengan luwes berdialog dengan bahasa khas Jambi. 


Mungkin banyak karakter lainnya di film ini, meskipun pembantu tetapi rasanya mereka masih kaku dalam akting, malah anak-anak Rimba di dalam film ini mampu bermain lebih luwes ketimbang pemeran pembantu yang lain. Karakter anak-anak rimba ini sangat lovable. Suara-suara musik buatan Aksan Sjuman yang juga terlantun Indah dan sederhana di dalam suasananya. Membuat penontonnya juga semakin larut dalam keindahan yang tersaji dalam Sokola Rimba ini.

Begitu pun dengan sinematografinya yang juga menangkap banyak gambar-gambar bagus di dalamnya. Beberapa adegan mungkin mengingatkan saya dengan gaya milik Terence Malick. Menangkap beberapa keindahan alam yang entah tidak memiliki benang merah dengan cerita atau konflik di dalam filmnya sendiri. Beberapa adegan yang hanya menangkap keindahan alam yang abstrak yang mereka coba selipkan di dalam film ini. Indah. 


Overall, Sokola Rimba adalah film dengan tema dedikasi terhadap pendidikan yang dibuat dengan sepenuh hati. Meskipun beberapa editing yang kurang rapi dan cerita yang jumpy mengurangi kesempurnaan film ini. Tetapi, ini adalah sebuah drama yang hangat, pintar, dan memiliki banyak suntikan-suntikan moral kepada diri kita. Tonton film ini dengan keluarga. Salah satu Film Indonesia terbaik tahun ini dan berbanggalah perfilman Indonesia memiliki Riri Riza dan Mira Lesmana. 
 

Kamis, 21 November 2013

THE HUNGER GAMES : CATCHING FIRE (2013) : AND THE ODDS BE EVER IN ITS FAVOR

The Hunger Games adalah universe dari penulis Suzanne Collins yang diadaptasi menjadi sebuah film. Film pertama yang ditangani oleh sutradar... thumbnail 1 summary
The Hunger Games adalah universe dari penulis Suzanne Collins yang diadaptasi menjadi sebuah film. Film pertama yang ditangani oleh sutradara Gary Ross, mampu menunjukkan sebuah performa yang sangat gemilang. Ketika Gary Ross mengundurkan diri, Francis Lawrence pun ditunjuk menjadi sutradara di film kedua seri ini, The Hunger Games : Catching Fire.


Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson) yang telah menang di pertandingan Hunger Games ke-74 ini pun melakukan tur ke setiap distrik. Banyak sekali pemberontakan yang terjadi. Di tahun ini, Hunger Games ke-75 pun diadakan. Di setiap kelipatan ke 25, biasa disebut Quarter Quell dan akan ada yang spesial di dalam pertandingannya.

Quarter Quell ketiga ini, dimana pemenang dari Hunger Games pertama hingga ke-74 dipertandingkan kembali. Tetapi, tetap dipilih dua perwakilan pemenang dari setiap distrik. Akhirnya, Katniss dan Peeta pun melaju lagi ke dalam Hunger Games kali ini.

Nothing I can say, I give Three Fingers Salute for Francis Lawrence
The Hunger Games trilogi, sebuah universe novel yang menurut saya sangat pintar. Dimana, di setiap masing-masing buku memiliki daya pikatnya masing-masing dalam segi cerita. Saya begitu mencintai buku dari The Hunger Games meskipun saya sempat skeptis ketika film ini akan diangkat menjadi sebuah motion picture. Gary Ross, kala itu adalah sutradara dari film pertama seri ini berjudul The Hunger Games. Sebuah sajian yang begitu baik, sangat baik, membuat saya sebagai pembaca buku sangat terpuaskan saat menonton film dari adaptasi buku ini.

Ketika mengetahui akhirnya Gary Ross mundur dalam proyek film ini dan digantikan oleh Francis Lawrence, saya pun cukup tidak bersemangat. Takut, film keduanya akan mengalami kemerosotan yang begitu jauh dari seri pertamanya. Mengingat, track record dari Francis Lawrence juga tak memiliki sebuah karya yang memiliki kualitas yang signifikan. Ekspektasi sudah saya pasang cukup rendah. Meskipun, hypeyang saya berikan tetap tinggi.

Saya adalah pembaca novel The Hunger Games trilogi, jadi hype yang besar itu tetap saya berikan. Rasa exciteditu tetap meledak-ledak tetapi saya berusaha menurunkan itu. Takut, akan menelan kekecewaan. Hingga ketika film ini rilis pun, ekspektasi saya pun akhirnya saya turunkan. Ternyata, ekspektasi saya yang rendah membuahkan hasil. Ketika akhirnya film ini rilis dan selesai saya tonton, apa yang rasakan hanyalah sebuah perasaan gembira, kagum, terbelalak, gemetar, dan tidak berhenti-hentinya saya mengucapkan kata-kata pujian untuk film ini.


Ekspektasi yang sudah diturunkan itupun sangat dipuaskan. Malah, melampaui ekspektasi saya yang sudah tinggi sebelumnya. Karena sebelumnya, saya masih khawatir dan takut, universe novel yang begitu saya cintai ini harus rusak. Karena The Hunger Games ini menjadi begitu personal bagi saya. Membuat saya yang jarang membaca, akhirnya beruntung pernah mengenal buku ini. Dan inilah, The Hunger Games : Catching Fire yang melaju berada dalam top list best movie untuk tahun ini. Yah, salah satu film terbaik tahun ini.

Kemampuan Francis Lawrence yang awalnya saya ragukan ini ternyata salah. Francis Lawrence berhasil membawakan seri kedua film ini jauh lebih bagus ketimbang seri pertamanya. Seri pertamanya sudah sangat bagus, tapi yang kedua ini jauh lebih bagus. Maka, saya sangat menikmati adegan demi adegan, menit demi menit dari film ini. Sebuah universe yang berhasil direalisasikan dengan begitu baik. Membuat pecinta novel dan juga penikmat film akan sangat terpuaskan oleh hasil akhir yang diberikan oleh Francis Lawrence di seri kedua ini.


Terlihat jelas, bahwa Lionsgate sepertinya sudah sangat percaya dengan proyek trilogi film ini. The Hunger Games : Catching Fire terlihat begitu huge dan mewah. Memang, ini adalah proyek trilogi paling besar yang pernah didanai oleh Lionsgate. Tak salah, jika semua uang yang besar itu diberikan kepada film ini. Karena dana yang besar itu dimaksimalkan dengan sangat baik oleh sang sutradara demi kelangsungan film ini sendiri.

Banyak sekali aspek yang menonjol di film ini, screenplay yang ditulis oleh Simon Beaufoy dan Michael DeBruyn ini mampu menuangkan isi dari novel ini kedalam kata-kata mereka. Itu juga dengan kontrol dari Suzanne Collins yang juga masih ikut campur dalam penulisan naskahnya. Meskipun beberapa bagian didalam novelnya harus ada yang mengalami perubahan, tetapi perubahan itu tak signifikan dan tak begitu mempengaruhi hasil akhir dari film ini. Bisa dibilang, screenplay yang mereka buat ini masih sangat setia dengan novelnya. Jadi, pecinta novelnya akan terpuaskan dengan film ini.

Ibarat para penduduk distrik yang sedang mendukung perjuangan Katniss dan Peeta dengan memberikan Three Fingers Salute, maka Francis Lawrence pun pantas untuk mendapatkan itu. Tidak ada hal yang bisa saya katakan lagi ketika film ini berakhir selain kata-kata pujian. Hanya Three Fingers Salute-lah yang mampu mewakili kesukaan saya kepada Francis Lawrence dan film ini. Terima kasih telah mengangkat universe yang begitu saya cintai ini di dalam sebuah cinematic Experience yang begitu indah dan menggetarkan ini.

Dimana di film The Hunger Games : Catching Fire ini, cerita yang disajikan dituturkan dengan begitu dalam. Dengan tone yang lebih dark ketimbang film pertamanya. Sehingga, Drama yang ada di film ini pun terasa memiliki cerita yang begitu sinis dan lebih depressed. Begitu pula dengan balada cinta segitiga Katniss-Peeta-Galeyang juga terasa gelap. Tidak jatuh menjadi sajian menye-menye seperti Twilight meskipun ada beberapa bagian yang cukup Mehketika cerita cinta ini diangkat. Tetapi, cerita cinta mereka juga menjadi jualan dari trilogi film ini.

Memang, apa yang dititikberatkan di film kedua seri The Hunger Games ini adalah Drama. Sehingga, hampir dari semua ceritanya akan berisi cerita-cerita yang lebih personal dari setiap karakter. Semua karakter sepertinya diberi ruang yang lebih luas untuk digali setiap ceritanya. Sehingga, masing-masing karakter akan terasa dekat dengan penontonnya. Gale, Effie Trinket, Prim Everdeen dan Ibunya juga mendapatkan spotlight dari sang sutradara dan juga penulis skenarionya. Jadi, bagi penonton awam yang butuh hiburan aksi lebih, mungkin akan kecewa atau mungkin terhibur dengan satu jam akhir milik Catching Fire.  

 

Ceritanya yang lebih personal, lebih gelap, dan lebih dalam inilah yang menjadi keunggulan dari film ini. Tak terlalu banyak memiliki adegan-adegan aksi yang menggelegar, tetapi cerita-cerita sebelumnya yang dibangun begitu kokoh itulah yang membuat film ini bagus. Menggambarkan beberapa realita yang ada bahwa penguasa akan selalu mempermainkan rakyatnya yang tidak berdaya. Menjadikannya sebuah boneka yang bisa dimainkan seenaknya. Sentilan-sentilan yang begitu bagus.

Bagusnya lagi, saya yang sudah mengetahui seluk beluk dari cerita di film ini sepertinya dibuat tidak tahu oleh Francis Lawrence. Bagaimana setiap sekuens yang ada di film ini dibuat begitu padat dan disajikan dengan begitu pintar. Rasanya, saya sudah tidak mau membanding-bandingkan film ini dengan bukunya. Toh, itu akan merusak mood saya ketika menonton. Serta, bagaimana twist ending di film ini yang harusnya saya sudah tahu pun disajikan tetap shocking menyaksikannya. Francis Lawrence memang pintar mengolahnya.

The best adapted movie from young-adult books since Harry Potter series
Inilah sebuah film adaptasi dari sebuah novel dengan presentasi mengagumkan. Semenjak Harry Potter series, rasanya belum ada adaptasi novel yang memiliki performa stabil dan bagus. Inilah pengganti Harry Potter series sebagai film adaptasi novel terbaik. Meskipun di seri terakhirnya, Mockingjay, akan dibagi menjadi dua part. Meskipun menurut saya itu tidak terlalu penting, but yeah, money talks, right? Semoga saja Francis Lawrence tahu how to split up a thin book into two part without reduce any essence of the story and manage the emotion too. 

Bukan saja memiliki cerita, penyutradaraan, dan penulisan adaptasi yang bagus saja. Mereka memiliki jajaran aktor-aktrisnya yang juga tak kalah bagus. Jennifer Lawrence sebagai katniss. Ah, tak perlu khawatir, rasanya aktris penerima oscar tahun lalu ini masih memerankan karakternya dengan sangat baik. Begitu pula chemistry apik yang dibangun dengan Josh Hutcherson sebagai Peeta. Dan juga wajah bengis dan sinis yang dimiliki oleh Donald Sutherland sebagai Presiden Snow itu tetap juara.

Elizabeth Banks, Woody Harrelson, serta Lenny Kravitz masih mampu menjadi pemanis di film ini. Liam Hemsworth di film trilogi ini memang tak terlihat cukup signifikan dalam aktingnya. Tapi, wibawa yang ada pada Liam ini pas sekali dibawakan saat menjadi sosok Gale. Serta beberapa aktor-aktris tambahan seperti Sam Claflin yang menjadi Finnick Odair yang tangguh tapi tetap charming. Serta jangan lupakan peran Johanna Mason yang cantik dan badass yang mampu diperankan baik oleh Jena Malone.


Segi teknis, film ini memiliki banyak gambar yang ditangkap dengan bagus. DOPmilik Jo Willems ini mampu menangkap gambar-gambar bagus di dalam distriknya. Apalagi ketika penggunaan kamera IMAX di satu jam terakhir film ini yang memiliki setting tempat arena The Hunger Games ke-75 ini. Ditangkap dengan apik, memiliki berbagai detail yang cukup indah untuk dilihat. Akan lebih maksimal lagi, ketika film ini ditonton dalam format IMAX. Sungguh mengagumkan.

Ketika film ini selesai, sebuah adegan penutup milik Katniss  memiliki makna yang begitu luas. Saya suka dengan adegan itu. Serta ketika logo mockingjay itu bertransformasi dan mengantarkan kita menuju credit title itu juga Bagus. Iringan soundtrack milik Coldplay dengan judul Atlas yang memiliki suasana tenang rasanya pas sekali untuk iringan credit title yang bergulir. Dan ketika semuanya berakhir, badan terasa gemetar karena perasaan excited yang sudah memuncak hingga ubun-ubun. Iya! Saya harus menontonnya lagi. 


Overall, The Hunger Games : Catching Fire adalah sebuah presentasi yang lebih bagus ketimbang film pertamanya. Film pertamanya memang sudah sangat bagus, tetapi ini lebih bagus. Pengarahan yang baik dan juga pintar oleh Francis Lawrence. Inilah film adaptasi novel fantasi yang bagus semenjak Harry Potter. Cant wait for Mockingjay Part 1 and Part 2. 
 

Sabtu, 16 November 2013

NOAH : AWAL SEMULA (2013) : DEEPER FANS SERVICE ROCKUMENTARY

Noah adalah salah satu band dari Indonesia yang kiprahnya sudah bagus meskipun setelah beberapa kali mengalami pasang surut. Hal ini mengins... thumbnail 1 summary
Noah adalah salah satu band dari Indonesia yang kiprahnya sudah bagus meskipun setelah beberapa kali mengalami pasang surut. Hal ini menginspirasi Putrama Tuta, Sutradara Catatan Harian Si Boy untuk mengangkat kisahnya dalam film dokumenter tentang band ini. Noah : Awal Semula menjadi judul dari dokumenter perjalanannya.


Peterpan adalah sebuah band yang terdiri dari Ariel, Uki, Reza, Lukman, Andika, dan Indra yang awalnya adalah sebuah band kecil dari Bandung. Karirnya saat Peterpan bisa dibilang sangat memuaskan di industri musik Indonesia. Hingga akhirnya, dua personil milik mereka harus melepaskan diri dari Peterpan. Band ini pun meredup

Tak hanya berhenti disitu, karir mereka semakin tersudut ketika sang vokalis, Ariel tersangkut masalah. Band ini benar-benar mati dan kering. Tapi, ketika vonis milik Ariel berakhir, Band ini mulai bangkit kembali menjadi band baru bernama NOAH dengan tambahan yaitu David sebagai pengganti.

A goosebumps rockumentary NOAH’s show
Band memiliki sebuah film? Rasanya sudah banyak. Contohnya The Changcuters yang sudah memiliki trilogi The Tarix Jabrix yang disutradarai oleh alm. Iqbal Rais. Ungu yang memiliki Purple Love yang disutradarai Guntur Soeharjanto. Sayangnya, film-film milik mereka adalah sebuah film fiksi bukan sebuah film tentang band itu sendiri yang dibawakan secara real layaknya concert movie milik musisi-musisi Hollywood.

NOAH, salah satu band terkenal Indonesia yang memiliki pasang surut dalam karirnya menginspirasi Putrama Tuta untuk mengajak mereka bermain dalam sebuah film. Bagusnya, film yang diusung oleh Putrama Tuta kepada band Noah ini adalah sebuah dokumenter perjalanan karir milik band ini. Sebuah film yang bisa dibilang baru di dunia perfilman Indonesia. Mengingat kebanyakan film dari sebuah band hanyalah membintangi dan beradu akting dalam film fiksi yang hanya mengandung unsur senang-senang.

Genre Dokumenter tentang perjalanan musik karir adalah hal baru pertama di perfilman Indonesia. Pendekatan yang berbeda dari musisi kepada fansnya. Mengumpulkan footage-footage dari perjalanan band yang awalnya bernama Peterpan ini hingga akhirnya berevolusi menjadi band hebat bernama Noah. Putrama Tuta bisa dibilang baru dalam dunia perfilman Indonesia. Film miliknya hanyalah Catatan Harian Si Boy yang diarahkan langsung olehnya. Tetapi Putrama Tuta tahu benar bagaimana cara mengarahkan sebuah film.


Kali ini, dalam sebuah genre yang berbeda, Putrama Tuta pun masih bisa mengarahkannya dengan sangat baik. Film Dokumenter sendiri termasuk salah satu film yang susah untuk dibuat. Butuh waktu yang cukup banyak untuk membuat film dengan genre ini. Dengan menghabiskan waktu hingga 1 Tahun, Putrama Tuta dengan pintar menyusun adegan demi adegan tanpa cerita di film ini dengan baik dan bisa memainkan emosi penontonnya dengan baik. Membuat saya bergidik saat menyaksikan adegan demi adegan film ini.

Memang, masih memiliki beberapa kekurangan yang akhirnya masih membuat Noah : Awal Semula ini sedikit melemah. Seperti yang saya tahu, bahwa biasanya sebuah film dokumenter dari seorang musisi luar negeri yang sering digunakan memiliki satu purpose, satu big point yang bisa mengerucutkan film dokumenter itu menjadi satu pandangan. Karena penceritaan dari film dokumenter sejatinya memiliki pandangan yang lebih lebar, jika tidak di kerucutkan, takutnya akan terlalu bersenang-senang dan tidak fokus.


Begitulah yang terjadi di film Noah : Awal Semula ini. Sebagai penonton awam dengan genre dokumenter ini, satu tujuan atau satu big point itu rasanya masih terasa blur ketika semua footage itu disusun satu persatu di film ini. Rasanya, kita masih tidak tahu kemana arah dan tujuan sebenarnya dari kumpulan-kumpulan footage ini. Kita tidak menemukan jalan tengah yang akan menuntun kita ke tujuan akhir dari film ini. Putrama Tuta seperti malas bercerita dalam film dokumenternya sehingga beberapa kumpulan footage itu terasa seperti berjalan acak.

Sayangnya lagi, kumpulan-kumpulan footage yang disusun itu tidak memiliki kronologi yang runtut. Hingga akhirnya, bagi penonton film dokumenter awam seperti saya rasanya seperti kebingungan dengan apa yang terjadi terhadap Ariel dan kawan-kawan di film itu. Kapan tiba-tiba mereka berevolusi hingga akhirnya mereka bisa menggapai mimpi mereka? rasanya kronologi yang masih kurang runtut menjadi problem yang cukup menganggu saya sebagai orang yang bukan penikmat film dokumenter atau bisa dibilang penonton awam untuk genre ini.

Its not just a Fans Service. Its Deeper than that.
Tapi, bagaimana akhirnya Putrama Tuta membungkus film ini dalam satu sajian berdurasi 75 menit patut diacungi jempol. Putrama Tuta berhasil merangkai footage demi footage di film ini yang mempu menggerakkan dan mengaduk emosi film ini. Bukan hanya sebuah film dokumenter yang berjalan straight forward dan berjalan biasa saja dengan kronologi yang runtut. Tidak. Ini adalah salah satu film musik dokumenter yang mampu membuat saya merinding.

Bagusnya lagi, ini bukan hanya eksploitasi bagi salah satu musisi yang memiliki fans besar dengan lebih menampilkan semua personilnya melakukan hal yang senang-senang saja. Serta mengeksploitasi hal gila yang akan dilakukan oleh fansnya. Bukan. Ini lebih mendekatkan kita kepada sosok band Noah. Bagaimana mereka mengalami pasang surut dalam karirnya. Sebuah film dokumenter yang universal. Bukan hanya membuat fansnya saja yang bisa menikmatinya, tetapi juga orang umum yang bukan fans, yang ingin menikmati film ini.

Sehingga pendekatan Putrama Tuta terkesan lebih berhati-hati agar tidak jatuh menjadi pendekatan yang lebih dikhususkan kepada fans dari band Noah saja. Dengan scoring yang megah, beberapa momen hening yang membuat saya sebagai penonton merasakan hal yang berbeda saat menyaksikan film ini. Sayangnya, beberapa lagu milik Peterpan ataupun Noah di film ini masih kurang dilantunkan. Setidaknya 2 atau 3 lagu milik mereka bisa diputar di film ini. Hingga akan lebih merasakan sebuah nostalgia bagi fans atau penonton umum yang sedang menyaksikan film ini.


Teknisnya, pengambilan gambar yang hanya menggunakan kamera 5D dan kamera iPhone ini memiliki pendekatan yang berbeda dan unik. Iya, saya cukup terganggu dengan resolusi gambar yang masih pecah. Apalagi dipaksa untuk mengikuti aspect ratio 2:39:1 harusnya lebih bagus jika disajikan dalam ratio 1:85:1. Hingga gambar dengan resolusi yang cukup kecil ini tidak terlalu pecah kalau menurut saya, mungkin akan lebih padat.

Tapi, penggunaan gambar yang terasa mentah itulah yang malah membuat pendekatan di film ini terasa berbeda. Sehingga semua dokumenter di film ini memang terasa lebih real atau nyata. Mungkin, Putrama Tuta ingin membuat Band Noah ini akan merasa lebih dekat kepada semua penonton film ini, tak hanya dikhususkan kepada Fansnya saja. Mungkin pendekatan itu akan berhasil atau mungkin juga tidak.


Overall, Noah : Awal Semula adalah sebuah musik dokumenter yang membuat saya merinding saat menontonnya. Memang, masih memiliki berbagai kekurangan yang membuat performa dari film arahan Putrama Tuta ini tidak sempurna. Tetapi, bagaimana sang sutradara berhasil menyusun dan mengarahkan kumpulan-kumpulan footage di film ini patut diacungi jempol. Moving! 

Kamis, 14 November 2013

CARRIE (2013) : A DIFFERENT VISION REMAKE

Carrie adalah sebuah film legendaris yang diangkat dari novel milik Stephen King pada tahun 1976. Brian De Palma adalah sosok sutradara yang... thumbnail 1 summary
Carrie adalah sebuah film legendaris yang diangkat dari novel milik Stephen King pada tahun 1976. Brian De Palma adalah sosok sutradara yang mampu mengadaptasi novel milik Stephen King kala itu. Di Tahun 2013 ini, tak salah jika film legendaris ini pun di remake oleh sutradara wanita Kimberly Peirce. Dengan judul sama, Chloe di dapuk menjadi sosok Carrie.

 
Carrie White (Chloe Grace Moretz) adalah seorang perempuan yang baru saja mengalami menstruasi. Seiring dengan perubahannya menjadi wanita seutuhnya, dia memiliki sebuah kekuatan telekinetis yang aneh. Sang ibu, Margaret White (Julianne Moore) adalah seorang yang sangat ketakutan ketika mengetahui bahwa Carrie sudah beranjak dewasa karena dia mengira sesosok roh jahat telah merasuki tubuh Carrie.

Carrie adalah orang yang sering dikucilkan dalam pergaulannya. Sampai suatu ketika salah satu perempuan bernama Sue Snell (Gabriella Wilde) merasa bersalah dan rela memberikan semua kebahagiannya kepada Carrie. Bahkan sosok Tommy Ross (Ansel Elgort) yang sangat Sue sayangi.

Isn't a bad remake but has a different focused.
Carrie tahun 1976 adalah sebuah visualisasi yang begitu epic dengan arahan yang brilliant oleh Brian De Palma. Banyak sekali adegan-adegan yang sangat menancap di otak. Banyak sekali sudut pandang unik yang digunakan oleh Brian De Palma. Belum lagi performa dari Sissy Spacek sebagai Carrie dengan tatapannya yang begitu mencekam. Maka, tak salah jika Carrie versi Brian De Palma ini menjadi sebuah film horor yang melegenda dan memiliki banyak penggemar.

Tak salah jika pesona Carrie membuat sineas Hollywood berkeinginan untuk menghadirkan kembali sosok legendaris dari film kepada penonton dengan vision yang lebih baru atau biasa disebut Remake. Kimberly Peirce adalah sutradara yang di dapuk untuk me-reka ulang setiap adegan film Carrie milik Brian De Palma atau me-reka ulang setiap kata demi kata yang sudah ditulis oleh Stephen King di dalam novelnya tersebut.

Ini jelas sebuah remake yang penuh resiko. Karena Brian De Palma’s  Carrie sudah menjadi film yang melegenda dan memiliki banyak penggemarnya. Bisa saja, Carrie versi Kimberly Peirce ini akan selalu diikuti bayang-bayang Brian De Palma’s Carrie. Tak bisa dielakkan juga, Film remake ini akan selalu dibanding-bandingkan dengan versi originalnya. Atau bisa jadi sebuah film Remake yang brilliant yang akan memuaskan penikmat film dan penggemar Brian De Palma’s Carrie.


Carrie versi Kimberly Peirce bukan dibilang sebuah remake yang berhasil. Beberapa hal dari filmnya bisa dikatakan gagal dalam me-reka ulang betapa jeniusnya film Carrie versi De Palma. Iya. Tidak ada yang bisa untuk tidak membanding-bandingkan versi terbaru dari Carrie dengan versi lamanya. Karena bagaimana suasana disturbing dan gelap begitu terjalin dengan baik di versi original dari Carrie. Tapi, tidak begitu dengan Versi terbaru dari Carrie.

Banyak suasana gelap dan creepy yang tidak terjalin baik di filmnya. Serta kefokusan yang berbeda antara De Palma’s Carrie dengan milik Kimberly Peirce. Ketika milik Brian De Palma, Carrie adalah sosok yang sangat di expose dengan detali, berbeda dengan versi terbaru dari film ini. Di film terbarunya, bagaimana kekuatan telekinetik milik Carrie begitu diekspos hingga akhirnya mengurangi suasana yang harusnya lebih gelap. Banyak sekali adegan-adegan yang begitu mengekspos adegan Carrie menggunakan kekuatan Telekinetiknya.


Entah, saya lebih seperti melihat film superhero ketimbang menonton sebuah film horor. Ekspos yang ditujukan pada kekuatan Telekinetik di film ini keterlaluan. Bagaimana adegan Carrie begitu terlihat senang dengan kekuatan miliknya. Dia layaknya Peter Parker baru saja digigit oleh sosok laba-laba dan bisa mengeluarkan jaring laba-laba dari tangannya. Sungguh aneh, jika kita bandingkan dengan film Carrie versi originalnya.

Sebenarnya, bukan remake yang sangat buruk. Hanya saja, ya begitulah, ketika ada yang mencoba mengusik film legendaris Hollywood. Bisa jadi akan menjadi sebuah remake yang groundbreaking atau malah menjadi sebuah remake yang akan dibabat habis oleh para kritikus film serta para penonton film. Kimberly Peirce’s Carrie sebenarnya masih berada di tengah-tengah dalam kualitasnya. Tidak jatuh sejatuh-jatuhnya, karena masih ada beberapa bagian yang masih bisa dinikmati.


Mungkin ketika first act hingga second act dari film ini. Carrie layaknya sebuah film dengan teen-flick dengan sedikit sentuhan sci-fi di dalamnya. Tak ada nuansa horor yang bisa ditampilkan kuat di dalam film ini. Yah, mungkin beberapa adegan yang masih bisa membuat kita setidaknya bergidik saat menonton film ini. Berbeda dengan versi Brian De Palma yang memiliki banyak sentilan-sentilan horor dark yang kuat dengan adanya metafora tentang seksualitas dan unsur biblical yang kental.

Salah satu hal yang membuat film ini masih menjadi sebuah remake yang tak buruk adalah final act film ini yang lebih panjang ketimbang versi originalnya. Visualisasi yang lebih baru dari Carrie versi Kimberly Peirce membuat film ini setidaknya masih layak tonton. Aksi balas dendam yang dilakukan Carrie di Prom itu benar-benar gila. Perasaan seperti “rasakan tuh” kepada teman-teman Carrie terutama pada sosok Portia Doubleday sebagai Chris Hargensen yang memiliki paras lebih sengak ketimbang versi originalnya.

Chloe as Carrie just too pretty but she always well-acted
Sissy Spacek sudah menjadi sosok yang ikonik dalam film Carrie versi De Palma. Dimana wajahnya yang sangat dingin, creepy, dan dengan wajah yang kurang good looking hingga akhirnya dia berubah menjadi wanita cantik sesuai dengan perubahannya menjadi wanita. Maka, banyak kontroversi yang terjadi ketika tahu bahwa pemeran sosok Carrie milik Kimberly Peirce adalah Chloe Grace Moretz. Dimana parasnya terlalu cantik untuk memerankan sosok Carrie.

Carrie disini memang terlihat begitu ayu. Sehingga masih kurang jika Carrie disini yang harusnya sering dikucilkan dan menjadi korban bullying masih memiliki paras lebih cantik ketimbang tampang teman-temannya yang biasa saja. Tetapi, Chloe masih saja memberikan performa akting yang prima. Dia ingin membuktikan bahwa dengan akting yang prima dia bisa membawakan sosok Carrie dengan bagus. Tak hanya menjual paras ayunya saja.


Begitu pula chemistry-nya yang bisa dibangun bagus kepada Julianne Moore. Relationship frienemy ibu dan anak yang terjadi sangat terasa. Julianne Moore sebagai Margaret White atau sang ibu juga berhasil diperankan dengan baik. Terasa sekali sosoknya yang psychic. Terutama pada adegan dimana menonjolkan dirinya sangat takut terhadap perubahan Carrie menjadi seorang wanita seutuhnya.

Filmnya sendiri terlihat masih stick to the original one. Banyak sekali adegan-adegan yang berusaha dimirip-miripkan dengan versi original. Karena di dalam filmnya yang baru ini, penulis dari film originalnya masih ikut andil dalam memperhatikan proses pengerjaan skenario di film Carrie 2013 ini. Banyak sekali adegan-adegan yang mengingatkan kita kepada versi originalnya bahkan dari segi dialog. Chloe juga masih terasa menggunakan aksen milik Sissy Spacek.


Overall, Kimberly Peirce’s Carrie bukanlah sebuah remake yang buruk. Masih ada beberapa bagian dari film ini yang bisa dinikmati terutama pada bagian final act filmnya. Kekuatan telekinetik yang terlalu diekspos di film ini membuat suasana gelap yang terjadi di film originalnya, tidak tampil maksimal di film terbarunya serta Chloe masih terlalu cantik untuk menjadi sosok Carrie meskipun dia bermain dengan bagus. 

Senin, 11 November 2013

ADRIANA (2013) : LOVE ADVENTURE AROUND BATAVIA WITH HISTORICAL PUZZLE

Sebuah drama cinta remaja di Indonesia tahun ini mungkin tidak terlalu banyak. Refrain, presentasi yang cukup gagal dan mentah di dalam film... thumbnail 1 summary

Sebuah drama cinta remaja di Indonesia tahun ini mungkin tidak terlalu banyak. Refrain, presentasi yang cukup gagal dan mentah di dalam filmnya dengan ceritanya yang klise. Maka, digarap dari sutradara yang sama dengan Refrain, Fajar Nugros membuat sebuah film dengan tema kisah cinta remaja lagi dengan judul Adriana.

 
Sobar (Kevin Julio) dan Mamen (Adipati Dolken) adalah dua orang yang bersahabat sejak SMA. Mamen bertemu dengan seseorang bernama Adriana (Eva Celia). Tetapi, Adriana tidak merelakan dirinya dengan gampang direbut hatinya oleh Mamen yang notabene adalah seorang lelaki yang sering bergonta ganti pasangan.

Adriana pun memberikan banyak teka-teki yang menjuruskan Mamen agar bisa bertemu dengannya lagi dan untuk sekedar menyapanya lagi. Mamen pun dibantu Sobar untuk memecahkan teka-teki itu yang berisikan tentang banyak sejarah tentang kota Jakarta.

Historical Journey in Casual teenage love-flick
Fajar Nugros kembali mengarahkan film. Tahun ini, dia seperti kejar setoran. Sudah total 3 film yang dia tangani. Cinta Brontosaurus, Refrain, dan kali ini Adriana. Dalam rekaman jejaknya tahun ini, bisa dibilang film-filmnya hit and miss. Hit dalam artian mampu mengajak minat penonton khususnya remaja dalam film-filmnya. Miss, karena dua karyanya tidak memiliki isi yang mumpuni. Cinta Brontosaurus dan Refrain adalah dua film remaja yang masih kacau balau dalam penyampaiannya.

Lalu, apa yang saya harapkan kepada Fajar Nugros dalam filmnya kali ini. Mengangkat sebuah film dari novel yang dikarangnya sendiri adalah sesuatu yang ambisius menurut saya. Dengan track recordnya tahun ini yang tidak seberapa bagus, maka, saya sangat sangsi dengan hasil akhir film Adriana ini. Saya membaca novelnya, premis cerita cukup menarik di film ini. Tetapi, kembali lagi, track recordnya itu yang membuat saya masih kurang percaya dengan filmnya yang ketiga tahun ini.

Fajar Nugros pun terlihat sangat yakin dengan Adriana. Berbagai promo yang dilakukannya juga cukup meyakinkan. Meskipun, kita belum tahu hasil eksekusi dari filmnya. Tapi, Fajar Nugros terlihat kembali menampilkan sesuatu yang cukup prima di dalam film roman remajanya kali ini. Adriana bisa dibilang mampu menjadi sebuah drama kasual cinta remaja dengan berbagai intrik menarik yang bisa dibilang berbeda dengan drama remaja kebanyakan.


Apa yang di hadirkan oleh Adriana adalah ketika film sebuah drama cinta remaja dibalut dengan perjalanannya yang penuh teka-teki. Itulah poin plus pertama yang jarang diusung oleh sineas Indonesia kala membuat sebuah film remaja. Dengan berbagai unsur sejarah yang diselipkan di dalam sebuah film drama remaja cintanya. Unsur menarik yang ada dalam sebuah film. Bukan hanya kita terhibur dengan filmnya tetapi juga masih ada pelajaran sejarah yang akan menambah wawasan kita di dalamnya. Terutama sejarah tentang kota Batavia atau Jakarta.

Bukan sebuah cerita sejarah yang harus disampaikan dengan kaku. Menceritakan sejarah yang mungkin bisa jadi membosankan itu dengan gaya yang casual, yang bisa dinikmati oleh banyak remaja di film ini. Karena memang bidikan pasar film ini adalah untuk remaja. Unsur sejarah itu di tambahkan oleh Fajar Nugros di dalam konflik percintaan mereka. Tak hanya di tuturkan dengan kata demi kata atau kalimat demi kalimat, unsur sejarah itu juga divisualisasikan dengan cukup menarik. Meskipun tak terlampau detail, tapi setidaknya cukup memberitahukan sejarah yang ada.

 
Find the love with much Puzzle.
“Cinta itu petualangan” begitulah kata karakter Mamen di dalam film ini. Memang benar, cerita cinta di film ini penuh dengan petualangan. Petualangan menyusuri kota Jakarta yang luas. Kita akan menikmati sebuah misi menemukan cinta dengan penuh teka-teki di dalamnya. Drama cinta remaja yang cukup pintar yang akhirnya disajikan oleh sineas Indonesia. Karena kebanyakan cerita cinta remaja Indonesia dipenuhi dengan cerita yang cheesy dan adegan klise sebagai jualan. Tetapi, tak pernah cerita yang cheesy itu diperlakukan baik setidaknya membuatnya jadi fresh.

Teka-teki yang diberikan di dalam film ini berisikan banyak metafora sejarah yang mengajak penontonnya untuk ikut dalam menyelesaikannya. Kata-kata seperti “Temui aku ketika karpet lift itu berganti dua kali, aku akan menunggu di tempat dua ular saling berlilitan pada tempatnya saat proklamasi dibacakan”. Bisa dibilang teka-teki pintar yang membuat kita akan ingin tahu apa yang dimaksudkan di dalam teka-teki itu. Tak hanya itu saja, banyak teka-teki yang berkelanjutan untuk mencari cinta dari sosok Adriana yang misterius itu yang juga masih memiliki unsur sejarah yang kental di dalamnya.

Dengan cerita tentang cinta yang dibalut dengan penuh petualangan tak hanya berjalan straight forward. Penuh intrik menarik, dengan plot twist yang cukup dikemas menarik. Tapi, masih banyak ceritanya yang masih diolah setengah matang. Belum sepenuhnya matang, apalagi masih banyak ceritanya yang terkesan jumping  sana kemari serta plot twist-nya yang juga masih ada yang terkesan mentah meskipun intrik yang di berikan harusnya sudah cukup interesting.


Apalagi, plot cerita itu seketika melempem ditengah-tengah filmnya. Ketika semua keasyikan film ini sudah diberikan semua di awal film. Fajar Nugros seperti terlalu asyik dengan semua yang ada di film ini dan dicurahkan semua di awal filmnya saja. Sehingga, kefokusannya ketika ditengah film harus berubah. Karakter-karakter seperti Mamen, Sobar, dan Adriana akhirnya seperti terbengkalai. Begitu pula dengan tensinya yang sudah mulai kedodoran. Seperti melambat dan hilang keasyikannya.

Apa yang membuat terlihat mentah di film ini salah satunya juga dari jajaran akting di film ini. Bukan, tak semua memang. Kevin Julio sudah mengalami peningkatan setelah berhasil menghancurkan buruknya film Bangun Lagi Dong, Lupus itu. Disini, dia masih bisa memerankan karakter sobar yang nerd, masih bisa masuk kedalam film ini. Eva Celia pun bisa berperan sebagai perempuan misterius yang meskipun masih minim akting karena dia sebagai wanita yang sedang dikejar. Tapi, aura misterius masih dimiliki oleh sosok Eva Celia.


Berbeda dengan Adipati Dolken yang sama sekali tak memiliki perkembangan dalam kemampuannya berakting. Dia masih meng-copy paste template aktingnya dari film-film terdahulunya. Dia seperti malas untuk mengembangkan kemampuannya dalam berakting. Meskipun terlihat, disini dia berjuang keras untuk menjadi karakter Mamen yang berbeda dari karakter-karakter yang ada di filmnya terdahulu. Tapi tetap saja, Adipati Dolken adalah seorang Adipati Dolken.
 
Indra Lesmana, sosok yang berhasil membuat film ini menjadi lebih berkelas. Musik-musik yang dibuatnya sangat berbeda. Tak perlu kesan menye-menye dalam mendukung suasana romantis di dalam film ini. Musik yang berkelas itu mampu menambahkan suasana yang bagus di filmnya. Iya, inilah kekuatan film Adriana. Meskipun tidak seluruhnya, penyelamatan lain dari film Adriana.

http://www.muvila.com/sites/default/files/imagesimages/Adriana-AdipatiDolken-KevinJulio.jpg

Overall, Adriana adalah sebuah film romansa remaja yang dibalut berbeda dengan film serupa kebanyakan. Unsur sejarah dan banyaknya teka-teki yang ada di film ini, membuat film ini terlihat pintar. Meskipun beberapa ceritanya kurang diolah dengan matang karena masih banyak cerita yang mentah di film ini. Bukan yang terbaik, tapi setidaknya film ini masih bisa dinikmati. Chase your Love!

Jumat, 08 November 2013

ENDER'S GAME (2013) : ANOTHER BREATHTAKING SCIENCE FICTION MOVIE

Science Fiction sekali lagi menyapa para penikmat film. Tahun ini, Oblivion, Star Trek , dan Gravity merupakan film Science fiction yang d... thumbnail 1 summary
Science Fiction sekali lagi menyapa para penikmat film. Tahun ini, Oblivion, Star Trek, dan Gravity merupakan film Science fiction yang di rilis. Ender’s Game, film science fiction ini di angkat dari novel milik legendaris Orson Scott Card. Ditangani oleh Sutradara X-Men Origins : Wolverine, Gavin Hood serta dibintangi oleh jajaran cast kaliber oscar di dalam filmnya.


Bumi telah diserang oleh sebuah makhluk bernama Formics. Mereka mencoba untuk menghancurkan bumi. Tapi, seorang bernama Mazer Rackham berhasil menghancurkan sebuah kapal induk milik Formics. Tapi, Formics masih saja menginvasi bumi. Colonel Hyrum Graff (Harrison Ford) mencoba untuk mencari seorang pemimpin yang bisa mengalahkan Formics.

Andrew ‘Ender’ Wiggin (Asa Butterfield) adalah anak terakhir dari keluarga Wiggin. Dia didapuk oleh Colonel Hyrum Graff untuk mengikuti akademi untuk mengalahkan Formics. Karena, kedua kakaknya Valentine (Abigail Breslin) dan Peter (Jimmy Pinchax) adalah siswa berbakat di dalam akademi tersebut. Maka dari itu, Andrew direkomendasikan untuk ikut dan dia menerimanya.

Another Breathtaking science-fiction with space template movie. 
Science Fiction adalah sebuah tema yang personal bagi saya. Banyak film-film bertema fiksi ilmiah yang membuat saya berdecak kagum. Avatar, film milik James Cameron ini benar-benar membuat saya berdecak kagum dan bisa jadi menjadi salah satu film terbaik saya hingga saat ini. Tapi, film science fiction dengan tema outer spaceadalah yang paling saya sukai. Star Wars?Tidak, saya belum menontonnya. Masih banyak film dengan setting outer space lain yang membuat saya menyukainya.

Tahun ini, Empat film bertema sci-fi di rilis. Oblivion, After Earth, Star Trek Into Darkness, serta yang paling baru Gravity. Tiga dari empat film yang di rilis tahun ini benar-benar membuat saya kagum. Bahkan film dengan pace yang lambat seperti Oblivion pun mampu membuat saya menyukainya. Tapi, tidak untuk After Earth yang benar-benar merusak mood saya saat menonton film. Yap, After Earth masuk ke dalam Worst-List movies saya tahun ini. Maka, saat trailer Ender’s Game mulai muncul, saya sudah memasukkan film ini dalam list tontonan wajib saya.

Bicara tentang trailer dari Ender’s Game, saya tidak menemukan sesuatu menarik. Persis sama saat saya menyaksikan trailer milik After Earth. Takutnya, Ender’s Game akan jatuh seperti After Earth. Tapi, dengan banyaknya cast kaliber oscar seperti Asa Butterfield, Abigail Breslin, Harrison Ford, serta Viola Davis jelas membuat saya tertarik. Sejelek apapun filmnya jika masih ada aktor dan aktris yang bisa bermain dengan baik, sepertinya tidak akan jatuh terlalu buruk. Tak seperti After Earthyang benar-benar jatuh dari segi cerita dan akting sangat kaku dan menganggu milik Jaden Smith.


Gavin Hood, diutus untuk menginterpretasikan buku legendaris milik Orson Scott Card ini dengan media film. Mengingat record Gavin Hood masih gagal dalam mengangkat X-Men Origins Wolverine, Saya cukup khawatir dengan proyek ini. Tapi, Gavin Hood seperti belajar dari film manusia bercakar adamantium itu. Ender’s Game sangat berhasil diarahkan oleh Gavin Hood dengan baik. Mengesankan, mata saya terbelalak saat semua adegan di film ini mampu dipresentasikan dengan sangat baik dan cantik.

Gavin Hood bisa mengarahkan Ender’s Game dengan baik. Presentasinya begitu mengesankan. Membuat saya sangat menikmati benar apa yang terjadi di film dari awal hingga akhir. Pace-nya begitu di jaga dari awal hingga akhir. Meskipun sangat obvious bahwa Gavin Hood masih belum menemukan kefokusannya di awal film ini. Sayangnya, karakter-karakter di dalam film ini kurang digali begitu dalam. Banyak informasi-informasi penting yang dibawa oleh setiap karakter di film ini malah terkesan tidak digali lagi. Informasi itu dibiarkan menggantung dan membuat saya bertanya-tanya “What actualy happened?” saat menyaksikan film ini.


Terlebih untuk karakter Ender yang notabene adalah pemeran kunci keseluruhan film ini. Yap, saya masih bingung ada apa yang terjadi antara Ender, Akademi, dan juga keluarganya. Gavin Hood masih keteteran dalam menggali kedalaman karakter Ender. Terkesan masih setengah-setengah dan membiarkan banyak hal menggantung dan membuat saya yang bukan pembaca novelnya menjadi kurang paham apa yang terjadi dengan Ender sebenarnya. Mungkin, beberapa dialog yang disampaikan kelewat singkat. Pintarnya, film ini malah menjadi meninggalkan pertanyaan tanpa pernyataan jelas. Bukan film yang menjelaskan isinya dengan instan.

Medium penjelasan lewat film memang kadang terbatas. Informasi-informasi penting yang kita dapatkan lewat membaca sebuah buku itu bisa saja tidak kita dapatkan saat menonton filmnya. Karena untuk menginterpretasikan sebuah buku itu memang sulit. Sebuah medium yang berbeda yang tidak bisa kita bandingkan mentah-mentah. Karena fantasi lewat kata-kata bisa dibilang memiliki pandangan lebih luas ketimbang lewat sebuah gambar bergerak. Karena, lewat gambar bergerak kita masih memikirkan tingkat logis yang ada di dunia nyata.


Tapi, dimensi karakter di film ini yang kurang dalam ternyata tidak menganggu banyak sekali kelebihan-kelebihan lain yang sangat mengagumkan. Tidak mengurangi efek breathtaking yang disajikan oleh Gavin Wood di film ini.Tensi benar-benar terjaga hingga akhirnya saya bisa merasakan adegan klimaksnya yang benar-benar menyita perhatian dan nafas saya. Ender’s Game is totally breathtaking, groundbreaking, and another good thing i give it to it. Beberapa adegan mengingatkan saya kepada film Gravitydan juga beberapa mengingatkan saya dengan Star Trek.

Betapa pintarnya Gavin Hood mengarahkan film ini dan juga sekaligus mengolah naskahnya dengan bagus. Sebagai penonton yang tidak membaca novelnya, plot twist yang disajikan di film ini cukup membuat saya kaget. Plot Twist di film ini di sampaikan dengan baik, terfokus, dan tidak meluber sehingga memberikan efek mind-blowing yang cukup kuat. Film ini lebih berisikan cerita yang menyindir banyak hal tentang realita sosial yang terjadi dalam rangka mengeksploitasi anak kecil dibawah umur demi melaksanakan kepentingan negara. Karena hal itu banyak terjadi di era ini.

Belum lagi, emosi yang terjalin di film ini juga memiliki efek yang kuat dalam penyampaian filmnya. Sehingga, Excitement yang diberikan benar-benar besar dan sangat terasa di dalam film ini. Mungkin juga faktor Orson Scott Card yang menjadi Executive Producer sehingga masih mengawasi pembuatan naskah dan film ini maka terlihat begitu bagus.

Butterfield’s powerful act and other great casts.
Juru kunci dalam sebuah film menurut saya adalah sutradara, script, dan juga aktor-aktris yang bermain di dalam film ini. Jika seorang sutradara gagal menginterpretasikan sebuah skenario, maka gagal lah film itu. Begitu pula sebaliknya. Maka, jika kedua unsur dalam film itu gagal, hal yang masih bisa di selamatkan dalam sebuah film adalah jajaran aktor-aktris yang bermain di film ini. Jika, mereka bisa memerankan karakter dengan baik maka film itu setidaknya masih memiliki hal yang dapat di nikmati seperti film The Host yang dibintangi Saoirse Ronan itu. Tapi jika tidak, akan gagal layaknya film After Earth milik M. Night Shyamalan.

Maka, Ender’s Game memang masih kacau dalam memberikan intensif drama dan penggalian karakter yang ada. Tapi, kekuatan lain muncul di film ini. Tak hanya pace cerita, tensi ketegangan, dan visualnya yang cantik, tapi juga dari aktor-aktris yang bermain di dalamnya. Aktor-aktris kaliber oscar seperti Asa Butterfield, Abigail Breslin, Harrison Ford, dan Viola Davis mampu blend dengan film dan karakternya. Membuat satu kesatuan yang bagus dan membentuk emosi yang kuat di dalam film ini.

Mungkin, pemain-pemain lain seperti Viola Davis, Harrison Ford, serta Abigail Breslin tidak memiliki performa akting yang siginifikan terlihat di dalam film ini. Asa Butterfield lah yang mengambil semua spotlight di film ini. Yap, anak kecil yang pernah saya lihat di film The Boy In The Stripped Pajamas dan Hugo ini selalu memiliki totalitas akting yang bagus dan yah, dia sudah beranjak remaja. Dia mampu menjadi sosok Andrew ‘Ender’ Wigginyang pintar, diam tapi menghanyutkan serta memiliki emosi yang cukup labil di film ini.


Dia pun berhasil menjalin chemistry yang baik dengan Abigail Breslin. Yap, sekali lagi aktor-aktris yang pernah kita saksikan kepiawaiannya dalam berakting saat masih kecil, sudah beranjak dewasa. Begitu pula dengan Abigail Breslin yang juga sudah bertransisi menjadi cewek remaja. Si Little Miss Sunshine itu sudah besar. Semua karakter di film ini mampu terkoneksi satu sama lain, sehingga kekuatan emosi di film ini juga datang dari jajaran akting mereka yang luar biasa.

Belum lagi dari sisi teknis, sang DOP mampu menangkap keindahan-keindahan yang ada. Menggunakan transisi kamera yang begitu dinamis terutama di final act film ini sehingga memiliki intensitas yang begitu kuat di dalam filmnya. Membuat film ini semakin terasa menyita perhatian dan nafas saya semenjak awal film dan final act yang benar-benar besar dan mengagumkan itu. Banyak adegan yang tertangkap di film ini memang ditujukan untuk menonton dalam format IMAX. Karena experience-nya pasti akan jauh lebih terasa.


Overall, Ender’s Game adalah film adaptasi novel yang mungkin masih memiliki dimensi karakter yang kurang dalam dan intensitas drama yang kurang. Tapi, kekuatan lain muncul dan mendominasi semua kelemahan yang ada di film ini. Visual yang cantik, pace yang terjaga hingga akhir film, kekuatan akting aktor-aktris dan juga final act yang luar biasa megah itu membuat saya benar-benar mengagumi film adaptasi novel ini. Totally awesome and breathtaking.
 
ads