Jumat, 28 Maret 2014

THE RAID 2 : BERANDAL (2014) REVIEW : NEXT ROUND OF VIOLENCE

Siapa yang tidak ingat dengan The Raid? Satu film produk dalam negeri yang berhasil mencuri perhatian kalangan internasional. Menduduki posi... thumbnail 1 summary

Siapa yang tidak ingat dengan The Raid? Satu film produk dalam negeri yang berhasil mencuri perhatian kalangan internasional. Menduduki posisi 11 di Box Office US dan mendapatkan pujian oleh kritikus internasional. The Raid pun menjadi satu film martial arts dari Indonesia yang patut diapresiasi lebih. Gareth Evans, sang sutradara menggarap sebuah sekuel untuk The Raid. Dengan jangka waktu 2 tahun, sekuel ini berjudul The Raid 2 : Berandal dan dirilis pada tahun 2014.

Proyek sekuel memang sudah direncanakan sejak lama. Malah, The Raid akan menjadi satu trilogi. Terlebih, The Raid yang sudah mendapatkan kepercayaan penonton. Tentu sekuel ini akan dinanti-nantikan oleh penggemar film predesesornya. The Raid 2 : Berandal, juga mendapatkan kesempatan untuk menjadi Official Selection di Sundance Film Festival 2014 bulan Februari lalu bersamaan dengan film garapan The Mo Brothers, Killers. Ini juga menjadi satu poin yang akan membuat The Raid 2 semakin dinanti-nantikan oleh penonton.


Di The Raid 2 ini, menceritakan langsung pasca kejadian di The Raid seri pertama. Rama (Iko Uwais), polisi yang selamat dari penyerbuan kali ini masuk lagi ke sebuah misi penting untuk memberantas mafia-mafia politik di kota. Rama direkrut oleh Bunawar (Cok Simbara) untuk memberantas Uco (Arifin Putra), anak dari Bangun (Tio Pakusadewo) yang masuk penjara. Akhirnya, Rama menyamar sebagai tahanan untuk mendekati Uco.

Hal berbalik ketika Uco dan Rama semakin dekat karena dirinya telah menyelamatkan Uco dari serangan tahanan-tahanan disana. Rama malah direkrut menjadi kaki tangan Bangun atas rekomendasi Uco. Disinilah, Uco yang sudah mulai bosan dibawah perintah Bangun mencoba untuk menjadi lebih. Dengan Bejo (Alex Abbad), Uco mencoba menjalin kerjasama. 


This is from indonesia.

Penyerbuan gedung yang berisikan gembong mafia diiringi dengan adegan aksi yang banyak serta koreografi seni bela diri yang indah adalah kekuatan dari The Raid seri pertama. Mungkin plot yang minim untuk berkembang adalah satu kekurangan yang tak dihiraukan oleh siapapun karena The Raid berhasil memberikan satu presentasi padat aksi yang sama sekali tidak memberikan penonton untuk sekedar mengambil nafas dan mencerna setiap konflik di yang ada.

Maka, di sekuel ini lah semua yang menginginkan segala konflik atau cerita yang begitu banyak dan berkembang dijawab oleh Gareth Evans. Memasukkan plot yang lebih banyak ketimbang predesesornya meskipun tak memiliki satu alternatif baru di genre yang sama. Tetapi, sekali lagi, apa yang kalian inginkan dari The Raid? Segala cerita yang diulik dengan sangat mendalam? Sepertinya, penonton yang seperti itu berharap pada sesuatu yang salah.

The Raid 2 : Berandal  merekonstruksi dunia khayalan miliknya dengan lebih gelap dan mendalam. Memang, The Raid 2 : Berandal tidak menjadi satu cerita luar biasa dengan naskah jempolan. Tetapi, The Raid 2 : Berandal akan menjadi salah satu masterpiece yang menjadi dokumen dalam negeri yang patut untuk dibanggakan. Gareth Evans masih memikirkan bagaimana plot itu berlangsung bukan hanya menjadi satu sampingan saja. Meskipun masih ada beberapa naskah yang terlihat berantakan dalam penyampaiannya dan informasi yang juga masih acak sana-sini.


Presentasi cerita milik The Raid 2 : Berandal ini memang masih terkesan loncat sana-sini, terlebih ketika karakter di film yang sudah semakin menyesaki layar. Bagaimana karakter-karakter yang sudah mulai banyak itu kurang memiliki ruang untuk berkembang lebih jauh lagi terlebih di dalam durasinya yang cukup lama sekitar 148 menit. Plot yang rumit yang terkesan familiar itu setidaknya masih tertangani cukup baik. Dengan dialog-dialog yang mengalir serta emosi-emosi yang begitu kuat dari para aktor dan aktris di film ini sehingga alur cerita itu masih bisa dicerna dengan cukup baik.

Sekali lagi, The Raid bukanlah film dengan plot yang pintar dan luar biasa. Tetapi, bagaimana perubahan signifikan dari predesesornya di segi plot ini merupakan satu effort yang perlu diapresiasi. Gareth Evans sepertinya tahu benar apa yang disorot dalam film The Raid seri pertama sehingga di sekuelnya kali ini apa yang disorot itu benar-benar diekspos. Seni bela diri. Ya. Aksi baku hantam habis-habisan benar-benar disorot di sekuelnya kali ini. Entah hanya dengan tangan kosong, pisau, hingga palu dan juga pemukul baseball.


Bagi para pecinta aksi akan dimanjakan oleh Gareth Evans. Banyak sekali adegan-adegan kekerasan yang begitu sadis dan berdarah itu diekspos berlebihan but in a good way. Koreografi seni bela diri yang semakin indah, car chasing yang memiliki tensi thrill yang berlapis, dan kesadisan yang sudah sampai ke titik puncak. Darah dimana-mana menunjukkan bahwa menghilangkan nyawa manusia semudah makan popcorn saat menonton sebuah film. Baku hantam dimana-mana terlebih final act yang juga ditampilkan dengan gila-gilaan tanpa henti. That was super fun and super cool.

Semuanya disajikan dengan begitu berkelas and yes, it from our Indonesian Film makers. Its unbelievable but that is the truth, jawaban atas Indonesia pun bisa memberikan film aksi dengan berkualitas terjawab sudah di film ini. Semuanya dibuat dengan production value yang buat tidak asal-asalan. Semuanya dimasak matang meskipun beberapa adegan bisa dibilang ‘tribute’ dengan film-film sejenis tanpa memedulikan kelogisan setting film. (hint : salju) 


Departemen akting juga tidak ada yang dipermasalahkan. Mungkin artikulasi yang kurang jelas dari Iko Uwais. Arifin Putra juga berhasil menginterpretasi kesan jahat dan dingin anak seorang mafia. Aktor-aktris lainnya mungkin hanya sebagai pemanis, karena selama 148 menit semuanya hanya tentang Iko Uwais dan Arifin Putra yang memang menjadi pion untuk menjalankan cerita dari The Raid 2 : Berandal ini.

Dan, dua karakter pencuri perhatian yaitu Alicia The Hammer Girl dan Baseball Bat Man. Meskipun bukan karakter utama dan hanya memiliki screening time yang sedikit, tetapi mereka mampu membekas di benak penonton. Menjadi sosok yang memorable terlebih Alicia The Hammer Girl yang memberantas setiap orang dengan dua palu miliknya. Begitupun juga dengan Baseball Bat Man, mungkin setelah menyaksikan film ini kalimat “Sini, Ambilin Bolanya” akan menjadi satu kalimat yang tak lagi sama jika kita mendengarkannya lagi. 


Overall, The Raid 2 : Berandal menjadi ronde kedua yang lebih brutal, keras, dan sadis dari predesesornya. Lebih gelap dengan cerita yang lebih berkembang meskipun masih ada beberapa ceritanya yang kurang sana-sini. Tetapi, tentu saja jualan The Raid 2 bukanlah cerita yang luar biasa hingga mendapatkan efek mind-blowing. The Raid 2 : Berandal adalah film milik sineas Indonesia yang sangat patut untuk diapresiasi. This is insanely awesome. Madness.
 

Kamis, 27 Maret 2014

[SPECIAL POST] 2013 25 BEST MOVIES

Terlambat. Mungkin. Tapi, tak ada salahnya jika tetap membagikan daftar-daftar film terbaik bukan? Kali ini, ada 25 (Actually 27, because th... thumbnail 1 summary

Terlambat. Mungkin. Tapi, tak ada salahnya jika tetap membagikan daftar-daftar film terbaik bukan? Kali ini, ada 25 (Actually 27, because there’s a tie) film terbaik di tahun 2013. Sangat susah, karena banyak film-film keren di tahun lalu. Sebelum memasuki 25 Besar film terbaik menurut Arul’s Movie Review Blog, ini adalah 5 Film yang harus tersisih dari 25 Besar. Mari kita sebut mereka Honorable Mentions List.
 
Honorable Mentions.
31. Miracle In Cell No. 7   
30. Warm Bodies
29. Ender’s Game
28. Monsters University
27. Ain't Them Bodies Saints 

 
26. About Time (Director : Richard Curtis / US)
Film Romance-Comedy milik Richard Curtis ini berhasil membuat hati tentram dan hangat. Dengan balutan unsur Sci-Fi ini menjadi salah satu film tahun 2013 yang terkenang.

Baiklah, sekarang mari menilik lebih lanjut siapa yang ada di posisi 25 hingga 1. Here we go.......

 
25. The Wolf of Wall Street (Director : Martin Scorsese / US)
Jordan Belfort, seorang serigala di sebuah pasar saham. Biografi miliknya diangkat oleh Martin Scorsese dalam sebuah film dengan durasi hampir 3 Jam (Meskipun di bioskop terkena sensor sebanyak 15 Menit). Party, sex, and lot of fun.

24. Evil Dead (Director : Fede Alvarez / US)
Remake dari film horor legendaris milik Sam Raimi ini memiliki banyak sekali unsur senang-senang terutama dalam adegan gore dan bloodybath.

      The Conjuring (Director : James Wan / US)
Juga di posisi 24, Sutradara yang membangkitkan lagi taste horor-horor klasik. James Wan berhasil membuat satu film horor klasik yang berkelas, mencekam, dan menawan. 

 
23.  Stoker(Director :  Chan Wook-Park / US)
Satu film horor-psikologis yang membalut semua adegan-adegan di filmnya begitu indah. Chan Wook-Park, sutradara korea ini berhasil mengarahkan film Hollywoodpertama miliknya dengan baik.

22.  The Past (Le Passe) (Director : Asghar Farhadi / French)
Menempatkan setiap karakter di film ini memiliki satu sisi yang bisa diperjuangkan dan bisa dipersalahkan maka Asghar Farhadi adalah dalang yang benar. Setelah A Separation, Asghar Farhadi mengenalkan The Past (Le Passe) yang memiliki passion yang sama meskipun tak sekuat A Separation.

21. Philomena (Director : Stephen Frears / US)
Satu kisah yang benar-benar memilukan dari sosok seorang Ibu, Philomena yang sedang mencari anaknya yang diambil darinya. Akan membuat penontonnya emosional diiringi dengan scoring yang juga indah.

20. 12 Years A Slave (Director : Steve McQueen / US)
Pedih. Satu kata yang akan bisa dirasakan ketika menonton film ini. 2 Jam penuh dengan siksa dan kepedihan dari seorang budak kulit hitam, Solomon Northup dan perjuangannya untuk mendapatkan hak kebebasannya.

19. Ilo Ilo (Director : Anthony Chen / Singapore)
Drama keluarga yang begitu sederhana dengan menceritakan sebuah Keluarga dengan berbagai lika-likunya. Begitu menghangatkan dan memberikan banyak pelajaran berharga bagi seluruh keluarga.

18. Frances Ha (Director : Noah Baumbach / US)
Satu film Coming-of-agedengan presentasi gambar Black and White menyorot perubahan karakter Frances yang diperankan oleh Greta Grewig. Simple, menyenangkan, meskipun hitam-putih tapi tetap ‘berwarna’.

17. Dallas Buyers Club (Director : Jean-Marc Vallee / US)
Film tentang HIV/AIDS dengan departemen akting yang benar-benar kuat. Jared Leto yang transform menjadi Waria dan Matthew McCounaghey yang merubah dirinya sekurus mungkin.

16. Star Trek Into Darkness (Director : J. J. Abrams / US)
Remake dari satu film Sci-Fi legendaris. J.J. Abrams berhasil membangkitkan dan bahkan menambah fans baru untuk Universe milik Captain Kirk ini. Benar-benar padat dan menyenangkan untuk diikuti.

      Pacific Rim (Director : Guilermo Del Toro / US)
Juga berada di posisi 16, satu film Style Over Substance tentang robot bernama Jaeger yang melawan monster bernama Kaiju. Dengan konten yang tak terlalu bertele-tele tetapi bagaimana Guilermo Del Toro berhasil memberikan satu sensasi menonton film yang sangat menyenangkan dan membuat kagum.

15. The Hunt (Jagten) (Director : Thomas Vinterberg / Denmark)
Drama tentang bagaimana sebuah tuduhan yang salah kepada seseorang yang berhasil diarahkan oleh Thomas Vinterberg. Akan dengan mudah mengotak-atik perasaan dan emosi penontonnya dengan begitu baik dengan konfliknya.

14. Before Midnight (Director : Richard Linklater / US)
Jesse-Celine adalah pasangan yang tak sengaja jatuh cinta. 9 Tahun pasca Before Sunset, mereka kembali lagi dalam Before Midnight, kali ini mereka menikah dan memiliki anak. Richard Linklater memberikan bumbu yang indah bagi penutup Before Trilogy ini. Tetap dengan Dialog-drivenyang kental dan cerdas serta konflik yang semakin rumit.

      The Spectacular Now (Director : James Ponsoldt / US)
Romance coming-of-age yang sangat sederhana tetapi memberikan unsur yang menarik. Memberikan moral value yang kental tanpa ada kesan preachy. Dengan naskah yang ditulis oleh Michael H. Weber dan Scott Neustadter dan arahan James Ponsoldt yang menarik. The Spectacular Now benar-benar spektakuler.

13. Blue Jasmine (Director : Woody Allen / US)
Mengantarkan sebuah studi karakter sosok Jasmine dengan segala konflik hidupnya yang membuatnya harus jatuh dan terpuruk. Dengan kekuatan dari departemen Akting, Cate Blanchett membuat film ini sangat emosional.

12. Wadjda (Director : Haifaa Al-Mansour / Saudi Arabia)
Mimpi sederhana anak kecil yang dibalut menarik dengan bagaimana kaidah-kaidah Islam yang kental di lingkungan negara Saudi Arabia. Begitu menyentuh dan menghangatkan. Terlebih, norma-norma tentang perempuan yang diangkat terasa kental.

11. Saving Mr. Banks (Director : John Lee Hancock / US)
Dibalik satu film sukses milik Walt Disney studio, pasti ada kisah dari pembuatnya. Di film ini, menceritakan wanita yang menciptakan dunia Mary Poppins. Dengan cerita haru biru yang dikemas begitu apik dan kuat.

10. The Hunger Games: Catching Fire (Director : Francis Lawrence / US)
Sekuel dari The Hunger Games ini memberikan pendalaman karakter yang begitu kuat dengan final act yang juga digarap dengan bagus. Francis Lawrence benar-benar berhasil membuat Franchise ini semakin berjaya. We’ll see on Mockingjay Part 1 & 2

9. Short Term 12 (Director : Destin Cretton / US)
Menceritakan sebuah pondok bernama Short Term 12 yang berisikan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang perlu diperhatikan. Penuh karakter-karakter synical dengan berbagai konfliknya yang mengagumkan. Sangat indah hingga tak terasa mata akan basah.


8. Frozen (Director : Chris Buck & Jennifer Lee / US)
Disney sepertinya mulai mengeluarkan taring. Kali ini, Frozen benar-benar mengalahkan telak film animasi garapan Pixar untuk tahun ini. Bagaimana Frozen kali ini mengembalikan lagi ke zaman-zaman Disney yang klasik dengan lagu-lagunya yang memorable. What A good one.

7. American Hustle (Director : David O Russell / US)
Penuh dengan aktor-aktris terkenal dan tentunya dengan akting mereka yang menawan. Apa yang membuat kagum di film ini? bagaimana dialog-dialog panjang yang membuat tensi film ini ikut naik dan breathtaking. And yes, Jennifer Lawrence stole the show !

6.  Prisoners (Director : David Villenueve / US)
Membuat penontonnya masuk ke dalam satu labirin teka-teki, menyebarkan setiap kepingan puzzledan memberikan konklusi menarik yang bisa diperdebatkan. 140 Menit yang benar-benar thrilling and confusing.

5. Rush (Director : Ron Howard / US)
Bukan biografi untuk satu orang, melainkan lebih kepada biografi frienemy (friend-enemy)atau rival antara pembalap F1 legendaris, Niki Lauda dan James Hunt. Dengan cerita yang begitu padat, mengharukan. Didukung dengan sinematografi yang cantik dan scoring yang indah. Membuat penontonnya akan merasakan asam manis sirkuit balap. 

4. The Broken Circle Breakdown (Director : Felix Van Groeningen / Beligium)
Sebuah melodrama romantis yang benar-benar mengharu biru. Sepasang suami-istri yang dulunya saling mencinta, tiba-tiba harus mulai renggang ketika anak mereka yang terkena kanker harus meninggal. Didukung dengan soundtrack-soundtrack lagu folk (atau country?) yang indah dengan momen-momen yang tentunya mengagumkan.

3. Captain Phillips (Director : Paul Greengrass / US)
Tom Hanks. Salah satu aktor legendaris berakting kembali ke sebuah film thriller-action tentang pembajakan kapal. Dengan tensi yang benar-benar terjaga, Paul Greengrass berhasil mengantarkan film yang diangkat dari novel yang berdasarkan kisah nyata ini dengan sangat baik. Terlebih, akting Tom Hanks di akhir yang benar-benar getir. 

2. Her (Director : Spike Jonze / US)
Kisah cinta yang begitu menarik, unik, fresh, dan original. Mencintai sebuah operating system? Hanya Spike Jonze yang bisa membuat film dengan begitu manis, indah, dan membuat kita berkontemplasi dengan kehidupan kita. The Moon Song was a memorable one.

1. Gravity (Director : Alfonso Cuaron / US)
Here we go, Best Movie of The Year (Last year, I mean). Pengalaman cinematic di luar angkasa yang tak akan pernah terlupakan. Didukung dengan sederet departemen yang sangat direbus dengan matang. Dari sound editing, sound mixing, scoring, sinematografi, tata visual efek dan akting yang kuat. Gravity benar-benar indah dan menawan. Membuat penontonnnya tak bisa bernafas selama 90 menitnya yang indah.


Inilah, Arul’s Movie Review Blog’s 25 Best Hollywood Movie List. Mana list kamu?

Kamis, 20 Maret 2014

DIVERGENT (2014) REVIEW : BEATRICE PRIOR AND HER LIFE CHOICE

Lagi dan lagi, sebuah novel yang diadaptasi untuk divisualisasikan menjadi kumpulan gambar bergerak dan menerjemahkan kata demi kata, kalima... thumbnail 1 summary

Lagi dan lagi, sebuah novel yang diadaptasi untuk divisualisasikan menjadi kumpulan gambar bergerak dan menerjemahkan kata demi kata, kalimat demi kalimat dari sebuah novel. Buku-buku young-adult memang selalu menjadi sasasran, terutama jika buku itu memiliki satu premis menarik dan juga bestseller. Setelah seri The Twilight Saga yang sukses secara besar-besaran terutama di segi finansial, para rumah produksi Hollywood pun mengikuti rumus yang sama untuk mendapatkan keuntungan yang besar di industri perfilman.

Summit Entertainment, yang pernah menangani film The Twilight Saga, membeli hak dari trilogi best seller milik Veronica Roth. Usaha yang bagus dari Summit Entertainment untuk sekali lagi mendapatkan kucuran dana dari sebuah buku trilogi yang memiliki banyak fans juga. Seri kali ini yaitu Divergent. Memiliki tiga buku dengan cerita yang menarik untuk diikuti di setiap serinya. 


Di Divergent ini, dimulai dari seorang gadis bernama Beatrice Prior (Shailene Woodley) yang hidup di dunia setelah kehancuran di Chicago. Di umurnya yang ke 16, dia harus memilih satu dari 5 faksi yang ada di kota miliknya. Faksi-faksi itu mewakili sifat-sifat manusia. Kepintaran dimilik faksi Erudite, Kesenangan dimiliki faksi Amity, Kejujuran untuk faksi Candor,Tidak egois untuk faksi Abnegation, serta Pemberani untuk faksi Dauntless.

Saat tes kemampuan, hasil dari Beatrice ternyata memiliki kelainan yang disebut Divergent. Dimana, dia mewakili 3 sifat dari lima faksi. Pada saat upacara pemilihan pun, dia memilih Dauntless sebagai faksinya. Dia bertemu dengan seorang pelatih bernama Four (Theo James) yang membimbing dirinya saat melakukan inisiasi di faksi tersebut. Mereka berdua semakin dekat, hingga akhirnya banyak hal terjadi. Seketika itu, Jeanine Matthews (Kate Winslet) berusaha untuk menyingkirkan Abnegation dari muka bumi Chicago. 


Less explore, little messy, but its Enjoyable.

Premis menarik dan best seller menjadi iming-iming besar bagi siapapun rumah produksi. Keputusan yang sangat pintar bagi Summit Entertainment yang berhasil mendapatkan hak kopi dari buku Divergent karya Veronica Roth ini. Terlebih, kredibilitas buku ini perlu digarisbawahi karena telah mendapatkan pujian dimana-mana. Summit Entertainment pun memberikan kepercayaan yang besar untuk trilogi tersebut. Sebelum film pertama di rilis pun, dua seri dari trilogi ini sudah memiliki slot tayang di 2 tahun berikutnya.

Neil Burger pun ditunjuk sebagai Sutradara untuk seri pertama dari seri Divergent ini. Dengan bantuan dari Vanessa Taylor dan Evan Daughtery di departemen screenwriter yang memiliki satu momen krusial dari adaptasi novel. Divergent bisa dibilang sebagai pertunjukan dari Beatrice Prior. Semua cerita yang disini adalah semua tentang Beatrice Prior. Padahal masih ada banyak karakter-karakter yang ditampilkan di Divergent yang harusnya saling berinteraksi dan masih bisa digali hingga akhirnya Divergent tidak hanya straight to the story tetapi akan lebih kompleks

Ada beberapa karakter yang masih terasa satu dimensi. Hanya sekedar tampil di film ini sehingga setidaknya akan membuat pembaca novel Divergent mengerti bahwa “Oh, karakter ini masih ada di filmnya”. Tetapi bagi yang bukan pembaca novel, karakter-karakter yang ada di film ini ada atau tidak adanya mereka di dalam film tidak begitu memiliki pengaruh besar untuk filmnya. Karena semua cerita adalah milik Beatrice. Bahkan, karakter Four yang menjadi salah satu karakter utama pun masih memiliki kedalaman karakter yang nanggung. 


Informasi-informasi yang dilemparkan kepada penonton juga masih acak. Sehingga penonton pun masih bertanya ini-itu tentang filmnya. Membuat beberapa lubang-lubang cerita yang tidak bisa dihindari oleh film arahan Neil Burger ini. Tetapi, bisa dibilang Divergent adalah film adaptasi novel yang cukup berhasil. Bisa memanfaatkan 135 menit dari film ini dengan baik. Membuat penontonnya lupa tentang rentang durasinya yang lama dengan cerita-cerita menarik dari novelnya yang diadaptasi ke sebuah film.

Divergent, tidak menjadi the next City Of Bones, The Host, Beautiful Creatures atau Vampire Academy yang gagal memikat penontonnya. Divergent juga tidak The Hunger Games-ish. Divergent memiliki ritme-nya sendiri. Dengan fast pace dan slow pace yang ditaruh dengan pas, sehingga 130 menit milik Divergent ini benar-benar thought-provoking. Membuat para penonton pria dan wanita pun akan menikmati apa yang disajikan oleh Neil Burger di seri pertama Divergent ini. 


Neil Burger berhasil membuka seri pertama dari trilogi Divergent ini dengan cukup baik. Ini jelas akan memberikan satu poin bagi trilogi untuk lanjut ke seri berikutnya. Tinggal menunggu bagaimana tangga Box Office ini berbicara. Karena bagaimana pun, hasil dari Box Officepun juga akan mempengaruhi jalannya trilogi ini. Divergent memiliki porsi yang pas antara Drama untuk menjelaskan universe milik Divergent dan juga porsi aksi yang cukup banyak. Sehingga, siapapun penontonnya akan terhibur dengan Film ini.

Hal yang akan sangat riskan dari adaptasi novel Young-Adult adalah romansa cinta antar karakter. Karena banyak sekali yang akhirnya disorot berlebihan sehingga menimbulkan satu momen ‘meh’ yang tidak disukai penonton. Beruntung, Neil Burger tidak menyorot romansa Four dan Tris secara berlebihan. Mereka tetap menempatkan cerita cinta mereka dengan porsi yang tepat. Meskipun beberapa hal masih terkesan memaksa karena minimnya kedalaman karakter di film ini sehingga romansa mereka masih lack of chemistry


Penggunaan kamera IMAX untuk film ini memang tidak begitu terlihat layaknya The Hunger Games. Tetapi, itu akan memaksimalkan landscape cantik di Divergent. Banyak sekali panorama-panorama indah Chicago in Dystopian versionyang berhasil ditangkap oleh sang Director of Photography sehingga beberapa bagian akan maksimal jika disaksikan dalam versi IMAX. Begitupun dengan production value yang tidak sembarangan. Kota chicago after-war pun berhasil diinterpretasikan. Serta scoring yang menarik yang diproduseri oleh Hans Zimmer dan Soundtrack-soundtrack yang ear-catchy ini pun menjadi poin plus dari segi teknis di film ini. 


Keputusan untuk membuat Divergent menjadi Bearice Prior show ini berpengaruh bagi performa Shailene Woodley sebagai Beatrice. Shailene Woodley berhasil memberikan performa akting yang menarik (dan selalu di setiap filmnya). Dia berhasil memerankan Beatrice yang cantik dengan penuh lika-liku hidupnya sebagai seorang Divergent dan memberikan satu peran ikonik dengan akting yang mumpuni. Theo James sebagai Four masih kurang ter-eksplor disini tetapi jelas Theo James akan menjadi words of mouthbagi setiap wanita setelah menonton film ini karena paras tampan yang dimilikinya. Kate Winslet, tak usah diragukan, dia berhasil menunjukkan kesan dingin yang memang menjadi keseharian sosok Jeanine Matthews, karakter yang sedang diperankannya. 


Overall, Divergent adalah film adaptasi novel yang cukup baik diangkat menjadi sebuah film. Meskipun beberapa bagian masih memiliki lubang, karakter-karakter lain selain Beatrice memiliki kedalaman cerita yang masih minimalis menjadi kendala dari film ini. Tetapi, bagaimana Neil Burger mengolah Divergent ini menjadi satu sajian yang menghibur dengan porsi cerita yang pas. Quite good start for the Trilogy, may it would be better in the next series. 

Sabtu, 15 Maret 2014

NEED FOR SPEED (2014) REVIEW : RACE AND SPORT CARS'S SHOWROOM [WITH 3D REVIEW]

  Mobil-mobil mewah, balapan liar, formual yang sepertinya sudah pernah ditemui di satu franchise Fast & Furious . Setelah Fast & Fu... thumbnail 1 summary
 
Mobil-mobil mewah, balapan liar, formual yang sepertinya sudah pernah ditemui di satu franchise Fast & Furious. Setelah Fast & Furious mulai memperpanjang serinya hingga seri nomor tujuh yang terpaksa diundur tahun depan, maka satu film dengan formula (yang hampir) sama dengan franchise tersebut diangkat ke permukaan. Adaptasi dari permainan virtual terkenal, Need For Speed hadir dengan berbagai tentang balapan mobil yang ditawarkan.

Need For Speed ditangani oleh Scott Waugh yang secara perdana mengarahkan filmnya sendiri kali ini. Begitupun pada departemen screenwriting yang juga ditangani oleh orang baru di dunia perfilman, George Gatins yang sama sekali belum memiliki track record dalam urusan menulis suatu naskah film. Bisa dibilang, satu resiko besar yang diambil oleh Dreamworks Pictures saat menggarap film ini dengan nama-nama baru. Terlebih, film adaptasi game belum pernah ada yang memuaskan para fans maupun kritikus film. 


Need For Speed memang tidak memiliki satu cerita basic yang bisa diambil. Maka, George Gatins harus memberikan satu universe baru untuk film adatasi game ini. Maka, Need For Speed mengembangkan satu cerita dari Tobey Marshall (Aaron Paul), seorang mantan pembalap NASCAR yang harus kehilangan sang Adik, Pete (Harrison Gilbertson) saat ditantang oleh Dino Brewster (Dominic Cooper) untuk balapan. Dino yang dengan sengaja menabrak mobil Pete hingga tak sengaja membuatnya tewas saat pertandingan.

Tobey ditangkap atas balapan liar tetapi Dino berhasil lolos dan menjual barang bukti tersebut. Setelah keluar dari penjara, Tobey merencanakan satu aksi balas dendam kepada Dino. Dengan ikut dalam pertandingan balapan liar yang diadakan oleh Monarch (Michael Keaton). Dino yang mulai gusar dengan adanya Tobey yang bisa mengancam dirinya ini, melakukan berbagai upaya untuk menyingkirkan Tobey dari pertandingan. 


Need For Speed, need to be more treat.

Berusaha untuk tidak membanding-bandingkan Need For Speed dengan franchise Fast & Furious. Karena bagaimana pun itu, Need For Speed jelas berbeda dengan franchise terkenal tersebut. Memang memiliki formula yang hampir sama di filmnya, tetapi bagaimana konsentrasi dari dua film ini jelas-jelas berbeda. Terlebih, Need For Speed ini di adaptasi dari sebuah game. Berbeda dari Fast & Furious yang merupakan satu film original yang mampu bertahan meskipun sudah mulai diperpanjang tetapi cukup banyak dinantikan.

Need For Speed sebenarnya memiliki satu potensi yang bisa membuat film ini menjadi satu presentasi menarik. Sudah memiliki banyak mobil-mobil mewah yang ditampilkan di film ini. Mulai dari porsche, lamborghini, dan banyak mobil-mobil mewah lain yang akan membuat para pecinta otomotif berdecak kagum. Film ini memiliki satu cerita inti yang singkat seharusnya. Tetapi, bagaimana Scott Waugh membuat film ini malah berputar-putar layaknya ban mobil yang sedang balapan sehingga film ini bertele-tele dan membuat film ini memiliki pace yang tidak teratur.

Bahkan, storyline cerita yang bertele-tele ini pun ternyata malah membuat cerita di film ini semakin tidak terlihat. Berputar-putar di tempat dan masih bingung mau kemana. Well, usaha Scott Waugh di film Need For Speed ini untuk menekankan pada segala adegan car chase dan car race memang sangat terlihat. Sehingga, suara decit ban mobil  yang bergesek dengan aspal jalanan karena kecepatan yang dipacu sangat tinggi ini membuat kuping penontonnya benar-benar tidak nyaman karena terlalu berisik (atau mungkin sound effect suara ban mobil yang berdecit memang terlalu berlebihan). 


Adegan balapan dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun ini bukan malah membuat penontonnya semakin interestdengan filmnya, tetapi malah menjemukan untuk ditonton. Dengan embel-embel adaptasi sebuah permainan virtual, mungkin ada beberapa yang mengingatkan ketika dengan game Need For Speed, tetapi hanya beberapa adegan dari keseluruhan film. Tidak seutuhnya membuat kita merasakan sensasi yang sama saat kita sedang memainkan permainan balapan mobil dari Need For Speed ini.  Sungguh disayangkan.

Butuh beberapa adegan untuk mengembalikan lagi kenyamanan telinga penonton yang sudah dipenuhi oleh suara ban yang berdecit. Memang, ada beberapa bagian yang digunakan untuk memberikan pondasi untuk storyline yang dibangun. Ketika storyline itu berusaha untuk dibangun, tidak upaya yang kuat untuk menguatkan cerita itu. Aksi balas dendam Tobey Marshall pun, terasa sangat hambar. Malah beberapa adegan malah diisikan dengan beberapa adegan kurang penting (hint : “it’s Friday casual”).


Geogre Gatins pun masih memberikan beberapa dialog-dialog dangkal yang membuat filmnya semakin tertatih. Dan dengan arahan Scott Waugh yang masih minim ini pun, beberapa cerita masih belum bisa diangkat. Memberikan porsi untuk mengangkat love interest antara Tobey dengan beberapa wanita di film ini dengan balutan shot cheesy yang mungkin membuat mata penonton akan berputar. Itupun tidak berlangsung lama dan datang dengan begitu tiba-tiba.

Jajaran akting pun masih tidak memiliki kekuatan. Aaron Paul masih kurang memberikan jiwa dan aura kharismatik yang harusnya ada saat dirinya memerankan satu karakter heroik terutama leading character yang punya andil besar untuk film ini. Chemistry-nya dengan Imogen Poots juga terkesan tidak ada. Mereka tidak bisa berkoneksi. Imogen Poots pun masih belum memberikan akting total untuk memberikan ikon femme fatale untuk karakternya.

Maka, Need For Speed hanya menjadi sebuah film yang hanya mementingkan bagaimana mobil bisa melakukan balapan liar dengan kecepatan tinggi. Memberikan satu sensasi suara ban yang berdecit sana-sini yang berisi, serta memberikan sensasi kesenangan menabrakkan mobil mewah dan merusaknya. Film Need For Speed bisa dianggap sebagai film yang dengan tingkat kenarsisan product placement untuk mobil-mobil sport mewah yang diidam-idamkan oleh para pria maskulin.


Overall, Need For Speed menjadi salah satu film adaptasi game yang mungkin akan menyenangkan jika diolah dengan begitu baik lagi. Beberapa potensi menarik seperti adegan balap dan mobil-mobil mewah yang tabrak sana-sini menjadi sia-sia karena cerita yang singkat dijadikan terlalu bertele-tele dan memenuhi durasi. Tunggu saja hasil box office dari Need For Speed, jika berhasil mari lihat film ini akan menjadi satu franchise baru. 
 

Need For Speed dirilis dalam format tiga dimensi dengan hasil konversi. Mungkin untuk memberikan sensasi permainan virtual yang biasa dimainkan. Berikut rekap efek tiga dimensi film ini.

DEPTH 
Tidak ada kedalaman yang begitu signifikan. Hampir tidak terasa malah jika Need For Speed disaksikan dalam format 3D.

POP OUT 
Begitupun dengan efek pop-outyang juga sangat minim. Mungkin beberapa adegan kaca pecah, asap, dedaunan, dan lain-lain. Tetapi itu hanya sedikit dari panjangnya durasi dari film ini.
 
Overall, Need For Speed cukup disaksikan dalam format dua dimensi. Terlebih, bagaimana kecerahan film ini yang akan membuat penonton yang tidak biasa dengan format tiga dimensi akan semakin tidak nyaman. Dengan depthdan pop-out yang tidak terlalu signifikan dan anda masih penasaran dengan film ini, format dua dimensi saja sudah cukup.
ads