Kamis, 28 Agustus 2014

LUCY (2014) REVIEW : SHE’S (NOT) REALLY HIT THE 100 % CAPACITY

Mungkin jarang yang tahu siapa itu Luc Besson, bukan? Bagaimana jika disebutkan beberapa film seperti Transporter, 3 Days To Kill, dan Take... thumbnail 1 summary

Mungkin jarang yang tahu siapa itu Luc Besson, bukan? Bagaimana jika disebutkan beberapa film seperti Transporter, 3 Days To Kill, dan Taken? Ya, nama Luc Besson memang sudah tidak asing lagi di film-film aksi spionase. Pria asal perancis ini mungkin lebih banyak mengambil andil dalam menuliskan setiap adegan lewat naskah. Pun dia juga pernah mengarahkan filmnya sendiri dan pernah menyapa penontonnya di tahun lalu lewat Malavita atau The Family.
 
Kali ini, sineas perancis ini kembali menyapa penontonnya. Dengan didistribusikan oleh Universal Pictures, Luc Besson mengajak aktris cantik Scarlett Johansson di film terbarunya. Terlalu lama berkutat dengan film spionase, Luc Besson menjajal genre baru yaitu Science Fiction. Sineas asal perancis, Luc Besson mendapat kesempatan untuk mengarahkan dan menulis sendiri film terbarunya dengan judul Lucy. 


Apa yang ditawarkan oleh Lucy sebagai film science fiction? Dimulai saat Lucy (Scarlett Johansson) diberi perintah oleh sang cinta satu malamnya untuk mengantarkan koper kepada Mr. Jang (Choi-Min Sik). Pada awalnya, Lucy tidak mau hingga akhirnya Lucy terpaksa mengantarkannya ke MR. Jang karena tangan Lucy terkunci dengan koper yang harus diantar. Lucy pun berusaha menemui Mr. Jang agar bisa melepaskan diri dari koper tersebut.

Na’as, bertemunya Lucy dengan Mr. Jang malah merubah kehidupan Lucy. Mr. Jang adalah gangster yang melakukan transaksi narkoba versi terbaru, CPH4 yang harus dikirim ke berbagai belahan dunia. Lucy dijadikan seorang kurir yang mengantarkan paket CPH4 di dalam perutnya. Suatu ketika, paket berisi CPH4 di dalam perutnya ini bocor dan meracuni organ tubuhnya. Tak disangka, CPH4 mengubah Lucy sehingga bisa menggunakan kemampuan otaknya hingga 100 persen. 


Risky way to talk about human.

Setelah lama terus berkutat pada proyek-proyek film spionase, Luc Besson menjajal genre Science Fiction yang bisa menjadi bumerang bagi dirinya. Lucy memang memiliki tidak menawarkan hal baru untuk film ini. Sebuah obat sintetis buatan baru yang merubah kegunaan organ tubuh manusia yang sudah pernah digunakan di film Limitless. Tetapi, sesuatu berbeda digunakan oleh Luc Besson dalam presentasi di film Lucy kali ini.

Apa yang berbeda? Ya, penggunaan narasi untuk memaparkan setiap adegan film Lucy inilah yang berbeda. Mungkin, Luc Besson menginginkan sesuatu eksperimental namun tetap mempertahankan gaya khas Luc Besson dalam film-film spionase-nya seperti biasa. Ditilik dari bagaimana Lucy ini memaparkan proses evolusi manusia bisa dibilang mencomot atau berkiblat pada film milik Stanley Kubrick's 2001 : A Space Odyssey (dan memang Luc Besson terinspirasi dari film tersebut) bertemu dengan Terrence Malick's The Tree of Life.

Menawarkan beberapa lambang atau pun simbol metaforik yang menuntun penonton ke dalam 89 menit tentang Lucy dan perubahannya. Visual layaknya sel-sel, proses terbentuknya bumi, zaman pra-histori yang bisa dibilang berada di luar konteks film Lucy sendiri menemani penonton untuk menangkap sendiri makna dari narasi Luc Besson yang tidak seperti biasanya. Sangat mengejutkan terlebih film Lucy ini sendiri masih dipromosikan sebagai film science fiction mainstream untuk menarik penonton. 


Lucy bisa dibilang adalah sebuah film yang eksperimental bagi Luc Besson. Mungkin di film ini, sineas asal perancis ini berusaha untuk keluar dari zona nyamannya untuk menyajikan sebuah film science fiction yang juga masih penuh dengan signature ala dirinya tetapi dengan penuturan metaforik yang merupakan hal yang baru baginya which is good but there’s something bad happened too in this movie. Ya, sesuatu yang cukup riskan untuk memaparkan narasi film Lucy dengan cara yang berbeda ini karena akan membuat penontonnya terbelah ke dalam dua kubu yang berbeda. Di mana akan ada penonton yang menyukainya dan ada penonton yang akan sangat membenci film Lucy.

Tetapi Lucy bukan berarti suatu film metaforik masterpiece dengan unsur fiksi ilmiah layaknya 2001 : A Space Odyssey. Lucy masih memiliki banyak keterbatasan yang harusnya bisa diolah ulang agar lebih baik. Film ini terkesan ambisius untuk memaparkan narasinya yang absurd itu dengan fast pace non-stop action yang menarik penonton awam. Akhirnya, film ini seperti memiliki dua babak yang berdiri sendiri dan mencoba untuk dipersatukan tetapi masih ada dinding yang membatasi hal tersebut. 


Untuk sebuah film science fiction pun, konsentrasi Luc Besson masih tidak bisa terfokus dan meninggalkan signature-nya. Akhirnya, Lucy pun not stay on the science fiction track tetapi menjadi film aksi non-stop di segmen kedua filmnya. Kesan ambisiusnya untuk mencoba keluar dari zona nyamannya pun terlalu berlebihan. Ya ada baiknya untuk Luc Besson, akhirnya dia berkonsentrasi di bagian cerita agar berjalan seimbang. Tetapi, hal tersebut malah membuat Luc Besson tersesat dan tidak tahu bagaimana caranya untuk membawa cerita menarik ini berakhir. 


Ending film bisa dibilang hampa dan tidak memiliki pengertian yang cukup jelas. Sepertinya Luc Besson memang sengaja untuk memberikan sebuah ending yang hampa tersebut tanpa penjelasan yang cukup agar penonton bisa berinterpretasi sendiri dengan adegan tersebut. Beberapa akan menyebut ending tersebut menggelikan meskipun 10 menit akhir adalah sebuah perjalanan evolusi yang cukup memiliki arti lambang yang cukup dalam. 


Seperti halnya karakter Lucy di film ini yang tak sengaja menjadi kelinci percobaan dari obat sintetis CPH4, film arahan Luc Besson ini pun bernasib sama. Ini sesuatu eksperimental karya Luc Besson yang mencoba keluar dari zona nyamannya. Menarik jika disimak ketika filosofi penggunaan otak manusia hingga proses evolusi yang ditampilkan secara metaforik dan di-blend dengan non-stop fast paced action ala Luc Besson. Meskipun terlalu over the top dan penanganan yang masih mediocre, Lucy belum bisa menjadi masterpiece tetapi ini adalah sebuah film science fiction yang sayang untuk dilewatkan. 

Jumat, 22 Agustus 2014

GUARDIANS OF THE GALAXY (2014) REVIEW : ROCK N ROLL SPACE ADVENTURE [WITH 3D REVIEW]

Setelah pada bulan Maret lalu, Captain America : The Winter Soldier berhasil menjalankan pionnya dalam menuntun Marvel Cinematic Universe ph... thumbnail 1 summary

Setelah pada bulan Maret lalu, Captain America : The Winter Soldier berhasil menjalankan pionnya dalam menuntun Marvel Cinematic Universe phase 2. Maka, tibalah perjalanan Marvel Studios dalam Marvel Cinematic Universe phase 2 kali ini diujung pemberhentiannya. Penutup tentu akan berada pada Avengers : Age of Ultron yang menjadi juru kunci sebagai Marvel Cinematic Universe Phase 2 di mana para superhero akan mulai ber-assemble menumpas kejahatan.

Sebelum perjalanan mereka akhirnya berada pada garis finish, akan dipermanis terlebih dahulu oleh film yang diarahkan oleh James Gunn, Guardians of the Galaxy. Feature film pertama dari sekumpulan superhero ini memang terdengar asing bagi penonton yang hanya mengikuti superhero Marvel lewat film saja. Tetapi bagi yang sudah menonton Thor : The Dark World, tentu Guardians of the Galaxy sudah menjadi salah satu film yang ditunggu karena clue tersebut muncul di bagian end credits film Thor : The Dark World. 


Lantas, siapa sebenarnya para penjaga tata surya ini sebenarnya? Para penjahat yang ter-assemble jadi satu yang terdiri dari Peter Quill (Chris Pratt) yang lebih terkenal dengan nama Star-Lord. Dengan profesinya sebagai pencuri, misinya kali ini adalah mencuri sebuah Orb yang sedang diburu banyak orang. Termasuk Ronan (Lee Pace), kaki tangan dari Thanos. Setelah mengetahui bahwa sang Orb itu di curi oleh Star-Lord, maka Gamora (Zoe Saldana) bersedia menjadi relawan untuk mencurinya dari tangan Star-Lord.

Tentu, Star-Lord juga menjadi buronan semua orang termasuk Rocket Raccoon (Bradley Cooper) yang memburu Star-Lord dengan iming-iming uang. Mereka pun bertarung satu sama lain dan sayangnya malah membuat mereka masuk ke dalam penjara karena track record kejahatan mereka. Mereka berempat bersama Groot (Vin Diesel) dan Drax (Dave Bautista) berusaha untuk kabur dari sel tersebut dan menjual Orb itu kepada The Collector (Benico Del Toro) agar mendapat imbalan. Tetapi, suatu hal terjadi ketika mereka tahu bahwa Orb tersebut berbahaya dan akan menghancurkan sistem tata surya.


Super fun space adventure with astonishing visual.

Bagaimana bisa seorang penjahat bisa dikatakan sebagai superhero pembasmi kejahatan? Well, beberapa hal itu adalah sesuatu yang eksperimental tetapi juga bisa sebagai formula yang sudah tidak asing lagi di dunia Hollywood. Dan itulah yang terjadi di film yang diangkat dari komik milik Marvel, Guardians of the Galaxy yang diarahkan oleh James Gunn. Guardians of the Galaxy tak hanya terdiri dari satu penjahat tetapi, banyak penjahat yang tergabung dalam satu tim.

Tetapi, treatment yang dilakukan oleh Guardians of the Galaxy ini masih memiliki template yang sama dengan film-film superhero ala Marvel lainnya. Hanya saja, latar belakang para karakter di film ini memiliki dasar sifat kriminal dan pemberontak yang tentu jauh dari citra superhero yang biasanya digambarkan memiliki sifat wibawa dan berhati manis. Dan dengan arahan yang sangat baik dari James Gunn, Guardians of the Galaxy berhasil menjadi sebuah film superhero yang groundbreaking dan sangat menyenangkan untuk diikuti.

Tentu tak mudah mengarahkan sebuah film yang memiliki karakter utama yang banyak di sebuah film. Toh, The Avengers pun memutuskan untuk memberikan beberapa spin-off dari para superhero yang tergabung di Avengers Assemble agar tidak kacau di film utamanya. James Gunn tentu mengemban tugas yang sangat berat untuk menjelaskan satu-satu siapa itu Peter Quill, Gamora, Rocket Raccoon, Drax dan Groot di film superhero berdurasi 120 menit ini.


Semua penjelasan siapa itu para penjahat yang tergabung di Guardians of the Galaxy mungkin tidak sampai akarnya. Tentu James Gunn dan kru tahu batasan seperti apa untuk menjelaskan cerita pendukung dari karakter-karakter di Guardians of the Galaxy agar tidak terkesan one dimensional character. Semuanya dirangkum dengan dialog-dialog yang cukup informatif dan dengan tempo penceritaan yang teratur. Tidak semua diceritakan dengan tergesa-gesa demi sajian pertarungan visual effect dan ledakan tanpa henti di second act hingga final act.

Marvel Studios yang diproduseri oleh Kevin Feige ini tahu bagaimana untuk membuat sebuah film megah yang tentu tidak melupakan apa yang penting di dalam sebuah film yaitu Cerita. Jelas, film Marvel Studios tidak mau hanya dikatakan sebagai film dengan visual effect megah dengan kualitas cerita murahan (seperti Michael Bay). Guardians of the Galaxy pun memiliki porsi seimbang sehingga cerita dan visual effect megah yang disajikan akan berjalan selaras dan dengan mudah membekas di pikiran penontonnya hingga berhari-hari. Yang jelas masih ada heartfelt momennya yang ter-capture indah dan memainkan emosi penontonnya. 


Pun berhasil merangkum cerita yang sesungguhnya sungguh banyak untuk dituangkan dengan 120 menit yang sangat efektif tanpa ada kesan draggy dan dipanjang-panjangkan yang malah membuat penonton pegal. (Yeah, I see you Transformers : Age of Extinction). Guardians of the Galaxy masih memiliki setiap visualnya yang megah dan elegan. Kecantikan gambarnya tertangkap dengan sangat baik didukung dengan kamera IMAX. Meskipun tak menontonnya di versi IMAX, keindahan gambar tersebut masih dapat dinikmati jelas oleh penontonnya.

Sebenarnya, Guardians of the Galaxy memiliki potensi menjadi sebuah sajian yang sangat menjemukan untuk diikuti. Tetapi di tangan James Gunn, hal tersebut malah berubah menjadi ladang emas yang menggiurkan. Segala cibiran skeptis tentang Guardians of the Galaxy berhasil dipatahkan. Guardians of the Galaxy diubahnya menjadi sebuah petualangan di luar angkasa yang memiliki dosis ‘fun’ yang sangat tinggi dan sangat ‘rock n roll’. 


Sense of humor milik Guardians of the Galaxy ini tentu sangat menarik dan berhasil dituangkan ke film ini. Tentu, tak lepas dari tangan hangat milik James Gunn yang berhasil menginterpretasikan komedinya yang renyah dari skenario yang dia tulis dengan Nicole Perlman kepada para karakter di film ini. Yap, karakter yang super nyeleneh di film ini menjadi sebuah kekuatan sendiri dari film Guardians of the Galaxy yang akhirnya membuat film sangat nikmat untuk diikuti hingga menit akhir. Bahkan setelah credit film ini muncul pun, masih ada rasa adiktif yang membuat penonton menginginkannya lagi.

Dengan karakter yang memiliki kepribadian bad-ass ini diperkuat dengan jajaran soundtrack yang mengiringi setiap menit dari Guardians of the Galaxy. Music Director dari film ini memiliki sense of music yang cemerlang. Playlist di film ini diisi dengan lagu-lagu dari tahun 80-an yang akhirnya membuat lagu tersebut terngiang dan didengarkan lagi oleh penonton di masa sekarang. And voila, Guardians of the Galaxy pun benar-benar memiliki nuansa ‘rock n roll’ yang sangat kental. 


Dan sekali lagi, Marvel membuktikan ke-digdayaannya untuk memberikan sebuah film dengan kualitas dan kuantitas yang cemerlang. Guardians of the Galaxy dengan mudah melenggang menjadi salah satu film Superhero milik Marvel yang memorable sejajar dengan Iron Man, Captain America : The Winter Soldier dan bahkan The Avengers. James Gunn sangat tahu bagaimana mengolah superhero yang asing di telinga penontonnya menjadi salah satu film yang memorable tahun ini. This is so frickin cool, man !

Seperti film-film Marvel sebelumnya, Guardians of the Galaxy pun di rilis dalam format 3D (Bahkan IMAX 3D). Berikut penilaiannya.

DEPTH
 

Sangat mengagumkan. Kedalaman film ini jika disaksikan dalam format 3D begitu hidup dan tampak nyata.

POP OUT
Tak cukup banyak, tetapi sangat menghibur penontonnya ketika efek Pop-Out film ini muncul di film.

SO YES! Watch Guardians of the Galaxy in 3D Format or you will lose everything. Bahkan, sangat disarankan untuk menonton ini di dalam format IMAX  karena akan banyak keindahan yang sepertinya dibatasi ketika menontonnya dalam format digital 3D.

Senin, 18 Agustus 2014

THE EXPENDABLES 3 (2014) REVIEW : THE (WRINKLED) MUSCLE’S SHOW

Sylvester Stallone memang berhasil dalam mengumpulkan para aktor laga dan melakukan sedikit nostalgia-nya di sebuah film. The Expendables m... thumbnail 1 summary

Sylvester Stallone memang berhasil dalam mengumpulkan para aktor laga dan melakukan sedikit nostalgia-nya di sebuah film. The Expendables menjadi satu proyek yang akan dipenuhi oleh para aktor film laga berbadan gempal meskipun para aktor sudah tidak muda lagi. Sayang, seri pertama dari film penuh otot ini harus menuai kritik negatif dari para kritikus film. Sylvester Stallone pun menyerahkan kursi sutradara kepada Simon West yang secara mengagetkan memberikan dosis Fun yang menyegarkan film aksi ini.

Maka, Sylvester Stallone pun memanggil sebanyak mungkin aktor-aktor legendaris di film ketiganya ini. Dan kali ini, kursi sutradara jatuh kepada Patrick Hughes yang juga akan mengarahkan remake dari film aksi dengan martial art milik Indonesia, The Raid. Tentu, Sylvester Stallone tidak membiarkan anak bawang pada dunia perfilman ini sendirian. Karena masih ada campur tangan Sylvester Stallone untuk seri ketiganya kali ini. 


The Expendables 3 di mulai ketika Barney Ross (Sylvester Stallone), Lee (Jason Statham), Gunner (Dolph Lundgren), dan Toll (Randy Couture) menyelamatkan Doc (Wesley Snipes) yang menjadi tahanan dan mengajaknya bergabung dengan The Expendables. Mereka pun mendapatkan misi untuk menangkap seorang penjual senjata dengan nama samaran. Sesaat ketika diketahui, penjahat itu adalah Conrad Stonebanks (Mel Gibson), teman Barney Ross.

Barney Ross pun mencoba segala cara untuk menangkap Conrad hingga akhirnya harus melukai anggota dari The Expendables. Hal tersebut membuat Barney Ross terpukul dan mengakhiri The Expendables untuk mencari tim baru karena dia sudah tidak mau melukai teman-teman mereka yang sudah dianggap keluarga. Dengan tim baru, Barney Ross mencoba untuk menangkap Conrad Stonebanks. 


The Suppermasive with Nothing.

Sudah dua kali Sylvester Stallone dan teman-temannya mendapat kesempatan untuk ‘reuni’ di sebuah film laga. Setelah kesuksesannya menghibur para penontonnya di seri kedua, tentu film ini akan berlanjut di seri-seri berikutnya. Dan menunggu waktu hingga Sylvester Stallone dan tim akan lelah untuk mengembangkan ide cerita seperti apa lagi yang akan membuat penontonnya masih minat menonton film penuh laki-laki berotot besar ini.

Yang jelas, Hollywood tidak akan kehabisan ide bagaimana mempromosikan film The Expendables ini agar awet sebagai franchise film aksi. Ya, tentu daya tarik seri-seri ini adalah aktor-aktor lama yang legendaris dengan tujuan bernostalgia menonton aksi mereka di layar lebar –di action genre film, khususnya. Dan hal itu terjadi di The Expendables 3, di mana banyak sekali aktor-aktor laga legendaris kembali menunjukkan sinarnya untuk beradu akting kembali meskipun, kerutan di wajah mereka tidak menutupi usia mereka yang sudah tidak muda lagi.

Tentu, The Expendables 3 akan mampu menarik penontonnya untuk menyaksikan para aktor-aktor tua berada di satu frame film. Sayangnya, The Expendables 3 tidak mampu untuk memikat penontonnya dengan aksi penuh adrenalin yang memikat. The Expendables 3 mungkin terasa lebih kelam jika dibandingkan dengan dua seri sebelumnya. Ya, film ini memiliki tutur cerita yang lebih personal untuk karakter Barney Ross. 


Alih-alih untuk memberikan tutur cerita dan pendalaman karakter yang lebih, tetapi kurang bisa memberikan relation yang baik antara karakter dengan penontonnya. Arahan milik Patrick Hughes ini pun masih dikategorikan dalam kategori lemah. The Expendables 3 pun penuh dengan ledakan tetapi sayang ada sesuatu yang kurang saat adegan ledakan itu tersaji untuk menyenangkan para penontonnya. Kurang ada rasa ‘senang-senang’ yang ada di film keduanya.

Suspense dalam adegan aksi itu pun tidak ada. Sehingga, 120 menit film ini hanya dipenuhi dengan kebisingan, ledakan, dan api tipe film kelas B yang tidak ada rasa spesialnya sama sekali. Mungkin para penonton berumur akan merasakan referensi dari film-film aksi para aktor di film ini tetapi hal tersebut kurang terolah baik sehingga menjadi efek minor dalam action sequences-nya. Tidak layaknya seri kedua yang memiliki suspense dan unsur fun dengan dosis tinggi dengan referensi film-film para aktor yang terlibat di film ini sebagai pemanis. 


Pun terasa bahwa The Expendables 3 masih terasa episodik. Di seri ketiga ini terlihat bahwa tim penulis naskah ini menginginkan gabungan antara dua seri The Expendables sebelumnya bahkan ingin terlihat lebih baik dari dua seri sebelumnya. Unsur ‘serius’ yang menjadi trademark di seri sebelumnya ada di seri ini tetapi, juga tidak mau meninggalkan unsur ‘fun’ yang menjadi kelebihan dari seri keduanya. Semua di-push menjadi satu di film ketiganya dengan arahan yang minim oleh sang sutradara sehingga semuanya terasa begitu episodik dan beberapa akan hit and miss.

Sylvester Stallone pun mencoba untuk menggabungkan old-school action dengan espionage action yang akhirnya malah melunturkan jati diri The Expendables yang biasanya mengangkat rasa old-school film ini. Ya, mungkin Sylvester Stallone ingin melakukan inovasi agar filmnya ini memiliki cita rasa masa kini terlebih dengan adanya beberapa karakter dengan aktor-aktris muda. Sayangnya, kesan karakter berjiwa muda ini masih kurang memilik gaungnya ketimbang geng yang lebih tua. 


Sudah saatnya untuk Sylvester Stallone memberikan inovasi selain para aktor laga legendaris yang ter-assemble di dalam satu frame film. Karena, The Expendables 3 hanyalah penuh ledakan yang supermassive yang tak berarti dengan arahan minimalis milik Patrick Hughes. Mereka masih ingin bersenang-senang seperti remaja meskipun usia mereka tidak muda lagi. Dengan menjajarkan mereka dengan aktor-aktris muda baru tetapi hal tersebut tidak bisa memperkuat The Expendables 3 menjadi tontonan yang memikat hingga akhir. Well, This is just The Wrinkled-Muscle’s Show.  

Sabtu, 09 Agustus 2014

TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES (2014) REVIEW : BAY-ISM TALKING REPTILE [WITH 3D REVIEW]

Satu persatu ‘teman-teman’ semasa kecil mulai diangkat kembali. Memberikan kembali sinar kepada mereka karakter-karakter yang sudah mulai me... thumbnail 1 summary

Satu persatu ‘teman-teman’semasa kecil mulai diangkat kembali. Memberikan kembali sinar kepada mereka karakter-karakter yang sudah mulai meredup tetapi setia menemani perjalanan hidup anak-anak pada masa itu. Banyak sekali karakter-karakter di masa itu dikenalkan kembali di masa sekarang hanya untuk sekedar dikenalkan pada generasi baru di masa ini atau hanya memberikan efek nostalgia dengan karakter-karakter tersebut.

Kali ini giliran para kura-kura mutasi yang jago bermain ninjutsu di dalam film Teenage Mutant Ninja Turtles kembali diberikan kesempatan sekali lagi lewat film layar lebar live action. Setelah sempet pernah ada beberapa tahun silam karakter ini kembali lewat film layar lebar  tetapi dalam versi animasi. Michael Bay duduk di kursi produser dan Jonathan Liebesman sebagai kaki tangannya untuk mengarahkan para kura-kura ninja ini. 


Teenage Mutant Ninja Turtles pun me-restart cerita di mana perusahaan Sacks yang hancur lebur karena kebakaran. Kehancuran perusahaan milik Eric Sacks (William Ficthner) ini adalah ulah foot clan yang mencoba mencuri serum yang disuntikkan kepada empat kura-kura bernama Leonardo, Raphael, Micheangello, dan Donatello.

Beberapa tahun berikutnya, April O’neil (Megan Fox) seorang jurnalis dari Channel 6 berusaha untuk mencari tahu kasus-kasus milik Foot Clan. Hingga suatu saat, April memergoki Foot Clan sedang menjalankan misinya dalam melakukan kejahatan. Hal tersebut membawa April O’neil bertemua dengan kura-kura yang termutasi tersebut. Mereka tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang dapat menyelamatkan New York dari kejahatan Shredder (Tohoru Masamune). 


Bay’s talking reptile pet.

Teenage Mutant Ninja Turtles is back. Tetapi, lampu kuning masih menyala ketika film ini ternyata diolah oleh Michael Bay. Ya, meskipun Michael Bay duduk di kursi produser untuk proyek ini rasa was-was juga masih menghantui hasil dari film ini. Dan cukup ditakutkan lagi oleh tangan yang mengarahkan Teenage Mutant Ninja Turtles ini adalah Jonathan Liebesman yang gagal dalam mengarahkan Battle : Los Angeles.

Jonathan Liebesman tentu harus melakukan banyak hal agar membangun reputasi yang baik dan bisa jadi Teenage Mutant Ninja Turles bisa dijadikan batu loncatannya baginya. Tetapi, kesempatan itu belum juga digunakan dengan baik oleh sang sutradara. Alih-alih digunakan batu loncatan, Teenage Mutant Ninja Turtles hanyalah replika dari kegagalan Battle : Los Angeles miliknya dengan gaya yang lebih stylish dan pusing ala-ala Michael Bay untuk film Transformersmiliknya. 


Opening film ini digunakan untuk menjelaskan kronologi cerita yang bisa dibilang cukup singkat. Ya, Jonathan Liebesman tak perlu banyak basa-basi terhadap sosok Teenage Mutant Ninja Turtles. Segala cerita berjalan cepat dengan naskah yang mediocre. Naskah yang ditulis ramai-ramai oleh Josh Appelbaum, Andre Nemec, dan juga Evan Daugherty ini pun mencoba untuk terlihat fun dan lincah layaknya tingkah laku para kura-kura di film ini. Sayangnya, arahan dari Jonathan Liebesman yang masih belum kuat sehingga tidak ada nyawa untuk filmnya.

Para penulis naskah sudah susah-susah memberikan banyak sekali referensi pop culture amerika terlebih tentang film supaya Teenage Mutant Ninja Turtles bisa mengajak penontonnya tertawa riuh saat menontonnya. Potensi terkuat yang dimiliki oleh Teenage Mutant Ninja Turtles yang setidaknya bisa membuat film ini menghibur pun tidak diindahkan oleh Jonathan Liebesman. Jokes cerdas itu terasa sia-sia dibuat dengan arahan Jonathan Liebesman yang ala kadarnya. Begitu pun dengan beberapa jokes slapstick murahan yang tidak malah membuat penontonnya tersenyum. 


Kesalahan lain dari Teenage Mutant Ninja Turtles adalah memaksakan setiap tribute dari seri kartun, live action pada jamannya waktu itu untuk ada di film ini. Trademark yang sudah melekat pada karakter kura-kura ninja ini pun terpaksa ada agar memberikan efek nostalgia bagi penontonnya. Mungkin akan tepat sasaran untuk para penggemarnya, tetapi untuk orang yang tidak mengikuti karakter ini semua akan datang secara tiba-tiba. Bukan untuk dikenang lagi sehingga para penonton awam juga akan ikut mengingat trademark dari karakter kura-kura ninja ini.

Lalu, apa yang diharapkan di dalam Teenage Mutant Ninja Turtles? Cerita? Bukan. Poin cerita untuk film ini adalah bagian terburuk dari filmnya. Dari durasinya yang sepanjang 100 menit ini, cerita bukanlah hal yang penting untuk ditilik lebih dalam. Plot pun setipis kertas, mungkin dalam durasi sekitar 45 menit semua cerita berhasil disampaikan. Cerita hanyalah sebagai pemanis untuk film ini, berada di barisan paling belakang tanpa ada penanganan yang cukup baik. Maka, tentu penonton akan tahu ke mana sisa durasi itu akan menuju. 


Ya, sisanya durasi tentu digunakan sebagai action sequences dengan penuh CGI yang terlalu panjang sehingga tidak bisa menemukan unsur yang fun di dalamnya. Lihat, siapa yang berada di kursi produser di film ini. Tentu, action sequences untuk film ini pun disajikan ala Michael Bay. Akan banyak sekali ditemukan trademark milik Michael Bay di film ini.

Ledakan dan hancurnya kota yang juga masih menggunakan gaya milik Michael Bay. . Dengan beberapa trademark milik Michael Bay yang digunakan di film ini, membuat Teenage Mutant Ninja Turtles tidak memiliki hal yang baru. Everything in this movie was been-there done-there and without some innovation. Dan, tidak ada sedikitpun serpihan-serpihan kota hancur yang berhasil memporak porandakan make-up tebal milik Megan Fox.



  
Tentu, Teenage Mutant Ninja Turtles adalah perjalanan yang cukup melelahkan. Bukan hanya dalam segi cerita, tetapi juga dengan action sequences-nya yang juga terlalu banyak CGI yang akan memusingkan mata pun terlalu panjang. Akhirnya, Teenage Mutant Ninja Turtles akan menjadi tontonan yang cukup menyakitkan untuk ditonton. Well, called this Transformers in talking reptile version. Because there is nothing more than that. Duh!

Teenage Mutant Ninja Turtles pun hadir menyapa penontonnya dalam format 3D. Berikut adalah review dari efek 3D film ini.

POP OUT
Cukup memberikan efek pop out yang asik untuk menyapa penontonnya. Meskipun tak seberapa banyak tetapi cukup asik

DEPTH
Kedalaman yang cukup bagus untuk format 3D-nya. Memaksimalkan setting film ini.
 
Jika efek minor terjadi pada keseluruhan isi dalam film Teenage Mutant Ninja Turtles. Maka, efek 3D dalam film ini akan cukup memberikan sensasi menyenangkan. Ya, Teenage Mutant Ninja Turtles tentu harus disaksikan dalam format 3D.
ads