Senin, 16 Februari 2015

KINGSMAN : THE SECRET SERVICE (2015) REVIEW : Suit Up and Ready for The Mission

Agen rahasia, pistol, dan misi adalah segelintir formula yang digunakan oleh beberap film genre spionase. James Bond 007 adalah sosok ikonik... thumbnail 1 summary

Agen rahasia, pistol, dan misi adalah segelintir formula yang digunakan oleh beberap film genre spionase. James Bond 007 adalah sosok ikonik dan masih terus dinantikan setiap filmnya. Juga, franchise dari film Mission Impossible yang menggunakan formula yang sama dan tetap melanjutkan serinya meski tak sebanyak film Bond. Beberapa film spionase pun dibuat setidaknya untuk mengekor kesuksesan kedua film tersebut. Maka, hal ini juga menyerang Matthew Vaughn yang mencoba untuk menggarap sebuah film spionase.

Meskipun, Matthew Vaughn masih tak jauh-jauh dari zona amannya yaitu mengadaptasi komik ternama ke dalam layar lebar. Kick-Ass dan X-Men First Class adalah bukti bahwa Matthew Vaughn memiliki sepak terjang yang bagus dalam mengadaptasi sebuah komik. Tetap mengadaptasi komik milik Mark Miller, Kingsman : The Secret Service adalah adaptasi dari komik berjudul The Secret Service dan menjadi buku kedua dari Mark Miller yang diadaptasi oleh Matthew Vaughn. 


Kingsman : The Secret Service pada awalnya diperkirakan akan rilis pada bulan Oktober 2014. Kemunduran tanggal rilis ini mungkin menjadi sebuah bencana bagi film-film hollywood. Setelah banyak sekali film-film dua bulan ini yang juga mengalami pergantian slot tanggal rilis seperti Seventh Son dan Jupiter Ascending yang ternyata memiliki potensi flop dan konten yang buruk. Tetapi, Kingsman : The Secret Service berbeda, film arahan Matthew Vaughn ini memiliki konten yang sangat menyenangkan dan kuat.

Seorang pemuda badung bernama Eggsy (Taron Egerton) tiba-tiba diajak oleh Harry Hart untuk menjadi sebuah agen mata-mata. Kingsman adalah tempat para mata-mata di kota London berkumpul dan mendapatkan misi mereka. Tetapi, Eggsy harus melewati berbagai macam tes agar bisa menjadi salah satu agen mata-mata di Kingsman. Serta, menggantikan seseorang yang sudah terbunuh saat melakukan tugas.

Agen yang terbunuh itu sedang melakukan tugas untuk menyelamatkan seseorang yang berhubungan dengan Valentine (Samuel L. Jackson), seorang pengusaha kaya yang sedang ingin menguasai dunia. Rencana jahat Valentine adalah membenamkan chip pengontrol pikiran di dalam sebuah sim card yang dibagikan gratis kepada seluruh orang di dunia. Harry Hart dan segala orang yang ada di dalam Kingsman berusaha untuk menghentikan rencana jahat Valentine. 


Menjalankan tugas menjadi seorang mata-mata bukanlah hal yang mudah. Begitupun dengan mengarahkan film-film bertema seperti ini. Jelas, film bertema spionase memiliki formula yang hampir sama dari satu film ke film lain. Hanya saja, bagaimana formula itu bisa dikembangkan lebih luas dan diolah dengan baik oleh sang sutradara. Matthew Vaughn adalah salah satu yang berhasil mengolah formula-formula usang ini lewat film adaptasinya.

Misi Matthew Vaughn adalah bagaimana menjadikan film spionase-nya menjadi film yang menyenangkan, tak terlalu serius tetapi juga tak kacangan. Dengan cita rasa yang dimilikinya, Kingsman : The Secret Service ini dijadikan menjadi sebuah spoof di dalam film spionase yang tetap padat dalam bertutur dan menyenangkan. Dengan pakaian bersetelan lengkap, tentu Kingsman : The Secret Service ini sangat siap menyelesaikan misinya dalam menghibur penontonnya.

Matthew Vaughn menjadikan Kingsman adalah perpaduan antara X-Men First Class dan Kick-Ass yang sama-sama digarap olehnya. Eksekusi Kingsman : The Secret Service ini berhasil sehingga bisa memberikan pengalaman menonton yang sangat lengkap. Mulai dari cerita yang mampu berjalan lancar, porsi aksi yang juga masih mendominasi, serta komedi-komedi renyah yang dapat membuat penontonnya tertawa. 


Matthew Vaughn memberikan dark comedy yang renyah dan tepat sasaran. Belum lagi diselipi adegan-adegan tribut ke beberapa film-film spionase seperti James Bond dan yang lainnya. Juga, adanya beberapa referensi pop culture yang diolah menjadi jokes yang menarik meskipun bagi penonton yang kurang memahami masih bisa menerima guyonan itu. Tetapi, akan lebih terasa menyenangkan jika penonton lebih mengetahui beberapa referensi budaya pop itu karena akan menambah tingkat keasyikannya.

Jika membicarakan film mata-mata, jangan lupakan alat-alat canggih yang digunakan saat melaksanakan tugas. Kingsman : The Secret Service pun tak lupa menyelipkan alat-alat canggih yang menyenangkan. Sesuai dengan tone cerita Kingsman : The Secret Service yang classy, alat-alat canggih itu diselipkan ke barang-barang yang tak terduga. Dengan berbabagai macam alat-alat canggih yang tak terduga itu, setelah selesai menonton, para penonton pasti akan mengidam-idamkan alat canggih di dalam film Kingsman : The Secret Service.

Baku hantam dan adu tembak di dalam film Kingsman : The Secret Service pun menjalankan tugasnya. Tak hanya sekedar tembak sana-sini dan berisik, lebih dari sekedar itu karena akan banyak sekali adegan-adegan kekerasan yang jatuhnya menyenangkan dan terkenang setelah keluar dari bioskop. Meskipun, ada 12 menit adegan di gereja yang harus dipotong oleh LSF dan katanya itu adalah bagian terbaik dari Kingsman : The Secret Service. Tetapi tak perlu bersedih karena masih ada banyak adegan aksi yang menyenangkan.


Kingsman : The Secret Service mungkin masih sedikit terbatas dalam bertutur. Karena subplot yang mungkin terlalu banyak. Alhasil, ada beberapa latar belakang karakter yang tidak sebegitu tuntas dalam bercerita dan hal itu terjadi pada karakter Harry Hart. Yah, mungkin ada sekedar cerita atau adegan formalitas untuk menjelaskan kenapa Harry melakukan itu. Tetapi, adegan tersebut hanya terjadi begitu singkat dan tak terlalu memberikan dampak signifikan terhadap apa yang dilakukan oleh Harry di dalam filmnya. 

Tetapi, Kingsman : The Secret Service tak perlu banyak bercerita yang terlalu rumit karena akan membuatnya menjadi terlalu serius. Matthew Vaughn berhasil memberikan sebuah paket lengkap di dalam film adaptasi komiknya ini. Saat menyaksikan film spionase ini, penonton mendapatkan segala apa yang mereka inginkan mulai dari cerita, adegan aksi, serta komedi renyah dengan balutan adegan gore yang menyenangkan dan memorable. Ya, Kingsman : The Secret Service akan dengan mudah menjadi favorit para penonton. 

Jumat, 13 Februari 2015

JUPITER ASCENDING (2015) REVIEW : An Empty Flying ‘Object’ [With 3D Review]

Otak di balik Matrix Trilogy dan Cloud Atlas kembali menghadirkan film bertema science fiction. Jupiter Ascending adalah proyek terbaru dar... thumbnail 1 summary

Otak di balik Matrix Trilogy dan Cloud Atlas kembali menghadirkan film bertema science fiction. Jupiter Ascending adalah proyek terbaru dari Wachowski bersaudara dengan bintang-bintang ternama. Channing Tatum dan Mila Kunis dipasangkan sebagai aktor dan aktris utama untuk menjalankan cerita Jupiter Ascending. Sayangnya, proyek terbaru dari Wachowski bersaudara ini sempat mengalami hambatan saat menentukan tanggal rilis.

Tak mau filmnya flop atau jatuh terlalu dalam, akhirnya Warner Bros memutuskan untuk memundurkan jadwal rilis dari film ini. Awalnya, Jupiter Ascending dijadwalkan rilis pada bulan September. Warner Bros seperti sudah tau konten dan potensi dari Jupiter Ascending tidak kuat, maka keputusan yang tepat untuk memundurkan tanggal rilis dari film milik The Wachowskis ini. Jupiter Ascending tak memiliki sesuatu yang menarik untuk diceritakan dan dinikmati oleh penontonnya. Jupiter Ascending tak lebih dari sebuah picisan dengan setting luar angkasa. 


Memiliki premis yang terlalu biasa, Jupiter Ascending tak lepas dari sebuah cerita pengantar tidur versi luar angkasa. The Wachowskis seperti memperbarui cerita dari negeri dongeng dan itu dimulai ketika Jupiter (Mila Kunis) adalah seorang dari keluarga yang awalnya tak terlalu memiliki hidup yang susah. Ketika ayahnya meninggal, Jupiter tinggal bersama saudaranya dengan anggota keluarga yang banyak. Jupiter bekerja untuk pamannya hanya sebagai asisten rumah tangga.

Ya, Jupiter mulai mengeluh kehidupannya yang mulai membosankan. Ketika dia berharap hidupnya lebih berwarna, maka keinginannya terkabul. Jupiter menyetujui permintaan saudaranya untuk menyumbangkan rahimnya ke seseorang. Tetapi, dia diselamatkan oleh Caine (Channing Tatum), seorang Splice atau manusia serigala karena hal tersebut hanyalah jebakan untuk membunuh Jupiter. Setelah diketahui, ternyata Jupiter adalah seorang ratu luar angkasa yang hidup di bumi. 


Ya, Jupiter Ascending seperti hanya membangun ulang dongeng-dongeng putri khayalan yang sudah ada dengan versi penuh visual effect. The Wachowskis memang masih bermain di genre-nya tetapi kemagisan tangan mereka sudah semakin pudar. Setelah Cloud Atlas yang filosofis dan ambisius, keputusannya untuk menangani kembali film bertema Matrix mungkin tak terlalu susah. Jupiter Ascending memang masih memiliki cita rasa ala The Wachowskis. Hanya saja ada yang berbeda dan itu adalah sebuah kabar buruk.

Layaknya planet-planet, bongkahan asteroid, dan masih banyak benda angkasa yang sedang mengapung di atmosfer, Jupiter Ascending pun benar-benar mengapung tak tahu arah di dalam 120 menitnya. Premisnya yang sebenarnya sederhana, setidaknya mampu menghibur penontonnya tanpa terlalu memasukkan beberapa subplot ambisius yang malah membuatnya amburadul. Banyak sekali subplot yang dimasukkan oleh The Wachowskis yang dimasukkan oleh mereka ke dalam naskah yang juga mereka tulis sendiri.

Jadinya, Jupiter Ascending memiliki tugas yang begitu banyak untuk mengantarkan cerita mereka yang malah jatuh setengah-setengah. Banyak sekali cerita-cerita yang belum tuntas dicerna oleh penontonnya, The Wachowskis malah memasukkan cerita lain yang juga harus dicerna. Perjalanannya dalam menuturkan cerita di dalam film ini sangat tertatih. Jupiter Ascending pun bukan perjalanan luar angkasa yang ringan dan menyenangkan.


Alih-alih ingin menjadi tontonan ringan, 120 menit milik Jupiter Ascending ini memiliki pace yang lamban dan terasa dipanjang-panjangkan. Diperburuk dengan presentasi editing yang malah membuat film ini terasa loncat sana-sini. Jelas, hal ini malah membingungkan penontonnya karena mereka masih belum secara tuntas mendapatkan informasi yang lengkap dari The Wachowskis. Segala subplot di dalam film ini pun terasa episodik dan bukan hal yang bagus karena The Wachowskis masih belum benar dalam menuturkan setiap ceritanya di setiap subplot-nya.

Dengan durasi 120 menit itu, seharusnya mendapatkan ruang yang cukup luas untuk mengolah cerita dan subplot-nya. Sayang, durasi itu tak dimanfaat dengan baik oleh The Wachowskis. Mereka pun lebih memikirkan menyelipkan action sequence dengan visual yang grande. Sayang, visual efek yang begitu besar dan sebenarnya memanjakan mata itu tak dapat menyelamatkan keseluruhan presentasi dari Jupiter Ascending yang monoton itu. Bahkan, adegan penuh visual efek itu pun kosong dan tak memiliki tensi yang menyenangkan.

Jupiter Ascending tak hanya mengapungkan cerita, efek, tetapi juga chemistry antara pemainnya. Oh ya, Mila Kunis dan Channing Tatum memang memiliki nama yang besar untuk menarik minat penontonnya dengan paras tampan dan cantik mereka. Sayang, tak ada ikatan yang kuat antara mereka. Semua terasa kosong bahkan kisah cinta mereka yang menjadi subplot lain dan cukup mendominasi cerita di film ini. Tak ada yang menggugah penontonnya untuk sekali pun memiliki simpati dengan karakter ini. 


Sehingga, nama-nama seperti Channing Tatum, Mila Kunis, dan seorang aktor pendatang baru, Eddie Redmayne hanya digunakan sebagai trik marketing atas lemahnya konten dari Jupiter Ascending. Tak ada yang bisa dijual selain visual efek yang mewah dan nama-nama besar yang memerankan seorang karakter di dalam filmnya. Semua potensi besar yang besar itu terasa transparan di mata The Wachowskis dan mereka tak bisa benar-benar memanfaatkannya.

Maka, Jupiter Ascending memang tak jauh menjadi sebuah tontonan picisan dengan visual efek yang megah. Sayangnya, visual efek megah dan nama-nama besar di dalamnya tak mampu menyelamatkan bagaimana The Wachowskis masih kurang memiliki kemampuan untuk bercerita. Jelas, Jupiter Ascending akan sangat mudah dilupakan setelah keluar dari studio. Karena presentasinya yang hanya bagaikan bongkahan besar planet Jupiter yang sedang mengapung di atmosfer yang masih kosong, belum berpenghuni. 


Dengan efek visual yang megah, tentu Jupiter Ascending dirilis dalam format tiga dimensi. Maka berikut adalah review format tiga dimensi film Jupiter Ascending.

Efek kedalaman luar biasa serasa penonton akan masuk ke dalam alam semesta milik Jupiter Ascending.

POP OUT
Mungkin hanya segelintir debris dan debu berhasil menyapa penontonnya lewat efek pop out di dalam format tiga dimensinya.
 
Melewatkan Jupiter Ascending dalam format tiga dimensi mungkin taka kan kehilangan momennya. Tetapi, kedalaman yang menarik itu setidaknya membuat Jupiter Ascending yang membosankan ini menjadi sedikit menyenangkan.

Selasa, 10 Februari 2015

NADA UNTUK ASA (2015) REVIEW : Tak Perlu Takut dalam Keterbatasan

HIV/Aids menjadi salah satu topik bahasan penyakit yang sering dibahas di dalam sebuah film. Beberapa film pernah mengangkat penyakit ini m... thumbnail 1 summary

HIV/Aids menjadi salah satu topik bahasan penyakit yang sering dibahas di dalam sebuah film. Beberapa film pernah mengangkat penyakit ini menjadi sebuah drama haru biru. Sayang, tak semua film bertemakan hal yang serupa mampu memberikan sebuah pengertian jelas tentang penyakit ganas ini. Semua masih terasa abu-abu dan menjadi sebuah film penyuluhan dengan metode yang sama antar satu film dengan film lainnya.

Seakan tak merasa jera, HIV/Aids kembali diangkat lagi ke dalam medium sebuah film. Kali ini giliran Charles Gozali yang berusaha mengangkat penyakit ganas ini menjadi sebuah drama kehidupan yang mencoba menginspirasi. Nada Untuk Asa yang digarap oleh sutradara Finding Srimulat ini memiliki potensi untuk menjadi film bertemakan sama tetapi dengan kemasan yang berbeda. Dibintangi oleh pemain-pemain handal seperti Acha Septriasa, Marsha Timothy, Wulan Guritno, dan Darius Sinathrya, maka film ini memiliki nilai lebih yang patut diperhitungkan. 


Lantas, apa yang berbeda dari Nada Untuk Asa? Tak ada yang berbeda dari cerita milik Nada Untuk Asa ini. Hanyalah kisah tentang dua orang wanita berbeda generasi yang sedang berjuang untuk hidup dengan penyakitnya. Nada (Marsha Timothy) mendapatkan penyakit ini dari Bobby (Irgi Fahreza), suaminya yang sudah berpulang. Bobby pada awalnya didiagnosa mengidap kanker paru-paru di saat-saat terakhir hidupnya. Tetapi, Gita (Nadila Ernesta) mencoba mencari tahu penyebab lebih kongkritnya. Nada merasa kaget atas penyakit yang ditularkan oleh suaminya ini. Dia merasa pesimis terhadap hidupnya.

Berbeda dengan Asa (Acha Septriasa), dari kecil sudah mengidap penyakit HIV dan harus terpaksa di-PHK oleh bosnya karena sang bos tahu dia mengidap HIV. Asa tetap menerima segala keputusan orang-orang dengan lapang dada. Asa tetap ceria menghadapi hari-harinya hingga akhirnya dia bertemu dengan Wisnu (Darius Sinathrya) di sebuah kafe. Wisnu mulai merasakan sesuatu yang berbeda dengan kepribadian Asa dan mereka selalu bersama-sama.

Kisah perjalanan Asa dan Nada dalam menghadapi penyakitnya inilah yang ditakutkan penontonnya untuk jatuh menjadi sajian penuh derai air mata yang berlebihan. Tak bisa disalahkan, karena penonton sudah terlalu sering ditawarkan film bertema sejenis yang digarap terlalu berlebihan. Tetapi, berbeda dengan Nada Untuk Asa milik Charles Gozali. Karena Nada Untuk Asa tak perlu didramatisir tapi mampu mengundang simpati penontonnya. 


Penonton akan dengan mudah masuk dan memiliki koneksi dengan karakter Nada dan Asa. Karena karakter-karakter yang terinspirasi dari sosok nyata yang diperankan oleh Aktris-aktrisnya ini berhasil memiliki nyawa yang sangat kuat. Tentu itu berkat performa gemilang dari Marsha Timothy dan Acha Septriasa. Meskipun setiap adegan akan tetap dihiasi oleh perang air mata antar karakternya, tetapi tak ada kesan berlebihan. Semua tampil apa adanya dan mampu mengoyak emosi penontonnya.

Marsha Timothy yang memerankan sosok Nada berhasil mengajak penontonnya merasakan kegetiran hidupnya karena musibah yang bertubi-tubi. Peran Nada ini adalah pencapaian luar biasa dari Marsha Timothy. Karena dengan karakternya yang begitu sederhana, Marsha Timothy menunjukkan kualitas akting yang maksimal. Begitu pun dengan Acha Septriasa yang menunjukkan pribadi karakter Asa yang kuat dan ceria. Dan jangan lupakan performa apik dari Wulan Guritno, meski terbatas running time, tapi berhasil mencuri perhatian penontonnya.

Kesederhanaan adalah kekuatan dari Nada Untuk Asa. Di atas sebuah kertas, mungkin Nada Untuk Asa tak memiliki sesuatu yang spesial. Dialog-dialog yang stereotip, penggambaran adegan yang masih sama antar satu film dengan yang lainnya. Tetapi, di tangan Charles Gozali, Nada Untuk Asa berhasil mendapatkan nyawa yang sangat kuat dan nyata. Tanpa adanya eksploitasi air mata dan kesedihan, Nada Untuk Asa tetap ampuh menjadi sebuah tearjerker film yang disajikan ke penontonnya. 


Meskipun, kesederhanaan pula yang menyebabkan Nada Untuk Asa bukan menjadi sesuatu yang sempurna. Masih ada minor di beberapa bagian yang membuat Nada Untuk Asa bergerak terbatas dalam menceritakan setiap narasinya. Juga, beberapa editing yang masih belum halus sehingga beberapa adegan akan terasa meloncat. Tetapi, dikuatkan lewat bagaimana Charles Gozali bertutur untuk menggerakkan pion karakternya yang menyenangkan.

Tertawa di atas derita, ungkapan yang pas untuk Nada Untuk Asa. Tetapi, ungkapan tersebut dikemas menjadi sesuatu yang menyenangkan dan berbeda. Film ini jelas menyampaikan sebuah pesan tentang keberanian untuk menjalani hidup. Meski terbatas oleh penyakit yang ganas, tetapi karakter Nada dan Asa akan merepresentasikan para wanita yang akan terus berjuang melewati hidupnya. Karena hidup tak selamanya tentang bangkit, tetapi akan ada satu poin di mana kita akan jatuh dan harus kembali bangkit lagi. 


Tak ada yang sempurna, Nada dan Asa adalah karakter wanita kuat yang harus jatuh karena penyakit yang dideritanya, begitu pula dengan film arahan Charles Gozali ini. Nada Untuk Asa jelas bukan presentasi sempurna. Tetapi lewat keterbatasan dan kesederhanaan itulah, Nada Untuk Asa berhasil mengeluarkan sinarnya dan dengan mudah mengundang simpati penontonnya. Karena sebuah keterbatasan bukanlah penghambat jika kita masih berani untuk menjalaninya. Nada Untuk Asa punya itu sebagai kelebihannya.

Senin, 09 Februari 2015

PROJECT ALMANAC (2015) REVIEW : Time Travel With Teenager’s Rules

Film bertema found footage atau mockumentary biasa digunakan untuk presentasi sebuah film horor. Tetapi, juga ada banyak genre-genre lain ya... thumbnail 1 summary

Film bertema found footage atau mockumentary biasa digunakan untuk presentasi sebuah film horor. Tetapi, juga ada banyak genre-genre lain yang menggunakan format ini untuk mengantarkan cerita film mereka. Untuk film bertema Science Fiction bisa dikenal lewat film Cloverfield dan yang paling baru adalah Chronicle arahan Josh Trank. Tema mockumentary semakin digemari dan menjanjikan di Industri perfilman Hollywood.

Keputusan ini pun digunakan oleh Dean Israelite untuk sebuah proyek film terbarunya. Project Almanac, yang pada awalnya berjudul Welcome To Yesterday ini menggunakan format mockumentary digabungkan dengan genre science fiction dan time travel. Film yang diproduseri oleh Michael Bay ini memiliki sebuah premis yang menarik untuk menarik minat penontonnya, meskipun jadwal tayangnya harus mundur sebulan dari yang dijadwalkan. 


Project Almanac ini menceritakan bagaimana seorang siswa Sekolah Menengah Atas bernama David Raskin (Jonny Weston) yang sedang mencari cara untuk mendapatkan beasiswa untuk biaya kuliah. Dia mengajukan beasiswa lewat karya-karya ilmiah buatannya yang mengagumkan. Sayangnya, biaya beasiswa itu tak sesuai harapannya. Ketika dia sedang termenung di atap rumahnya, dia menemukan video ulang tahunnya yang ketujuh dan menemukan kejanggalan. David yang sudah berusia 17 tahun menampakkan diri di video ulang tahun ketujuhnya.

David yang penasaran menunjukkan kepada adiknya, Christina Raskin (Virginia Gardner) dan ketiga temannya Jessie (Sofia Black-D’ella), Quinn (Sam Lerner), dan Adam (Allen Evangelista). Suatu ketika, David menemukan sebuah mesin milik ayahnya di gudang bawah tanah rumahnya. Mesin itu bertuliskan Project Almanac dan merupakan sebuah mesin waktu yang belum dirakit. David dan teman-temannya pun berusaha merakitnya dan melakukan perjalanan melewati ruang waktu. 


Perjalanan ruang waktu milik David dan teman-temannya ini adalah premis menarik yang digunakan oleh Dean Israelite dengan format mockumentary sebagai presentasinya. Alhasil, Project Almanac memang terasa berbeda dan sedikit lebih segar daripada tema-tema mockumentary yang lebih didominasi oleh genre horor. Di awal, Project Almanac masih terlihat berkiblat pada Chronicle milik Josh Trank untuk menjalankan latar belakang para karakternya.

Hanya saja, Project Almanac memiliki kesan lebih segar dan tidak segelap film milik Josh Trank. Unsur time travel itu menjadi sangat menarik dengan tambahan konflik kaum remaja sehingga Project Almanac seperti sebuah gabungan dari Project X dan Chronicle. Sebuah gabungan antara film dengan arahan yang baik dan arahan yang buruk, maka Project Almanac pun tak luput dari kekurangannya yang menghambat performa maksimalnya sebagai film time travel.

Ceroboh adalah sifat alamiah dari seorang remaja yang sedang mengalami transisi dalam perjalanan hidupnya. Dan hal tersebut mewakili film Project Almanac yang menggabungkan konflik-konfilk remaja di dalam filmnya. Maka, ceroboh adalah kata kunci dari film ini. Kecerobohan lah yang dapat menghambat performa maksimal dari Project Almanac. Penggunaan Time Travel di setiap film tentu harus hati-hati dan teliti. 


Kehati-hatian dan ketelitian itu perlu digunakan sebagai patokan agar film itu tidak memiliki sebuah lubang besar yang menganga lebar dan siap membuat penonton jatuh untuk menanyakan sesuatu setelah akhir film. Project Almanac memiliki kecerobohan untuk memasukkan ide-ide yang besar untuk semakin membuat film ini menarik. Sayangnya, Dean Israelite malah terlihat kewalahan untuk menangani ide-ide besar tersebut.

Perjalanan melewati ruang waktu sebagai konflik utama itu di paruh awal masih terlihat rapi. Tetapi, semakin bertambahnya durasi, film ini mulai tidak menunjukkan konsistensinya dalam menerangkan perjalanan lintas waktunya. Film arahan Dean Israelite ini pun akhirnya mengalami kemunduran di setiap menitnya. Bagaimana perjalanan lintas waktu dengan sebab-akibatnya itu menjadi bumerang tersendiri untuk Dean Israelite. Perjalanan itu pun serasa tak nyata dan tak masuk akal karena kurangnya penjelasan yang kongkrit di dalam naskahnya.

Tetapi beruntung, Project Almanac masih menyisakan kisah-kisah menarik yang dapat dipresentasikan meskipun unsur Time travel-nya terlalu berlebihan. Masih ada kisah-kisah menarik dari setiap karakternya yang dapat menyokong ide-ide gila nan besar milik Dean Israelite yang ditumpahkan lewat film terbarunya. Menggunakan aktor dan aktris tak terlalu memiliki nama pun tak masalah karena film-film seperti tak terlalu mempersalahkan hal itu. 


Menariknya lagi adalah bagaimana Project Almanac menggunakan format Mockumentary dengan rasa kekinian ala remaja. Editing yang lebih halus dari mockumentary kebanyakan dan penggunaan kamera go pro yang semakin menambah cita rasa berbeda dari Mockumentary milik Project Almanac ini. Pun, dengan iringan soundtrack yang juga menarik untuk disimak. Sehingga, Project Almanac tak memiliki rasa Mockumentary yang begitu statis.

Sebagai film dengan format Mockumentary, Project Almanac memberikan nafas segar di dalam genre-nya. Meski tak perlu dielakkan lagi bahwa ide-ide cerita perjalanan lintas waktu itu masih terlalu berlebihan dan ceroboh dalam pengarahannya. Tetapi, Project Almanac memiliki sisa-sisa kesenangan ala remaja yang patut untuk disimak. Ini seperti sebuah gabungan Project X dan Chronicle, seperti asam bertemu manis atau hitam bertemu putih.  Begitulah Project Almanac yang masih separuh bagus dan separuh buruk.

 

Jumat, 06 Februari 2015

WILD CARD (2015) REVIEW : Effortless Classic Taste

Sudah berapa banyak Jason Statham memiliki lakon penting di film-film action? Ya, lakonnya di beberapa film genre action ini selalu berhasil... thumbnail 1 summary

Sudah berapa banyak Jason Statham memiliki lakon penting di film-film action? Ya, lakonnya di beberapa film genre action ini selalu berhasil memenangkan hati penontonnya. Tentu, Jason Statham sangat ikonik dengan sosoknya yang maskulin dengan adegan penuh adrenaline. Segala jenis filmnya akan dengan mudah mendapatkan tanggal rilis waktu di Indonesia. Penonton akan percaya film apapun jika ada sosok Jason Statham di posternya.

Meskipun tak semua filmnya berhasil mendapat hati di penontonnya, tetapi penonton akan selalu mengulangi kesalahan yang sama untuk film-film milik Jason Statham. Mendengar Jason Statham kembali hadir di awal tahun 2015 ini tentu akan disambut baik oleh penonton. Jason Statham kembali lewat film Wild Card yang dibuat berdasarkan novel Heat milik William Goldman. Novel Heat pun pernah diangkat menjadi sebuah film di tahun 1986 dengan Burt Reynold sebagai lead actor-nya.

William Goldman masih ikut ambil bagian di film versi terbarunya ini dengan Simon West di bangku Sutradara. Mungkin, Wild Card adalah usaha untuk mengenalkan kembali film atau novel Heat di tahun 1980-an kepada penonton millenium ini. Sayangnya, meski William Goldman masih mengerjakan naskahnya, Simon West masih belum berhasil menjadikan film Wild Card sebagai karya dengan cita rasa klasik walaupun dia sudah sangat berusaha. 


Wild Card dimulai dengan mengenalkan sosok Nick Wild (Jason Statham), seorang pembunuh bayaran terkenal yang dapat membunuh tanpa menggunakan senjata api. Nick memiliki kelemahan saat berjudi, karena dia dapat menghabiskan banyak uang dan waktu di tempat kasino langganannya. Hingga suatu saat, teman perempuannya mendapat kesulitan dan membutuhkan bantuannya untuk membalaskan dendam atas perlakuan kepadanya.

Dia diperkosa dan aniaya oleh seseorang bernama Danny DeMarco (Milo Ventimiglia), seorang mafia terkenal di kota Las Vegas. Pada awalnya Nick tidak ingin menangkap Danny De Marco karena tidak mau mendapat masalah karena berusaha untuk menangkapnya. Tetapi, Nick Wild pun berusaha untuk menangkap atas permintaan temannya yang ingin melakukan aksi balas dendam.

Dengan beberapa susunan cerita, Wild Card berjalan tak memiliki koneksi antar cerita pertama dengan cerita lain. Film ini pun akan memiliki beberapa babak yang akan membingungkan penontonnya. Sehingga, penonton akan menanyakan poin apa yang berusaha disampaikan oleh Simon West di dalam film terbarunya kali ini. Karena terlihat benar bahwa Wild Card berusaha menciptakan suasana klasik tanpa tahu benar bagaimana mengolah hal tersebut.


Wild Card memiliki banyak subplot untuk diceritakan. Terasa hasil tangan William Goldman yang mencoba untuk menjadikan subplot itu untuk saling berhubungan antara misi balas dendam dengan latar belakang karakter Nick Wild sendiri. Subplot itu pun akan terasa episodik di setiap paruh filmnya. Tanpa adanya satu benang merah yang harusnya akan membuat film ini menjadi sebuah studi karakter yang menyenangkan untuk sosok Nick Wild.

Apa yang dihadirkan di dalam posternya yang menampikan gambar seorang diri Jason Statham bersama namanya pun mewakili film ini. Wild Card akan menjadi one man show milik Jason Statham meski dengan beberapa porsi kecil dari karakter lain tetapi tidak berhasil menyokong cerita di dalamnya. Alhasil, karakter yang diperankan oleh Michael Angarano, Milo Ventimiglia, Sofia Vergara, bahkan Stanley Tucci pun tak memiliki tujuan yang jelas. Hanya sekedar formalitas setor wajah ke layar perak bahwa film ini tak hanya diperankan sendiri oleh Jason Statham. 

Sosok Michael Angarano yang berperan menjadi ‘asisten’ Nick Wild pun hanya seperti bayangannya. Tak tahu harus melakukan apa dan apa yang dia butuhkan terhadap Nick Wild hingga pada akhir film, karakternya menjadi sebuah turning point yang akan dengan mudah dilupakan. Begitu pun dengan sosok Nick Wild yang tak bisa mendapatkan simpati dari penontonnya. Sehingga, karakter yang diperankan oleh Jason Statham ini pun akan terasa tak memiliki nyawa dan kosong. 


Apa yang diharapkan penonton saat menyaksikan film dengan Jason Statham sebagai bintangnya adalah adegan pemacu adrenaline yang akan memuaskan mereka. Jika hal itu yang kalian harapkan, tentu saja Wild Card akan dengan mudah mengecewakan penontonnya. Ya, Wild Card adalah film Jason Statham dengan adegan aksi yang sangat minimalis. Masih ada adegan adu tembak dan baku hantam, tetapi dengan porsi yang sedikit dan digarap ala kadarnya. Hingga, bukan tak mungkin akan menimbulkan kesan menggelikan untuk sebagian orang.

Wild Card akan menciptakan nuansa klasik lewat beberapa adegan yang dikemas lewat soundtrack yang menarik dan naskah yang harusnya baik dari William Goldman. Sayangnya, arahan Simon West ini belum bisa menjadikan Wild Card mendapatkan tujuan-tujuan yang diinginkan di dalam naskah milik William Goldman. Sehingga, Wild Card akan menjadi sebuah tontonan yang kurang menghibur, minim adegan aksi, dan pointless di dalam 90 menit durasinya.
ads