Selasa, 30 April 2013

REVIEW - 9 Summers 10 Autumns

Diangkat dari sebuah karya bestseller karangan Iwan Setyawan berjudul "9 Summers 10 Autumns". Sutradara dari film Sang Penari Ifa ... thumbnail 1 summary
Diangkat dari sebuah karya bestseller karangan Iwan Setyawan berjudul "9 Summers 10 Autumns". Sutradara dari film Sang Penari Ifa Isfansyah menggawangi film ini. Novel yang juga bisa dikatakan biografi dari penulisnya ini sendiri pun menuai banyak pujian. Bagaimana dengan eksekusi dari filmnya sendiri? bisakah juga mendapatkan berbagai pujian yang tak kalah banyak dari versi novelnya? atau akan gagal di dalam pengeksekusiannya?


Bersetting di kota Batu, Malang Jawa Timur. Sebuah keluarga serba tak berkecukupan. Bapak (Alex Komang) yang akhirnya mendapatkan seorang anak laki-laki yang dijago-jagokan bakal menjadi penerusnya kelak. Bapak adalah seorang Supir Angkot. Setelah anak laki-lakinya tumbuh besar, Iwan pun tumbuh menjadi seorang laki-laki yang bisa dibilang cukup penakut dan sang Bapak mencoba dengan keras agar dia tumbuh menjadi seorang yang kuat dan sepenuhnya laki-laki. Tetapi pendekatannya itu dengan menggunakan kekerasan. Setelah beranjak remaja dan lulus Sekolah Menengah Atas, Iwan (Ihsan Tarore) pun diterima di IPB jurusan Statistika. Bapak melarang Iwan, tetapi Ibuk (Dewi Irawan) mendukungnya hingga akhirnya Ihsan pun melanjutkan kuliahnya disana. Setelah lulus di IPB, dia masuk disebuah perusahaan dan akhirnya menjadi seorang direktur salah satu perusahaan di New York.

Sweet Son-Parents relationship. Heart-warming and surprisingly very touchy in every moment. 
Bisa dikatakan ini adalah sebuah biografi dari penulisya sendiri. Adalah sebuah kisah nyata tentang perjuangan seorang anak supir angkot yang takut miskin dan ingin hidup serba berkecukupan. Kisah nyata tentang perjuangan seseorang yang tak akan sia-sia jika dia melakukannya semua dengan ikhlas dan tawakal dengan banyaknya lika-liku hidup yang mungkin memang relevan sekali di kehidupan sekarang. Berpikiran skeptis awalnya saat film ini dibuat. Menggadang-gadang akan menyajikan sebuah cerita yang akan menyentuh hati penontonnya. Digadang-gadang dibuat dengan hati dan tentunya menyajikan sebuah film yang juga memberikan korelasi dengan hati penontonnya.

Saya tak memperhitungkan sama sekali siapa tangan yang menangani film ini. Saya pun mengira sebuah raw adaptation yang diolah secara mentah tanpa diolah dengan matang hingga akhirnya akan menyajikan sebuah hidangan yang hanya matang luarnya saja dan mentah didalamnya. Pikiran saya salah. Tak memperhitungkan siapa dalangnya. Tak memperhitungkan beberapa aspek di film ini yang ternyata akan membuat saya tersenyum lebar dengan hati yang hangat sesaat setelah keluar dari studio saat menyaksikan film ini. Ifa Isfansyah yang sudah kelewat berhasil mengarahkan sebuah film terbaik Festival Film Indonesia berjudul Sang Penari hingga dia mendapatkan piala Sutradara Terbaik di ajang itu juga.

Pun begitu di film sebelum Sang Penari, Garuda Di Dadaku juga berhasil diarahkan menjadi sebuah film keluarga tentang sepak bola yang juga heart-warming. Well, sekali lagi dia memperlakukan hal yang sama di film terbarunya kali ini. 9 Summers 10 Autumns menjadi sebuah adaptasi novel yang diolah matang hingga akhirnya eksekusi yang baik dihasilkan olehnya. Sebuah premis cerita yang sudah menawan, diolah baik hingga akhirnya akan menimbulkan sebuah cerita perjuangan seorang Pemimpi yang berhasil meraih mimpinya sendiri dengan bagus dan menyentuh di berbagai momen film ini dengan sangat kuat dan begitu diperhatikan. Tak sengaja saya meneteskan air mata saat menyaksikan film ini. Bagaimana Ibu saya pernah berkata persis sama dengan apa yang dikatakan oleh Karakter Ibu kepada Iwan. Membuat penonton khususnya Saya tergugah untuk membanggakan dan membahagiakan orang tua saya kelak. Saya bukan pembaca novelnya. Entah apa memang konsep penceritaan yang dilakukan di film nya sama dengan novelnya atau di film nya sendiri Ifa Isfansyah melakukan pendekatan cerita yang berbeda hingga dia berhasil menyusun film biografi ini menjadi sangat menarik untuk diikuti dan jauh dari kata membosankan memang.

Dare to dream, Chase it, and you will get it. That's what we can get from this movie. 
Penceritaan yang tak runtut pun digunakan untuk mendekatkan penonton dengan cerita di film ini. Tak menggunakan formula cliche untuk segi penjabaran ceritanya. Umumnya penceritaan biografi lebih seperti menceritakan awal mula dari tokoh center nya dari zero hingga akhirnya they got what they want. Di film ini pun, menggunakan alur campuran. Mundur untuk flashback dengan kejadian dan memori Iwan. Seperti mengajak penontonnya mengingat-ingat kembali tentang memori Iwan saat kecil hingga dewasa.

Sebuah pendekatan cerita yang efektif hingga akhirnya penonton tak bosan dan tak menunggu-nunggu kapan Iwan akhirnya berhasil dengan perjuangannya. Tetapi tak semua formula itu pun berhasil menawan. Terkadang eksekusi nya sedikit gagal. Seperti bermain aman hingga akhirnya klimaks konflik yang ditampilkan sedikit kurang bertenaga meski akhirnya memang tetap bisa menyentuh penontonnya. Sebuah kisah yang merobek-robek hati penontonnya. Kisah kuat hubungan antara anak dengan orang tua nya yang memikat. Meski beberapa aspek cerita yang masih kurang dan belum tertangani dengan baik.

Cerita yang sudah dibangun dengan begitu memikat. Memiliki human drama yang kuat, serta balutan-balutan joke yang segar hingga akhirnya membangkitkan gairah penontonnya untuk mengikuti film ini dari awal hingga akhir pun terlaksana dengan sangat baik. Hingga akhirnya sebuah penyelesaian yang mungkin datar yang menjadi penutup yang kurang baik jika dibandingkan dari tiga perempat awal film ini yang sudah tersusun baik. Sebuah sweet moment yang bisa dibangun lebih epic lagi sebenarnya bisa. Tetapi, nampaknya pengarahan yang sedikit bermain aman hingga akhirnya sweet moment itu kurang tergali dan sedikit kurang menyentuh penontonnya.


Tetapi masih banyak faktor yang tak bisa dilupakan di film ini yang pasti akan melupakan berbagai kekurangan dari segi naskah yang memang tak bisa dibilang jelek. Bagus hanya saja lemah di berbagai sudut pandang di film ini. Faktor lainnya yang menjadi sebuah kelebihan di film ini adalah sinematografi yang dishoot dengan indah. Mengambil gambar sudut-sudut kota tua di Batu, Malang Jawa Timur itu dengan baik. Hingga menguatkan cerita yang memang bersetting di tahun 70-an itu. Lalu, berbagai sudut kota New York di kemas apik hingga akhirnya memanjakan mata penontonnya. Bagaimana Times Square yang digambarkan bagus dan terlihat indah. Amerika di tahun 2000 pun dishoot bagus.

Selanjutnya adalah desain produksi yang semakin menguatkan setting film ini. Dimana semua kota batu diubah menjadi jaman dulu kala. Dari tempat-tempatnya, Uang yang digunakan, style vintage yang kental. Beberapa tempat pun di set dengan bagus. Dimana Parking Theatre yang juga menampilkan film lama yaitu Catatan Harian Si Boy yang memang sedang digandrungi kala itu. Dengan berbagai scoring yang tahu benar penempatannya hingga akhirnya semakin menyentuh sisi sentimentil penontonnya.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2012/11/15/180119_di-balik-panggung-film--9-summers-10-autumns-_663_382.jpg

Tak ada yang begitu dominan dari segi cast, Ihsan Tarore sebagai pemeran utamanya sendiri pun tak memberikan sesuatu yang tak memberikan penampilan yang bagus. Penampilannya masih sedikit kaku di beberapa scene. Dengan gesture tubuh yang disesuaikan dengan penulisnya atau orang aslinya. Yang memang sedikit mirip karena pernah melihat sang penulis di beberapa acara interview di stasiun televisi lokal. Penampilan yang perlu di bold adalah Dewi Irawan sebagai Ibuk yang sangat ke-ibu-an sekali. Serta beberapa penampilan cameo seperti Ria Irawan serta Epi Kusnandar.
Overall, 9 Summers 10 Autumns is Simply heart-warming movie and touchy in every moment. Ifa Isfansyah use another way to tell the story to the audience even there were little bit weakness in every aspect when the story told to the audience. Beautiful Design Product and cinematography will impress the audience. Bring your family to watch this movie and feel the power. 

Kamis, 25 April 2013

REVIEW + 3D REVIEW - Iron Man 3

Superhero keluaran Marvel memang sepertinya tak pernah luput dari perhatian. Semenjak The Avengers yang sukses dari segi kualitas dan box of... thumbnail 1 summary
Superhero keluaran Marvel memang sepertinya tak pernah luput dari perhatian. Semenjak The Avengers yang sukses dari segi kualitas dan box office. Kali ini, Iron Man 3 sebagai rip-off pembuka menuju sekuel dari The Avengers. Sutradara film ini pun ganti. Apakah pergantian itu membuahkan hasil yang tidak memuaskan? atau malah mem-presentasi kan hal yang lebih bagus?


Tony Stark (Robert Downey Jr.) mengalami berbagai keterpurukan. Kali ini, dia dalam masalah karena seseorang bernama The Mandarin (Ben Kingsley) mencoba menjatuhkan Iron Man. Mandarin mempunyai seorang tangan kanan bernama Aldrich Killian (Guy Pearce) dimana dia menawarkan kerjasama dengan Pepper Potts (Gwyneth Paltrow) untuk mengembangkan suatu percobaan miliknya yang bernama Extremis. Tetapi, Extremis berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Tak lama setelah Tony Stark menyatakan perang dengan The Mandarin, Kediaman Stark diserang oleh The Mandarin. Semua hancur dan akhirnya dia terpuruk dan terdampar di suatu kota di mississipi.
http://rack.3.mshcdn.com/media/ZgkyMDEzLzA0LzA1L2YxL0lyb25NYW4zLmYxZmI4LmpwZwpwCXRodW1iCTk1MHg1MzQjCmUJanBn/0e44620e/6d8/Iron-Man-3.jpg 
Back off, Tony Stark is back and he gonna blow you up.
Marvel's Superhero memang mempunyai fans-nya sendiri. Terutama kepada keempat Superhero yang bergabung dalam kesatuan Avengers Assemble. Iron Man, Captain America, Thor serta Hulk pun menjadi sebuah film adaptasi komik yang pasti sudah dinanti-nantikan. Kali ini Iron Man 3 menjadi Rip-off pembuka untuk satu kesatuan film menuju The Avenger Phase 2. Setelah berbagai kekecewaan menyeruak di filmnya yang kedua. Iron Man 2 gagal memberikan sebuah cerita klimaks yang menyenangkan seperti installment pertamanya. Di film ketiga-nya ini pun, kursi Sutradara berganti dari Jon Favreau ke Shane Black. Jon Favreau pun menjadi Produser di film Iron Man 3 ini.

Well, Shane Black menggantikan posisi sutradara di film ini pun memberikan sebuah taste yang bisa akan menjadi mengecewakan dan aneh atau bisa jadi menyenangkan dan pure fun. I'm on that both side. Scene opening film ini entah kenapa mempunyai rasa yang beda. Menjadi opening yang thought-provoking yang jelas akan membuat penontonnya mati penasaran dan mengikuti apa yang akan tersaji di layar pada menit-menit berikutnya. Bahkan jika sebelumnya logo Marvel yang pertama kali muncul saat opening film-film Iron Man sebelumnya. Di film ini pun menyajikan sebuah beberapa detik scene yang menggelegar dan menyenangkan menurut saya. Beda daripada yang lain. Latar belakang berbagai konflik di masalah ini pun terasa belum fokus di paruh awal film ini. Sehingga terasa di penceritaan yang dijabarkan dengan baik sebenarnya hanya saja sedikit terlalu cepat. Meskipun dengan second-viewing mungkin bisa membantu berbagai cerita film ini.

Hanya berlangsung beberapa menit, film ini mulai membaik dan semakin membaik seiring bertambahnya durasi film. Durasi 130 Menit di film ini pun berlangsung maksimal. Tak ada rasanya perasaan bosan yang akhirnya membuat penontonnya menguap karena durasi yang bisa di bilang cukup lama untuk ukuran sebuah Rip-off superhero Marvel. Karena editing film yang terasa padat, cerita yang disusun bagus. Dimana Iron Man mengalami beberapa keterpurukan yang mendalam di film ketiganya ini. Tone cerita film ini yang dark, kelam, lebih manusiawi menurut saya sehingga saya memang sedikit kecewa. Karena akhirnya Iron Man 3 berubah menjadi sebuah Nolan-esque of The Dark Knight trilogy yang membuat superhero-nya menjadi manusiawi dan memiliki berbagai konflik yang pastinya akan membuat superhero-nya terpuruk serta kelam. Karena cerita dengan tone seperti itu banyak di usung oleh berbagai sineas di tahun-tahun ini. 

http://www.fact.co.uk/media/7144921/iron-man-3-pic-11.jpeg 
 Shane Black doin' something ridiculous with this movie's Villain. Shocked-Ridiculous Twist and A little bit annoying.
Kembali ke tulisan saya di awal tadi. Pengarahan milik Shane Black ini akan membuat opini yang berbeda-beda. Mengecewakan di satu sisi dan menyenangkan di sisi yang lain. Saya berada di dua pihak itu. Apa yang membuat film ini mengecewakan? mungkin di aspek naskah cerita dengan twist itu. Naskah yang juga ditulis oleh Shane Black dengan bantuan dari Drew Pearce ini pun membuat sesuatu Twist cerita yang aneh. Shane bermain keterlaluan dengan karakter villain-nya. Entah apa yang dipikirkan oleh Shane saat menuliskan cerita itu dan saya juga kurang tahu benar apakah iya sesosok Villain bernama The Mandarin itu memang berkarakter seperti itu di komik-nya. Well, bagi penonton yang bukan pecinta komik dan hanya mencintai Filmnya saja mungkin jelas memiliki opini yang berbeda. Bukan berarti apa yang ditawarkan di komik bisa jadi diterima oleh penonton film saja serta sebaliknya.

Belum lagi naskah cerita yang lebih dikelamkan hingga akhirnya ciri khas superhero Marvel yang ceria itu mempunyai cerita yang lebih kelam. Karena memang sesosok heroik di manusiawi-kan itu sudah menjadi formula umum di kalangan sineas hollywood seperti hal-nya Skyfall dan James Bond trilogy-nya, The Dark Knight Trilogy yang menjadi pionir awal kebangkitan cerita dengan tone dark seperti ini, dan yang akan rilis Man Of Steel yang juga dibikin suasana dark tetapi saya cukup menantikan karena memang di produseri oleh Christoper Nolan yang juga selaku sutradara dari The Dark Knight Trilogy ini. Diceritakan dengan baik sebenarnya tentang bagaimana Tony Stark bertahan tanpa War Machine-nya. 

 http://img.gawkerassets.com/img/18gk9taeh4afljpg/original.jpg

Apa yang dia akan lakukan disaat yang terpuruk sudah diceritakan dengan baik. Tetapi, cerita seperti itu rasanya ada kelebihan dan kekurangan. Akan menjadi suatu kelebihan karena taste dark sudah ditawarkan di trailer-nya dan juga sebagai penutup Iron Man yang katanya selesai di film ketiganya. Jika ditilik dari Trailer Thor : The Dark World mungkin di Phase 2 ini Marvel Cinematic Universe lebih menggunakan formula kelamnya. Lalu, Akan menjadi kekurangan bagi pecinta film yang mungkin sudah mulai capek dengan cerita superhero yang lebih "manusia" itu. Lelah dengan tone kelam dari cerita superhero dan mengubah identitas diri Marvel yang biasanya lebih Fun. Meski begitu beberapa aspek Fun khas Marvel juga tetap di sajikan di film ini.

Guyonan-guyonan yang sangat Marvel sekali, Serta pertarungan penuh CGI yang memanjakan mata meski efek 3D konversi yang kurang mendukung. Membuat saya melupakan semua naskah cerita dengan plot twist yang sedikit menganggu itu hingga akhirnya saya menikmati semua yang tersajikan di film ini. Benar-benar adegan penuh CGI yang indah. Semuanya terlihat real. Bagaimana Istana Stark di serang dan hancur itu, Armor suit atau War Machine yang bergerak-gerak ditubuh Tony Stark serta adegan ledakan yang Indah sekali (Ini bukan termasuk spoiler karena ada di dalam trailer-nya).


Semua itu sangat eye-popping dan menyejukkan. Sehingga bukan hanya memberikan cerita yang padat serta berbobot meski dengan tone cerita yang dark dan saya juga bosan dengan formula seperti itu meski memang menurut saya it works. Tetapi adegan aksi sana-sini yang juga menyenangkan untuk diikuti dengan alunan soundtrack musik rock yang menurut saya sangat "Tony Stark" hingga akhirnya melupakan semua kekonyolan twist yang terjadi di film. For me, This is not the best from Iron Man. but it fun. No Doubt and sorry for people who disappointed with this movie.

 

Cast-nya pun tetap tampil menawan dengan kekuatan utama yang terletak pada Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark seorang Iron Man. Don Cheadle yang juga tampil sama dengan War Machine warna baru menjadi Iron Patriot itu dan kali ini Gwyneth Paltrow jelas jadi scene stealer terutama pada scene akhir yang keren itu. Well, Semuanya bermain epic mejadi sebuah satu kesatuan yang bagus. Kelebihan lain ada pada Film Iron Man 3 ini yang masih menjaga benang merah dari The Avengers terdahulu. Masih ada yang sedikit-sedikt membahas tentang Chitauri itu. Serta beberapa karakter superhero Marvel yang masuk Avengers Assemble yang sedikit disinggung di sini. Menguatkan film ini bahwa Rip-Off para Avengers Assemble adalah kekuatan menuju Film The Avengers 2. Marvel Cinematic Universe Phase 2 absolutely begin from this movie.
 
Overall, Iron Man 3 is A superhero movie with tone dark in the story. Even we will missed the Bright tone in Marvel Story but the Marvel's Fun Identity still alive in this movie. Shane Black doin' something ridiculous. The Shocked-ridiculous twist will A little bit annoying. 

PS : don't walked out from theatre after credit title Done because there was A Hidden scene after it 

 

How's The 3D ? Is that worth it? or Not?
Brightness
Tingkat kecerahan film Iron Man 3 ini sedikit gelap jika ditonton dalam versi 3D. 

Depth  

Efek kedalaman yang biasa saja. Sepertinya hasil konversi ini tak memberikan konversi yang bagus jika dibandingkan dengan The Avengers yang juga hasil konversi. Tetapi, efek depth yang disajikan juga mewah dan tak kalah dengan yang di shoot dengan kamera 3D

Pop Out 
Adegan Pop-Out yang sedikit di tampilkan di film Iron Man 3 ini. Well, meskipun seharusnya banyak adegan yang seharusnya bisa ditampilkan dengan efek pop-out yang lebih maksimal lagi. Sangat sayang sekali berbagai efek pop out sepertinya masih tertahan.


Efek pop out yang mungkin di idam-idamkan para penonton awam di Iron Man 3 ini mungkin bisa di bilang kurang dan kurang maksimal. Pun begitu dengan Efek Depth yang ternyata masih kurang dibeberapa angle view terutama di dalam ruangan. But, 3D Ticket and the 2D ticket doesn't has any different in cost right? So, Decide it by yourself.

Rabu, 24 April 2013

REVIEW - Olympus Has Fallen

Dari sutradara film yang cukup terkenal Training Day, Antoine Fuqua membuat sebuah cerita invasi teroris di Rumah kebesaran presiden di Amer... thumbnail 1 summary
Dari sutradara film yang cukup terkenal Training Day, Antoine Fuqua membuat sebuah cerita invasi teroris di Rumah kebesaran presiden di Amerika Serikat dengan judul "Olympus Has Fallen". Dengan dibantu oleh Gerard Butler sebagai pemeran utama di film ini serta beberapa pemain yang sudah mempunyai namanya sendiri. Bagaimana dengan hasilnya?
Menceritakan tentang Agen Pengawal milik presiden bernama Mike Banning (Gerard Butler) yang dipecat karena dianggap gagal melindungi keluarga Presiden hingga akhirnya Istri pak presiden meninggal dunia. Setelah beberapa bulan, Presiden (Aaron Eckhart) mengalami kesulitan. Kerjasama nya dengan negara korea selatan ternyata berbalik menjadi senjata yang menyudutkan presiden. White House diserang oleh seorang teroris Korea yang terkenal bernama Kang (Rick Yune). Akses Kang bisa masuk ke dalam White House ternyata ada seseorang dari White House bernama Forbes (Dylan McDermott) yang berkhianat dengan Presidennya. Kedutaan Amerika pun terpuruk.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRO9atxkg6PUPC2WqkrjcW9jH6XejcIGL0TTjULJl5wvAJNLxwLvX9-O1rZXot-FaSeCtn-i9Ctcu60AfbkQgPmaUYm283ew9qNpTM7mOAlcKtjKdvTeRSAxcQkkNz_nHapE443HCiS18c/s1600/Gerard-Butler-in-Olympus-Has-Fallen-2013-Movie-Image-3.jpg 
Cliches in every aspect of the story but don't judge it will gonna be bad
Cerita tentang Invasi teroris yang memojokkan kedutaan Amerika Serikat sebenarnya tahun ini ada 2 film dengan konsep sama yang akan rilis. Olympus Has Fallen milik Antoine Fuqua ini dan White House Down milik Roland Emmerich yang akan rilis beberapa bulan mendatang. Sama dalam hal konsep cerita bukan berarti sama dalam nasibnya. Olympus Has Fallen bisa dibilang mempunyai production house yang lebih kecil ketimbang musuhnya nanti. Tetapi, bukan berarti Film ini bakal mempunyai film yang minim juga. Jangan remehkan film ini. White House Down patut waspada dengan berbagai hal mengejutkan di film ini yang pasti membuat common audience pasti terhibur dengan berbagai aspek yang disajikan di film ini. Jika ditilik dari segi Kualitas naskah/skrip cerita. Well, Plot Olympus Has Fallen tak memberikan sesuatu hal yang baru. Plot-nya predictable. Apa yang ditawarkan pun bakal gampang ditebak. Dengan berbagai kelemahan yang pasti bakal disajikan di film ini. Plot-nya kurang diperhatikan betul. Berbagai penceritaan yang tergali kurang pun masih menjadi penyakit yang mungkin di idap oleh film ini. Beberapa penceritaan yang kacau pun masih menghantui paruh awal film ini. Karakter-karakter di film ini pun kurang di ceritakan lebih hingga akhirnya masih ada beberapa pertanyaan yang tergantung di pikiran dan terbawa hingga akhirnya film ini pun selesai. Plot hole yang pasti terbuka lebar di sepanjang film. Mungkin kefokusan film ini bakal tersorot pada satu karakter bernama Mike Banning yang mencoba dengan sepenuh tenaga untuk menyelamatkan sang Presiden. Sebuah cerita heroik dengan berbagai hal yang dianggap kurang logis. But, I give you advice when you will watch this movie. Turn off your brain. Let this ridiculous logics flow like waters. Enjoy this unstoppable action and you'll gonna be Fun. Kesampingkan semua plot yang predictable itu. Karena banyak sekali hal yang pasti akan membuat penontonnya merasa senang dengan berbagai aksi yang pasti akan menutupi kesalahan Antoine Fuqua dan menambal beberapa plot hole yang tersebar bak ranjau di film ini. Hingga akhirnya kesalahan besar itu termaafkan. Film ini akan mudah disukai bagi para pecinta film action. Dengan sedikit gore and bloody scene yang menghiasi film ini and trust me it will be fun. 
http://www.wisn.com/image/view/-/19408704/medRes/2/-/maxh/460/maxw/620/-/keo8pbz/-/Dylan-McDermott-Olympus-Has-Fallen-jpg.jpg 
"Die Hard" goes to White House. Much "Boom" but surprisingly fun.
Adegan aksi di film ini menjadi kekuatan utama film ini. Jika kita bisa tahu, G.I. Joe yang menggunakan formula aksi yang banyak bakal membuat filmnya Fun meski berujung filmnya menyiksa mental. Berbeda dengan Olympus Has Fallen. "Boom, boom, boom" dan "Bang, bang,bang" menghiasi film ini. Tetapi semuanya tersajikan Fun. Tanpa aksi yang berlebihan dan menjemukan. Diracik sedemikian rupa hingga akhirnya unstoppable action di film ini menjadi sebuah hal yang asyik untuk diikuti. Betapa asyiknya adegan White House diserang oleh pasukan teroris itu. Dengan berbagai editing yang cukup ketat, Membuat film ini semakin asik meski tetap saja beberapa hal membuat film ini sedikit bertele-tele dan itu mungkin karena berbagai hal di plot-nya dengan eksekusi yang salah hingga akhirnya pace film tak konstan. Di paruh akhirnya, film ini sedikit kehilangan fokus dan kekuatannya hingga tak sadarkan diri film ini pun sedikit membosankan. Nilai plus lainnya adalah bagaimana Antoine Fuqua memanfaatkan semua bintang-bintang besar yang bertaburan di film ini. Sesosok Gerard Butler sebagai Mike Banning yang berwibawa pun diarahkan dengan baik. Dia berhasil memerankan karakter yang heroik dengan baik. Lalu, Aaron Eckhart sebagai Mr. President yang juga bermain cukup baik. Dylan McDermott sebagai Forbes yang Licik juga diperankan dengan baik hingga Morgan Freeman juga memerankan karakternya dengan baik. Well, meski screening time mereka masih kurang jika dibandingkan dengan Gerard Butler. Karena memang film ini terfokus pada sesosok Mike Banning yang heroik. Sesosok Mike Banning yang masih menyimpan rasa pengabdian yang tinggi kepada kedutaan Amerika Serikat. Meski sudah di pecat, dia tetap ingin menyelamatkan presiden dan orang yang disekap disana oleh teroris itu. Betapa asiknya pula CGI yang membuat mata tercengang saat membuat porak poranda White House dengan berbagai tembakan dan ledakan. Meski juga tensi ketegangan terkadang masih terasa ditarik ulur. Meski dalam klimaksnya, rasa tegang itu masih berperan serta berkoordinasi dengan baik. 
Overall, Olympus Has Fallen is an action movie without caring about the story. But, don't judge it gonna be bad. Surprisingly this movie have another fun factor. A Thrill-ride movie with unstoppable action. Even the story still has some weakness. But, its not a big deal for pure fun Action-Package movie. Bold performance.  

Minggu, 21 April 2013

REVIEW - Sinister

Scott Derrickson yang sudah pernah menyutradarai sebuah film Horror berjudul The Exorcism of Emily Rose yang terkenal itu serta menyelamatka... thumbnail 1 summary
Scott Derrickson yang sudah pernah menyutradarai sebuah film Horror berjudul The Exorcism of Emily Rose yang terkenal itu serta menyelamatkan Keanu Reeves di sebuah film Science Fiction berjudul The Day The Earth Stood Still. Kali ini dia menyutradarai sebuah film horror lagi berjudul Sinister. Bagaimana kualitas film horror ini sendiri? Apakah bisa membuat penontonnya gusar saat menontonnya? 

Bermula dari kesuksesannya saat menulis sebuah buku dengan tema kriminal tentang pembunuhan. Ellison Oswalt (Ethan Hawke), penulis novel terkenal itu menuju sebuah kasus pembunuhan lainnya yang cukup besar. Dia bertempat tinggal di rumah tempat kejadian itu. Dia pun mencoba menilik pola pembunuhan yang merenggut nyawa beberapa keluarga. Polanya unik, pembunuh tersebut selalu menculik satu anak bungsu dari pembunuhan tersebut. Oswalt pun menyelidikinya lebih lanjut hingga akhirnya hal buruk menimpanya serta keluarganya. Berbagai teror pun di tujukan kepadanya. 
http://www.moviesonline.ca/wp-content/uploads/2012/09/11-sinister-movie-009.jpg 
Derrickson know how to treat this movie. He keep the tension from beginning to end.
Cerita film horror sendiri sebenarnya mempunyai cerita yang sudah usang. Banyak unsur-unsur cerita yang banyak sekali digunakan di beberapa film yang berbeda tetapi mempunyai konsep yang sama. Jadi, harus pintar bagi sutradara film horror untuk menyajikan sebuah film horror yang pasti menghibur dan menyeramkan. Tahun 2012, Mama berhasil menyajikan horror klasik yang cukup thought-provoking dan bergulir enak sepanjang filmnya. Sinister (yang sebenarnya rilis tahun 2012) juga bernasib sama dengan Mama. Opening film ini yang berisikan video footage tentang sebuah keluarga yang tewas digantung di pohon. Rasa penasaran pun jelas menyelimuti pikiran saya dan ingin meneruskan menonton film ini. Paruh awal film memang terasa lambat. Sebuah tensi ketegangan yang sangat dijaga di awal. Lebih memfokuskan latar belakang para karakter film ini. Lambat laun, tensi ketegangan bertambah seiring durasinya yang semakin bertambah. Konsep cerita film ini pun sebenarnya tak baru lagi.Hanya saja Scott Derrickson tahu benar untuk mengarahkan film ini. Menjaga pola ritme ketegangan yang sangat bagus sekali untuk ukuran film horror. Penonton pun diajak penasaran, ikut gusar, serta mengalami penderitaan di psikisnya untuk mengikuti penyelidikan yang dilakukan Oswalt di film ini. Beberapa temuan footage-nya yang semakin memberikan berbagai misteri serta teka-teki yang susah sekali untuk ditemukan. Saya pun merasakan apa yang Oswalt rasakan. Berbagai penderitaan mental saat menyelidiki temuan video itu. Saya merasa ikut gusar, ikut merasakan berbagai teror Mr. Boogie itu. Ikut panik hingga akhirnya saya bolak-balik pindah posisi duduk bukan karena saya bosan menonton film ini tetapi saya ikut tak tenang dengan apa yang disajikan di layar itu.
Suasana Creepy film ini pun terjalin dengan baik. Semua terjaga. Hantu-nya pun tak muncul sering-sering hingga akhirnya berbagai rasa penasaran pun terasa benar di film ini. Meski tak pelak membuat film ini terkadang masih banyak berbagai cerita yang terkuak. Plot Holes juga masih bertebaran dimana-mana. Tetapi, Derrickson pintar menutup lubangnya. Derrickson sangat fokus dengan misteri yang terjalin di film ini hingga akhirnya para penontonnya tak mengabaikan ceritanya yang cukup lemah di beberapa bagiannya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEK39qP54DIZCdV6SXUBpFnR-QLd-MiqBQAzG59I_PX8bVcqWxgWNj45sdiQ_LWSLoYlUVi1xArza7mToa9pUUyZDvPOBnr_5XfrORbSo3Mfo_qOVV4Lsjs_6jjwSFMXD_D2Hc0eXQ5wM/s1600/sinister.jpg 
 Dare to follow the story, Dare to twist. Big Surprise come in the end 
Kekuatan film ini memang terletak pada found footage-nya. Berbagai video nya mengerikan. Pembunuhan beberapa keluarga di film ini pun mempunyai metode pembunuhan yang berbeda-beda. Tema-nya pun berbeda. Tema dan Cara membunuh benar-benar disesuaikan. Itulah yang semakin menguatkan atmosfir kelam di film ini. Kekuatan lain pun terletak scoring serta sound effect horrornya yang tajam. Penonton semakin gusar saat penyelidikan di film ini berlangsung. Beberapa scoring creepy yang klasik membuat penonton bergidik. Sound effect pun membuat beberapa adegan kaget-kagetan film ini truly works. Jika anda penyuka film twist. Well, saat menyaksikan film ini siap-siap merasakannya. Buatlah berbagai sudut pandang sebanyak mungkin. Buatlah berbagai pertanyaan yang menyelimuti film ini seperti Oswalt saat pertama kali akan menulis. Pertanyaan seperti "Who killed this family?" dan "Who made this video?". Karena pertanyaan itulah yang ditulis oleh Oswalt dan tentunya akan menuntun para penonton penasaran dan meraskan biggest surprise in this movie. Yang menurut saya tak bisa disangka karena tak ada sama sekali sebuah clue yang menuju ke arah ending yang seperti itu. Nikmati saja apa yang disajikan dilayar. Konsentrasi penuh. Big surprise come in the end.
Untuk urusan cast nya sebenarnya tak ada yang istimewa di film ini. Ethan Hawke bermain pas di film ini. Karakter penulis yang ambisius serta tertekan di saat dia mendapatkan berbagai teror juga dimainkan dengan bagus. Lalu film horor dengan anak kecil punya sebuah taste kengeriannya sendiri. Clare Foley yang menjadi Ashley pun mencuri perhatian. Pandangan kosongnya yang innocent sekaligus kelam membuat berbagai aspek creepy semakin kuat. Pun begitu dengan Michael Hall D'Adario yang berperan sebagai Trevor. Adegan di dalam box itu benar-benar membuat saya kaget bukan main karenanya.
Overall, Sinister doesn't have another original story or the new one. But, Scott Derrickson know how to treat this old formula. He keep tension from beginning to the end. He know how to create creepy moment and ask the audience feel the tension, creepy moment, psychological illness, and the mystery which it is spread everywhere in this movie. At the end, if you dare to take a ride to follow the story? You feel twisted because Big surprise come in the end.

Sabtu, 20 April 2013

REVIEW - Beautiful Creatures

Demam cerita cinta antara manusia dengan lintas generasi cukup digandrungi. Twilight adalah trend mode bagi genre jenis ini. Setelah Warm Bo... thumbnail 1 summary
Demam cerita cinta antara manusia dengan lintas generasi cukup digandrungi. Twilight adalah trend mode bagi genre jenis ini. Setelah Warm Bodies yang sukses menghasilkan romance-flick Zombies-Manusia, The Host yang cukup menghibur tentang cinta Alien-Manusia. Kali ini, romansa cinta milik Manusia dan Penyihir di film berjudul "Beautiful Creatures". Diangkat dari novel berjudul sama apakah film ini mampu menghasilkan film yang gemilang? 
Menceritakan tentang seorang pria yang tinggal di kota Gatlin yang kecil bernama Ethan (Alden Ehrenreich). Suatu ketika, sepupu dari Macon Ravenwood (Jeremy Irons) bersekolah di kota Gatlin. Semua orang menganggap bahwa Macon Ravenwood adalah pemuja setan yang hidup di pinggiran kota dekat hutan di rumah yang sangat angker itu. Ethan pun jatuh cinta kepada sepupu Macon bernama Lena Duchannes (Alice Englert). Setelah lama diketahui, Lena dan keluarganya adalah seorang Penyihir. Sebuah dilema bagi Lena, dimana di ulang tahunnya yang ke 16 dia akan berubah menjadi satu sisi penyihir. Penyihir baik atau bisa jadi menjadi penyihir jahat. Tetapi itu tetap tak menghalangi cerita cinta Ethan dan Lena.
http://www.beyondhollywood.com/uploads/2012/08/Alden-Ehrenreich-and-Alice-Englert-in-Beautiful-Creatures-2013-Movie-Image-2.jpg 
Slow-paced and over dramatic about witch-human lovers
Cerita cinta seperti ini sebenarnya cukup umum di jaman ini karena pengaruh cerita milik Twilight Saga yang sangat digandrungi banyak orang (re: wanita). Berbagai macam makhluk lintas spesies pun dihadirkan untuk menghadirkan berbagai macam plot serta twist romansa cinta yang penuh liku-liku antara manusia dan seorang monster. Warm Bodies misalnya, menghadirkan cerita cinta Zombie-manusia yang ternyata digarap apik oleh sang sutradara. Tak begitu dengan The Host, yang kurang di berbagai aspek but at least it make me enjoy what they made. Beautiful Creatures pun sepertinya mencoba untuk bisa diterima di pasaran. Terlebih Warner Bros, PH yang menaungi film Harry Potter pun menganggap film ini adalah The Next Harry Potter (even it meets with Twilight Saga taste). Mungkin yang membuat ini sama dengan Harry Potter hanyalah konsep tentang penyihir saja. Setelah itu tak ada yang sama antara film ini dengan Harry Potter. Tak hanya dari isi saja, kualitas film ini pun jauh dibawah Harry Potter. Adegan dibuka dengan pengenalan karakter utama film ini bernama Ethan. Pengenalan yang cukup baik dengan berbagai hal yang menjelaskan tentang kota kecil bernama Gatlin itu. Setelah berjalan cukup lama dalam menelusuri cerita film ini, Alur cerita film ini berjalan tak tentu arah. Mengalir begitu lambat hingga akhirnya membuat saya gusar. Paruh awal film yang membuat film ini tak selamat diberbagai aspek film yang cukup vital. Alurnya mengalir bak air tenang di danau dan mempunyai cerita tentang bullying yang predictable  khas film remaja pada umumnya. Celotehan-celotehan yang annoying membuat karakter remaja di film ini seperti "Tua sebelum waktunya". Mereka terlalu berisik hingga akhirnya saya mulai merasakan hal aneh yang tak bisa diungkapkan. Setelah paruh awal berlalu, film ini baru lebih sedikit mengisahkan berbagai mitologi tentang penyihir yang cukup enjoyable sebenarnya. Premis film ini bisa dikatakan sangat menarik dibanding The Host. Hanya saja pengeksekusian yang salah oleh sutradara bernama Richard LaGravenese yang mengubah film ini sebuah Prekuel Twilight yang sangat berkonsentrasi dan terfokus kepada cerita cinta-nya yang begitu menye-menye, cengeng.  Memang beberapa momen terkadang terlihat sweet tetapi terkadang cukup menganggu karena digunakan secara berlebihan. Padahal film ini bisa memberikan sebuah prestasi yang bakal lebih menarik lagi dan bisa dinikmati tak hanya kalangan wanita saja tetapi juga Pria seperti halnya Warm Bodies atau The Hunger Games yang memberikan porsi pas antara aksi dan dramanya. 
http://www.hollywoodreporter.com/sites/default/files/2013/02/alice_englert_beautiful_creatires.jpg 
Called Alden Ehrenreich as Ethan Wate, The Annoying Creatures in this movie
Beberapa twist pun sebenarnya dihadirkan cukup banyak di film ini. Hanya saja beberapa penyajian twist itu disajikan dengan sangat kacau. LaGravenese terlihat sangat kelabakan dengan berbagai twist film ini yang cukup banyak dengan penyelesaian film yang tentu saja acak-acakan dan kurang diatasi dengan baik. Twist yang dibangun cukup menarik itu pun Gagal. Mungkin karena faktor kefokusan cerita yang lebih menuju ke drama cinta cengengnya itu sehingga durasi selama 140 menit itu tak pelak membuat film ini hanya menjadi sebuah drama cinta klise antara manusia dengan penyihir yang mengesampingkan premis menarik dari novel yang ditulis oleh Kami Garcia ini. Film ini seperti sangat dipaksa untuk mirip dengan Twilight. Mungkin untuk membuntuti kesuksesan Twilight itu. Sayang sekali, film ini pun jatuhnya annoying dan boring yang membuat penontonnya gusar di dalam studio (khususnya saya). Terlebih lagi betapa sesosok pemeran pria bernama Alden Ehrenreich yang memerankan karakter utama Ethan Wate ini kelewat menganggu. Alden kurang memiliki act-ability dan membuat performance-nya sangat buruk di film ini. Kurang ekspresif layaknya Vampir kekurangan darah atau seorang Zombie yang sedang kelaparan (bahkan zombie itu lebih ekspresif). Wajahnya terlihat bodoh dan konyol. Antara takut, tegang, senang semua disajikan dengan satu ekspresi straight face yang menganggu itu. Film ini pun mempunyai cast yang sebenarnya mempunyai jam terbang tinggi. Viola Davis yang mendapatkan nominasi Oscar itu pun bermain santai dan tak total. Emma Thompson sebagai Sarafine setidaknya lebih bagus meski terkadang aktingnya juga terkesan kurang. Alice Englert sebagai Lena pun bermain standar saja. Tak ada sesuatu yang menarik. Hanya saja saya jatuh cinta dengan paras cantiknya . Saya suka dengan permainan bibirnya. Entah kenapa saat menonton film ini, saya membayangkan sesosok Emma Roberts yang lebih pas terhadap karakter ini. Film ini pun masih seri pertama dari bukunya. Entah, apakah warner bros mempunyai kebijakan untuk melanjutkan adaptasi novel ini karena akhir film ini mempunyai cliffhanger scene yang membuat penasaran dan membuat saya tertarik untuk membaca novelnya yang terlihat lebih menarik.
Overall, Beautiful Creatures is the failed execution adaptation novel. Intriguing premise with failed direction and directing from Richard LaGrevanese. He ignored the interesting premise and turn this movie into some Twilight-esque with pathetic love story. "Annoying Creatures" that the best one.

Jumat, 19 April 2013

REVIEW - Finding Srimulat

Srimulat adalah suatu acara komedi Indonesia yang sudah bisa dianggap Budaya Indonesia. Kali ini, Srimulat dicoba untuk diangkat lagi untuk ... thumbnail 1 summary
Srimulat adalah suatu acara komedi Indonesia yang sudah bisa dianggap Budaya Indonesia. Kali ini, Srimulat dicoba untuk diangkat lagi untuk merasakan nostalgia pada penggemarnya. Diangkat dari sebuah novel milik Hilman Hariwijaya berjudul "Finding Srimulat". Charles Gozali, Sutradara dari film Demi Dewi dan Rasa mengangkat film ini ke layar lebar. Bagaimana dengan Come Back-nya Srimulat ini?

Menceritakan tentang seorang pemuda bernama Adi (Reza Rahardian) pegawai sebuah Event Organizer. EO tempat Adi bekerja pun bangkrut karena Ide milik Adi di jual oleh salah satu pegawainya sendiri ke EO lain. Adi yang memiliki Istri bernama Astrid (Rianti Cartwright) yang sedang Hamil dan butuh uang untuk biaya operasi Istrinya. Suatu ketika, Adi mengingat sebuah acara favoritnya saat kecil yaitu Srimulat. Dia pun tak sengaja bertemu dengan Kadir dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghidupkan kembali Srimulat serta mendapatkan biaya untuk persalinan Istrinya. Setelah semua anggota Srimulat terkumpul, tak sedikit masalah yang dia hadapi. Banyak sekali kerikil-kerikil yang menghalangi langkah kaki Adi.
http://findingsrimulat.com/imgberita/FINDING%20SRIMULAT%20BTS.004.jpg 
Simply sweet-made movie with love and big hearts for Srimulat Tribute
Ingat sekali pada saat jaman saya masih duduk dibangku Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Dasar. Srimulat adalah suatu acara komedi TV (kala jaman saya dulu sudah tenar di Televisi) yang tak bisa lepas dari tontonan favorit keluarga saya. Saya sebenarnya juga tak seberapa suka kala itu. Tetapi, tontonan itu menjadi sebuah habit tersendiri bagi saya dan keluarga saya. Srimulat adalah sebuah komedi situasi yang sangat menghibur. Di tahun sekarang, sebuah acara komedi mempunyai pakem yang berbeda. Acara komedi sekarang lebih dominan menggunakan konsep Stand-Up Comedy dengan berbagai guyonan Smart yang kadang kala bisa jadi lucu atau tidak. Sungguh rindu sekali dengan Acara komedi dengan guyonan yang norak, dengan berbagai penyampaian yang kasar. Well, mungkin di jaman sekarang Opera Van Java mewakili. Srimulat pun sudah lama sekali tak terendus kabarnya. Pernah dulu acara ini ditampilkan lagi dan hilang lagi mungkin karena hype masyarakat yang kurang. Mungkin itulah yang mendorong Sutradara sekaligus penulis naskah film Finding Srimulat, Charles Gozali. Untuk membangkitkan kembali sebuah komedi yang sudah menjadi budaya Indonesia sendiri yaitu Srimulat. Film ini pun dibuka dengan narasi pembuka tentang mimpi Adi yang ingin hidup mandiri dan mempunyai mimpi bersama keluarganya. Cerita film ini mungkin mengingatkan saya dengan film The Muppets milik disney itu. Finding Srimulat sebenarnya mempunyai jalinan kisah cerita dengan berbagai conflict yang sama dengan film sejenis lainnya. Yang membuat film ini berbeda dengan yang lainnya adalah bagaimana kebesaran hati dan penuhnya cinta yang coba disampaikan oleh sang sutradara di film ini. Tak hanya memberikan celotehan yang membuat para penontonnya tertawa. Di momen yang sama pun, memberikan sebuah drama yang akan menyentuh hati para penontonnya. Sehingga saya pun tak memperdulikan konflik cheesy itu dan menikmati sekali apa yang ditawarkan dalam 90 menit film ini yang sangat menghibur dan menyentuh itu. Charles Gozali pun mampu membuat penontonnya masuk dan ikut terenyuh, bermain-main dengan hati penontonnya karena saat bersamaan bisa jadi scene mengharukan itu diselipi oleh tawa khas Srimulat yang old-school tetapi berhasil membuat tawa di saat yang bersamaan. Juga diselipi unsur-unsur komedi lain yang mungkin juga sedikit menyinggung nowadays human problem. 
http://findingsrimulat.com/imgberita/findingsrimulat.jpg 
#SelamatkanIndonesiaDenganTawa Finding Srimulat did A Great Job.
Tak selalu film ini berjalan mulus sebenarnya. Berbagai penceritaan film ini pun terlihat kendor di beberapa bagian yang mungkin akan sedikit menganggu berbagai penceritaannya yang sudah dibangun. Dengan kronologis cerita yang sedikit kacau yang membuat penontonnya sedikit bingung serta terkadang guyonan khas Srimulat yang kurang bisa membuat tawa. Dan sekali lagi, Film Indonesia sedikit bermasalah dengan Sound Mixing dan Editing yang buruk. Ada beberapa bagian di film ini yang mungkin berkendala di bagian Sound-nya yang kurang. Itu adalah sebuah kesalahan teknis milik film Indonesia yang sudah sangat bisa dimaklumi. Setidaknya berbagai aspek positif di film ini menutupi berbagai kekurangan yang tak seberapa signifikan itu. Berbagai scene film ini sayang sekali jika tak diabadikan dengan baik. Sayang sekali jika keputusan final film ini yang tak akan rilis DVD nya. Banyak sekali adegan yang begitu tertancap dihati hingga akhirnya ingin sekali menonton film ini lagi dan lagi. [spoiler] Salah satunya adalah Scene come back pertama kali-nya Srimulat yang dilakukan di stasiun balapan. Dengan berbagai pembawaan yang modern layaknya Flashmob.[end] Yang membuat itu menarik adalah digambarkan berbagai lintas generasi yang melakukan atau melestarikan budaya Indonesia yang indah itu. Dengan lantunan lagu Lenggang Puspita yang sangat memorable itu di Remix oleh DJ Winky Wiryawan sehingga menjadi sebuah lagu yang indah. Sinematografi di film inipun dikemas dengan apik. Indahnya berbagai sudut kota Solo yang sangat menawan mata. Dengan berbagai pengambilan sudut kamera yang bagus. Sayangnya, aspect ratio film ini menggunakan aspect 1:85:1 sehingga keindahan sinematografi itupun terbatasi. Lalu ditampilkannya beberapa potongan adegan film-film milik Srimulat kala itu membuat rasa nostalgia dengan Srimulat pun semakin terasa. Belum lagi, sedikit potongan biografi tentang pendiri Ibu Sri dan Pak Teguh pendiri srimulat sehingga bagi yang tak tahu asal-usul Srimulat sendiri pun bisa mengerti. Performa akting yang epic pun tetap diberikan oleh Reza Rahardian. Akting yang natural semakin memperkuat film ini yang juga penuh dengan human drama sebenarnya. Rianti sendiri tak memberikan beberapa performa yang signifikan karena screening-time dia di film ini pun bisa dikategorikan sedikit. Tetapi, penampilan sweet milik Rianti pun tetap disajikan dengan baik  terutama diakhir film. Para pemain Srimulat di film ini pun juga sepertinya be themselves. Natural, apa adanya itulah mereka. Jangan lupakan keindahan akhir film ini yang sangat Srimulat. Dengan diiringi theme-song milik Srimulat yang membuat saya mengingatnya. Dengan adegan serta cerita yang juga mengingatkan saya dengan ciri khas acara itu. Sangat Indah. 
Overall, Finding Srimulat is Human drama comedy from Charles Gozali. A Love letter for people who want this comedy team called Srimulat want to come back. Simply sweet movie with love and big heart when they made it. Laugh and tears combine in one moment. Great Job and Well Done. Hope they will change their mind and release this movie on Dvd. 
#SelamatkanIndonesiaDenganTawa


Kamis, 18 April 2013

REVIEW - Oblivion

Joseph Kosinski is back. Setelah perjuangannya membuat film bertemakan Science Fiction dengan judul Tron : Legacy. Kali ini, Kosinski pun me... thumbnail 1 summary
Joseph Kosinski is back. Setelah perjuangannya membuat film bertemakan Science Fiction dengan judul Tron : Legacy. Kali ini, Kosinski pun membuat film lainnya yang juga bertemakan Science Fiction. Kali ini diangkat dari Graphic Novel atau Komik karangan Kosinski sendiri dengan judul Oblivion. Bagaimana dengan film yang dia garap kali ini? Sejenis dengan Tron : Legacy? atau bakal lebih buruk ?
Bersetting di tahun 2077 dimana bumi setelah kiamat di tahu 2017. Bumi menjadi sebuah tempat yang sepi. Jack Harper (Tom Cruise) bersama denga Vica (Andrea Riseborough) menjadi good-effective-team bernama Mopped Up Crew yang bertugas untuk mengawasi area disekitar bumi dan memperbaiki robot-robot pembantu yang rusak di sekitar bumi. Ditengah-tengah tugasnya, Jack Harper menemukan bangkai pesawat yang ternyata adalah Odyssey dari tahun 2017 lalu dan berada disana. Dia menemukan Survivor dari pesawat itu sebanyak 5 orang tetapi Jack hanya berhasil menyelamatkan satu orang bernama Julia (Olga Kurylenko). Sesosok Julia adalah sesosok yang selalu berada di pikiran Jack selama bertahun-tahun dan hanya menjadi sebuah memori yang sama sekali tak dia ingat siapa dia. Berbagai perjuangan pun dia lakukan agar dia mengingat apa yang terjadi di 60 tahun lalu. 
http://collider.com/wp-content/uploads/oblivion-movie-2.jpg
Surprisingly A Thrill Ride Science Fiction movie that i will expect of
Joseph Kosinski pernah kita tahu lewat karyanya berjudul Tron : Legacy. Film Tron : Legacy sendiri adalah Bittersweet Product. Well at least for me, Tron : Legacy will gonna be my guilty pleasure karena desain produksi yang sangat menawan dan memanjakan mata meskipun ceritanya sangat tipis dan kurang dikembangkan lebih lagi terutama bagi yang belum menyaksikan film Tron tahun 1981 itu. Kali ini, Next project bernama Oblivion pun sepertinya juga membuat Tron : Legacy yang bisa dianggap gagal itu menjadi sebuah acuan agar Kosinski bisa memberikan sesuatu yang lebih bagus lagi dan belajar agar memberikan product yang benar-benar sweet. Oblivion pun setidaknya mengalami peningkatan dari segi apapun dari Kosinski. Cerita pun dimulai dari beberapa scene opening yang bagus dengan pengantar Narasi yang menunjukkan bagaimana apocalypse attack the earth dan berbagai penjelasannya lewat Narasi yang saya kira cukup menunjukkan bagaimana Bumi hancur kala itu. Kehidupan pun di lanjutkan dengan setting tahun 2077 dengan penceritaan paruh awal yang mungkin mempunyai pace cerita yang bisa dikatakan lambat. Berbagai penceritaan yang bertele-tele dan menceritakan berbagai hal yang kurang penting sehingga penceritaan itu pun kurang menggali berbagai latar belakang cerita yang mungkin akan membuat berbagai pertanyaan muncul di benak saya "How this actually happen?" nobody explain the reason from the story. Alhasil berbagai penceritaan yang serba nanggung itu pun membuat berbagai plot holes yang menganga sangat lebar tanpa ada usaha untuk menambal berbagai plot holes itu sehingga akhirnya mungkin bisa dimaafkan. Salah faktor lain yang menyebabkan berbagai plot holes yang sangat banyak di film ini adalah screening time Tom Cruise yang kelewat narsis hingga akhirnya film ini akhirnya menjadi sebuah Self-Ego project milik Tom Cruise yang juga mengesampingkan betapa banyaknya karakter film ini yang mungkin lebih bisa menggali ruang cerita film ini lebih lebar dan tak menyempit ke daerah cerita milik Tom Cruise saja. Berbagai karakter difilm ini sepertinya memang di pasang sebagai pemanis saja kalau bisa dibilang. Potensi karakter film ini yang bisa diperluas dengan durasi sekitar 120 Menit pun sepertinya hanya disesali dengan berbagai scene yang bisa di skip sehingga karakter-karakter yang banyak di film ini pun tak tertolong dengan baik di skrip yang ditulis oleh Joseph Kosinski sendiri dan kawan-kawannya ini. 
http://resources1.news.com.au/images/2013/04/11/1226617/364269-oblivion.jpg
It has no alternative stories inside it. Like using some old formulas and old template stories
Sebenarnya membuat film Science Fiction sendiri bisa dibilang susah-susah gampang. Ruang lingkup cerita genre ini bisa dibilang sangat sempit kalau tidak di inovasi sendiri. Berbagai cerita pernah diusung berbagai sineas yang pernah menggarap film dengan genre Sci-Fi. Sehingga mungkin Sci-Fi bisa dibilang mempunyai kisah yang predictable. Begitu pula dengan Oblivion. Oblivion pun mempunyai cerita dengan rasa berbagai film Sci-Fi yang mungkin bisa dibilang "Menginspirasi" berbagai aspek cerita film ini. Sepertinya template cerita film ini sering kita jumpai di berbagai film Sci-Fi sejenis. Jadi, Sutradara yang ingin menggarap film dengan genre Sci-Fi harus bisa memanfaatkan formula usang itu menjadi sebuah inovasi yang menarik. Sesungguhnya Oblivion pun setidaknya tertangani dengan baik. Film ini yang awalnya predictable pun diselipi berbagai intrik serta twist yang menarik yang cukup enak diikuti meskipun penjelasan selebihnya tentang twist yang diberikan ini pun terbatasi karena berbagai lingkup cerita yang dipersempit di film ini. Meskipun rasanya Twist tersebut sepertinya pernah saya saksikan di beberapa film Sci-Fi sehingga tak sepenuhnya memberikan sensasi mind-blowing yang begitu banyak. Oblivion pun sepertinya mengambil secuil-secuil unsur film yang sama dengan banyak film Sci-Fi. Seperti merasakan Mash-Up cerita film Sci-Fi karena banyak bagian film yang sepertinya mencomot dari berbagai film seperti Prometheus, Eternal Sunshine Of The Spotless Mind (Hanya dibeberapa bagian saja) bahkan film animasi keluaran disney, Wall-E (juga dibeberapa bagian saja). Well, tak salah memang Kosinski mengambil beberapa intrik yang mungkin bisa dikategorikan sama karena Kosinski tak langsung menelannya mentah-mentah. Taste-nya terkadang mengingatkan saya dengan film milik Stanley Kubrick yaitu 2001 : A Space Odyssey (Mungkin juga karena faktor adanya kapal bernama Odyssey). Aksi film ini pun bisa dikategorikan banyak. So, it will steal Common Audience's Heart. Absolutely. Dengan berbagai permainan CGI yang begitu bagus dan mengagumkan. Jika film Tron : Legacy lebih mengusung warna Biru-Oren yang lebih dominan, kali ini warna Putih-Abu Metallic yang lebih dominan sehingga film ini mempunyai sesuatu yang elegan dan sangat enak dipandang. Cinematography film ini pun sangat diambil dengan berbagai Angle yang sangat bagus. Sehingga rasanya pilihan IMAX mungkin lebih memanjakan mata. Poor me, Di kota tempat saya nonton gak ada studio IMAX. Scoring film yang masih menggunakan formula sama dengan Tron : Legacy yang pastinya tak kalah hebat dan menguatkan aroma futuristik film ini. Dengan Cast yang juga bermain bagus meski semua screening time diambil oleh Tom Cruise. Tetapi sesosok Olga Kurylenko yang sangat Femme Fatale juga menarik perhatian saya diimbangi dengan penampilan sweet milik Andrea Riseborough. 
Overall, Oblivion is a Sci-Fi movie that will surprisingly entertaining for common audience. It might be doesn't has another alternative stories in this genre. Kosinski using some old template and stories from another Sci-Fi movie but its quite good. Even the point of view in this stories was narrowed and some character a little bit useless to be a storyteller. Kosinski doin' well. Not the great one but it Fun. 

Minggu, 07 April 2013

REVIEW - Cloud Atlas

Tom Tykwer bersama dengan Lana Wachowski mengadaptasi sebuah graphic novel bertemakan science-fiction yang bestseller berjudul "Cloud A... thumbnail 1 summary
Tom Tykwer bersama dengan Lana Wachowski mengadaptasi sebuah graphic novel bertemakan science-fiction yang bestseller berjudul "Cloud Atlas". Andy Wachowski yang juga saudara dari Lana Wachowski pun menyusun script film ini. Andy pun berkompeten dalam menyajikan film Sci-Fi terkenal berjudul The Matrix. Bagaimana hasil dari Cloud Atlas sendiri? Apakah menawarkan sebuah cerita yang fantastis?


Cloud Atlas sendiri sebenarnya mempunyai 6 Cerita dengan berbagai tokoh dan setting yang berbeda. Cerita pertama pada setting tahun 1849 menceritakan tentang Adam Ewing (Jim Sturgess) yang menjalin hubungan kekerabatan dengan seorang budak kulit hitam bernama Autua (David Gyasi) dan perjalanannya saat berlayar yang juga penuh intrik karena ada seseorang yang mengincar hartanya. Selanjutnya bersetting tahun 1936, bagaimana sosok Robert Frobisher (Ben Whisaw) yang berusaha untuk mempunyai karyanya sendiri dan juga konflik romansa cinta dengan kekasihnya Rufus Sixsmith (James D'Arcy). 

Setting tahun 1973 Menceritakan Lusia Rey (Halle Berry) yang mengungkap masalah pembangunan pembangkit listrik Swanekke yang juga melibatkan pembunuhan Rufus Sixsmith sebagai pencetusnya. Cerita keempat setting tahun 2012, menceritakan asam manis kehidupan Editor bernama Timothy Cavendish (Jim Broadbent) yang akhirnya dijebloskan ke rumah sakit jiwa oleh saudaranya. Yang kelima dengan setting tahun 2144, dimana New Seoul mempunyai banyak Fabricant (Kloning). Para fabricant itu dijadikan budak di kedai bernama Papasong. Salah satu Fabricant bernama Sonmi (Donna Bae) dia berusaha menjadi salah satu anggota Persatuan Pemberontak bersama dengan Hae Joo (Jim Sturgess).

Yang terakhir, bersetting 106 tahun setelah kiamat, Zachry (Tom Hanks) membantu Meronym (Halle Berry) menuju tempat bernama Mauna Sol dan menemukan Cloud Atlas untuk berkomunikasi.

http://htmlgiant.com/wp-content/uploads/2012/11/cloud-atlas-ship-whysoblu.jpg 

6 Stories, 6 Conflict, but it will connected each other
Film ini seharusnya rilis pada tanggal 26 Oktober 2012. Dengan penuh semangat dan ekspektasi yang menjulang tinggi saya pun menanti-nantikan film ini masuk ke jaringan bioskop di Indonesia. Sempat pesimis film ini tak akan masuk Indonesia. Terlebih, Versi mkv di dunia maya dengan kualitas Bluray pun mulai menyebar. Saya sudah menahan diri agar menonton film ini di bioskop (karena melihat posternya ada di bioskop Indonesia). Well, penantian saya membuahkan hasil. Setelah hampir 6 Bulan tersita dan tak kunjung rilis. Akhirnya film ini pun rilis reguler di jaringan bioskop di Indonesia. Penantian itu pun membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Film ini pun bergulir sesuai ekpektasi saya.

6 Cerita dengan konflik dan setting yang berbeda itupun berhasil di package dengan epic oleh Tom Tykwer. Sebuah cerita yang susah untuk dijelaskan setiap segmennya. Biarkan orang menonton film ini dan temukan berbagai keasyikkan saat menyaksikan film ini. 6 Narasi awal yang dihantarkan oleh film ini pun smart. Narasi beruntun yang menceritakan konfliknya masing-masing itu pun semakin membuat saya tidak sabar dengan apa yang terjadi dengan konflik-konflik yang ada di film ini. Masing-masing konflik pun dijelaskan satu persatu. Ceritanya pun tak berdiri sendiri layaknya film Omnibus. 

http://www.scifireviewpodcast.com/wp-content/uploads/2013/03/Cloud-Atlas-Movie.jpg

Tetapi, semua cerita itu pun di ceritakan bergantian dengan berbagai benang merah yang membuat film menjadi sebuah satu kesatuan yang tak patut dilewatkan setiap momennya. Setiap momen itu pun akan mengikat setiap cerita yang tersaji di dalamnya dan membuat sebuah experience yang akan berbeda dengan yang lainnya. Cloud Atlas pun menyambung benang tersebut tak terlalu mencolok tetapi dengan berbagai scene yang tersirat akan membuat setiap cerita di film ini pun semakin menarik untuk diikuti. Dengan durasi sekitar 170 Menit, Cloud Atlas dengan gampang akan membuat penontonnya duduk tenang menyaksikan adegan demi adegan yang akan tersaji di layar bioskop.

Berbagai cerita yang kompleks pun diberikan di film ini. Penonton harus cermat, teliti, dan memperhatikan betul semua jalinan cerita film ini sehingga film ini akan terikuti dengan baik dan tak perlu merasa tidak mengerti dengan apa yang disajikan oleh film ini. 6 cerita di film ini pun sepertinya mempunyai tema-nya masing-masing. Sehingga semua genre film tak melulu terfokus dengan sci-fi-nya. Human Drama-nya kuat, dengan sedikit bumbu romance, Drama-Thriller pun sebenarnya masuk ke film ini serta Drama comedy. Sehingga ini adalah sebuah film multi-genre yang akan menjadi sajian unik dan lengkap untuk ditonton.
http://cinema-scope.com/wp-content/uploads/2012/10/cloud-atlas-wbp07.jpg 

Hell yeah with rottentomatoes rating. I like how it goes. Totally love it !
Tak hanya mampu memberikan cerita yang saling menyatu meski memiliki tema dan konflik yang berbeda. Cloud Atlas pun mampu memberikan sebuah visualisasi setiap setting tahunnya yang gemilang. Terlebih tatanan kota New Seoul 2144 yang benar-benar futuristik dengan berbagai setting yang memanjakan mata. Berbagai tatanan kota futuristik yang megah dengan nuansa yang gloomy sehingga mendukung esensi cerita tentang masa depan yang kejam itu pun semakin kuat. Tak hanya menonjol dibagian Visual Effects/CGI saja. Sebuah penghargaan seharusnya patut disandangkan ke Tim Make-up effects-nya. Ini adalah keunggulan lainnya dari Cloud Atlas. 6 Cerita dengan konflik yang berbeda itu pun tentunya akan membutuhkan banyak sekali karakter yang menyesaki layar. Dalam hal ini pun Make-up Effects film ini berbicara.

Cast di film ini pun multi-character. Satu pemain bisa saja memainkan lebih dari satu karakter. Satu pemain bisa bermain disemua setting film ini meski terkadang hanya sebagai pemanis. Tetapi ada juga yang sebagai pemain utama di segmen yang berbeda. Sebuah keasyikkan tersendiri bagi penontonnya. Penonton akan dicoba diajak untuk menebak siapa yang berada di karakter tersebut. Karena Make-Up effects yang gemilang akan membuat kita susah menebak siapa yang berada di dalamnya. Perlu ketelitian dan kewaspadaan bagi penonton yang mencoba menebak Aktor-Aktrisnya. Itu semakin menguatkan bahwa film ini tak melepaskan setiap segmennya.

 http://www.aceshowbiz.com/images/still/cloud-atlas-image06.jpg

Film ini semakin mengikat segmennya dan membuat film ini satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dari segi cerita maupun pemain yang saling berkaitan satu sama lain. Scoring film in yang megah dan indah juga terlantunkan indah mengiringi indahnya adegan film ini. Cast-cast di film ini pun juga memberikan performa yang bagus. Pemain di film ini pun ditantang oleh sutradaranya apakah mereka adalah The Real Artist yang bisa memainkan berbagai karakter dengan sifat yang berbeda atau tidak. Nyatanya mereka mampu bermain dengan bagus saat memainkan berbagai karakter dengan berbeda watak yang menjadi satu kesatuan filmnya. Tom Hanks pun mampu menjadi sebuah tokoh Protagonis di setting tahun 160 setelah kejatuhan dan di setting tahun 1849 serta 2012 dia berubah menjadi tokoh Antagonis.

Tetapi sayang, kebanyakan kritikus kurang menyukai film ini. Beberapa rating yang masih bisa dibilang kurang meski tetap bisa di bilang fresh yaitu 67 % di rottentomatoes.com. But, The Hell with the critics, Dont care the rating. I still enjoy how this movie totally work to me. I like how the story goes. Ini adalah sebuah Sci-Fi dengan cerita yang kompleks and it absolutely make me impressed. How I love this movie and i want watch this movie again and again.
Overall, Cloud Atlas is A Science Fiction movie with complex story. 6 Stories, 6 Conflict with one red line that will connecting all the stories. Great job for Make-Up Effects team and Visual Effects team who make this movie absolutely terrific. Who care about the rating and critics, this movie absolutely stole my heart. Memorable. Perfect !
ads