Senin, 30 September 2013

REVIEW - 2 GUNS

Aksi dan Buddy cop movie adlah sebuah satu kesatuan yang sering digunakan oleh perfilman hollywood. Tapi sayangnya, Hollywood dan Buddy cop... thumbnail 1 summary
Aksi dan Buddy cop movie adlah sebuah satu kesatuan yang sering digunakan oleh perfilman hollywood. Tapi sayangnya, Hollywood dan Buddy cop movie masih tak seirama dan bahkan bermusuhan. Masih jarang Buddy Cop movie yang di bilang berhasil. Kali ini, Baltasar Komakur mencoba untuk menggarap 2 Guns yang juga memiliki tema Buddy cop
 

Robert ‘Bobby’ Trench (Denzel Washinton) dan Michael ‘Stig’ Stigman (Mark Wahlberg) adalah para kriminal yang mencoba untuk mencuri bank. Mereka mencuri bank karena tertangkan oleh Papi Greco (Edward James Olmos) karena akan menembus perbatasan Meksiko. Tetapi, mereka berdua sebenarnya bukan seorang kriminal.

Robert adalah seorang agen DEA dan Michael adalah Seorang Angkatan Laut. Mereka disuruh oleh atasan mereka untuk menangkap Papi Greco. Tapi, atasan-atasan mereka malah melakukan kecurangan. Robert dan Michael pun bekerjasama untuk keluar dari belenggu atasannya dan juga Papi Greco. 

Good premise gone very wild. 
Buddy cop, tema ini mungkin masih jarang mempunyai eksekusi yang bagus. Tahun lalu, 21 Jump Street serta End of Watch mampu memberikan cerita yang mumpuni meskipun dengan genre yang berbeda. 2 Guns, di angkat dari sebuah novel grafis dengan judul yang sama. Digarap oleh Baltasar Komakur yang juga pernah menggarap sebuah drama aksi berjudul Contraband. Dan sekali lagi, dia bekerjasama dengan Mark Wahlberg dengan tambahan bintang lain yaitu Denzel Washington.

2 Guns memiliki premis cerita yang menarik. Premis cerita mengenai para agen-agen dari pihak berwajib yang mencoba menjadi sesosok kriminal. Hanya saja bagian eksekusinya yang menurut saya kurang benar hingga akhirnya film ini malah jatuh menjadi film dengan cerita berantakan. Ketika premis film yang harusnya bisa simple, malah 2 Guns berlari menjadi film yang terlalu liar dan tak mempedulikan apapun. Penuh dentuman, ledakan, dan pukulan.

Komakur terlihat kebingungan saat mengarahkan film ini. Banyak cerita yang hit and missdi filmnya. Adegan opening film ini cukup interesting. Memberikan sneak peekadegan yang harusnya ada ditengah film. Komakur mampu memberikan rasa penasaran bagi penontonnya untuk mencari tahu apa maksud dari adegan pembuka film ini. Tapi sayangnya, rasa penasaran yang dibangun oleh sang sutradara tak mampu diselesaikan dengan baik. Inilah bagian miss nya. Serasa anti-klimaks, adegan pembuka tadi hanyalah pembangun saja, dijelaskan dengan apa adanya dan tak berasa apapun saat menyaksikannya. 


Alih-alih ingin membuat penontonnya penasaran, toh malah membuat saya sebagai penonton kecewa. Alih-alih ingin adanya sebuah cerita buddy cop yang berbeda toh malah jatuhnya tak terkontrol dan berjalan terlalu liar. Cerita-ceritanya mungkin diusung tak terlalu berat harusnya. Tapi, sang sutradara ingin membuatnya lebih terkesan bermutu. Akhirnya, beberapa ceritanya malah harus miss. Efek soft-twist nya pun tak memberikan sesuatu yang lebih untuk film ini.

Beberapa ceritanya mungkin seperti di percepat sebagian. Terlihat berbagai ceritanya yang membuat saya kebingungan saat menonton film ini. Tak tertangani dengan baik. Terlihat bermain terlalu asik hingga akhirnya beberapa point cerita tersampaikan dengan miss. Banyak sekali, cerita krusial malah diceritakan apa adanya tanpa adanya tensi cerita yang dijaga di film ini. Bisa dibilang kurang garam atau sedikit hambar dalam penyampaiannya. Tapi, beberapa ceritanya juga masih ada yang setidaknya menghibur dalam penyampaiannya.

 
A good chemistry between Washington and Wahlberg
Beberapa selipan jokes-nya mungkin bisa membangun suasana film ini yang cukup berantakan. Setidaknya membuat saya tertawa saat menyaksikan film ini. One-hit-lineyang cukup pintar dan konyol. Serta beberapa adegan aksi yang banyak. Hal inilah yang dinantikan oleh penonton. Banyaknya adegan aksi yang akan menghibur mainstream people. Hal instan inilah yang juga menjadi faktor jualan utama dari film garapan Baltasar Komakur ini.

Serta beberapa elemen penguat lainnya di film ini. Chemistry. Yap! Bagaimana Wahlberg dan juga Washington mampu membuat film ini tertuju padanya. Karena, tak ada hal lain yang diperlukan oleh sebuah buddy cop movie selain chemistry dari dua pionir di filmnya. R.I.P.D contohnya yang masih gagal dalam menghasilkan chemistry untuk Buddy Cop. Maka, Wahlberg dan Washington mampu menjalin chemistry apik yang akan membuat film ini terlihat berisi.

Mereka mampu menjadi sesosok Dynamic Duo yang mampu bermain apik di layar. Mereka mampu mencuri semua spotlight. Mengesampingkan beberapa karakter tambahan yanga juga penting untuk jalannya cerita di film ini. Mereka mampu tampil gila-gilaan dan tak mempedulikan apapun dan siapapun. Jika mereka sudah bermain di layar, no one can stop them. 


Lalu, poin plus lain yang juga bisa dimanfaatkan di film ini adalah final act yang juga mampu memberikan efek seru dan mengasyikkan. Berbagai penyelesaian akhir yang menurut saya nyeleneh dan sengaja di hajar habis di film ini. Dengan berbagai adegan aksi dan uang bertaburan dimana-mana yang menurut saya itu lumayang menghibur meskipun penyelesaiannya berantakan. 

Overall, 2 Guns adalah sebuah Buddy Cop movie yang berjalan terlalu liar dan tidak terkontrol. Banyak sekali cerita-cerita krusial yang jatuhnya malah tak tertangani dengan baik. Untungnya, penampilan Mark Wahlberg dan juga Denzel Washington yang mampu tampil memukau dengan chemsitry yang sangat bagus serta final act yang seru mampu memberikan poin plus di film ini.
  

Selasa, 24 September 2013

REVIEW - KICK ASS 2

Kick Ass adalah sesosok superhero yang diangkat dari sebuah komik. Filmnya yang pertama sukses dipuji oleh kritikus. Maka tak salah, jika Ki... thumbnail 1 summary
Kick Ass adalah sesosok superhero yang diangkat dari sebuah komik. Filmnya yang pertama sukses dipuji oleh kritikus. Maka tak salah, jika Kick Ass akan berkelanjutan hingga seri kedua. Kali ini, Kick Ass diasuh oleh Universal Pictures. Maka, Kick Ass 2 di pimpin oleh Jeff Wadlow sebagai sutradara menggeser Matthew Vaughn yang sebelumnya menangani Kick Ass seri pertama. 
 

Setelah beberapa tahun, Dave Lizewski atau Kick Ass (Aaron Taylor Johnson) vakum dari dunia superhero. Karena sudah banyak sekali, penduduk bertopeng yang ingin memerangi kejahatan layaknya Kick Ass. Maka dari itu, Dave Lizewski pun ingin kembali ke dunia itu. Mindy MacReady atau The Hit Girl (Chloe Grace Moretz) pun di ajak oleh Dave untuk bekerja sama memerangi kejahatan. Sayangnya, Mindy harus berjanji agar tidak lagi terjun ke dunia itu karena ayahnya.

Chris D’Amico atau Red Mist (Christopher Mintz-Plasse) pun ingin balas dendam kepada Kick Ass yang lebih terkenal daripada dia. Dia juga ingin balas dendam dengan apa yang Kick Ass lakukan terhadap ayahnya. Maka, Chris D’Amico merubah dirinya sebagai The Motherfucker dan membentuk liga kejahatan untuk menangkap dan membunuh Kick Ass. 

Rollercoaster full of fun and bloody entertaining.
Kick Ass adalah sosok superhero tanpa kekuatan khusus yang memerangi kejahatan. Kick Ass sendiri di angkat dari sebuah komik. Di Film pertamanya, Matthew Vaughn mampu memperkenalkan Kick Ass dengan baik. Sehingga, banyak fans-fans baru untuk Kick Ass dari film. Maka, Kick Ass pun menjadi di gandrungi. Maka jelas, Kick Ass pun akan diangkat di seri berikutnya mengingat kesuksesan dari seri pertamanya sendiri.

Kick Ass memang tak hits di Box Office. Tapi untuk penjualan Home Video, Kick Ass sangat di gemari. Kick Ass seri pertama memiliki kualitas yang bagus serta mendapat pujian dari kritikus. Sayangnya, di seri kedua Matthew Vaughn tak kembali menangani film ini. Jeff Wadlow pun ditunjuk untuk menangani seri kedua dari Kick Ass. Jika dilihat dari track record sutradaranya sendiri, mungkin Jeff Wadlow memiliki track record buruk bagi filmnya.

Kick Ass 2 mungkin tak memiliki cerita sebagus dan se-solid seri pertamanya. Cerita yang diusung oleh Kick Ass seri kedua ini lebih simple dengan berbagai tribute unik yang ditampilkan di film ini. Jika seri pertama lebih ke sosok Dave Lizewski dan berbagai aksi heroik dari dirinya. Maka seri kedua, mungkin lebih ke sosok Hit Girl dan polemik kehidupannya. Dan inilah, yang mungkin menjadi penikmat Kick Ass pun terbelah. Ada yang tetap menyukai film serta ada yang malah kecewa dengan film ini. Tapi sayangnya, saya masuk ke dalam kategori yang tetap menyukai sekuel dari Kick Ass


Meskipun cerita yang diusung lebih simple,toh Kick Ass 2 masih memiliki adegan aksi yang masih fun dengan berbagai adegan gore dan gila-gilaan yang sangat entertaining bagi saya. Menceritakan tentang Mindy atau Hit Girl dengan kehidupan remajanya. Dimana dia sudah mulai menyukai cowok-cowok cakep dan berbagai konflik-konflik remajanya. Inilah berbagai kesederhanaan dari plot film ini. Tapi, tak lupa Kick Ass 2 juga masih memberikan konflik yang lain kepada Kick Ass sendiri. Berbagai konflik Revenge antara Red Mist atau The Motherfucker kepada Kick Ass sendiri.

Tapi sayangnya, mengingat film ini harusnya menjadi film milik Kick Ass malah memiliki porsi besar kepada Hit Girl. But, its not a big deal. Jangan harapkan cerita terobosan baru yang di hadirkan layaknya seri pertama dari film ini. Karena, banyak cerita sederhana yang akhirnya malah mungkin akan terasa cheesy but for me its classy. Tribute dari beberapa film menurut saya yaitu Mean Girls. Cerita drama cewek yang cheesy di padu padankan dengan aksi beringan milik Hit Girl menjadi suatu hal yang menarik yang membuat saya sangat menikmati film ini. 

 

Mungkin banyak sekali karakter-karakter baru yang masuk di sekuel film ini. Hingga akhirnya, film ini terlalu penuh sesak dengan karakter-karakter tambahan yang tak berperan begitu signifikan untuk film ini sendiri. Jadi, Jeff Wadlow terlihat bingung bagaimana cara menyelipkan semua back story dari setiap karakternya. Tapi, beberapa cerita singkat yang cukup efektif cukup bisa menjawab berbagai back story dari berbagai karakter di film ini.

Pace cerita mungkin tak terjaga ketika film ini menuju akhir. Akhirnya dengan durasi sekitar 115 menit, Jeff Wadlow ingin semua ceritanya berakhir. Bagaimana final fight yang malah terkesan kurang garang, ketimbang middle fight yang ada di film ini. Tensi mulai menurun, dengan final fight yang terkesan anti klimaks dalam presentasinya. Kick Ass 2 memang tak sebagus Kick Ass pertama. Tapi, Kick Ass 2 tetap memiliki gory scene cukup yang akan membuat para fanboy orgasm

Stop action movie with makes me not caring about the story and the rottentomatoes rating.
Dan ketika semua keburukan muncul, toh pastinya ada kelebihan lain. Kick Ass 2 tetap lovable bagi saya. Dengan banyak stop action movie yang sangat classy yang membuat saya betah dengan berbagai sajian yang memiliki banyak kekurangan ini. Banyak sekali adegan-adegan gokil dari film ini yang membuat saya bisa tertawa lepas seperti melupakan berbagai beban dari pikiran saya. Yah, sekali lagi adegan sadis membuat saya tertawa terbahak-bahak.

Memiliki kekurangan dari segi cerita, tak lantas membuat Jeff Wadlow tak memikirkan daya tarik lain untuk film sekuel ini. Maka dari itu, Jeff Wadlow memberikan sesuatu yang seimbang untuk sisi lain dari film ini. Adegan-adegan gokil seperti fighting di jalan yang mengasyikkan. Ketika Liga Kejahatan milik The Motherfucker mulai menyerang para polisi, itu adalah salah satu scene paling gokil di film Kick Ass 2 ini. Menyenangkan. Layaknya menghirup udara segar. 


Kritikus boleh tak suka dengan film ini. Mungkin mereka menggunakan kacamata yang berbeda untuk film ini. Menganggap serius. Tapi, saya begitu menyukai Kick Ass 2. Maka dari itu, saya masih tak seberapa percaya dengan rating-rating yang ada di website rottentomatoes. Toh, terkadang mereka menganggap sebuah film terlalu serius ketimbang sebagai media hiburan. Dan Kick Ass 2 adalah salah satu korban keseriusan mereka.

Segi cast, Chloe Grace Moretz jelas mencuri perhatian saya dari awal. Semakin dewasa, dia semakin cantik. Tak seperti Abigail Breslin. Dia juga semakin gokil dalam memerankan karakter Hit Girl di film ini. Karakter badass dengan gampang dia lakoni. Aaron Johnson Taylor juga terlihat makin matang. Dan, yah, perubahan badannya semakin berisi. Tidak seperti di film pertamanya. Christopher Mintz Plesse juga mampu menjadi karakter anak mama yang tidak patuh dengan baik. 


Serta cast-cast pendukung yang juga menjadi pemanis lainnya. Layaknya Jim Carrey yang butuh kesadaran cukup, baru kita tahu bahwa karakter yang dimainkan adalah dirinya. Serta pemeran wanita yang memerankan Mother Russia. Belum lagi jalinan soundtrack yang mungkin tak se-asyik yang pertama. Tapi ketika lagu When My Saints Goes Marching In diputar dengan scene yang begitu gokil. Inilah yang disebut fanboy orgasm. 


Overall, Kick Ass 2 memang belum sebagus dari predecessor-nya. Tapi, dibalik semua kekurangannya. Kick Ass 2 masih mampu memberikan sebuah jalinan cerita epik yang membuat saya terpanah. Hiraukan rating di rottentomatoes dan berbagai sudut pandang kritikus yang menjatuhkan film ini. Karena, Kick Ass 2 masih mempunyai kegokilan luar biasa yang bisa dinikmati.

PS : Dont walked out from theatre. Wait until credit title done. 

Senin, 23 September 2013

REVIEW - WANITA TETAP WANITA

Reza Rahardian, Didi Riyadi, Irwansyah serta Teuku Wisnu adalah 4 aktor Indonesia. Kali ini mereka mencoba keahlian mereka tidak untuk berad... thumbnail 1 summary
Reza Rahardian, Didi Riyadi, Irwansyah serta Teuku Wisnu adalah 4 aktor Indonesia. Kali ini mereka mencoba keahlian mereka tidak untuk beradu akting. Melainkan, mereka mencoba untuk berada di balik layar untuk mengarahkan sebuah film. Wanita Tetap Wanita adalah sebuah film omnibus yang mereka arahkan. Sebuah film yang menceritakan tentang berbagai sisi dari wanita. 



Lima Wanita, Lima Cerita. Shana (Zaskia Sungkar) adalah sesosok wanita penjual cupcake yang harus gagal menikah dengan pasangannya. Adith (Renata Kusmanto) yang masih teguh dengan pendiriannya yang mengira tanpa pasangan dia masih bisa hidup lebih baik. Nurma (Revalina S. Temat) yang harus terjebak nostalgia meskipun dia sudah memiliki tunangan.

Kinan (Shireen Sungkar) pramugari cantik yang harus menghidupi keluarganya karena ayahnya yang sudah meninggal dan ibunya yang sakit-sakitan. Serta Vanya (Fahrani Empel) yang harus bekerja ekstra keras untuk memberikan terapi kepada adiknya yang autis. 

An omnibus which want to connected each others but it failed.

Omnibus adalah sebuah rangkaian film pendek yang tergabung menjadi sebuah film utuh. Tapi, terkadang film omnibus ada yang bersegmen dan ada pula yang sengaja bergabung jadi satu. Rectoverso adalah salah satu contoh film omnibus yang berdiri sendiri tapi seperti memiliki benang merah. Rectoverso menjadi film omnibus dengan presentasi yang begitu kuat. Dari segi directing, act, dan segi teknis lainnya.

Wanita Tetap Wanita, mencoba untuk memberikan sentuhan berbeda dari Rectoverso. Film ini tak serta merta memberikan cerita omnibus yang berdiri sendiri layaknya Rectoverso. Tapi, masih memiliki benang merah dari kelima cerita di film ini. Sehingga, kita akan menemukan berbagai penyelesaian yang mungkin unik ataupun shocking di filmnya. Dari 4 Aktor yang merubah dirinya menjadi sebuah Sutradara, dengan directing mereka yang sudah bisa di bilang cukup. Sayangnya, treatment scriptyang sangat kurang membuat film ini sangat lemah.

Wanita Tetap Wanita memiliki cerita omnibus yang tak tertata dengan berbagai benang merah yang dipaksakan ada di setiap segmennya. Banyak sekali plot hole yang tersebar bak ranjau yang sudah tidak bisa di handle lagi oleh sang sutradara. Siapa mereka sebelumnya, konflik apa yang terjadi, serta berbagai back story yang harusnya ada di film ini pun tidak diceritakan dengan baik. Hingga kita sebagai penonton harus merasakan pengalaman tidak menyenangkan saat ingin mencoba untuk menikmati film omnibus ini. 


Saya sebagai penonton, merasakan suatu kebingungan yang terjadi saat film ini berlangsung. Hingga sekitar 60 menit film ini berlangsung, perjalanan cerita ini masih tak mempunyai kefokusan yang jelas. Film ini terlihat bingung mau dibawa kemana semua cerita omnibus ini. Sehingga, skrip yang ditulis ramai-ramai ini seperti memaksakan setiap segmen harus saling berkoneksi satu sama lain dan harus mengorbankan setiap ceritanya yang berantakan. Mungkin ada beberapa yang masih memiliki ritme yang  terjaga hingga pertengahan. Meskipun akhirnya, segmen itu juga harus jatuh pula.
 

Tema tentang wanita adalah main theme yang diangkat oleh film ini. Memperlihatkan sisi feminim dari setiap wanita yang memiliki karakter yang berbeda di setiap segmennya. Meskipun, terlihat jelas berbagai kerapuhan setiap wanita di setiap segmennya. Wanita-wanita tersebut memiliki sebuah titik lemah masing-masing. Cerita ini tersampaikan dengan cara yang sedikit mendayu-dayu. Cerita yang kurang tereksplor dengan baik serta pace cerita yang tak terjaga membuat saya tak bisa menikmati cerita-cerita di film ini.

Berbagai pesan kewanitaan yang maunya ingin disampaikan di film ini pun jadi terhambat dan tak bisa tersampaikan dengan baik karena skrip-skripnya yang tak di tulis dengan baik. Belum lagi, konflik-konflik klise ala sinetron Indonesia. Mungkin ada satu yang oke dan harus rela jatuh menjadi sebuah segmen yang klise. Belum lagi, dialog-dialognya yang mencoba memberikan metafora yang malah jatuhnya membuat kita-kita bertanya apa maksud dari dialognya. 


Konflik-konflik tentang perselingkuhan, percintaan, keluarga mungkin tak salah dengan tema cerita itu. Tapi, berbagai treatment nya yang malah membuat konfliknya menjadi konyol. Dan mungkin efek shocking ending yang mungkin terjadi cukup baik meskipun pengantar-pengantar menuju ending tak memiliki penceritaan yang bagus.

Film ini sepertinya tak menyadari berbagai potensi yang ada. Didi Riyadi, Teuku Wisnu, Irwansyah serta Reza Rahardian yang mencoba dirinya untuk terjun menjadi sutradara harus menangani berbagai cerita yang serba nanggung untuk filmnya. Mungkin ingin dibawa menjadi eksploratif tapi sayangnya itu tak berhasil. Cerita-cerita klise ala sinetron, berbagai cerita yang tak tertata, dan masih banyak lagi poin minus yang ada di dalam film ini sendiri. 

Eye popping beautiful actresses.
Dari segi cast, juga masih ada yang saya rasa terbuang sia-sia. Potensi-potensi baik dari banyaknya Aktris-aktris cantik yang mungkin membuat mata kita akan terhibur. Duo Shireen-Zaskia Sungkar, Renata Kusmanto, Revalina S. Temat, Fahrani Empel. Aktris-aktris dengan paras cantik dan beberapa di antaranya memiliki act yang bagus. Bahkan Shireen-Zaskia yang biasanya bermain ala kadarnya di Sinetron Indonesia pun, seperti berusaha keras untuk bermain dengan bagus di film ini.

Dan bold point buat Teuku Wisnu, yang bermain tak sebagus yang lain. Berbagai aksen batak yang terlalu dibuat-buat. Aktingnya yang masih kaku membuat segmen yang dibintanginya semakin melemah.

Scoring milik Melly-Anto Hoed yang seperti biasa mengiringi film ini. Scoringnya mungkin terdengar biasa dan sangat Melly-Anto Hoed sekali. Tapi, Scoringnya berhasil menyokong beberapa momen dari film ini sendiri. Meskipun beberapa masih overused dan ada beberapa momennya yang bisa lebih baik tanpa scoring dari Melly-Anto Hoed sendiri. 


Overall, Wanita Tetap Wanita adalah sebuah film omnibus yang ingin memberikan cerita yang saling connecting each others tapi digarap setengah-setengah. Dengan skrip yang tak di olah dan di tangani dengan baik, film ini pun memiliki kesan tak tertata. Wanita Tetap Wanita seperti tidak sadar memiliki potensi besar yang menggarapnya.
 

Selasa, 17 September 2013

REVIEW - RIDDICK

Vin Diesel memang telah tergabung dengan project Riddick ini sejak seri pertama film ini. Ketika seri kedua dari Riddick ini rilis. Banya... thumbnail 1 summary

Vin Diesel memang telah tergabung dengan project Riddick ini sejak seri pertama film ini. Ketika seri kedua dari Riddick ini rilis. Banyak sekali kekecewaan dan kritikus negatif dari kritikus. Maka, Kali ini David Twohysepertinya ingin membayar kekecewaan dari fans dan membuat seri ketiga dari dengan judul Riddick. Tetap menggunakan Vin Diesel sebagai pionir untuk film ini.


Riddick (Vin Diesel) sedang dijebak oleh Lord Vaako (Karl Urban). Riddick di taruh disebuah planet yang memiliki banyak binatang buas. Disana, Riddick mencoba untuk bertahan hidup dari serangan yang datang secara tiba-tiba dari binatang buas. Di lain hal, Riddick juga sedang menjadi perburuan. Banyak sekali Bounty Hunter yang berusaha membunuhnya dan mengambil Kepala dari Riddick

Tapi, para Bounty Hunter itu berurusan dengan orang yang salah. Riddick adalah sesosok buronan yang tangguh. Mereka pun harus berani mati agar bisa berhadapan atu bahkan membunuh sosok Riddick. 

A long journey for Riddick

Bisa dibilang Riddick adalah project Trilogy yang harus memiliki perjalanan yang tertatih saat proses penggarapannya. Riddick memiliki budgetyang begitu minim saat seri pertama di rilis. Lalu, di seri kedua film ini pun memiliki big budget. Tetapi, Universal Pictures harus menelan pahit. Ketika kepercayaan budget itu diberikan. Seri kedua film ini pun tak bisa mengembalikan budget itu serta kritikus pedas terlontar untuk film ini.

Riddick sebagai seri ketiga film ini pun juga memiliki perjalanan yang cukup susah. Universal awalnya tak memberikan lampu hijau untuk project ini. Tapi, dengan usaha yang keras akhirnya Riddick pun diberi lampu hijau. David Twohy mungkin ingin membayar lunas kekecewaan fans dari Riddick atas kehancuran film keduanya. Vin Diesel pun tetap memerankan sesosok Riddick yang gelap dan sinis itu. Maka kali ini, David Twohy sepertinya tidak mau menyia-nyiakan kesempatannya.

The truth from the blog writer is never watched all the series of Riddick. Jadi, saya pun tak bisa membandingkan antara film satu hingga film ketiganya. Dan awalnya, saya pun takut tidak bisa memahami isi dari film ini. Tapi, Riddick sepertinya upaya dari David Twohy untuk memperkenalkan kembali sesosok Riddick. Jadi, seri ini seperti bukan sebuah Sekuel. Malah terkesan menjadi sebuah Remake dari seri semua ini. Karena, tanpa mengetahui seri pertama dan keduanya kita masih bisa mencerna film ini dari awal hingga akhir durasinya. 


Mungkin ada beberapa bagian yang akan menjadi sebuah pertanyaan bagi yang tak pernah menyaksikan film-film sebelumnya. Tapi, kita masih diberi tahu beberapa penjelasan tentang dunia Riddick meskipun hanya sedikit. Setidaknya Riddick masih membuat orang yang tak pernah menonton dua filmnya akan kebingungan. Tapi efeknya, Riddick akan dikira menjadi sebuah re-releasekarena judulnya oleh penonton awam. Mungkin karena The Chronicles of Riddick juga menggunakan tulisan ‘Riddick’ yang lebih besar ketimbang sub-judulnya.

Entah, saya belum pernah menonton dua seri sebelumnya. Tapi, David Twohy mampu mengajak fandom baru untuk keseluruhan trilogi ini. Tapi, sayangnya saya tidak tertarik untuk menjadi Fandom baru bagi seri ini. Riddick menjadi sebuah perjalanan panjang yang melelahkan bagi saya. Beberapa ceritanya terlihat kacau di awal. Penjabaran Necromanger ataupun Furya dan universe milik Riddick ini terlihat berjalan setengah-setengah. David Twohy seperti kebingungan harus memulai film ini darimana. Sehingga kekacauan di menit pertamanya terlihat sangat jelas. 


Kurang lebih 10 menit awal film ini disajikan tanpa dialog. Sehingga penonton dibuat kebingungan mau dibawa kemana film ini. Melihat berbagai survival Riddick di planet ini tanpa ada penjabaran terlebih dulu. Sehingga, 10 menit awal membuat saya berfikir “Ok, I’m Done with this movie.” Saya mulai kelelahan mencari fokus konflik yang masih nge-blur di 10 menit awal film. Hingga akhirnya berbagai konflik mulai muncul di film ini meskipun terasa episodik di setiap durasinya.

Setelah mulai tahu ada apa sebenarnya di film ini. Disinilah berbagai keasyikan (seharusnya) bagi penonton mulai di sajikan. Tapi, saya tak merasakan berbagai keasyikan di sini. Yes for Gore scene dan visual yang bagus. But, No for the tension dan juga penjagaan ritme film ini yang juga mulai melambat seiring filmnya yang bertambah durasinya. 

A full sci-fi action with visually beautiful but we lost the tension.
Sayangnya, menurut saya tidak ada tensi yang coba dibangun oleh David Twohy. Banyak sekali berbagai adegan yang menurut saya masih bisa dibangun menjadi lebih meyakinkan lagi. Tapi, Riddick malah tak mempunyai kekuatan untuk membangun itu semua. Adegan itu hanya berjalan begitu saja tanpa adanya daya dan upaya untuk mengajak saya sebagai penonton untuk masuk kedalam ngerinya dunia yang sedang di hidupi oleh Riddick.

Pun begitu dengan ritme atau tempo dari cerita film ini. Tak terjaga dengan baik dari awal hingga akhir. Kendor di bagian awal. Lalu, semakin terarah menuju pertengahan film. Tapi sayangnya, ritme itu mulai melambat lagi ketika film ini menuju akhir. Rasanya banyak sekali adegan-adegan yang bisa di persempit lagi. Rasanya 110 Menit film ini juga hanya berisi adegan-adegan aksi tak ada cerita yang terlalu ribet. Naskahnya hanya memiliki beberapa konflik tipis yang mampu dicerna dengan baik oleh para penonton film ini.

Riddick mempunyai hal yang setidaknya masih bisa dinikmati. Film ini masih berisikan banyak aksi-aksi non stop yang lovable bagi penonton awam yang membutuhkan pure hiburan. Juga adegan-adegan gore yang cukup menghibur saya. Darah bermuncratan, penggunaan benda-benda tajam, dan hal gila lain yang cukup mengasyikkan. Inilah yang setidaknya membuat saya betah saat menyaksikan film ini. Serta berbagai setting yang asyik untuk di lihat. 


Meskipun seluruh tempat-tempatnya lebih banyak menggunakan CGI. Tapi, masih di Visualisasi-kan menarik. Dan juga banyaknya creatures yang ada di film ini. Berbagai creatures yang unik dan ada yang adorable juga cukup bisa dilihat dan mengingat film ini berbudget minim. Visualisasi yang menarik itu sudah terlampau bagus.

Vin Diesel adalah pemeran utama di film ini. Tapi, Vin Diesel juga tak sering muncul. Karena Riddick adalah sosok antihero atau bisa dibilang yang diburu di film ini. Tapi, dia berhasil menghidupkan karakter Riddick. Serta berbagai cast seperti Jordi Molla, Nolan Gerrard Funk, Christian Bautista dan yang lainnya. Setidaknya mampu menghidupkan suasana film ini. Meskipun berbagai karakterisasi yang aneh, konyol dan malah terkesan bodoh masih menjadi problem di film ini. 


Overall, Riddick adalah sebuah film antihero dengan tema science fiction yang mempunyai visualisasi yang bagus. Adegan aksi yang masih banyak ataupun adegan gore yang cukup menghibur. Meskipun tanpa tension yang bagus dan ritme yang tak terjaga dari awal hingga akhir film. Tapi sayangnya, saya tak seberapa menyukainya. 

Senin, 16 September 2013

REVIEW + 3D REVIEW - PLANES

Cars memiliki reputasi yang buruk semenjak film keduanya. Cars 2 menuai banyak kritik pedas dan tajam dan menjadi sebuah film paling buruk m... thumbnail 1 summary
Cars memiliki reputasi yang buruk semenjak film keduanya. Cars 2 menuai banyak kritik pedas dan tajam dan menjadi sebuah film paling buruk milik Pixar dan Disney. Maka, kali ini Disney (tanpa Pixar) memilih untuk membuat spin-off from world of Cars. Planes, yang awalnya dirilis dalam format DVD pun dirilis ke dalam format layar lebar.


Dusty (Dane Cook) adalah sebuah pesawat sawah yang digunakan untuk menebarkan pestisida untuk hama. Dia pun bermimpi untuk menjadi sebuah pesawat yang menang dalam sebuah pertandingan balap dunia. Dia pun mendaftar dalam lomba tersebut. Tapi sayangnya, Dusty takut dengan ketinggian dan malah menjadi cemoohan bagi Ripslinger (Roger Craig Smith).

Dibantu oleh pesawat yang selamat dalam pertempuran, Leadbottom (Cedric The Entertainer) yang akhirnya membantu Dusty agar bisa menang dan memerangi ketakutannya dengan ketinggian. 

Childish with some annoying scene and failed jokes.
Cars, adalah sebuah film yang tak mempunyai sebuah presentasi film yang begitu bagus. Cars seri pertama mungkin cukup menghibur tanpa mempunyai magical story di dalamnya. Cars 2 yang dirilis kala itu pun memiliki kualitas yang begitu buruk dan mengecewakan para penggemar Pixar. Maka, Planes adalah sebuah spin off dari dunia film Cars yang mengambil karakter Pesawat sebagai karakter utama dan dalam fokus ceritanya.

Planes pun dirilis oleh Disney tanpa asuhan Pixar. Malah, Disney dirilis oleh Disney Toon yang biasanya merilis film dalam format DVD saja. Tapi, daya tarik Planes cukup besar mengingat dia masih memiliki embel-embel dunia Cars dalam film Planes kali ini. Mungkin jika menaruh harapan besar, saya sangsi. Maka saya menonton film ini dengan ekspektasi yang sangat rendah malah tak mau berharap apa-apa. Karena saya pesimis film ini akan menjadi sebuah film animasi kosong lainnya.

Beberapa pandangan negatif yang saya berikan ke dalam film ini pun terwujud. Jika Cars 2 setidaknya mempunyai berbagai plot cerita yang cukup unik. Maka, Planes malah menyajikan sebuah cerita yang begitu gampang dicerna. Zero-to-hero-theme yang banyak sekali diusung oleh film-film animasi yang mungkin akan menginspirasi bagi anak kecil. Planes, menjadi sebuah sajian clicheyang sangat tidak bisa dinikmati bagi saya. Mungkin bagi balita, yes! they can enjoy it


Jika jalinan Cliche nan cheesy itu bisa diolah dengan baik mungkin bisa menjadi sajian yang setidaknya watchable. Tapi, cerita cliche itu malah berubah menjadi suatu presentasi yang buruk. Dengan berbagai momennya yang membuat kita mengelus dada sebagai penontonnya. Momen menganggu seperti adanya momen khas bollywood yang menurut saya sangat menganggu. Belum lagi jokes-nya yang disajikan kelewat garing.

Sajian cerita cliche ini terasa menganggu. Dengan olahan yang kurang baik dan presentasi yang cukup boring. Maka, Planes seperti membuat film Turbo menjadi sebuah sajian film Masterpiece dibandingkan dengan Planes. Turbo yang sudah memberikan pace cerita yang lambat. Kita akan merasakan sesuatu yang sama saat menyaksikan Planes. Malah, kita akan merasa lebih lambat lagi. Turbo masih memiliki bagian unik. But, It’s not for Planes


Begitu pun dengan pace cerita yang ter-tarik ulur. Pace cerita di awal disajikan dengan begitu cepat. Awal mula Dusty menuju ke pertandingan diceritakan begitu cepat. Dan mulai datanglah konflik-konflik di film ini yang sangat menganggu keterjagaan pace dari film ini. Dimulai lah parade acakadut dari film ini yang cukup membuat saya akan terlelap tidur. Semua konflik-konflik film ini sangat bisa ditebak dengan aliran cerita apa adanya.

Presentasi yang kekanak-kanakan yang akan menyegarkan bagi para anak kecil dibawah usia 5 tahun. Guyonan-guyonan slapstickdan berbagai celetukan-celetukan yang sangat membuat saya terdiam sejenak dan mencoba mencerna kelucuan seperti apa yang coba film ini berikan kepada kita sebagai penonton. Tapi, saya tidak mendapatkan apa yang mereka maksudkan. Inilah yang semakin membuat saya merasakan kebosanan dengan tingakatan yang sudah tinggi saat menyaksikan film ini. 

Its better if this movie goes to direct-to-video movie
Planes jelas sebuah presentasi yang sangat lemah untuk ukuran Disney yang akan dikeluarkan ke layar lebar. Saya lebih menantikan ‘Frozen’ dari Disney yang mungkin akan semenarik Tangled atau Wreck-it Ralph. Planes tak memiliki jalinan cerita yang mumpuni atau bukan sesuatu yang watchable. Tapi, Disney seperti berusaha keras agar Planes tak membuat dunianya terkesan begitu murahan. Tetap memiliki visual yang tak kalah bagus dengan Cars.

Serta mungkin jajaran voiceoverdari film ini yang sebenarnya tak bermain jelek. Hanya saja mereka bermain biasa saja. Nama-nama tak terkenal pun masih digunakan oleh Disney. Mungkin hanya Dane Cook, Val Kilmer, dan Priyanka Chopra yang setidaknya famous dikalangan kita. Masih banyak nama-nama lain yang kurang begitu dikenal. Tapi itulah Disney maupun Pixar. Mereka masih jarang sekali menggunakan nama-nama besar untuk filmnya sendiri.

Salah satu hal yang cukup menarik dari Planes adalah penggunaan soundtrack yang ear-catching. Lagu-lagu Pop Rock yang menghiasi perjuangan Dusty dalam menempuh pertandingannya. Sehingga cukup membuat berbagai momennya tersampaikan. Tapi, scene-scene dengan soundtrack itu tak cukup untuk menyelamatkan keseluruhan film ini yang tak bagus. 


Overall, Planes adalah worst Disney big-screen movie release. Ceritanya yang cliche dan cheesy itu tak mampu diolah lagi dengan begitu baik. Dengan berbagai kekacauan dalam penuturan ceritanya serta guyonannya yang lebih ditujukan kepada Balita yang semakin membuat saya bosan. Skip! 


Planes pun tak lupa di rilis dalam format 3D. Saya akan review format 3D dalam film ini. Worth it atau tidak. 

BRIGHTNESS
Film ini mempunyai tingkat kecerahan yang masih bagus jika disaksikan dalam format 3D. 

DEPTH 
Kedalaman dalam film ini sangat bagus. Apalagi saat film ini bersettingkan di udara. Semakin menunjang efek Depth dalam format 3D di film ini. 

POP OUT 
Hampir tidak ada efek Pop Out untuk film ini. Disney lebih memilih untuk memanjakan kita dalam format Depth ketimbang Pop Out di setiap filmnya.
 
Planes mungkin akan menarik bagi para penonton yang menyukai efek Depth dalam filmnya. Tapi mungkin akan mengecewakan bagi penonton yang akan menantikan efek Pop Out di film ini. Mengingat harga tiket 2D dan 3D yang sama. Apa salahnya dicoba. Decide it by yourself

Jumat, 13 September 2013

REVIEW - THE INTERNSHIP

Owen wilson dan Vince Vaughn bukan kali pertama mereka berada dalam satu layar bersama-sama. Sudah banyak sekali film yang mereka lakoni ber... thumbnail 1 summary
Owen wilson dan Vince Vaughn bukan kali pertama mereka berada dalam satu layar bersama-sama. Sudah banyak sekali film yang mereka lakoni berdua. Mereka pun kembali dipersatukan lagi oleh Shawn Levy ke dalam sebuah drama komedi dengan judul The Internship.


Nick Campbell (Owen Wilson) dan Billy McMahon (Vince Vaughn) adalah sesosok salesman yang tak lagi memiliki pekerjaan. Tempat mereka bekerja ternyata bangkrut dan memaksa mereka untuk tidak bekerja lagi. Mereka berdua pun tak tahu harus dengan apa mereka menafkahi diri mereka. Secara tidak sengaja, Billy berencana untuk mendaftarkan diri untuk magang ke perusahaan search-engine terbesar di dunia yaitu Google.

Ketika mereka diterima untuk melakukan Internship atau magang disana, mereka satu tim dengan beberapa orang yang ‘terbuang’. Nick dan Billy serta timnya pun harus berusaha untuk menang dalam challenge yang diberikan oleh Google kepada mereka agar mereka bisa menjadi pegawai tetap disana.

 A Fun google adventure for googler.
Mendengar kata Vince Vaughn dan Owen Wilson rasanya saya tidak terlalu exciting untuk menonton film mereka. Awalnya ketika saya tahu ada sebuah film yang menyangkut pautkan dengan sesosok search engine terbesar di dunia ini adalah sebuah film biopic pendirinya. Maka saya pun saya skeptis dengan pemainnya. Tetapi, saya salah. Ternyata film ini hanya sebuah film dengan setting tempat di perusahaan Google.

Maka, hal yang membuat saya tertarik adalah perusahaan Google itu sendiri. Maka setidaknya, film ini membuat saya mempunyai minat untuk menontonnya. The Internship pun bukan sesuatu yang sangat jelek seperti yang dikatakan oleh para kritikus rottentomatoesyang hanya memberikan 32% untuk rating film ini. Mungkin jika dibilang clicheatau cheesy, The Internship memang mempunyai formula itu. Tetapi, film ini masih mempunyai jalinan cerita yang begitu seru untuk diikuti hingga menit akhir film ini sendiri.

The Internship adalah sebuah film komedi cliche dengan berbagai humor slapstick-nya yang mempunyai kadar humor yang kadang bisa mengena, kadang juga garing. The Internship juga tak sepenuhnya sempurna. Karena masih banyak sekali back story yang tak diceritakan dengan baik dan meninggalkan sebuah pertanyaan yang cukup banyak. Siapa itu Billy, Siapa itu Nick, masih diceritakan dengan cukup minimalis dan tidak sepenuhnya terceritakan. 


Memang, film ini terfokus kepada konflik yang lebih utama di film ini. Tapi, plot sampingan mereka yang sudah terlanjur di berikan di awal itupun juga tak ceritakan lebih jelas lagi. Akhirnya saya masih menantikan penyelesaian seperti apa yang akan ditawarkan oleh The Internship kepada konflik-konflik setiap karakternya yang disajikan di awal filmnya sendiri. Tapi, semua masih dibiarkan menggantung indah tanpa ada penjelasan lebih lanjut lagi.

But, we just dont take it so seriously. Ini bukanlah sajian film yang mengusung tema yang juga serius. Mengingat, ini adalah sebuah film dengan genre komedi. Mungkin, sebagian film komedi dengan formula seperti memang sangat mainstreamdigunakan oleh kebanyakan sineas Hollywood yang ingin membuat film komedi. Toh film komedi dengan formula seperti ini pun masih bisa berhasil untuk sebagian orang termasuk saya.

Film ini adalah sebuah petualangan di Negeri Google yang begitu googly eyes. Menangkap setiap keunikan yang ada di perusahaan besar ini. Dengan berbagai tingkah konyol mereka yang menghibur dan tidak menjadi annoying meskipun terkadang iya. Banyak sekali, sudut-sudut indah yang ditangkap baik yang membuat saya terkagum-kagum dengan perusahaan besar itu. Tapi juga dengan jalinan cerita yang cukup menarik untuk diikuti bukan hanya memberikan sajian indah mata saja. 

Cliche, Cheesy, predictable, magical, and another old-formula for comedy movie.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, The Internship bukanlah sebuah film komedi dengan jalinan cerita terobosan baru. Tapi, The Internship memiliki banyak old formula yang sudah digunakan oleh banyak sekali film komedi hollywood. Formula seperti people-who-dont-have-any-ability  being a hero dengan banyak konfliknya yang bikin kita bilang ‘Ya, sudahlah’. Tapi, terkadang formula seperti itu masih berhasil membuat penontonnya terhibur. Maka itulah yang terjadi kala saya menyaksikan film ini.

Jalinan cerita yang cliche, cheesy, predictable dan apalah itu yang membuat saya tahu film ini akan berjalan seperti apa. Belum lagi, kejadian-kejadian ajaib di film ini yang memang diluar logika kita. Tapi bagi saya, ayolah, dont take this movie so seriously. The Internship hanya ingin menghibur kalian dari kepenatan yang melanda anda setelah kuliah atau kerja. Dan menurut saya, The Internship sangat berhasil menjalankan tugasnya itu. Ini bukanlah film serius yang perlu membuat semuanya rasional. Ini film komedi yang memang memiliki kejadian-kejadian ajaib yang membuat enjoy menontonnya. 


Naskah yang ditulis oleh Vince Vaughn dan juga Jared Stern ini memang cukup berantakan di awal filmnya. Tapi, mereka pun akhirnya mengganjar setiap menitnya dengan banyaknya konflik-konflik asik dan konyol yang membuat kita terhibur menontonnya. Maka tak salah, jika akhirnya film ini menjadi sebuah film yang malah menjadi Guilty Pleasure dalam list saya. Bukan film sempurna ataupun film yang bagus. Tapi, ini jelas sangat menghibur saya.

Owen Wilson dan Vince Vaughn pun dengan gampang menghasilkan chemistry satu sama lain. Seperti sosok Dynamic Duo yang tak bisa terpisahkan satu sama lain. Memang film ini lebih menonjolkan nama mereka berdua. Banyak nama-nama yang belum punya sinar yang lebih serta menjadi karakter sampingan. Tapi, setidaknya mereka masih bisa memerankan karakter-karakter yang ada di film ini dengan cukup baik. Karakter-karakter geek yang nyentrik yang cukup menghibur dengan tingkah konyolnya. 


Overall, The Internship adalah sebuah film komedi dengan berbagai formula-formula usang yang cukup menghibur. Petualangan-petualangan seru dengan setting tempat perusahaan besar milik Google yang sangat googly-eyes membuat saya bisa melepaskan penat. Meskipun penceritaan yang cukup kacau, tapi konflik utama yang fun membuat saya terhibur. My (another) Guilty Pleasure movie.
 

Selasa, 10 September 2013

REVIEW + 3D REVIEW - ONE DIRECTION : THIS IS US

Para musisi sepertinya sedang dalam trend membuat sebuah film tentang dirinya. Setelah Michael Jackson, Justin Bieber, Katy Perry, dan juga ... thumbnail 1 summary

Para musisi sepertinya sedang dalam trend membuat sebuah film tentang dirinya. Setelah Michael Jackson, Justin Bieber, Katy Perry, dan juga para ensemble cast Glee. Dan kali ini giliran 5 Laki-laki jebolan X-Factor UK yaitu One Direction yang juga mencoba membuat sebuah film tentang mereka. Dan Morgan Spurlock menjadi pemegang kendali film ini. 

 A Love Letter for Directioner. Full of fans service
Niall, Louis, Zayn, Harry dan Liam adalah para kontestan dari ajang pencarian bakat bernama X Factor di negara Inggris. Mereka adalah kontestan yang awalnya tersisih di awal. Tapi, dari kegagalan mereka itulah, Simon Cowell yang juga juri dari ajang pencarian bakat itu menggabungkan mereka ke satu dalam satu vocal grup. Mereka pun menamainya One Direction. Dan mereka pun bisa menjadi Runner Up dari ajang pencarian bakat itu.

Beberapa lagu dari One Direction sendiri menjadi hits di berbagai negara. Album-albumnya pun laris manis. Mungkin inilah yang membuat Sony Pictures akhirnya mengangkat vocal grup fenomenal ini ke dalam sebuah motion picture. One Direction : This Is Usini lebih ke Concert movie. Bukan ke film biopic. Sebuah dokumenter dari mereka dengan menyelipkan cuplikan-cuplikan konsernya di dalam film ini sendiri.

Morgan Spurlock yang menjadi sutradara dari film ini sendiri sudah mempunyai track record bagus dalam penggarapan film dokumenter. Maka menangani One Direction This Is Us ini sendiri mungkin baginya bukan sesuatu yang baru. One Direction : This Is Us ini bisa dibilang menjadi sebuah concert movie experience yang tidak banyak berbeda dengan film-film setipe-nya. Malah menurut saya, Katy Perry : Part of Me bisa tampil lebih prima ketimbang film ini. 


One Direction : This Is Us adalah dokumenter dari One Direction yang isinya hanyalah sebuah fans service dari One Direction kepada fans-nya. Menceritakan berbagai sisi gokil dari para personil One Direction. Morgan Spurlock menggambarkan jelas sisi-sisi gila itu dengan baik. Siapa One Direction dibalik semua ketenarannya itu. Segila apa para personil One Direction di balik layar. Mungkin bagian itulah yang coba disampaikan oleh Morgan Spurlock di dokumenter tentang Vocal grup ini.

Sayangnya, One Direction : This Is Us rasanya tak bisa se-personal Katy Perry : Part of Me. This Is Us lebih mengutarakan banyak hal tentang dia, ketenaran dan para fans setia dari boyband satu ini. Beda dengan Part of Me milik Katy  Perry yang benar-benar memiliki cerita yang mengusik lebih jauh siapa Katy Perry ini dulu sebelum sampai akhirnya dia bisa benar-benar terkenal serta perjalanan cintanya. Tapi, This Is Us lebih berisi banyaknya kumpulan-kumpulan wanita yang mengeluh-eluhkan One Direction yang setiap personilnya memiliki paras yang tampan. 

A Guilty pleasure for all people even they are haters
Kadar cewek yang teriak-teriak di film ini memang bisa dibilang banyak. Tapi tak sebanyak Never Say Nevermilik Justin bieber. Hasilnya, saya yang notabene bukan penggemar ataupun hatersdari Boyband satu ini masih bisa sangat menikmati dokumenter serta concert yang ditampilkan di filmnya. Tak seperti Never Say Never milik Justin Bieber yang berisi cewek-cewek menangis sambil teriak-teriak dengan kadar yang sangat menganggu.

Dan tenang bagi para Hatersdari One Direction (terutama cowok-cowok yang berpasangan dan rela nonton film ini demi pacarnya). Film ini masih mempunyai kadar menghibur yang sangat tinggi. Bukan hanya berisikan fans-fans yang digambarkan begitu maniac. Tapi juga masih banyak kegokilan dari One Direction yang bisa membuat kita tertawa saat menyaksikan aksi dan ulah mereka dibelakang panggung. Jadi, jangan kira ini bakal membuat kalian para haters ataupun yang biasa-biasa saja dengan One Direction akan merasa membuang waktu dan uang. 

One Direction : This Is Us ini pun tetap diselingi dengan konser mereka selain hal di balik layar mereka. Selipan konser yang besar di O2. Diselipi beberapa lagu dari kedua albumnya ini. Mungkin ada sekitar kurang lebih 10 lagu yang diambil Dari album Up All Night dan Take Me Home. Jadi cukup bisa membuat directioner atau setidaknya yang pernah mendengarkan lagu mereka untuk sing along bersama mereka. Meskipun One Direction sepertinya tak punya tata panggung konser semewah Katy Perry.


Hal menarik lainnya ketika menonton film ini adalah bukan dari segi filmnya saja. Tapi, juga dari penonton itu sendiri. Kita akan merasakan sensasi berbeda saat menonton film ini. Jika anda beruntung saat menyaksikan film ini dan bertemu dengan para fans dari One Direction, maka bersiaplah anda akan mendengarkan berbagai sorakan-sorakan dan teriakan-teriakan dari fans yang heboh sendiri dan tak pernah anda rasakan saat menonton film lain. Maka kesempatan inilah yang menjadi sebuah experience unik saat menyaksikan sebuah concert movie


Overall, One Direction : This Is Us adalah sebuah concert movie yang mempunyai high dose of fun. Bukan hanya pecinta dari Boyband ini saja yang akan terhibur oleh film ini. Yang netral maupun haters, tetap bisa menyukai dokumenter ini tanpa keberpihakan. Meskipun masih banyak unsur senang-senang dan kurang personal. But surely, One Direction : This Is Us is a guilty pleasure and a refreshing from big budget and full of ‘bang’ movie. 

Film Concert movie memang dijual dalam format 3D. One Direction : This Is Us pun hanya dirilis dalam format 3D. Demi memuaskan para fans yang tak bisa melihat langsung Personil favorit mereka. Maka ini adalah kesempatan kalian. Saya akan rangkumkan 3D Review nya. 

BRIGHTNESS
 
 Tingkat kecerahannya sangat cerah. Sama saat kita menyaksikan film dalam format 2D. 

DEPTH 

Mempunyai kualitas Depth yang cukup bagus terlebih saat Cuplikan Konser dimulai. Disitulah peran 3D film ini bermain. 

POP OUT 

Inilah sensasi lainnya. Tangan-tangan serta tubuh dari Para personil One Direction akan terasa keluar dan kalian seperti menyentuhnya dari dekat. Menarik.  

 
Sebuah experience yang sangat mengasyikkan jika menyaksikan film ini dalam format 3D dan menyaksikannya di sebuah big screen. Salah satu film yang harus anda saksikan dan rasakan sensasinya yang berbeda.
ads